Anda di halaman 1dari 5

Nama: Rutmauli Hutagaol

NPM: 1706096531

REFLEKSI DIRI

Deskripsi:

Kira-kira 3 bulan yang lalu, saya merawat pasien dengan coronary artery desease.
Saya sebagai perawat penanggung jawab pasien tersebut bertugas shift pagi
bersama 3 perawat lainnya di tim yang sama. Pasien barusia 52 tahun dan biasa
ditemani oleh suaminya. Pagi itu pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan
kateterisasi jantung, yang sehari sebelumnya telah dilakukan tindakan tetapi gagal
sehingga dokter merencanakan kembali untuk dilakukan tindakan ulang. Setelah
hand over pagi, saya masuk ke kamar pasien dan seperti biasa saya memberi
salam dan menanyakan bagaimana perasaan pasien pagi itu. Kemudian pasien
menjawab selamat pagi suster, dengan nada yang rendah dan menanyakan jam
berapa tindakan akan dilakukan. Saya mengatakan bahwa tidak ada perubahan
jadwal tindakan sampai saat ini, tindakan dilakukan sesuai rencana sebelumnya
yaitu jam 11 pagi. Saya melihat wajah pasien sepertinya tegang karena cemas, dan
saya berusaha memberi motivasi kepada pasien tersebut.

Jam 11 saya masuk ke kamar pasien dan memberitahukan bahwa pasien belum
bisa diantar ke ruang angiography karena masih ada tindakan di ruangan tersebut
dan yang melakukan tindakan adalah dokter yang akan melakukan tindakan
kepada pasien. Pasien tampak sedih. Kemudian saya bertanya kepada pasien dan
memastikan bahwa tindakan ibu tetap akan dilakukan tetapi jam nya akan
mundur. Ternyata setelah saya kaji pasien sepertinya masih belum yakin untuk
rencana tindakan hari ini, pasien ingin pulang karena sebelumnya telah dilakukan
tindakan. Dan saya bertanya apakah dokter sudah memberi penjelasan kepada ibu
terkait tindakan yang akan dilakukan hari ini. Pasien dan suaminya menjawab
bahwa dokter sudah memberi penjelasan terkait tindakan yang akan dilakukan
hari ini.
Jam 3 sore pasien diantar ke ruang angiography dengan kursi roda untuk
dilakukan tindakan dan suami pasien ikut menemani. Dan jam 17.30 pasien
selesai dialkukan tindakan dan diantar ke ruang perawatan oleh 2 orang perawat
angiography. Saya dan 1 tim saya menyusul ke kamar pasien dan membantu
untuk memindahkan pasien dari brangkar ke tempat tidur pasien. Kondisi pasien
tampak lemah, kontak mata masih ada, akral dingin, nadi masih lumayan kuat tapi
cepat dengan O2 binasal 3 liter/menit, observasi tekanan darah 110/70 mmHg.
Sementara 2 perawat angio merapikan pasien dan aff alat kateterisasi dari femur
kanan, tampak darah masih mengalir karena pasien diberi obat pengencer darah
sebelumnya. Sekitar 2 menit perawat angio melakukan penekanan pada area
insersi kateterisasi tetapi kondisi pasien tampak lemah, akral dingin. Namun,
perawat angio mengatakan tindakan sebelumnya pasien juga demikian kondisinya
tetapi sebentar saja kemudian pulih kembali karena pasien cemas tinggi, kemudian
saya menaikkan O2 binasal 4 liter/menit. Kurang lebih 2 menit tampak pasien
semakin lemah, nadi sangat lemah, akral dingin, saya bilang ke perawat angio
pasien mengalami penurunan kesadaan, sepertinya pasien mengalami shock.
Kemudian saya inisiatif meminta bantuan agar tim saya memanggil dokter.
Sebelum dokter datang, pasien sudah dalam kondisi nadi tidak teraba, dan kami
lakukan RJP. Setelah 2 siklus RJP tim emergensi datang dan mengambil alih
tindakan emergensi, dan saya bersama tim mempersiapkan untuk persiapan pasien
pindah ICU.

Ada banyak pertanyaan dikepala saya waktu itu, salah satunya adalah ada apa di
ruang tindakan sehingga pasein mengalami hal yang demikian?, apakah dokter
sudah menjelaskan resiko-resiko atau kemungkinan resiko dari tindakan tersebut?.
Tetapi, fokus saya tertuju kepada suami pasien yang tidak ada reaksi apa-apa,
hanya diam, bingung. Namun suami pasien mengikuti semua prosedur dan
menandatangani persetujuan pindah ruang rawat ke ICU. Mungkin bingung
karena melihat tindakan emergensi yang dilakukan terhadap pasien. Dokter
penanggung jawab kemudian menjelaskan kondisi pasien kepada suami pasien,
dan meminta tanda tangan persetujuan pindah ICU dan pemasangan ventilator.
Tidak lama setelah kondisi pasien stabil kemudian pasien dipindah ke ruang ICU.
Sebenarnya saya ingin sekali memberi kata-kata penguatan kepada suami pasien
tetapi saya bingung apa yang harus saya sampaikan kepada suaminya karena
kondisi pasien yang tiba-tiba penurunan kesadaran.

Feeling:
Saya merasa sangat kecewa dan sedih. Saya merasa gagal menjalankan tanggung
jawab dan peran saya sebagai perawat. Dalam hal ini saya sebagai penanggung
jawab asuhan keperawatan pasien gagal mengatur pelayanan klien dan gagal
memberi dukungan emosional. Saya juga gagal melakukan peran perawat sebagai
manajer asuhan keperawatan pasien.

Evaluation:
Hal baik dari pengalaman saya adalah saya merasa bahwa tim saya dan dokter,
dan tim emergensi telah melakukan tindakan emergensi dengan cepat. Hal buruk
dari pengalaman itu adalah saya menyalahkan diri saya sendiri karena kelalaian
saya karena tidak mengenali kondisi pasien.

Analysis:
Dari pengalaman tersebut saya dapat mengambil pelajaran bahwa saya harus
membuat perubahan dalam diri saya dan lingkungan kerja saya. Perubahan dalam
praktik biasanya membutuhkan perencanaan yang seksama dan perlu sumber
daya, proses dan orang-orang melakukannya. Clarc (2010) menggambarkan dua
aspek untuk berubah yaitu perubahan dan transisi. Perubahan mengacu pada hal
yang berbeda dari biasanya yang dapat diamati yang terjadi atau sudah selesai.
Sedangkan transisi menggambarkan apa yang dirasakan orang sehingga
mengalami dan melihat sangat penting. Keduanya harus dipertimbangkan untuk
sukses tidaknya sebuah perubahan. Menurut Rogers (2003) bahwa kecepatan
seseorang dalam menerima inovasi beragam yaitu ada yang tergolong Inovator
(sebesar 2,5%), Early adopter (13,5%), Early majority (34%), Late majority
(34%) dan yang terakhir adalah Laggard (16%). Diperlukan peran manager untuk
mengkomunikasikan, dan mencari follower yang termasuk ke sub kelompok early
majority untuk memulai suatu perubahan atau inovasi agar seluruh perawat
ruangan diberikan dan mau mengikuti pelatihan EWSS dan kasus-kasus
emergency. Dengan harapan agar kelompok yang lain akan mengikuti perubahan
tersebut sehingga tujuan tercapai yaitu meningkatkan pelayanan dan keselamatan
pasien.

Perawat harus belajar terus dan meningkatkan pengetahuan tentang kasus-kasus


emergensi walaupun saya tidak bekerja di ruang emergensi dan menngikuti
pelatihan tentang Early Warning Scoring System (EWSS) untuk perawat ruangan
agar mampu mengenali kondisi pasien sebelum mengalami kondisi Shock atau
emergensi. Saya tidak bisa melihat kondisi pasien diawal ternyata adalah pre
shock yang seharusnya mendapat penanganan sesegera mungkin sehingga kondisi
pasien tidak masuk ke periode shock (HIPGABI, 2015). Saya belajar agar lebih
care akan kondisi dan respon pasien karena inti dari keperawatan adalah caring
(Potter & Perry, 2009). Saya juga menjadi lebih sadar bahwa saya tidak boleh
terus menyalahkan diri, berikan yang terbaik untuk pekerjaan dan semua yang kita
rencanakan dan kita kerjakan tidak pasti berjalan seperti keinginan kita. Saya
gagal melakukan peran sebagai komunikator (Potter & Perry, 2009). Komunikasi
adalah hal yang sangat penting dalam hubungan perawat-klien. Dengan
komunikasi seharusnya mengenal kecemasan pasien. Seorang pemimpin adalah
seorang komunikator yang baik (Robbins, 2017).

Masa yang akan datang, bila saya dihadapkan dengan masalah yang sama saya
akan lebih care terhadap kondisi pasien tidak hanya mengikuti kata senior. Saya
harus memberikan asuhan keperawatan kepada pasien secara profesional dengan
ilmu yang saya miliki. Saya akan terus belajar hal-hal baru dalam keperawatan,
saya juga akan memperdalam pengetahuan saya tentang kondisi-kondisi
emergensi agar saya mampu mengenali masalah emergensi pada pasien. Saya juga
akan melakukan peran dan tanggung jawab saya sebagai perawat untuk
meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
Referensi:

Clark, C. (2010). From incivility to civility: Transforming the culture. Reflections


on Nursing Leadership, 36(3).

HIPGABI. (2015). Pelatihan Emergency Nursing Basic Level. Jakarta

Potter & Perry. (2009). Fundamental Keperawatan.Ed7. Jakarta: Salemba


Medika.

Robbins. (2017). Organizational Behavioral. England: Pearson

Rogers, E. (2003). Diffusions of Innovations. New York, NY: Free Press.

Anda mungkin juga menyukai