Anda di halaman 1dari 8

NAMA NIM

: YUTRISA SASTI ANINDYARANI : 107103001497

1. Selama mengikuti stase klinik, anda telah mendapatkan berbagai pengetahuan, keterampilan dan pengalaman berhadapan dengan pasien, sejawat dan konsulen. Uraikan pengalaman tersebut yang mencerminkan hasil pencapaian secara optimal terhadap five star doctor yang berlandaskan keimanan, ketakwaan dan empati ! (minimal 2) Five star doctor yang berlandaskan pada keimanan, ketakwaan serta empati merupakan standar kriteria dokter yang baik dan ideal. Five star doctor tersebut haruslah memiliki fungsi sebagai care provider, decision maker, communicator, community leader, dan manager . Berdasarkan pengalaman kepanitraan yang saya jalani, ada beberapa yang dijalankan berdasarkan salah satu dari point five star doctor tersebut. Salah satu contoh dari pengalaman saya yaitu mengacu pada point decision maker dimana sebagai seorang dokter diharuskan bisa membuat suatu keputusan yang terbaik untuk pasien seperti saat akan memberikan terapi dengan menimbang baik buruknya untuk pasien, kemudian juga seperti pilihan pemeriksaan penunjang apa yang seharusnya dilakukan demi tertegaknya suatu diagnosis. Pembuatan keputusan tersebut tentunya tanpa menimbulkan kerugian tersendiri bagi pasien. Pengalaman yang cukup memberi kesan yaitu saat saya sedang di stase obsgyn. Saat itu saya sedang mendapat giliran putaran stase kecil bangsal, dimana kegiatan sehari-hari diisi oleh seluruh kegiatan bangsal seperti follow up, observasi pasien di bangsal ataupun melakukan tindakan seperti pemasangan KB inplan/suntik. Saya yang masih berstatus dokter muda dalam setiap pengambilan keputusan terhadap pasien biasanya berkonsultasi terlebih dahulu kepada PPDS, namun tidak jarang juga saya dipaksa untuk mengambil keputusan sendiri. Saat itu terdapat pasien hamil dengan keluhan nyeri kepala yang amat sangat. Dikarenakan saat itu PPDS yang bertugas di bangsal sedang tidak ada dikarenakan ada presentasi dengan konsulen, saya akhirnya membuat keputusan untuk meresepkan tanpa berkonsultasi kepada PPDS terlebih dahulu. Berbekal ilmu pengetahuan kedokteran yang saya miliki, saya putuskan untuk meresepkan anti nyeri Ibuprofen dengan pertimbangan obat tersebut tidak memiliki efek samping berarti bagi pasien hamil, beda halnya dengan obat anti nyeri lain seperti asam mefenamat. Tidak lupa saat saya mengambil keputusan tersebut saya bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon agar pasien yang saya tangani diberikan yang terbaik menurut ridho-Nya. Setelah residen kembali dari bangsal, saya melaporkan tindakan yang saya lakukan sekaligus berkonsultasi dengannya. Residen tersebut mengatakan terapi yang saya berikan sudah tepat karena memang ibuprofen tidak membahayakan kondisi janin sang ibu. Saya juga diberi penjelasan mengenai obat-obat lain yang di kontraindikasikan untuk ibu hamil.

Pengalaman mengenai pencapaian communicator saya yang cukup memberi kesan yaitu saat saya menjalani stase IKM di puskesmas. Di stase itu saya diberikan kesempatan untuk langsung terjun ke pasien, melakukan pemeriksaan komprehensif secara langsung dari mulai anamnesis sampai akhirnya pemberian terapi. Saat itu saya mendapatkan pasien lansia laki-laki berusia 75 tahun yang memang pendengaran bagian kirinya sudah terganggu, sehingga jujur saja hal itu merupakan kendala besar dalam menggali informasi mengenai penyakitnya. Pasien datang dengan didampingi oleh istrinya akan tetapi saat pemeriksaan istri pasien tidak mendampinginya di karenakan sedang ada urusan diluar. Saat pasien datang saya menyambut pasien dengan senyuman, saya sapa dan juga jabat tangan pasien ambil berdiri. Kemudian saya tanyakan nama pasien. Saya langsung menangkap pasien memang mengalami gangguan pendengaran, karena selain terdapat alat bantu dengar di telinga kiri pasien, saat saya tanyakan namanya, pasien meminta saya untuk mengucapkannya sekali lagi dengan volume yang lebih dikeraskan sambil mengatakan bahwa pendengarannya memang terganggu. Pasien baru menjawab apa yang saya tanyakan setelah 3 kali saya bertanya. Hal serupa terjadi saat saya menanyakan keluhan apa yang membuat pasien datang ke dokter. Saya kemudian berinisiatif untuk lebih mendekatkan posisi duduk saya yang sebelumnya sudah berada di sebelah pasien agar lebih dekat tepat disebelahnya. Kemudian ketika saya bertanya, saya mencondongkan tubuh saya dan berbicara lebih jelas dan keras di teliga kanan pasien. Pasien lebih mendengar ketika saya memposisikan seperti itu, selama anamnesis pasien beberapa kali sempat bertanya ulang seperti saat saya menanyakan sudah berapa lama pasien memiliki hipertensi, lalu apakah terkontrol dan bagaimana gaya hidup pasien selama menderita hipertensi, akan tetapi lebih baik daripada saat pertama kali pasien datang. Walaupun anamnesis dilakukan cukup lama, saya berusaha menjaga mimik wajah saya agar tidak terlihat kesal ataupun muram. Saya tetap tersenyum dan tidak menunjukkan gestur tubuh gelisah. Saat pemeriksaan fisik tidak mengalami banyak kendala karena jarang melibatkan komunikasi. Setelah selesai dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik, saya memberikan pasien reep berdasarkan diagnosis yang saya dapat. Kemudian pasien keluar meninggalkan saya setelah selesai saya periksa. Beberapa lama kemudian saat saya sedang memeriksa pasien selanjutnya, pasien itu datang menghampiri saya sambil membawa obat yang baru saja ditebusnya dan langsung menjabat tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Bukan hanya itu saja, pasien tersebut juga mengatakan kepada saya kalau dirinya sangat puas sekali dengan pelayanan yang saya berikan. Saya pun mengucapkan terima kasih. Kunci utama dari kemampuan communicator itu dilihat berdasarkan bagaimana cara kita dalam berkomunikasi serta juga kesopanan kita terhadap pasien. Kedua hal tersebut apabila berhasil dilakukan nantinya akan menumbuhkan rasa percaya serta nyaman pada pasien sehingga akan menguntungkan kita dalam menggali informasi penyakit pasien, pasien akan mengutarakan apa-apa saja yang dikeluhkannya dengan leluasa. Selain itu gesture tubuh dan juga mimik wajah yang kita tampilkan juga penting.

2. Dalam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, suatu saat terpaksa tidak dapat menunaikan shalat pada waktunya. Hal ini dapat disebabkan karena ada pasien gawat atau saat berada di kamar operasi maupun saat terjebak macet. Uraikan pengalaman Anda dan apa yang dilakukan saat hal tersebut Anda alami ! Selama kurang lebih 2 tahun saya menjalani kepanitraan di RS Fatmawati, saya memiliki cukup banyak pengalaman yang berkaitan dengan pernyataan diatas, terutama untuk kasus-kasus dimana saya harus berhadapan dengan pasien gawat darurat ataupun dalam kondisi sedang di operasi. Salah stase yang sering melibatkan hal diatas yaitu seperti stase bedah, obsgyn ataupun emergency Saat koas di stase bedah jadwal sehari-hari berubah setiap minggu sesuai stase kecil, salah satunya adalah stase instalasi bedah sentral (IBS). Saat stase IBS koas bedah mengikuti jadwal operasi elektif dari pagi hari sampai sore hari sesuai dengan jadwal operasi elektif yang direncanakan. Para koas bedah diwajibkan untuk mengikuti operasi yang berperan bisa hanya sebagai observer ataupun sebagai asisten operator. Lamanya operasi tergantung dari jenis operasi itu sendiri. Untuk operasi-operasi yang membutuhkan waktu yang lama biasanya seperti operasi digestif, saraf ataupun orthopedic. Pada hari itu saya bertugas di salah satu kamar operasi yang memiliki jadwal operasi sebanyak 3 buah. Operasi pertama dijadwalkan pukul 08.30. 2 operasi pertama yaitu operasi appendektomi berjalan cukup singkat karena memang tingkat kesulitannya tidak terlalu sulit dan tidak terdapat komplikasi yang serius. Operasi ketiga yaitu gastrektomi pada pasien dengan tumor gaster yang dimulai pada pukul 11.00. Sama seperti operasi sebelumnya, hari itu saya bertugas sebagai asisten operator 1. Asisten operator 1 memiliki peranan penting untuk membantu penuh operator seperti memegang hak, mengsuction darah, memegang gunting jepit operasi dll. Operasi gastrektomi tersebut berlangsung cukup lama yaitu sekitar kurang lebih 6 jam dikarenakan selain memang tingkat kesulitannya yang cukup tinggi, pada saat proses pengoperasian terdapat komplikasi yang cukup serius yaitu terjadinya perdarahan yang cukup masif, sehingga waktu cukup terbuang banyak untuk meligasi pembuluh-pembuluh darah penyebab perdarahan tersebut. Sebelumnya saya sudah pernah mengikuti operasi serupa dengan indikasi serupa pula, akan tetapi berjalan cukup singkat sekitar 3-4 jam dikarenakan tidak ada komplikasi yang serius. Operasi tersebut selesai pada pukul 5 sore. Dengan lama waktu operasi selama 6 jam tersebut, hal tersebut menyebabkan waktu istirahat yang dapat digunakan untuk menunaikan solat dzuhur menjadi tertunda. Saya tidak memiliki kesempatak untuk keluar karena selain saya merupakan asisten konsulen 1 yang seluruh tindakan konsulen bergantung pada saya, saat itu kondisi pasien sedang jelek sehingga tidak mungkin apabila saya harus keluar dari ruang operasi. Saya akhirnya meniatkan untuk melakukan solat jama takhir seusai operasi berlangsung, yaitu pelaksanaan jama solat dzuhur dan ashar yang dilakukan di waktu solat ashar agar walaupun saya tertinggal solat dzuhur pada saat waktunya, saya tetap dapat melakukannya di waktu ashar.Untuk kondisi tertentu seperti contohnya pada kasus diatas sebagai asisten operator saat operasi berlangsung tidaklah mungkin meninggalkan meja operasi. Jalannya

operasi merupakan salah satu hal yang harus kita pertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Dalam hal ini kepentingan makhluk didahulukan dibandingkan kepentingan kholik karena menyangkut nyawa dari makhluk tersebut. Pada saat saya sedang menjalani stase emergency, saya mendapat jatah giliran jaga malam saat itu. Tim jaga yang bertugas malam itu yaitu sebanyak 4 orang. Kami bertugas di IGD dengan difokuskan di ruangan P1 dimana ruangan tersebut merupakan ruangan khusus untuk pasien-pasien dengan kondisi yang cukup kritis. Kami jaga dimulai pada pukul 17.30. Baru saja waktu berlalu sekitar 20 menit, tiba-tiba saja salah satu pasien di ruangan P1 itu mengalami apneu. Pasien tersebut terdiagnosis dengan cedera kepala berat akibat kecelakaan mobil. Kamipun ber4 dengan dipandu oleh dokter jaga yang bertugas di ruangan tersebut langsung mengambil tindakan dengan melakukan resusitasi. Kami membagi tugas masing-masing, dari mulai ada yang mengontrol tanda vital, pemberian oksigen, dan juga melakukan RJP. Tak berapa lama saat kami melakukan resusitasi, yaitu sekitar 10 menit, tiba-tiba saja salah satu pasien yang lain yaitu pasien dengan gagal ginjal kronis mengalami apneu yang serupa dengan pasien CKB. Kami pun diinstruksikan untuk membagi 2 kelompok. Kami melakukan resusitasi tersebut sekitar 1 jam lebih. Pasien yang tertolong hanyalah pasien dengan CKB, sedangkan pasien dengan CKD yang kami lakukan resusitahi berakhir dengan meninggal .Dikarenakan keterbatasan tenaga dan kedua pasien tersebut dalam keadaan yang mengkhawatirkan sehingga membutuhkan resusitasi dalam waktu yang lama serta pengawasan yang optimal, kami pun melewatkan waktu solat magrib yang memang sangat sempit sekali. Untuk membayar utang solat magrib yang terlewatkan tersebut, saya meniatkan untuk melakukan solat jama takhir yaitu melakukan jama solat magrib dan isya di waktu solat isya. Sama halnya seperti pada kasus saat saya di stase bedah, kondisi dengan kegawatdaruratan pasien haruslah didahulukan dibandingkan kepentingan kholik karena menyangkut nyawa dari makhluk tersebut.

Dari uraian 2 pengalaman saya yang berkaitan dengan pelaksanaan salat jama, seperti yang diutarakan dalam hadits nabi : Berkata Imam Nawawi rahimahullah: Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan." Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya. Ajaran mengenai diperbolehkannya pelaksanaan solat jama pada situasi-situasi tertentu dan bagaimana tatacara melakukannya, saya sudah mengetahui sebelumnya. Saya mendapatkan pengetahuan solat jama tersebut dari ayah saya yang kebetulan cukup banyak mengetahui ajaran-ajaran islam. Selain itu saya juga pernah membacanya di buku-buku ajaran

islam serta internet, terutama mengenai diperbolehkannya mengerjakan solat jama di situasi tertentu.

3.Uraikan pengalaman Anda yang menggambarkan keunggulan calon dokter lulusan UIN dibandingkan dengan calon dokter lainnya. Selama kurang 2 tahun menjalani kepanitraan baik di RS Fatmawati ataupun RS lainnya, kami berinteraksi dengan tidak hanya dengen sesama mahasiswa UIN saja akan tetapi dengan mahasiswa dari universitas lain contohnya seperti UI, Trisakti, Ukrida, UPH, serta UPN. Interaksi dengan mahasiswa dari universitas lain tersebut memiliki pengalaman yang berbedabeda saat menjalani tiap stase. Dari sana pula dapat dibandingkan bagaimana perbedaan antara calon dokter lulusan UIN dengan calon dokter lulusan universitas lainnya. Keaktivan Saat saya menjalani stase THT dan juga neurologi selama 1 bulan bersama dengan mahasiswa kedokteran dari Trisakti terdapat beberapa pengalaman yang menunjukkan keunggulan mahasiswa UIN dari segi keaktivan berdasarkan kegiatan sehari-hari di stase tersebut. Kegiatan yang dimaksud salah satunya seperti kegiatan di poliklinik, di bangsal ataupun saat diskusi kelompok dan juga presentasi. Pada saat diskusi kelompok ataupun presentasi, para mahasiswa Trisakti terlihat kurang aktif pada saat jalannya kegiatan tersebut, hanya beberapa saja yang ikut aktif seperti menyanggah, memberikan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan. Selain itu kurangnya keaktifan mereka terlihat pula dalam kegiatan bangsal ataupun poli dimana mereka sering tidak terlihat mengikuti konsulen saat visit di bangsal ataupun menjadi asisten saat konsulen melakukan tindakan di poliklinik ataupun operasi di ruangan operasi. Berbeda dengan mahasiswa UIN, kami cukup aktif dalam segala kegiatan baik kegiatan diskusi ataupun kegiatan di bangsal serta poliklinik.

Ketrampilan, tanggung jawab dan disiplin Saat saya menjalani koskap stase Obsgyn di Fatmawati bersama dengan mahasiswa kedokteran dari UI, saya menilai ketrampilan, tanggung jawab serta disiplin mahasiswa UIN lebih unggul. Untuk stase obsgyn tersendiri, saya akui merupakan salah satu stase terberat dan cukup melelahkan, dikarenakan banyaknya tindakan yang harus dilakukan, dari mulai bertanggung jawab penuh terhadap pasien hamil dari awal pasien datang hingga pasien melahirkan, kemudian mengikuti operasi SC dimana kita bertindak sebagai asisten operator, hingga mengikuti kegiatan bangsal dan poli yang jumlah pasiennya terbilang sangat banyak. Walaupun stase obsgyn cukup melelahkan, akan tetapi saya mendapatkan banyak sekali pengalaman, karena setiap mahasiswa diperbolehkan untuk memegang pasien serta bertanggung jawab penuh terhadap pasien tersebut, sehingga saya banyak belajar dan berlatih dari tindakan-tindakan yang saya lakukan terhadap pasien yang saya pegang. Melihat dari segi ketrampilan, mahasiswa UIN terbilang cukup unggul jika dibandingkan dengan mahasiwa UI. Terlihat dari dalam keseharian khususnya saat di stase VK, mereka tampak kikuk saat harus menggunakan CTG, mengecek HIS, melakukan protab PEB kemudian menolong persalinan, perineorafi ataupun memasang IUD. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya meminta bantuan mahasiswa UIN untuk mendampingi mereka selama tindakan. Bukan hanya itu saja, bahkan tindakan dasar seperti memasang infus

ada beberapa mahasiswa yang sering gagal melakukannya. Saat melakukannya mereka juga kurang cekatan dan cenderung lambat, padahal banyak pada kasus-kasus tertentu dibutuhkan tindakan cepat. Selain dari segi ketrampilan, tanggung jawab dan kedisiplinan mahasiswa UI terbilang kurang. Hal ini dikeluhkan juga oleh para bidan dan residen yang mengaku para mahasiswa UI apabila sedang jaga terutama saat jaga malam sering kabur-kaburan dan kurang bertanggung jawab terhadap pasien yang mereka pegang. Begitu pula dengan waktu jaga mereka yang sering datang terlambat. Mahasiswa UIN dan UI sering sekali dibanding-bandingkan oleh para bidan dan residen dari segi kerajinan dan kedisiplinan tersebut. Para mahasiswa UIN terbilang rajin dalam melakukan tindakan dan lebih bertanggung jawab terhadap pasien mereka masing-masing, maka dari itu bidan ataupun residen lebih senang membagi ilmunya kepada kami dikarenakan berterimakasih sekali tugas mereka dibantu banyak oleh kami.

Solat 5 waktu Keunggulan mahasiswa UIN lainnya yaitu dalam melakukan melakukan solat 5 waktu. Hal ini dibandingkan dengan mahasiswa kedokteran Trisakti. Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, apabila tidak terdesak oleh suatu hal yang penting contohnya sedang dalam proses operasi, sedang melakukan RJP dll, kami selalu melaksanakan solat 5 waktu. Berbeda dengan mahasiswa trisakti, kami melihat mereka sering meninggalkan solat 5 waktu terutama saat zuhur yang masih masuk dalam waktu kegiatan kepanitraan. Salah satu contoh nyata terlihat saat saya sedang kepanitraan stase neurologi. Saat itu merupakan minggu terakhir sebelum minggu ujian sehingga beberapa presentasi dipadatkan menjadi 1 hari oleh konsulen. Terdapat sekitar 5 presentasi yang harus disajikan. Presentasi dimulai pada pukul 11 siang dan waktu istirahat yang seharusnya pukul 12 siang terpotong karena padatnya jadwal. Pada saat menjelang presentasi ke 5 yaitu saat waktu menunjukkan pukul 14.30 konsulen memberikan kesempatan bagi kami untuk solat selama 30 menit karena waktu dzuhur sudah hampir habis. Sayapun bersama teman lainnya yang sedang tidak berhalangan lansung menuju ke ruang koas untuk cepatcepat melaksanakan solat zuhur. Selama waktu istirahat yang diberikan, kami hanya melihat hanya 3 mahasiswa trisakti yang datang ke ruang koass untuk solat sedangkan sisanya tidak, padahal saya tahu benar saat itu para perempuan mahasiswa trisakti sedang tidak berhalangan semua. Saat saya kembali ke ruangan kelas, tampak mereka sedang menghabiskan makanan mereka. Hingga waktu istirahat habispun, mereka yang sedang di dalam kelas tidak beranjak untuk melaksanakan solat zuhur.

Menyelipkan ayat-ayat dalam pemberitahuan kabar buruk Selain itu pada kasus-kasus dimana kita harus memberikan suatu kabar buruk terutama saat kita memberitahukan kepada keluarga pasien bahwa pasien sudah meninggal setelah melalui beberapa usaha seperti resusitasi, keunggulan dari mahasiswa UIN yang perlu digarisbawahi yaitu selain meminta keluarga pasien bersabar, kami juga menyelipkan beberapa nasihat yang diambil dari Al-quran dengan tujuan agar keluarga pasien lebih bisa mengikhlaskan kepergian pasien karena setiap umat manusia nantinya memang akan menghadapi kematian. Salah satu ayat yang saya utarakan yaitu surat Ali Imran ayat 185. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan serta surat Al-Baqarah ayat 156 dan 157, yaitu sesungguhnya Allah memberikan cobaan berupa ketakutan, kematian, kekurangan harta, dsb dan Allah akan memberikan berita gembira kepada orang yang sabar. Yaitu orang yang apabila ditimpa musibah, mereka akan mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Saat itu saya mendapatkan pasien dengan gagal ginjal kronik di bangsal saat saya sedang jaga malam yang memang kondisinya sudah kritis sekali. Malam itu tiba-tiba pasien gagal napas dan saya beserta residen jaga serta perawat akhirnya mengambil tindakan resusitasi. Akan tetapi setelah kurang lebih 30 menit kami melakukan RJP tidak membuahkan hasil dan dinyatakan meninggal setelah mengecek pupil pasien yang midriasis total dan pemeriksaan EKG didapatkan flat. Saya pun mengambil ini inisiatif untuk memberikan kabar berita meninggalnya pasien kepada keluarga. Keluarga pasien spontan langsung menangis. Saya berusaha menenangkan mereka sambil mengutarakan beberapa ayat seperti diatas. Keluarga pasien cukup tenang dan bisa menerima kenyataan setelahnya. Saya mengetahui ayat tersebut dari teman saya yang kebetulan memang sering berbagi ilmu mengenai nilai-nilai kedokteran yang berhubungan dengan islam yang terkandung di dalam al-quran dan beberapa kali saya memraktekannya pada keluarga pasien.

Anda mungkin juga menyukai