Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hipokondriasis adalah kekhawatiran berlebihan bahwa penderita

mengalami penyakit serius danpreokupasi terhadap tubuhnya yang tidak sebanding dengan penyakit medis sebenarnya, serta yang muncul hampir setiap saat (Puri et al., 2011). Hipokondriasis menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia dan Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) diklasifikasikan sebagai gangguan somatoform. Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas dan depresi (Maslim, 2001). Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat tentang kelainan yang termasuk dalam gangguan somatoformini, diagnosis, dan penatalaksanaannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Hipokondriasis Hipokondriasis adalah kekhawatiran berlebihan bahwa penderita

mengalami penyakit serius danpreokupasi terhadap tubuhnya yang tidak sebanding dengan penyakit medis sebenarnya, serta yang muncul hampir setiap saat (Puri et al., 2011).

B. Epidemiologi Suatu penelitian yang terbaru menyatakan bahwa prevalensi

hipokondriasis dalam enam bulan mencapai 4-6% dari keseluruhan populasi medis umum, namun demikian angka presentase ini dapat mencapai 15%. Prevalensi dari hipokondriasis di lini pelayanan umum adalah 0,8-4,5%. Beberapa derajat preokupasi dengan penyakit ini mulai terlihat umum, karena 10-20% dari pasien yang sehat dan 45% dari pasien dengan tanpa gangguan psikiatri umum memiliki kekhawatiran terkena suatu penyakit tertentu (Kaplan et al., 1997). Laki-laki dan wanita mempunyai perbandingan yang sama untuk menderita hipokondriasis. Walaupun onset penyakit dapat terjadi pada keseluruhan tingkatan umur, hipokondriasis paling sering terjadi pada umur 20 sampai 30 tahun. Hipokondriasis juga didapatkan pada 3% mahasiswa kedokteran terutama pada dua tahun pertamanya, namun keadaan ini hanyalah hipokondriasis yang bersifat sementara (Kaplan et al., 1997; Memon, 2009). Beberapa bukti menyatakan bahwa diagnosis hipokondriasis lebih sering pada kelompok kulit hitam dibandingkan kulit putih, tetapi status sosial, tingkat pendidikan, dan status perkawinan tampaknya tidak mempengaruhi diagnosis (Memon, 2009).

C. Etiologi 1. Misinterpretasi gejala-gejala tubuh Orang hipokondriakal meningkatkan dan membesarkan sensasi

somatiknya. Mereka memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya terhadap gangguan fisik, dan menjadi tersinyal oleh hal tersebut karena skema kognitif yang keliru (Kaplan et al., 1997). 2. Model belajar sosial Gejala hipokondriasis dipandang sebagai keinginan untuk mendapatkan peranan sakit oleh seseorang untuk menghadapi masalah yang tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan (Kaplan et al.,1997). 3. Varian dari gangguan mental lain Gangguan yang paling sering dihipotesiskan berhubungan dengan hipokondriasis adalah gangguan depresif dan gangguan kecemasan (Kaplan et al., 1997). 4. Psikodinamika Menyatakan bahwa harapan agresif dan permusuhan terhadap oranglain dipindahkan (melalui represi dan pengalihan) kepada keluhan fisik. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan dan rasa bersalah, rasa keburukan yang melekat, suatu ekspresi harga diri yang rendah, dan tanda perhatian terhadap diri sendiri (self-concern) yang berlebihan (Kaplan et al., 1997).

D. Patofisiologi Defisit neurokimia berhubungan dengan hipokondriasis dan gangguan somatoform lain seperti gangguan somatisasi, konversi dan kelainan bentuk tubuh terlihat sama dengan gangguan mood dan cemas (Kayet al., 2006). Pada studi terakhir dari marker biologis, peneliti menemukan bahwa terdapat penurunan level neurotropin 3 (NT-3) dan serotonin trombosit (5HT) dalam plasma dibandingkan dengan subjek kontrol. NT-3 adalah marker dari fungsi neuronal sementara trombosit 5-HT adalah marker penting untuk aktivitas serotonergik (Xionget al., 2011).

E. Gambaran Klinis Pasien dengan gangguan hipokondriasis secara khas datang dengan ketakutan dan perhatian terhadap penyakitnyadengan gejala yang dirasakan. Pasien dengan hipokondriasis percaya bahwa mereka sedang menderita suatu penyakit yang serius yang belum pernah dideteksi dan tidak dapat menerima penjelasan akan gangguan yang dideritanya. Mereka terus menyimpan keyakinan bahwa mereka memiliki penyakit yang serius. Orang dengan hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit rasa sakit serta nyeri. Orang dengan hipokondriasis dapat menjadi marah saat dokter mengatakan betapa ketakutan mereka sendirilah yang menyebabkan gejala fisik tersebut. Mereka sering belanja dokter dengan harapan bahwa seorang dokter yang kompeten dan simpatik akan memperhatikan mereka sebelum terlambat. Hipokondriasis biasanya disertai dengan gejala depresi dan anxietas dan biasanya bersamaan dengan gangguan depresi dan anxietas(Ebert et al., 2008). Walaupun DSM-IV-TR membatasi bahwa gejala yang timbul telah berlangsung paling sedikit 6 bulan, keadaan hipokondriasis yang sementara dapat muncul setelah stress yang berat.Paling sering adalah akibat kematian atau penyakit yang sangat serius dari seseorang yang sangat penting bagi pasien ataupun penyakit serius yang pernah diderita oleh pasien namun telah sembuh. Apabila keadaan diatas berlangsung kurang dari enam bulan, maka didiagnosis sebagai gangguan somatoform yang tidak tergolongkan(Ebert et al., 2008).

F. Pemeriksaan Psikiatri Tidak adanya kelainan pada pemeriksaan fisik dan penunjang, mendukung diagnosis hipokondriasis. Namun demikian, pasien tetap harus menerima pemeriksaan fisik untuk meyakinkan tidak ada kelainan organik. Pada pemeriksaan psikiatripasien hipokondriasis,didapatkan: (Kaplan et al., 1997; Botella et al., 2000; Pilowsky et al., 1997).

1. Penampakan umum, kelakuan dan pembicaraan a. Penampilan biasa, rapi b. Kooperatif dengan pemeriksa, namun gelisah dan tidak mudah untuk ditenangkan c. Dapat menunjukkan gejala anxietas berupatangan dan dahi berkeringat, suara yang tegang atau gemetar, dan tatapan mata yang tajam. 2. Status psikomotor a. Tidak dapat beristrahat dengan tenang b. Selalu bergerak mengubah posisi c. Agitasi d. Pergerakan lambat, apabila pasien kurang tidur 3. Mood dan afek a. Bersemangat,atau cemas, depresi b. Afek terbatas, dangkal, ketakutan, atau afek yang bersemangat. 4. Proses berpikir a. Berbicara spontan dengan kadang-kadang secara tiba-tiba mengubah topik yang sedang dibicarakan b. Berespon terhadap pertanyaan tetapi dapat mengalihkan kecemasannya pada hal lain c. Tidak ada blocking 5. Isi pikiran a. Preokupasi bahwa ia sedang sakit b. Berbicara tentang apa yang dipikirkan bahwa dalam tubuhnya telah terjadi kesalahan, kenapa bisa terjadi seperti demikian, dan bagaimana ia merasakannya c. Dapat merasa putus asa dan tidak ada lagi harapan tentang penyakitnya, walaupun keadaan ini biasa juga tidak terjadi d. tidak terdapat keinginan untuk bunuh diri, walaupun secara bersamaan terdapat depresi 6. Fungsi kognitif a. Penuh perhatian b. Orientasi waktu, tempat dan orang : baik

c. Jarang mengalami kesulitan dalam konsentrasi, memori. 7. Insight Dapat mengenali sensasi yang muncul pada tubuhnya 8. Daya nilai a. Sering tidak terganggu b. Dapat terganggu bila bersamaan dengan depresi

G. Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi hipokondriasis. Pemeriksaan laboratoriun hanya digunakan untuk menyingkirkan adanya penyebab organik pada pasien (Botella et al., 2000; Pilowsky et al., 1997).

H. Tes Psikologi Tes psikologi (contohnya MMPI) pada umumnya menunjukkan adanya preokupasi akan gejala somatik dan dapat disertai dengan depresi dan anxietas (Botella et al., 2000).

I. Kriteria Diagnosis Diagnosis hipokondriasis(F45.2) berdasarkan PPDGJ-III, kedua hal ini harus ada: (Maslim, 2001) 1. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun

pemeriksaanyang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham); 2. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya. Sementara itu, berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition (DSM-IV-TR) hipokondriasis (F45.2) memiliki kriteria sebagai berikut: (Sadocket al., 2007)

1.

Preokupasi berupa ketakutan atau pikiran menderita penyakit serius berdasarkan interprestasi yang keliru mengenai gejala yang dirasakan.

2.

Preokupasi untuk memastikan kondisinya dengan pemeriksaann medis tertentu.

3.

Kepercayaan pada kriteria 1 bukanlah intensitas delusi (seperti gangguan delusi, tipe somatik) dan tidak terpusat pada satu kelainan yang tampak (seperti pada gangguan dismorfik).

4.

Preokupasi yang menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau gangguan dalam hubungan sosial, pekerjaan dan area penting lainnya.

5. 6.

Durasi gangguan tersebut paling tidak terjadi dalam 6 bulan. Preokupasi tidak dapat diklasifikasikan dalam gangguan ansietas menyeluruh, gangguan Obsessif kompulsif, gangguanpanik, episode depresif mayor, anxietas perpisahan atau gangguan somatoform yang lain.

J. Diagnosis Banding Kelainan fisik pertama-tama harus segera disingkirkan, yaitu kelainan dalam bidang neurogik, endokrinologi dan penyakit sistemik lainnya. Diferensial diagnosis pada psikiatri untuk hipokondriasis adalah gangguan somatoform lainnya, gangguan mood, kecemasan, dan gangguan psikotik (Kaplan et al., 1997; Memon, 2009; DSM IV TR, 2000). a. Gangguan somatisasi Kelainan ini ditandai dengan onset yang dini (<30 hari), dapat kambuh, mencakup keluhan fisik yang multiple. Pada kelainan somatisasi, yang terjadi adalah preokupasi tentang bebepara gejala yang timbul, bukan tentang penyakit yang mendasarinya. Gejala yang timbul haruslah memenuhi pola yang spesifik untuk dapat diklasifikasikan sebagia gangguan somatisasi yaitu perasaan nyeri yang terjadi pada 4 tempat yang berbeda, yakni 2 gejala gastrointestinal yang berbeda, 1 gejala seksual, dan 1 gejala neurologi. Gangguan somatisasi dibedakan dengan penyakit sistemik dari banyaknya keluhan pada

beberapa organ tanpa adanya keterkaitan dan hubungan dengan kelainan somatik yang ada. Onset gangguan somatisasi lebih dini dari hipokondriasis (<15 hari pada 50% kasus). Wanita lebih sering terkena, rasio wanita : laki-laki; 10:1. Perbedaan yang lain juga adalah pada gangguan somatisasi, pasien lebih terfokus pada gejala dibandingkan dengan penyakit mendasarinya. b. Gangguan nyeri Pasien dengan gangguan nyeri lebih terfokus pada nyeri yang muncul dibandingkan penyakit yang mendasarinya. c. Kondisi medis non psikiatri Khususnya gangguan yang tampak dengan gejala yang tidak mudah didiagnosis. Penyakit-penyakit tersebut adalah AIDS, endokrinopati, miastenia gravis, skerosis multiple, penyakit degeneratif pada system saraf, lupus eritematosus sistemik, dan gangguan neoplastik yang tidak jelas. d. Gangguan somatoform lainnya Penderita hipokondrial biasanya mencari perhatian untuk anggapan penyakitnya. e. Gangguan depresi dan gangguan kecemasan f. Gangguan buatan dengan gejala fisik berpura-pura yang

K. Penatalaksanaan Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Beberapa bersedia menerima terapi psikiatrik apabila dilakukan pada setting medis dan dengan fokus menurunkan stress serta edukasi untuk menghadapi penyakit kronik. Terapi perilaku-kognitif adalah terapi spesifik terpilih (Abramowitz, 2012). Obat antidepresan, terutama tipe SSRI, dianjurkan oleh beberapa orang ahli untuk semua pasien seperti ini, terutama jika sebagian besar gejala hipokondrial dalam populasi umum disebabkan oleh depresi. Terapi antidepresan tentu saja merupakan pilihan terapi lini kedua jika terapi

perilaku-kognitif gagal atau jika terdapat penyakit penyerta yang bermakna atau gejala-gejala yang berat. Psikoterapi kelompok adalah pendekatan

psikoterapi terpilih meskipun tujuan utama terapi ini biasanya suportif bukan kuratif(Abramowitz, 2012). Secara keseluruhan, gejala pasien yang disebabkan alasan psikologis dan sosial dan tidak adanya intervensi bedah atau medis spesifik yang dapat menyembuhkan keinginan untuk sakit haruslah diingat. Tujuannya adalah agar dapat fokus terhadap pasien secara menyeluruh. Pasien harus dipantau secara teratur dan perhatian harus diberikan pada keadaan sosial dan personal apapun yang dianggap menyebabkan timbulnya keluhan pasien(Abramowitz, 2012). Intervensi medik spesifik sebaiknya dikurangi, misalnya pemeriksaan fisik sederhana. Terapi utama adalah perhatian personal seorang dokter. Prosedur teraputik diagnostik invasif dan rumit sebaiknya hanya dilakukan bila terdapat manfaat nyata penggunaanya, dan kelainan insidental serta temuan bermakna sebaiknya tidak diterapi(Abramowitz, 2012). Manajemen stress bisa difokuskan pada keadaan dimana stress berkontribusi pada kekhawatiran berlebihan terhadap kesehatan. Pasien diminta untuk mengidentifikasikan stressor yang ada dan diajarkan teknik manajemen stress untuk membantu pasien mampu menghadapi stressor yang ada. Teknik yang diajarkan kepada pasien adalah teknik relaksasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Walaupun teknik ini tidak secara langsung difokuskan terhadap terapi hipokondriasis, teknik ini mampu mengurangi gejala yang muncul(Abramowitz, 2012).

L. Prognosis Hipokondriasis biasanya berlangsung episodik dimana setiap episode berlangsung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun dan dipisahkan oleh episode tenang yang sama panjangnya. Prognosis baik berhubungan dengan status sosioekonomi yang tinggi, awal yang tiba-tiba, tidak adanya gangguan kepribadian dan tidak adanya kondisi medis nonpsikiatri yang menyertai (Sadock et al., 2007).

Pasien dengan riwayat psikologi premorbid yang baik yang biasanya hanya pengalami hipokondriasis sementara pada penyakit yang akut atau stress mempunyai prognosis yang baik dan dapat mengalami kesembuhan yang sempurna. Sedangkan bila gejala disebabkan oleh gangguna anxietas menyeluruh atau depresif, prognosis adalah lebih baik (Puriet al., 2011).

10

BAB III KESIMPULAN

Hipokondriasis

adalah

kekhawatiran

berlebihan

bahwa

penderita

mengalami penyakit serius danpreokupasi terhadap tubuhnya yang tidak sebanding dengan penyakit medis sebenarnya, serta yang muncul hampir setiap saat.Pasien dengan hipokondriasis percaya bahwa mereka sedang menderita suatu penyakit yang serius yang belum pernah dideteksi dan tidak dapat menerima penjelasan akan gangguan yang dideritanya. Mereka terus menyimpan keyakinan bahwa mereka memiliki penyakit yang serius.Untuk menegakkan diagnosis pasti, orang dengan hipokondriasis memiliki keyakinan yang menetap sekurangkurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya dan tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhankeluhannya. Terapi untuk hipokondriasis meliputi terapi farmakologi yaitu pemberian anti depresan dan psikoterapi. Prognosis pasien baik apabila status sosioekonomi yang tinggi, awal yang tiba-tiba, tidak adanya gangguan kepribadian dan tidak adanya kondisi medis nonpsikiatri yang menyertai.

11

DAFTAR PUSTAKA

Abramowitz, J. S. 2012. Hypochondriasis: What is it and How do you treat it? Dalam: http://beyondocd.org/expert-perspectives/articles/hypochondriasiswhat-is-it-and-how-do-you-treat-it. Diakses tanggal: 2 November 2012 American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR). 4th Edition. Washington DC:. American Psychiatric Press. Botella, C., dan P. M. Narvaez. 2000. "Cognitive behavioural treatment for hypochondriasis". Dalam: International Handbook of Cognitive and Behavioural Treatments for Psychological Disorders, UK: Pergamon. Ebert, M. H., P. T. Loosen, B. Nurcombe, dan J. F. Leckman. 2008. Hypochondriasis. Dalam: Current Diagnosis & Treatment: Psychiatry. Mc Graw Hill. Kaplan, H.I., Benjamin J. S., dan Jack A. G. 1997. Dalam: Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal: 771-5. Kay, J., A. Tasman. 2006. Chapter 54: Somatoform Disorders, Hypochondriasis. Dalam: Essential of Psychiatry. John Wiley & Sons. Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Cetakan Pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. Halaman 84. Memon, M.A. 2009.Hypochondriasis. http://emedicine.medscape.com/article/290955. November 2012. Diambil dari: Diakses tanggal 1

Puri, B. K., P. J. Laking, dan I. H. Treasaden. 2011. Bab: Gangguan Disosiasi (Konversi) dan Somatoform, Gangguan Hipokondrial. Dalam: Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal 224-7. Pilowsky, Issy. 1997. Abnormal Illness Behavior. Chichester, UK: John Wiley and Sons. Sadock, B. J., dan V. A. Sadock. 2007. Chapter 17: Somatoform Disorder, Hypochondriasis. Dalam: Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry. 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins Publisher. Hal 6423.

12

Xiong, G. L., dan Bienenfeld. 2011. Hypochondriasis. Diambil dari: http://www.emedicine.medscape.com/article/290955-overview#showall. Diakses tanggal : 31 Oktober 2012.

13

Anda mungkin juga menyukai