Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TERAPI MODALITAS KEJANG LISTRIK BAGI


PASIEN GANGGUAN JIWA

Disusun oleh :
Kelompok 1 :
1. Anggi Agustia Ningsih 2126010003
2. Pina Hikmatunazila 2126010007
3. Vina Aprilia 2126010023
4. Fifi Fitriah Ningsi 2126010032
5. Yesi Tri Utami 2126010112
Dosen Pengampu : Ns. Ade Herman Surya Direja, S.Kep., MAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU
TAHUN AJARAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses
penyusunan referat ini dengan judul “ECT (Electroconvulsive Therapy)”.
Penyelesaian referat ini banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari
kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka
sangat diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bengkulu, Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1.DefinisiECT.......................................................................................................3
2.2.Sejarah ECT....................................................................................................... 3
2.3.Mekanisme kerja ECT......................................................................................6
2.4.Indikasi ECT......................................................................................................7
2.5.Kontraindikasi ECT...........................................................................................9
2.6.Prosedur Kerja..................................................................................................10
2.7.Penempatan Elektrode......................................................................................12
2.8.Stimulus listrik dan kejang...............................................................................14
2.9.Obat-obat dalam proses ECT ....................................................................14
2.10. Efek samping.................................................................................................17
BAB III KESIMPULAN........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik
merupakan terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan
psikiatri.Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai
terapi dalam bidang psikiatri. Electro convulsive Therapy (ECT) atau
terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang
efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik
tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak
yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat
terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam
beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi
ini sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von
Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala
skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.
Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang
paling awal adalah: ”Terapi Kejang Listrik” (Electroconvulsive Therapy),
terapi yang lebih awal dari pada psikofarmaka. Sebelum itu penderita
gangguan jiwa, diisolir oleh masyarakat, dipasung, dirantai diceburkan ke
dalam kolam. Phillipe Pinel (1745-1826) mengumpulkan penderita
gangguan jiwa di suatu tempat (Rumah Sakit Salpetriere untuk laki-laki
dan Bicetre untuk wanita) dan membebaskan mereka dari belenggu/rantai
yang mengikat mereka. Pada saat itu masih baru taraf membebaskan dari
belenggu dan mengumpulkan penderita gangguan jiwa, belum mengobati.
Dengan kemajuan zaman dan berkembangannya penelitian-penilitian yang
canggih, khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa, maka ditemukan obat
untuk penderita gangguan jiwa. Walaupun sekarang sudah ditemukan
berbagai macam obat psikofarmaka/obat untuk penderita gangguan jiwa,
tetapi tidak semua obat psikofarmaka dapat mengobati semua penderita
gangguan jiwa. Terapi Kejang Listrik masih diperlukan dalam kasus-
kasus tertentu yang resisten terhadap obat psikotropik/psikofarmaka yang
ada. Walaupun obat-obat psikotropik sekarang sudah berkembang seperti
obat psikotropik baru yang digolongkan dalam bentuk, atipikal. Untuk
golongan obat chlorpromazine dan haloperidol, disebut golongan tipikal.
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak.
Indikasi utamanya adalah :
1. Gangguan/ episode depresif mayor
2. Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset
pascapartum)
3. Mania
4. Skizofrenia katatonik
5. Gangguan skizoafektif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis
terapi fisik yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa
kasus gangguan psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat.
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk
gangguan psikiatri dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati
otak pasien yang berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan
alat khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang aman dan
efektif untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan
gangguan mental serius lainnya.
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang
dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan
relaksasi otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan
suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala
pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2
menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan
pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.

B. Sejarah Perkembangan ETC


Pada 1934 pengobatan yang menggunakan bangkitan kejang,
diperkenalkan dan ditulis di London Medical pengidap skizofrenia dan
penderita epilepsi yang disertai gangguan jiwa. Bila serangan epilepsi
datang maka gangguan jiwanya membaik. Berdasarkan pengamatannya ini
maka ia mendapat inspirasi pada penderita skizofenia dibuat kejang untuk
menghilang gejala-gejala gangguan jiwanya. Pada mulanya Lasdislas J.
Meduna menggunakan kamper dan kemudian digunakan metrazol
(cardiazol). Selama 3 tahun metrazol digunakan untuk membangkitkan
kejang dan dipergunakan secara luas keseluruh dunia pada saat itu. Pada
tahun 1937 diadakan pertemuan internasional terapi kejang di Swiss oleh
Muller seorang psikiater, kemudian diterbitkan cara kerjanya di American
Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun, cardiazol sebagai terapi kejang
yang sudah dipakai secara luas dan mendunia. Ugo Cerletti, seorang
profesor neuropsikiatri, yang berkebangsaan Itali, juga mengembangkan
terapi kejang yang menggunakan listrik dengan uji coba pada binatang.
Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai ide, bahwa untuk menimbulkan
kejang dipakai listrik untuk menggantikan metrazol. Tahun 1937
percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland dan kemudian
baru pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang
menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari
hasil pada orang yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik
tersebut.
Terapi kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi
pada pengobatan medis modern pada saat itu. ECT segera menggantikan
metrazol dan berkembang seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu :
1. lebih murah
2. kurang menakutkan
3. lebih cepat kerjanya.
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini
dibatalkan, sebab pada tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris
dan Amerika serikat. Selama tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan
terapi kejang listrik meluas.
Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan
dan kebingungan setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara
modifikasi dari ECT tersebut, yaitu:
1. Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi
pelipis/temporal yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala
(verteks); untuk yang kidal temporal kanan dan verteks.
2. Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang
dipakai pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus
transfersal. Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal.

Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara


unilateral dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958,
melakukan unilateral dengan menempatkan pada hemisfer non dominan
untuk mengurangi efek samping kebinggungan dan gangguan daya ingat
sesudah ECT dan hasilnya sama efektif dengan bilateral. Setelah beberapa
tahun alat yang memakai arus kejut listrik yang searah berkembang secara
luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang unilateral tidak begitu populer
bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang memuaskan.

Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui,
tidak pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan
kejang yang maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi
tulang panjang. Pada tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan
penelitihan eksprimental dengan menggunakan curare, disebut racun dari
Amerika Selatan yang dapat membuat otot jadi paralise untuk mengurangi
akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT tersebut. Kemudian
diperkenalkan “suxamethonium” (succinylcholine) zat yang sinthetis
penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan secara
luas untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesi
ringan biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan
menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat
antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT dimedia masa,
ditandai dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode tahun 1950
sampai 1970. Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan
negatif terhadap ECT dari film yang berjudul “For Big Nurse in One Flew
Over the Cuckoo’s nest”. Ini adalah alat untuk menteror pikiran
masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung citranya oleh novel Ken
Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia bila
penggunaan yang berlebihan.

Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric


Association(APA) bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya
diikuti laporan dalam tahun 1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972
dan Taylor tahun 1973 membuktikan bahwa metode unilateral tidak se-
efektif dengan cara bilateral dalam hasil terapeutiknya, maka dengan ini
sampai sekarang dilakukan secara bilateral.

Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya


dengan menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat
mengurangi efek samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa
klinik di AS masih menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya
mulai tahun 1980 penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk
depresi berat meningkat, karena pemakai obat antidepresi harganya lebih
mahal dari pada menggunakan ECT. Pada 1985, National Institute of
Mental Health dan National Institutes of Health menetapkan bahwa ECT
adalah masih kontroversi pada pengobatan psikiatri karena ada efek
samping yang signifikan dan dapat dibuktikan bahwa masih efektif pada
kasus gangguan psikiatri yang berat. National Institute of Mental Health
menetapkan aturan dari pengobatan yang menggunakan ECT. Namun baru
pada tahun 1990.

American Psychiatric Association, mengeluarkan pernyataan yang


kedua, yang lebih spesifik dan mendetail pada persalinan, pendidikan dan
pelatihan ECT yang didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001, APA ,
mengeluarkan pernyataan bahwa ECT masuk pada pengobatan modern
yang prosedurnya mengharuskan menanda tangani informed consent.

C. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama
perjalanan ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan
neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan
oxytocin, dan perubahan ambang kejang.
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT
adalah dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi
emisi positron (PET; Positron Emission Tomography) mempelajari aliran
darah serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian
tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral,
pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak
adalah meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa
menurun, kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan metabolisme serebral
adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada
epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT
sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai
dengan peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut.
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah
memusatkan perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan,
sekarang ini, perubahan sistem pembawa pesan kedua (second-messenger).
Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi,
urutan sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β
pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi
antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik masih merupakan
daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah
menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada
perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik
pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal
muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua,
ECT telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan
reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi
masuknya kalsium ke dalam neuron.
D. Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah
gangguan depresif berat atau ganggaun depresi mayor.
ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal
dalam uji coba medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik,
mencoba bunuh diri atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki
gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa
ECT menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama
dengan terapi standar dengan obat antidepressan.
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan
bipolar. Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup
responsif terhadap ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan
bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif
terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun,
karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon
buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti
gejala parah yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari,
variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan berat badan, dan agitasi,
diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT.
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul
dibandingkan lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data
menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih
efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik.
Tetapi, terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif
dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT
untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood
ditambah obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania
parah terkait dengan:
a. kelelahan fisik yang mengancam jiwa.
b. resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi
pengobatan pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak
efektif atau tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT,
yang relevan.

3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut
dan tidak untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan
gejala afektif dianggap paling besar kemungkinannya berespons
terhadap ECT.
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat :
a. Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
b. Katatonia.
c. Riwayat ECT dengan hasil yang baik.

Indikasi lain
Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam
pengobatan katatonia, gejala terkait dengan gangguan mood,
schizophrenia, dan gangguan medis dan neurologis. ECT berguna untuk
mengobati episode psikotik, psikosis atypikal, gangguan obesif-kompulsif,
dan delirium dan kondisi medis seperti gangguan neuroleptic ganas,
hypopituitarism, gangguan kejang dan pada penyakit Parkinson. ECT juga
dapat menjadi terapi pilihan untuk depresi bunuh diri wanita hamil yang
memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat untuk geriatri dan sakit
medis pasien yang tidak bisa menggunakan obat antidepresan aman dan
bahkan untuk dan anak-anak dan remaja yang bunuh diri mungkin kurang
respon untuk antidepresan daripada orang dewasa. ECT tidak efektif
dalam gangguan somatisa, gangguan personaliti, dan gangguan
kecemasan.

E. Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana
seorang pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan
kebutuhan pemantauan ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi
untuk ECT, dan pemantauan janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali
kehamilan risiko tinggi atau rumit. Pasien dengan lesi sistem saraf pusat
berada pada peningkatan risiko untuk edema dan herniasi otak setelah
ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan dexamethasone (Decadron)
diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang dan risiko
komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang mengalami
peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak
(misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma)
berada pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak
selama kejang. Risiko ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan,
oleh kontrol tekanan darah pasien selama perawatan. Pasien dengan infark
miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain, meskipun risikonya sangat
berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih jauh berkurang 3
bulan setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi harus distabilkan pada
obat antihipertensi mereka sebelum ECT diberikan. Propranolol (Inderal)
dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan untuk melindungi pasien
tersebut selama pengobatan.
F. Prosedur Kerja
Informed Consent
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh
karena itu, dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan
dan pendekatan pengobatan alternatif. Proses informed consent harus
didokumentasikan dalam catatan medis pasien dan harus mencakup
diskusi tentang gangguan dan pilihan untuk tidak menerima pengobatan.
Literatur cetak dan rekaman video tentang ECT mungkin berguna untuk
mendapatkan persetujuan. Penggunaan paksa ECT harus disediakan untuk
pasien yang sangat membutuhkan pengobatan dan yang memiliki wali
hukum yang ditunjuk yang telah setuju untuk penggunaannya. Dokter
harus tahu undang-undang federal tentang penggunaan ECT.

Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat
meliputi :1,4
1. Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan
otak)
2. Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
3. Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi
4. Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
5. Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.

Persiapan Alat :
1. Mesin ECT lengkap
2. Kasa basah untuk pelapis electrode.
3. Tabung dan masker oksigen.
4. Penghisap lender.
5. Obat-obat : coramine, adrenalin.
6. Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit.
7. Tempat tidur datar dengan alas papan.

Pelaksanaan :
1. Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
2. Bantalan gigi dipasang
3. Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
4. Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang
ditempelkan dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti
kejang klonik dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat
sebelum akhirnya bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat

penting diperhatikan tidak boleh terlalu lama.

Gambar 2.6-1 ECT

Pengawasan pasca ECT :


1. Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum
sadar penuh..
2. Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur.
Kadang-kadang dapat juga pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak
menentu seperti delirium. Pada fase ini sangat perlu diawasi sampai
kesadaran pulih kembali.
3. Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi
bahkan amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak
berkomunikasi, membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara
bertahap. Berikan suasana tenang dan nyaman.

G. Penempatan Elektrode
ECT Bilateral
Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada
Gambar 2.7-1 (A). Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik
tengah dari garis antara sudut lateral mata dan meatus auditori eksternal.
Satu elektroda diletakkan untuk setiap sisi kepala, dan posisi ini disebut
sebagai ECT temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT frontotemporal.)
Ini merupakan posisi yang direkomendasikan untuk elektroda ECT
bilateral karena ini telah menjadi posisi standar dan tidak dapat
diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi untuk
posisi lainnya di ECT bilateral . Ada eksperimen lain untuk posisi
elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal, di mana jarak elektroda
hanya sekitar 5 cm (2 inci) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas
jembatan hidung. Sebuah modifikasi lebih baru di mana elektroda
diterapkan lebih lanjut selain telah diteliti karena para peneliti
menyarankan bahwa berkhasiat sebagai ECT bilateral tradisional, tetapi
dengan risiko yang lebih rendah dari efek samping kognitif. Inggris ECT
Review Group (2003) tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara
ECT tradisional dan ECT bilateral baik dalam kemanjuran klinis atau efek
samping kognitif.
Gambar 2.7-1 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental/elia’s
positioning (B)

ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama
seperti dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas
permukaan parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal
tidak penting, tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda
untuk mengurangi arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur
elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala.
ECT unilateral biasanya diaplikasikan di atas belahan non-dominan, yang
merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan orang . Ini adalah posisi yang
dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah menjadi standar, dan
tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat
diekstrapolasi untuk posisi lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih
sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan
sendirian. Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada
gambar 2.7-1 (B). Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala
temporoparietal atau d'ient's head. ECT unilateral dapat lebih efektif bila
dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim klinik ECT. Beberapa
dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk mengaktifkan ke sisi
kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota staf anestesi
sangat penting untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.

H. Stimulus Listrik dan Kejang


Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang
(tingkat intensitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejang). Stimulus
listrik diberikan dalam siklus, dan setiap siklus berisi gelombang positif
dan gelombang negatif. Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi
diantara pasien dan kemungkinan sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah
untuk mencapai kejang anatar 25-60 detik dengan menggunakan jumlah
energi listrik terkecil. Sejumlah peralatan ECT memungkinkan penentuan
energi stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus dipertahankan serendah
mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering menunjukkan
bahwa stimulus adalah ambang supra dan harus dikurangi pada saat
pengobatan berikutnya.
Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan
stimulasi berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang
yang berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi.
Jika hal ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas
stimulus harus ditingkatkan, dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika
stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat
pengobatan harus diakhiri.
Karena keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi
setelah kejang, maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik
sebelum mengulangi stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi
dengan oksigen.

I. Obat-obatan dalam proses ECT


Antikolinergik Muskarinik
Obat antikolinergik muskarinik diberikan sebelum ECT untuk
meminimalkan sekresi oral dan pernapasan dan untuk memblokir
bradycardi dan asistole,kecuali denyut jantung istirahat di atas 90 per
menit.Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi
atau asistol karena parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari
stimulasi vagal karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus
ECT tanpa bergantung besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan
bradikardi atau asistol transien. Jika aliran listrik mendekati atau melebihi
ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai stimulasi
simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini mengimbangi efek stimulasi
vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi
subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus
menjadi besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak ada.

Indikasi
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi
dosis, terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker.
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya
adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg
iv atau 0,3-0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im).
Atropine memiliki potensi lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak
melintasi blood brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efek
antisialagogue.

Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien
tidak menyadari adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama
kelumpuhan otot dan perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang
mungkin mengiringi permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang.
Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum yang ringan dan sangat
singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat menyebabkan ketidaksadaran
pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek antikonvulsan,
meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan
amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk
ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik,
tanpa properti antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan
tidak mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua karakter tersebut.
Namun, methohexital memenuhi banyak kriteria yang telah disebutkan di
atas, thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil
digunakan pada terapi ECT.
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada
sistem muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas.
Prinsipnya adalah menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis
penuh tidak dibutuhkan ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan
apneu yang memanjang. Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan
motor kejang harus diobservasi dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya
memfasilitasi oksigenasi, namun juga menurunkan penggunaan oksigen
oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan
muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan resiko fraktur tulang
patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus ditentukan
sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes reduksi
refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk
aritmia, peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena
suksinilkolin telah dikaitkan dengan hipertermi malignan dan
hiperkalemia, telah dikembangkan muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis
untuk agen ini harus ditentukan berdasarkan klinis dan individual.
Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1 mg/kg. atracurirum 0,3-0,5
mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6 mg/kg, dan
rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini
menghasilkan paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi
kerja obat harus dimonitor oleh stimulator saraf.

J. Efek Samping ECT


Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per
pengobatan dan 0,01 % untuk setiap pasien. Angka-angka ini
menguntungkan dibandingkan dengan risiko yang terkait dengan anestesi
umum dan persalinan. Kematian akibat ECT biasanya karena komplikasi
kardiovaskular.

Efek terhadap Sistem Saraf Pusat


Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala,
kebingungan, dan delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat
terjadi hingga 10 persen dari pasien dalam waktu 30 menit dari kejang dan
dapat diobati dengan barbiturat dan benzodiazepin. Delirium biasanya
paling menonjol setelah beberapa perawatan pertama pada pasien yang
menerima ECT bilateral atau yang mengidap gangguan neurologis.
Delirium yang khas terjadi dalam beberapa hari atau paling beberapa
minggu.

Memory
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara
ECT dan kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang
diberikan ECT mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping
yang terburuk. Meskipun gangguan memori selama pengobatan , tindak
lanjut data menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang kembali ke
baseline kognitif mereka setelah 6 bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun,
mengeluh kesulitan memori . Contohnya, pasien mungkin tidak ingat
peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan
otobiografi tersebut mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat kerusakan
kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke
dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama
pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien
yang telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan
memori, yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan
otak yang disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari
beberapa studi pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir
semua menyimpulkan bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk
dari ECT. Ahli saraf dan epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang
yang berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan kerusakan
saraf permanen.

Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi


Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan
penggunaan rutin relaksan otot, patah tulang dari tulang panjang atau
vertebra seharusnya tidak terjadi. Beberapa pasien, bisa terjadi pecah gigi
atau mengalami sakit punggung karena kontraksi selama prosedur. Nyeri
otot dapat terjadi pada beberapa individu, tetapi sering terjadi karena efek
depolarisasi otot dengan suksinilkolin . Nyeri ini dapat diobati dengan
analgesik ringan, termasuk obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID).
Sebuah minoritas yang signifikan dari pasien mengalami mual, muntah,
dan sakit kepala setelah pengobatan ECT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan terapi
yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri.Electroconvulsive Therapy
(ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang
efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuropsikiatrik tertentu yang berat.
ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum
sistem saraf pusat.
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak. Indikasi
utamanya adalah.
1. Gangguan/episode depresif mayor

2. Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset pasca

partum)
3. Mania

4. Skizofrenia katatonik

5. Gangguan skizoafektif
Psikiater akan memberitahu pasien tentang manfaat yang diharapkan dari ECT. Ini
bervariasi tergantung pada sifat dan keseriusan penyakit pasien, tetapi ECT umumnya
akan meningkatkan kemampuan pasien untuk berpikir dan mengembalikan emosi
pasien ke keadaan sehat. Semua perawatan memiliki efek dan bahkan memiliki risiko.
Risiko dan efek samping ECT termasuk :
1. Pasien mungkin memiliki beberapa efek samping dari obat bius, seperti sakit
kepala, mual, muntah.
2. Pasien mungkin mendapatkan nyeri otot akibat relaksan otot atau aktivitas otot
yang disebabkan oleh kejang.
3. Terganggunya memory jangka pendek dan memory jangka panjang.
4. Ada risiko kurang umum dari komplikasi medis, seperti denyut jantung yang tidak
teratur. Mungkin ada kenaikan sementara tekanan darah dan denyut jantung yang
diikuti dengan melambatnya denyut jantung.

B. Saran
Diharapkan kepada mahasiswa dapat memahami materi Terapi Kejang Listrik (Terapi
Modalitas Bagi Pasien Gangguan Jiwa)
DAFTAR PUSTAKA

Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia: Wolters Kluwer,
2015: 982 – 8
Yongki. Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai Terapi Alternatif Medis Pada
Pasien Psikotik(2012).317:22-7
Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri (Textbook of Psychiatry) Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012;43 –4
Elvira SD, Hadisukanto G. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang Psikiatri. Buku Ajar
Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2013;387 – 8.
Mental Health, Drugs And Division Regions. Electroconvulsive Therapy About You Rights.
Victoria: Department of Health, 2012. Diakses dari https://www2.health.vic.gov.au/.pdf, pada
tanggal 28 Desember 2015.
Anderson I, Barnes R, Benbow S, Duffet R, Easton A, et all. The Place of ECT in Contemporary
Psychiatric Practice. London: The Royal Collage of Pschyatrists, 2004:3-8
Scott A. Practical administration of ECT. London: The Royal Collage of Pschyatrists, 2004:144-
158.

Anda mungkin juga menyukai