Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

ECT ( Electroconvulsive Therapy)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Jiwa


Dosen Pengampu : Ririn Nasriati, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun oleh Kelompok 1/ 3A :


1. Satrio Mowo P (17613000)
2. Yunda Intan W.P (17613119)
3. Ajeng Kusuma (17612988)
4. Lana Fauziah (17613030)
5. Indri Trismawati (17613014)
6. Krismonita Diana P (17613024)
7. Yuyun Widiyati (17612991)
8. Anissa Nur I (17613035)
9. Wida Giar (16612805)
10. Intan Cahya (17612992)
11. Ferdian Dwi (17613022)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini tentang “ECT ( Electroconvulsive Therapy)” untuk

memenuhi tugas Keperawatan Jiwa.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam rangka penulisan


makalah ini tidak akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan banyak bimbingan, arahan,
motivasi kepada penulis. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ririn Nasriati, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Jiwa Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
2. Teman-teman Prodi D3 Keperawatan IIIA Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Ponorogo atas kerja sama dan motivasinya.
3. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan
dalam penyelesaian makalah ini.

Akhir kata kami harap makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembacanya dan dapat bermanfaat pula.

Ponorogo, 13 November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

JUDUL. .......................................................................................

KATA PENGANTAR. ............................................................... i

DAFTAR ISI. .............................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN. ......................................................... 1

1.1 Latar Belakang. ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah. ................................................................ 2

1.3 Tujuan. .................................................................................. 3

1.4 Manfaat. ................................................................................ 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ................................................ 4

2.1 Definisi. ................................................................................. 4

2.2 Tujuan. .................................................................................. 4

2.3 Indikasi. ................................................................................. 5

2.4 Kontraindikasi. ...................................................................... 7

2.5 Mekanisme Kerja. ................................................................. 8

BAB 3 PENUTUP. ..................................................................... 10

3.1 Kesimpulan. .......................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA. ................................................................ 11


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan

terapi yang termasuk penatalaksanaandalam gangguan psikiatri.Electroconvulsive

Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai terapi dalam bidang psikiatri. Electro

convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non

farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan

neuro psikiatrik tertentu yang berat.ECT menggunakan arus listrik singkat melalui

otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat.Respons ECT dapat

terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa

minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai

pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang

berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan

secara farmakologis.

Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang paling awal

adalah: ”Terapi Kejang Listrik” (Electroconvulsive Therapy), terapi yang lebih

awal dari pada psikofarmaka. Sebelum itu penderita gangguan jiwa, diisolir oleh

masyarakat, dipasung, dirantai diceburkan ke dalam kolam. Phillipe Pinel (1745-

1826) mengumpulkan penderita gangguan jiwa di suatu tempat (Rumah Sakit

Salpetriere untuk laki-laki dan Bicetre untuk wanita) dan membebaskan mereka

dari belenggu/rantai yang mengikat mereka. Pada saat itu masih baru taraf

membebaskan dari belenggu dan mengumpulkan penderita gangguan jiwa, belum

mengobati.Dengan kemajuan zaman dan berkembangannya penelitian-penilitian


yang canggih, khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa, maka ditemukan obat

untuk penderita gangguan jiwa. Walaupun sekarang sudah ditemukan berbagai

macam obat psikofarmaka/obat untuk penderita gangguan jiwa, tetapi tidak semua

obat psikofarmaka dapat mengobati semua penderita gangguan jiwa. Terapi

Kejang Listrik masih diperlukan dalam kasus- kasus tertentu yang resisten

terhadap obat psikotropik/psikofarmaka yang ada. Walaupun obat-obat

psikotropik sekarang sudah berkembang seperti obat psikotropik baru yang

digolongkan dalam bentuk, atipikal. Untuk golongan obat chlorpromazine dan

haloperidol, disebut golongan tipikal.

ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak.

Indikasi utamanya adalah :

- Gangguan/ episode depresif mayor

- Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset pascapartum)

- Mania

- Skizofrenia katatonik

- Gangguan skizoafektif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari ECT (Electroconvulsive Therapy)?

2. Apa tujuan ECT (Electroconvulsive Therapy)?

3. Apa indikasi ECT (Electroconvulsive Therapy)?

4. Apa kontraindikasi ECT (Electroconvulsive Therapy)?

5. Bagaimana mekanisme kerja ECT (Electroconvulsive Therapy)?


1.3 Tujuan

1. Menjelaskan definisi ECT (Electroconvulsive Therapy)

2. Menjelaskan tujuan ECT (Electroconvulsive Therapy)

3. Menjelaskan indikasi ECT (Electroconvulsive Therapy)

4.Menjelaskan Kontraindikasi ECT (Electroconvulsive Therapy)

5. Menjelaskan mekanisme kerja ECT (Electroconvulsive Therapy)

1.4 Manfaat

Dengan di tulisnya makalah ini diharapkan pembaca mampu memahami

tentang ECT ( Electroconvulsive Therapy)

1. Bagi mahasiswa

Makalah ini mampu memberikan informasi dan referensi, selain itu

mampu memberikan pengetahuan mengenai teori pengembangan diri.

tentang ECT ( Electroconvulsive Therapy)

2. Bagi dosen

Makalah ini dapat dijadikan referensi dalam mengajar mahasiswa.

3. Bagi masyarakat

Makalah ini sebagai sumber pengetahuan bagi masyarakat secara umum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi

fisik yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus

gangguan psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat.

ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk

gangguan psikiatri dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak

pasien yang berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat

khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif

untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan

mental serius lainnya.

Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang

dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi

otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu

rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien.

Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena

penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut

terangsang dan tidak merasa nyeri.

2.2 Tujuan

Tujuan Electroconvulsive Therapy (ECT):

1. Mengembalikan fungsi mental pasien

2. Meningkatkan ADL klien secara periodik


2.3 Indikasi

1. Gangguan Depresi Mayor

Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah

gangguan depresif berat atau ganggaun depresi mayor. ECT harus

dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal dalam uji coba

medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik, mencoba bunuh diri

atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki gejala agitasi atau stupor

yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan sekurangnya

derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi standar dengan obat

antidepressan.

ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan

bipolar. Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup

responsif terhadap ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan bahwa

episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap

ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun, karena episode

depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon buruk terhadap

farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering dipertimbangkan

sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-gangguan

depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang jelas,

retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu

makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon

terhadap ECT.

2. Mania

ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul


dibandingkan lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data

menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih

efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik. Tetapi,

terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif dalam

jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi

episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi

spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.

Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood

ditambah obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania

parah terkait dengan:

a. Kelelahan fisik yang mengancam jiwa

b. Resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan

pilihan).

Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak efektif

atau tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang

relevan.

3. Skizofrenia

ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut

dan tidak untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala

afektif dianggap paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.1

Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:

a. Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.

b. Katatonia

c. Riwayat ECT dengan hasil yang baik.


2.4 Kontraindikasi

ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana

seorang pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan

pemantauan ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT,

dan pemantauan janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan

risiko tinggi atau rumit. Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada

peningkatan risiko untuk edema dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil,

pengobatan pra dengan dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi

dikendalikan selama kejang dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk

pasien ini. Pasien yang mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau

berisiko untuk perdarahan otak (misalnya, orang-orang dengan penyakit

serebrovaskular dan aneurisma) berada pada risiko selama ECT karena

peningkatan sawar darah otak selama kejang. Risiko ini dapat dikurangi,

meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan darah pasien selama

perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi

lain, meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark miokard

dan lebih jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi

harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT diberikan.

Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan untuk

melindungi pasien tersebut selama pengobatan.

2.5 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama

perjalanan ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan


neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan

oxytocin, dan perubahan ambang kejang.

Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah

dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi

positron (PET; Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah

serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut

telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral, pemakaian

glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat.

Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan

paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa

derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons

terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama

periode interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena

pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat terapi

berlanjut.

Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah

memusatkan perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan,

sekarang ini, perubahan sistem pembawa pesan kedua (second-messenger).

Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan

sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik,

reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi antidepressan. Efek

ECT pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang

kontroversial. Berbagai penelitian telah menemukan suatu peningkatan

reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron serotonin,


dan perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah

dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik, kolinergik, dan

dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah dilaporkan

mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl

cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam

neuron.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan

terapi yang termasuk penatalaksanaandalam gangguan psikiatri.Electroconvulsive

Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi

penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuropsikiatrik

tertentu yang berat.ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang

menginduksi kejang umum sistem saraf pusat.

ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak.

Indikasi utamanya adalah:

a. Gangguan/episode depresif mayor

b. Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset pasca

partum)

c. Mania

d. Skizofrenia katatonik

e. Gangguan skizoafektif

13
DAFTAR PUSTAKA

Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia: Wolters


Kluwer, 2015: 982 – 8

Yongki.Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai


Terapi Alternatif Medis Pada Pasien Psikotik(2012).317:22-7

Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri (Textbook of Psychiatry)
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012;43 –4

Elvira SD, Hadisukanto G. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang Psikiatri.


Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia, 2013;387 – 8.

Mental Health, Drugs And Division Regions. Electroconvulsive Therapy About


You Rights. Victoria: Department of Health, 2012. Diakses dari
https://www2.health.vic.gov.au/.pdf, pada tanggal 28 Desember 2015.

Anderson I, Barnes R, Benbow S, Duffet R, Easton A, et all.The Place of ECT in


Contemporary Psychiatric Practice.London:The Royal Collage of
Pschyatrists,2014:3-8

Scott A.Practical administration of ECT.London: The Royal Collage of


Pschyatrists,2014:144-158.

14

Anda mungkin juga menyukai