Anda di halaman 1dari 36

Daftar Isi

Daftar Isi ....................................................................................................... 1


1. ECT ............................................................................................................ 3
1.1 Sejarah Perkembangan ECT .................................................................... 3
1.2 Mekanisme Kerja ..................................................................................... 4
1.2.1 Indikasi .................................................................................................. 7
1.2.2 Indikasi Lain.......................................................................................... 9
1.2.3 Kontra Indikasi ...................................................................................... 10
1.3 Prosedur kerja........................................................................................... 10
1.3.1 Informed Consent .................................................................................. 10
1.3.2 Persiapan Pasien .................................................................................... 11
1.3.3 Persiapan Alat ....................................................................................... 11
1.3.4 Pelaksanaan ........................................................................................... 11
1.3.5 Pengawasan Pasca ECT ........................................................................ 12
1.3.6 Penempatan electrode............................................................................ 13
1.3.6.1 ECT Bilateral ..................................................................................... 13
1.3.6.2 ECT Unilateral ................................................................................... 14
1.3.7 Stimulus Listrik dan Kejang ................................................................. 14
1.4 Obat-obatan dalam proses ECT ............................................................... 15
1.4.1 Antikolinergik Muskarinik .................................................................... 15
1.4.2 Anesthesia ............................................................................................. 16
1.4.3 Muscle Relaxant .................................................................................... 17
1.5 Efek Samping ECT .................................................................................. 17
1.5.1 Kematian ............................................................................................... 18
1.5.2 Efek terhadap Sistem Saraf Pusat ......................................................... 18
1.5.3 Memori .................................................................................................. 18
1.5.4 Efek Samping Lain dari Electroconvulsive Terapi ............................... 19

1
2. Terapi Okupasi ........................................................................................... 19
2.1 Pengertian Terapi Okupasi ....................................................................... 19
2.2 Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi ................................................ 22
2.3 Perbedaan Terapi Okipasi dan Rehabilitasi Medis .................................. 23
2.4 Tujuan Terapi Okupasi............................................................................. 24
2.5 Peranan Terapi Okupasi / Pekerjaan dalam pengobata ............................ 25
2.5.1 Jenis Aktivitas dalam Terapi Okupasi................................................... 26
2.5.2 Karakteristik aktivitas ........................................................................... 27
2.5.3 Analisis Aktivitas .................................................................................. 28
2.6 Indikasi Terapi Okupasi ........................................................................... 30
2.7 Proses Terapi Okupasi ............................................................................. 31
2.8 Pelaksanaan .............................................................................................. 33
3. Obat Antipsikotik Dalam Kehamilan ......................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 36

2
TINJAUAN PUSTAKA

1. ECT

Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik yang
merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan psikiatri.
Indikasi utama adalah depresi berat. (Elvira & Hadisukanto, 2013)
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan
psikiatri dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada
dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive
(ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan gangguan depresi
berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya. (Sadock, et al., 2015)
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang dilakukan
oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya
telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan
electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang
di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan
pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.

1.1 Sejarah Perkembangan ECT

Pada 1934 pengobatan yang menggunakan bangkitan kejang, diperkenalkan


dan ditulis di London Medical pengidap skizofrenia dan penderita epilepsi yang disertai
gangguan jiwa. Bila serangan epilepsi datang maka gangguan jiwanya membaik.
Berdasarkan pengamatannya ini maka ia mendapat inspirasi pada penderita skizofenia
dibuat kejang untuk menghilang gejala-gejala gangguan jiwanya. Pada mulanya
Lasdislas J. Meduna menggunakan kamper dan kemudian digunakan metrazol
(cardiazol). Selama 3 tahun metrazol digunakan untuk membangkitkan kejang dan
dipergunakan secara luas keseluruh dunia pada saat itu. Pada tahun 1937 diadakan

3
pertemuan internasional terapi kejang di Swiss oleh Muller seorang psikiater,
kemudian diterbitkan cara kerjanya di American Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun,
cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah dipakai secara luas dan mendunia. Ugo
Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri, yang berkebangsaan Itali, juga
mengembangkan terapi kejang yang menggunakan listrik dengan uji coba pada
binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai ide, bahwa untuk menimbulkan
kejang dipakai listrik untuk menggantikan metrazol. Tahun 1937 percobaan pertama
pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland dan kemudian baru pada tahun 1970, ia
ditetapkan sebagai orang pertama yang menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat
uraian gambaran deskripsi dari hasil pada orang yang pertama yang menjalani terapi
kejang listrik tersebut. (Yongki, 2012)
Terapi kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi pada
pengobatan medis modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol dan
berkembang seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu:

(1) lebih murah

(2) kurang menakutkan

(3) lebih cepat kerjanya.

Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan, sebab
pada tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika serikat. Selama
tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik meluas.

Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan dan


kebingungan setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara modifikasi dari ECT
tersebut, yaitu:

(1) Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi pelipis/temporal yang
dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala (verteks); untuk yang kidal temporal
kanan dan verteks.

4
(2) Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang dipakai pada
pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus transfersal. Aliran arus dibuat
searah yang sinusoidal.

Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara unilateral


dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan unilateral dengan
menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek samping
kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama efektif dengan
bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut listrik yang searah
berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang unilateral tidak begitu
populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang memuaskan.

Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak pernah
dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang maksimal, yang
mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada tahun 1940 para
psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan menggunakan curare,
disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat otot jadi paralise untuk
mengurangi akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT tersebut. Kemudian
diperkenalkan “suxamethonium” (succinylcholine) zat yang sinthetis penggunaannya
lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan secara luas untuk memodifikasi
penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesi ringan biasanya berguna untuk
menghindari rasa takut pada pasien dan menghindari tercekik/tersumbatnya
pernafasan. Setelah ditemukan obat antidepresi yang dapat menangkal efek negatif
ECT dimedia masa, ditandai dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode
tahun 1950 sampai 1970. Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan
negatif terhadap ECT dari film yang berjudul “For Big Nurse in One Flew Over the
Cuckoo’s nest”. Ini adalah alat untuk menteror pikiran masyarakat tentang ECT dan
hal ini didukung citranya oleh novel Ken Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya
pada manusia bila penggunaan yang berlebihan.

5
Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric Association(APA)
bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan dalam tahun
1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972 dan Taylor tahun 1973 membuktikan
bahwa metode unilateral tidak se-efektif dengan cara bilateral dalam hasil
terapeutiknya, maka dengan ini sampai sekarang dilakukan secara bilateral.

Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya dengan


menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat mengurangi efek
samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di AS masih menggunakan
arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun 1980 penggunaan ECT berkurang,
tetapi penggunaan untuk depresi berat meningkat, karena pemakai obat antidepresi
harganya lebih mahal dari pada menggunakan ECT. Pada 1985, National Institute of
Mental Health dan National Institutes of Health menetapkan bahwa ECT adalah masih
kontroversi pada pengobatan psikiatri karena ada efek samping yang signifikan dan
dapat dibuktikan bahwa masih efektif pada kasus gangguan psikiatri yang berat.
National Institute of Mental Health menetapkan aturan dari pengobatan yang
menggunakan ECT. Namun baru pada tahun 1990

American Psychiatric Association, mengeluarkan pernyataan yang kedua, yang


lebih spesifik dan mendetail pada persalinan, pendidikan dan pelatihan ECT yang
didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001, APA , mengeluarkan pernyataan bahwa
ECT masuk pada pengobatan modern yang prosedurnya mengharuskan menanda
tangani informed consent.

1.2 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama perjalanan


ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan neurotransmitter
pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan oxytocin, dan perubahan
ambang kejang. (Puri, et al., 2012)

6
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan
mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET; Positron
Emission Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa
telah dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran
darah serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak
adalah meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun,
kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons
terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode
interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai
dengan peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut. (Sadock, et al., 2015)
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan
sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem
neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan
regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat
pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik masih
merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah menemukan
suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron
serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah
dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik.
Pada sistem pembawa kedua, ECT telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan
protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi
masuknya kalsium ke dalam neuron. (Sadock, et al., 2015)

1.2.1 Indikasi

1. Gangguan Depresi Mayor


Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan depresif

7
berat atau ganggaun depresi mayor. (Sadock, et al., 2015) (Puri, et al., 2012) (Elvira &
Hadisukanto, 2013)
ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal dalam uji coba
medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik, mencoba bunuh diri atau
membunuh dengan mendadak, atau memiliki gejala agitasi atau stupor yang jelas.
Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis
yang sama dengan terapi standar dengan obat antidepressan. (Sadock, et al., 2015)
(Anderson, et al., 2004)
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi
delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi
penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik
tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik.
Namun, karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon buruk
terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering dipertimbangkan sebagai
terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri
melankolik (seperti gejala parah yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari,
variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih
mungkin berespon terhadap ECT. (Sadock, et al., 2015)

2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium
dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa pemasangan
elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi
episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif
dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi
episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi spesifik untuk
semua pendekatan farmakologis (Sadock, et al., 2015).
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah obat
antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:

8
• kelelahan fisik yang mengancam jiwa
• resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan
pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak efektif atau
tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang relevan (Anderson, et
al., 2004).

3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak
untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap
paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT (Sadock, et al., 2015).
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
 Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
 Katatonia
 Riwayat ECT dengan hasil yang baik.

1.2.2 Indikasi lain

Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan katatonia,


gejala terkait dengan gangguan mood, schizophrenia, dan gangguan medis dan
neurologis. ECT berguna untuk mengobati episode psikotik, psikosis atypikal,
gangguan obesif-kompulsif, dan delirium dan kondisi medis seperti gangguan
neuroleptic ganas, hypopituitarism, gangguan kejang dan pada penyakit Parkinson.
ECT juga dapat menjadi terapi pilihan untuk depresi bunuh diri wanita hamil yang
memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat untuk geriatri dan sakit medis pasien
yang tidak bisa menggunakan obat antidepresan aman dan bahkan untuk dan anak-
anak dan remaja yang bunuh diri mungkin kurang respon untuk antidepresan daripada
orang dewasa. ECT tidak efektif dalam gangguan somatisa, gangguan personaliti, dan
gangguan kecemasan (Sadock, et al., 2015).

9
1.2.3 Kontraindikasi

ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang


pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan ketat.
Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan janin
umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan risiko tinggi atau rumit. Pasien
dengan lesi sistem saraf pusat berada pada peningkatan risiko untuk edema dan herniasi
otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan dexamethasone (Decadron)
diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang dan risiko komplikasi serius
diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang mengalami peningkatan tekanan
intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak (misalnya, orang-orang dengan
penyakit serebrovaskular dan aneurisma) berada pada risiko selama ECT karena
peningkatan sawar darah otak selama kejang. Risiko ini dapat dikurangi, meskipun
tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan darah pasien selama perawatan. Pasien dengan
infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain, meskipun risikonya sangat
berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih jauh berkurang 3 bulan setelah
infark itu. Pasien dengan hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka
sebelum ECT diberikan. Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat
digunakan untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan (Sadock, et al., 2015).

1.3 Prosedur Kerja

1.3.1 Informed Consent

Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh karena itu,
dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan
pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam catatan
medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan untuk tidak

10
menerima pengobatan. Literatur cetak dan rekaman video tentang ECT mungkin
berguna untuk mendapatkan persetujuan. Penggunaan paksa ECT harus disediakan
untuk pasien yang sangat membutuhkan pengobatan dan yang memiliki wali hukum
yang ditunjuk yang telah setuju untuk penggunaannya. Dokter harus tahu undang-
undang federal tentang penggunaan ECT (Sadock, et al., 2015).

1.3.2 Persiapan Pasien

Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi : (Sadock,
et al., 2015) (Elvira & Hadisukanto, 2013)
- Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan otak)
- Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
- Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi
- Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
- Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.

1.3.3 Persiapan Alat : (Elvira & Hadisukanto, 2013)

- Mesin ECT lengkap


- Kasa basah untuk pelapis elektrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
- Tempat tidur datar dengan alas papan

1.3.4 Pelaksanaan : (Elvira & Hadisukanto, 2013)

11
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasang
- Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan
dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik
dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat sebelum akhirnya
bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat penting diperhatikan
tidak boleh terlalu lama.

Gambar 1.1 ECT

1.3.5 Pengawasan pasca ECT : (Elvira & Hadisukanto, 2013)

- Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum sadar


penuh.
- Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur. Kadang-
kadang dapat juga pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak menentu
seperti delirium. Pada fase ini sangat perlu diawasi sampai kesadaran pulih
kembali.
- Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi bahkan
amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak berkomunikasi,
membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara bertahap. Berikan
suasana tenang dan nyaman.

12
1.3.6 Penempatan Elektrode (Scott, 2004)

1.3.6.1 ECT Bilateral

Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada Gambar 1.2 (A).
Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik tengah dari garis antara sudut
lateral mata dan meatus auditori eksternal. Satu elektroda diletakkan untuk setiap sisi
kepala, dan posisi ini disebut sebagai ECT temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT
frontotemporal.) Ini merupakan posisi yang direkomendasikan untuk elektroda ECT
bilateral karena ini telah menjadi posisi standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa
temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT bilateral .
Ada eksperimen lain untuk posisi elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal, di mana
jarak elektroda hanya sekitar 5 cm (2 inci) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas
jembatan hidung. Sebuah modifikasi lebih baru di mana elektroda diterapkan lebih
lanjut selain telah diteliti karena para peneliti menyarankan bahwa berkhasiat sebagai
ECT bilateral tradisional, tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari efek samping
kognitif. Inggris ECT Review Group (2003) tidak menemukan perbedaan yang
signifikan antara ECT tradisional dan ECT bilateral baik dalam kemanjuran klinis atau
efek samping kognitif.

13
Gambar 1.2 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elia’s
positioning (B)

1.3.6.2 ECT Unilateral

Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti dalam
ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan parietal dari kulit
kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting, tujuan adalah untuk
memaksimalkan jarak antara elektroda untuk mengurangi arus listrik dan untuk
memilih situs di mana busur elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan datar
terhadap kulit kepala. ECT unilateral biasanya diaplikasikan di atas belahan non-
dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan orang . Ini adalah posisi
yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah menjadi standar, dan tidak dapat
diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi
lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit untuk
dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian. Posisi
tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.7-1 (B). Posisi ini
biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's head. ECT unilateral
dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim klinik ECT.
Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk mengaktifkan ke sisi kiri
sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota staf anestesi sangat penting
untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.

1.3.7 Stimulus Listrik dan Kejang1

Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang (tingkat
intensitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejang). Stimulus listrik diberikan
dalam siklus, dan setiap siklus berisi gelombang positif dan gelombang negatif.

14
Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan kemungkinan sukar
untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang anatar 25-60 detik dengan
menggunakan jumlah energi listrik terkecil. Sejumlah peralatan ECT memungkinkan
penentuan energi stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus dipertahankan serendah
mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus
adalah ambang supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya (Sadock, et
al., 2015)
Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi
berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang yang berlangsung
kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal ini menghasilkan suatu
kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus ditingkatkan, dan harus diberikan
stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang adekuat, maka
saat pengobatan harus diakhiri (Sadock, et al., 2015)
Karena keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah kejang,
maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum mengulangi
stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen (Sadock, et al.,
2015)

1.4 Obat-obatan dalam proses ECT1

1.4.1 Antikolinergik Muskarinik

Obat antikolinergik muskarinik diberikan sebelum ECT untuk meminimalkan


sekresi oral dan pernapasan dan untuk memblokir bradycardi dan asistole,kecuali
denyut jantung istirahat di atas 90 per menit.Tujuan antikolinergik adalah untuk
melindungi terhadap bradikardi atau asistol karena parasimpatis. Prinsipnya adalah
menurunkan efek dari stimulasi vagal karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah
stimulus ECT tanpa bergantung besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan bradikardi
atau asistol transien. Jika aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang

15
tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas
simpatis ini mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal
mencapai kejang (stimulasi subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi
mengikuti stimulus menjadi besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal
tidak ada.
Indikasi
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi dosis,
terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya adanya
penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv atau
0,3-0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine memiliki potensi
lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood brain barrier (sawar
darah otak) dan memiliki efek antisialagogue (Sadock, et al., 2015).

1.4.2 Anasthesia

Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak


menyadari adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan
perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan
stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum
yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat menyebabkan
ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek antikonvulsan,
meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan amnesia. Agen
induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa
nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan, memberikan pemulihan
yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua karakter tersebut.
Namun, methohexital memenuhi banyak kriteria yang telah disebutkan di atas,

16
thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi
ECT.

1.4.3 Muscle relaxant

Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem


muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan ataupun
diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang. Sebagai tambahan,
intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi dan dimonitor. Paralisis
otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga menurunkan penggunaan
oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan
muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan resiko fraktur tulang patologis.
Kecukupan pemberian muscle relaxant harus ditentukan sebelum pemberian stimulus
ECT. Proses ini dilakukan dengan tes reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada
pasien yang diberikan succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus
digunakan.
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia,
peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan muscle
relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan berdasarkan klinis
dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1 mg/kg. atracurirum 0,3-
0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6 mg/kg, dan rapacuronium 1-
2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk succynilcholine. Obat-obat muscle
relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan paralisis yang lebih lama, dan baik onset
maupun durasi kerja obat harus dimonitor oleh stimulator saraf.

1.5 Efek Samping ECT

17
1.5.1 Kematian

Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan 0,01
% untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan dengan risiko
yang terkait dengan anestesi umum dan persalinan. Kematian akibat ECT biasanya
karena komplikasi kardiovaskular (Sadock, et al., 2015).

1.5.2 Efek terhadap Sistem Saraf Pusat

Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala,
kebingungan, dan delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat terjadi hingga
10 persen dari pasien dalam waktu 30 menit dari kejang dan dapat diobati dengan
barbiturat dan benzodiazepin. Delirium biasanya paling menonjol setelah beberapa
perawatan pertama pada pasien yang menerima ECT bilateral atau yang mengidap
gangguan neurologis. Delirium yang khas terjadi dalam beberapa hari atau paling
beberapa minggu.

1.5.3 Memory

Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan kehilangan
memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT mengatakan bahwa
gangguan memori adalah efek samping yang terburuk. Meskipun gangguan memori
selama pengobatan , tindak lanjut data menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang
kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6 bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun,
mengeluh kesulitan memori . Contohnya, pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang
mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak
akan pernah ingat. Tingkat kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang
dibutuhkan untuk kembali ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik
digunakan selama pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh

18
pasien yang telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan
memori, yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi
pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan
bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan
epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30 menit
tidak menyebabkan kerusakan saraf permanen (Sadock, et al., 2015).

1.5.4 Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi

Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan penggunaan


rutin relaksan otot, patah tulang dari tulang panjang atau vertebra seharusnya tidak
terjadi. Beberapa pasien, bisa terjadi pecah gigi atau mengalami sakit punggung karena
kontraksi selama prosedur. Nyeri otot dapat terjadi pada beberapa individu, tetapi
sering terjadi karena efek depolarisasi otot dengan suksinilkolin . Nyeri ini dapat
diobati dengan analgesik ringan, termasuk obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID).
Sebuah minoritas yang signifikan dari pasien mengalami mual, muntah, dan sakit
kepala setelah pengobatan ECT (Sadock, et al., 2015).

2. Terapi Okupasi

2.1 Pengertian Terapi Okupasi

Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk
mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan.
Dengan bekerja seseorang akan menggunakan otot-otot dan pikirannya, misalnya
dengan melakukan permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-
lain, di mana hal ini akan memengaruhi kesehatannya juga.

19
Pada tahun 2600 SM orang-orang di Cina berpendapat bahwa penyakit timbul
karena ketidakaktifan organ tubuh. Socrates dan Plato (400 SM) mempercayai adanya
hubungan yang erat antara tubuh dengan jiwa. Hypoocrates selalu menganjurkan
pasiennya untuk melakukan latihan gerak badan sebagai salah satu cara pengobat
pasiennya. Di Mesir dan Yunani (2000 SM) dijelaskan bahwa rekreasi dan permainan
adalah salah suatu media terapi yang ampuh, misalnya menari, bermain musik, bermain
boneka untuk anak-anak, dan bermain bola. Pekerjaan diketahui sangat bermanfaat
bagi perkembangan jiwa maupun fisik manusia.
Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan dini dengan selalu
bekerja secara sadar dan jangan bermalas-malasan. Pekerjaan dapat juga digunakan
sebagi pengalihan perhatian atau pikiran sehingga menjadi segar kembali untuk
memikirkan hal-hal yang lain. Dengan okupasi/ pekerjaan, pasien jiwa akan
dikembalikan ke arah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus
memelihara dan mempraktikkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia
akan tetap sebagai seseorang yang produktif.
Pada tahun 1982, Adolf Meyer melaporkan bahwa penggunaan waktu dengan
baik yaitu dengan melakukan aktivitas yang berguna ternyata merupakan suatu dasar
terapi pasien neuripsikiatrik. Meyer adalah seorang psikiater. lstrinya adalah seorang
pekerja sosial dan mulai menyusun suatu dasar yang sistematis tentang penggunaan
aktivitas sebagai program terapi pasien jiwa. Masih banyak lagi ahli-ahli terkenal yang
berjasa dalam pengembangan okupasiterapi sebagai salah satu terapi khususnya untuk
pasien mental. Risetpun masih tetap dilakukan guna lebih mengefektitkan penggunaan
okupasiterapi untuk terapi pasien mental.
Terapi okupasi berasal dan kata Occupational Therapy. Occupational berarti
suatu pekerjaan, therapy berarti pengobatan. Jadi, Terapi Okupasi adalah perpaduan
antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas
selektif, agar kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah
kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk pendenita cacat mental maupun
fisik. (American Occupational Therapist Association). Tenapis okupasi membantu

20
individu yang mengalami gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, kognitif juga
fungsi sosial yang menyebabkan individu tersebut mengalami hambatan dalam
melakukan aktivitas perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas untuk
mengisi waktu luang. Tujuan dan pelatihan Terapi okupasi itu sendiri adalah untuk
mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dan kondisi abnormal ke
normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan
aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita
diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat.
Intervensi yang diberikan menggunakan modalitas aktivitas yang tdah dianalisis dan
diadaptasi yang kemudian diprogramkan untuk anak sesuai dengan kebutuhan
khususnya. Secara garis besar intenvensi difokuskan pada hal-hal berikut.
1. Kemampuan(abilities)
a. Keseimbangan dan reaksi postur (balance and postural reactions).
b. Peregangan otot dan kekuatan otot (muscle tone and muscle strength).
c. Kesadaran anggota tubuh (body awareness).
d. Kemampuan keterampilan motorik halus (fine motor skill) seperti
memegang/melepas, keterampilan manipulasi gerak jari, misal penggunaan
pensil, gunting, keterampilan menulis, dan lain-lain.
e. Kemampuan keterampilan motorik kasar (gross motor shill) seperti lari,
lompat, naik-turun tangga jongkok jalan dan lain-lain.
f. Mengenal bentuk, mengingat bentuk (visual perception).
g. Merespon stimuli, membedakan input sensori (sensory integration).
h. Perilaku termasuk level kesadaran, atensi, problem solving skill, dan lain-
lain
2. Keterampilan (skill)
a. Aktivitas sehari-hari (activity daily living) seperti makan, minum,
berpakaian mandi, dan lain-lain.
b. Pre-academic skill.
c. Keterampilafl sosial.

21
d. Keterampilan bermain.

3. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan fisik.
b. Situasi keluarga.
c. Dukungan dan komunitas.

4. Okupasi Terapis sebagai Konsultan Okupasi terapis sebagai konsultan pada


area berikut ini:
a. Program intervensi awal.
b. Pengaturan rumah, sekolah, dan area bermain.
c. Lingkungan dan adaptasi mainan atau media belajar.
d. Alat bantu.
e. Strategi perilaku.
Untuk mencapai tujuan tersebut di dalam terapi okupasi memiliki dua prinsip
kerja, yaitu sebagai berikut.
a. Supportive Occupatinal Therapy, yaitu menolong penderita untuk
menghilangkan dan perasaan cemas, takut, dan memotivasi penderita untuk lebih giat
didalam melakukan latihan.
b. Fungsional Occupational Therapy, antara lain untuk pengaturan posisi (bagi
anak Cerebral Palsy), meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan kerja, meningkatkan
motorik kasar (gross motor) maupun motorik halus, (fine motor) serta meningkatkan
konsentrasi dan kooordinasi gerak maupun sikap.

2.2 Pelaksanaan/Dimulainya Terapi Okupasi

Sebaiknya terapi okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk


oleh dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan
dilakukan observasi dan tes sederhana. Dalam evaluasi awal ini, hal yang harus

22
diperhatikan adalah catatan medik dan dokter, macam kecacatan (Cerebral Palsy atau
Retradasi Mental), berat ringannya kecacatan, kecerdasan, kebutuhan dan penderita itu
sendiri dan hal-hal yang harus dijauhi/dihindarkan untuk segi keamanan penderita.
Evaluasi awal ini sangat berguna untuk menentukan aktivitas yang akan diberikan, agar
sesual dengan kondisi dan kebutuhan penderita itu sendiri. Aktivitas yang diberikan di
bagian terapi okupasi adalah sebagai berikut.
1. Aktivitas kehidupan sehari-hari/ADL. Aktivitas mi dibenikan agar pendenita dapat
mandini tanpa tergantung orang lain.
2. Aktivitas bermain. Bermain mi diharapkan untuk dapat memperbaiki konsentrasi,
koordinasi, motonik serta menumbuhkan bakat, hobi, minat, serta kesenangan.
3. Seni dan hasta karya. Untuk membenikan kesempatan pada penderita dalam
mencapai suatu hasil yang maksimal, yang mengandung unsur-unsur kedewasaan dan
kerumah tangga yang isesuaikan dengan kapasitas penderita.
Terapis di dalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan dituntut
untuk kreatif, selain itu, tidak kalah pentingnya juga peran serta onang tua dalam proses
latihan. Pada hal ini diharapkan terapis dapat memberikan masukan-masukan kepada
orang tua penderita untuk berlatih di rumah.

2.3 Perbedaan Terapi Okupasi dan Rehabilitasi Medis

Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang
untuk melaksanakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan kemampuan, serta mempermudah
belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan
lingkungan. Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan/atau
memperbaiki ketidaknormalan (kecacatan), serta memelihara atau meningkatkan
derajat kesehatan. Terapi okupasi lebih dititikberatkan pada pengen kemampuan yang
masih ada pada seseorang, kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga dia
mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkannya.

23
Terapi okupasi menggunakan okupasi (pekerjaan atau kegiatan) sebagai media. Tugas
pekerjaan atau kegiatan yang dipilihkan adalah berdasarkan pemilihan terapis
disesuaikan dengan tujuan terapis itu sendiri. Jadi, bukan hanya sekedar kegiatan untuk
membuat seseorang sibuk. Tujuan utama terapi okupasi adalah membentuk seseorang
agar mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada pertolongan orang lain.
Rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang terdiri atas usaha medis, sosial,
edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali seseorang untuk mencapai
kemampuan fungsional pada taraf setinggi mungkin. Sementara itu, rehabilitasi medis
adalah usaha-usaha yang dilakukan secara medis khususnya untuk mengurangi
invaliditas atau mencegah memburuknya invaliditas yang ada.

2.4 Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi

Terapi okupasi adalah terapan medis yang terarah bagi pasien fisik maupun
mental dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan
kembali fungsi seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas
tersebut adalah berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan disesuaikan dengan
tujuan terapi. Pasien yang dikirimkan oleh dokter, untuk mendapatkan terapi okupasi
adalah dengan maksud sebagai berikut.
1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa.
2. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan
kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat
sekitarnya.
3. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
4. Membantu menemukan kernampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan
keadaannya.
5. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi
lainnya.

24
6. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi,
kekuatan otot, dan koordinasi gerakan.
7. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, herpakaian belajar
menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain), baik dengan maupun
tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain.
8. Membantu pasien untuk menyesuaikan din dengan pekerjaan rutin di rumahnya dan
memberi saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan
sehari-hari.
9. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan kemampuan yang
masih ada.
10. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai lai
dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas ini akan dapat diketahui
kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lainnya
dan si pasien dalam mengarahkannya pada pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.
11. Membantu penderita untuk menerima kenyatan dan menggunakan waktu selama
masa rawat dengan berguna.
12. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.
Program terapi okupasi adalah bagian dan pelayanan medis untuk tujuan rehabilitasi
total seorang pasien melalui kerja sama dengan petugas lain di rumah sakit. Dalam
pelaksanaan terapi okupasi kelihatannya akan banyak overlapping dengan terapi
lainnya sehingga dibutuhkan adanya kerja sama yang terkoordinir dan terpadu

2.5 Peranan Terapi Okupasi / Pekerjaan dalam Pengobatan

Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui
aktivitas manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya,
mencoba keterampilan atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi
kebutuhan fisik maupun emosi, mengembangkan kemampuan. dan sebagai alat untuk
mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam

25
pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi penderita fisik maupun mental.
Aktivitas dalam terapi okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi,
diagnosis. terapi. maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien
saat mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan arah
terapi dan rehabilitasi selanjutnya dan pasien tersebut. Penting untuk diingat bahwa
aktivitas dalam terapi okupasi tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya sebagai media.
Diskusi yang terarah setelah penvelesaian suatu aktivitas adalah sangat penting karena
dalarn kesenipatan tersebut terapis dapat mengarahkan pasien dan pasien dapat belajar
mengenal dan mengatasi persoalannya.
Aktivitas yang dilakukan pasien diharapkan dapat menjadi tempat untuk
berkomunikasi lehih balk dalam mengekpresikan dirinya. Kemampuan pasien akan
dapat diketahui baik oleh terapi maupun oleh pasien itu sendiri melalui aktivitas yang
dilakukan oleh pasien. Alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan dalan1 melakukan
suatu aktivitas, pasien akan didekatkan dengan kenyataan terutama dalani hal
kemampuan dan kelemahannya. Aktivitas dalam kelompok akan dapat merangsang
terjadinya interaksi di antara anggota yang berguna dalam meningkatkan sosialisasi
dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal keefisiensiannya untuk
berhubungan dengan orang lain.
Aktivitas yang dilakukan meliputi aktivitas yang digunakan dalam terapi
okupasi di mana sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan,
lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapis sendiri
(pengetahuan, keterampilan, minat, dan kreativitasnya). Adapun hal-hal yang
mempengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut.

2.5.1 Jenis Aktivitas dalam Terapi Okupasi

Jenis- Jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai benikut:


a. Latihan gerak badan
b. Olahraga

26
c. Permainan
d. Kerajinan tangan.
e. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi.
f. Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari).
g. Praktik pre-vokasional.
h. Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain).
i. Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dan lain-lain).
j. Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan
lingkungan).

2.5.2 Karekteristik aktivitas.

Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala macam aktivitas yang dapat
menyibukkan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan
berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasaan emosional maupun fisik. Oleh
karena itu setiap aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus mempunyai
karekteristik sebagai berikut.
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi bukan
hanya sekedar menyibukkan pasien.
b. Mempunvai arti tertentu hagi pasien, artinva dikenal oleh atau ada hubungannya
dengan pasien.
c. Pasien harus mengerti tuiuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaannya
terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d. Harus dapat melihatkan pasien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan harus dapat
meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara koondisinya.
f. Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga dapat
mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.

27
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan dengan
kemampuan pasien.
Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Aktivitas Adalah Sebagai
Berikut:
a. Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar, kotor,
halus, dan sebagainya.
b. Apakah aktivitas rumit atau tidak.
c. Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan.
d. Cara pemberian instruksi bagaimana.
e. Bagaimana kira-kira setelah hasil selesai.
f. Apakah perlu pasien membuat keputusan.
g. Apakah perlu konsentrasi.
h. lnteraksi yang mungkin terjadi apakah menguntungkan.
i. Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi.
j. Berapa lama dapat diselesaikan.
k. Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan dengan
kemampuan dan keterampilan pasien.

2.5.3 Analisis aktivitas.

Untuk dapat mengenal karekteristik maupun potensi atau aktivitas dalam


rangka perencanaan terapi, maka aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih dahulu.
Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai berikut.
a. Jenis aktivitas.
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi).
c. Bahan yang digunakan:
1) Khusus atau tidak
2) Karekteristik bahan:
a) mudah ditekuk atau tidak,

28
b) mudah dikontrol atau tidak,
c) menimbulkan kekotoran atau tidak,
d) 1 atau tidak,
3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
a) taktil,
b) pendengaran,
c) pembauan,
d) penglihatan,
e) perabaan,
f) gerakan sendi,
g) dan sebagainya.
4) Warna
5) Macam-macamnya dan namanya
6) Banyaknya
d. Bagian-bagian aktivitas
1) Banyaknya bagian
2) Rumit atau sederhana
3) Apakah membutuhkan pengulangan
4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e. Persiapan pelaksanaan:
1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
3) Apakah bahan telah tersedia atau harus dicani terlebih dahulu
4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
f. Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya:
1) Konsentrasi
2) Ketangkasan
3) Rasa sosial di antara pasien
4) Kemampuan mengatasi masalah

29
5) Kemampuan bekerja sendiri
6) Toleransi terhadap frustasi
7) Kemampuan mengikuti instruksi
8) Kemampuan membuat keputusan
g. Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya lnteraksi di antara mereka.
h. Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif,
penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain.
i. Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi dan
lain-lain.
j. Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak hati-
hati karena dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya untuk pasien
dengan paranoid sangat riskan memberikan benda tajam).
k. Hal yang penting lagi adalah apakah disukai oleh pasien.

2.6 Indikasi Terapi Okupasi

1. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-kesulitan


yang dihadapi dalam pengintegrasian perkembangan psikososialnya.
2. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya berkomunikasi dengan orang
lain.
3. Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang
primitif.
4. Ketidakmampuan mengisiterprestasikan rangsangan sehingga reaksinya terhadap
rangsangan tersebut tidak wajar pula
5. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang
mengalami kemunduran.
6. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas
daripada dengan percakapan.

30
7. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara
mempraktikkannya daripada dengan membayangkan.
8. Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya.

2.7 Proses Terapi Okupasi

Dokter yang mengirimkan pasien untuk terapi okupasi akan menyertakan juga
data mengenai pasien herupa diagnosis, masalahnya, dan juga akan menyatakan apa
yang perlu diperbuat dengan pasien tersehut. Apakah untuk mendapatkan data yang
lebih banyak untuk keperluan diagnosis, terapi, atau rehabilitasi. Setelah pasien berada
di unit terapi okupasi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut.

1. Koleksi data. Data biasa didapatkan dan kartu rujukan atau status pasien yang
disertakan ketika pertama kali pasien mengunjungi unit terapi okupasional. Jika dengan
mengadakan wawancara dengan pasien atan keluarganya, atau dengan mengadakan
kunjungan rumah. Data mi diperlukan untuk menyusun rencana terapi bagi pasien.
Proses mi dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan kebutuhan.

2. Analisis data dan identifikasi masalah. Dan data yang terkumpul dapat ditarik suatu
kesimpulan sementara tentang masalah dan/atau kesulitan pasien. Hal ini dapat berupa
masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.

3. Penentuan tujuan. Dan masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun daftar
tujuan terapi sesuai dengan pnioritas, baik jangka pendek maupun jangka panjangnya.

4. Penentuan aktivitas. Setelah tujuan terapi ditetapkan maka dipilihlah aktivitas yang
dapat mencapai tujuan terapi tersebut. Dalam proses mi pasien dapat diikutsertakan
dalam menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga pasien merasa ikut
bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaannya. Dalam hal mi harus diingat bahwa

31
aktivitas tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi hanya sebagai media
untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba mengatasinya dengan bimbingan
terapis. Pasien juga harus diberitahu alasan-alasan mengapa dia harus mengerjakan
aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan diharapkan akan mengerjakannya dengan
aktif.

5. Evaluasi. Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan
tujuan terapi. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai
dengan perkembangan pasien yang ada. Hasil evaluasi yang didapatkan dapat
dipergunakan unutk merencanakan hal-hal mengenai penyesualan jenis aktivitas yang
akan diberikan. Namun, dalam hal tertentu penyesuaian aktivitas dapat dilakukan
setelah beberapa waktu melihat bahwa tidak ada kemajuan atau kurang efektif terhadap
pasien.

Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain adalah sebagai berikut:


1 Kemampuan membuat keputusan.
a. Tingkah laku selama bekerja.
b. Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai
kebutuhan sendiri.
c. Kerjasama.
d. Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lam).
e. Inisiatif dan tanggung jawab.
f. Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding.
g. Menyatakan perasaan tanpa agresi.
h. Kompetisi tanpa permusuhan.
i. Menerima kritik dan atasan atau teman sekerja.
j. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab
atas pendapatnya tersebut.
k. Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya.

32
l. Wajar dalam penampilan.

m. Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain.


n. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya.
o. Kemampuan bekerja tanpa terus-menerus diawasi
p. Kerapian bekerja.
q. Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan.
r. Toleransi terhadap frustasi.
s. Lambat atau cepat.

2.8 Pelaksanaan

1. Metode terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual, maupun berkelompok,
tergantung dan keadaan pasien, tujuan terapi, dan lain-lain.Metode individual
dilakukan untuk:
a. pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan
sekaligus untuk evaluasi pasien;
b. pasien yang beluni dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik
di dalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu
kelompok bila dia dimasukkan dalam kelompok tersebut.
c. pasien wang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat
niengevaluasi pasien lebih efektif.

2. Metode kelompok dilakukan untuk: pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah
atau hampir bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk tujuan tertentu
bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara
individual maupun kelompok, maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu
segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasien juga perlu
dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan

33
pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha
untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis
aktivitas yang akan dilakukan, dan kemampuan terapis mengawasi.

3. Waktu. Okupasiterapi dilakukan antara 1-2 jam setiap sesi balk yang individu
maupun kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi,
tersedianva tenaga dan fasilitas, dan sebagainya. Sesi ini dibagi menjadi dua bagian
yaitu ‘jam untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan 1-1½ jam untuk diskusi. Dalam
diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut, antara lain kesulitan
yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan
terapi.
4. Terminasi. Keikutsertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat dasar
bahwa pasien:
a. Dianggap telah mampu mengatasi persolannya
b. Dianggap tidak akan berkembang lagi
c. Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasiterapi

3. Obat antipsikotik dalam kehamilan

Skizofrenia memengaruhi sekitar 1-2% dari perempuan dan onset biasanya


terjadi selama kehamilan. Skizofrenia dikaitkan dengan hasil kelahiran yang negatif,
termasuk kelahiran premature, berat badan lahir rendah, dan janin kecil pada usia
gestasi.
Pengobatan skizofrenia dengan antipsikotik tipikal menimbulkan risiko
minimal menimbulkan efek teratogenic. Khususnya penggunaan haloperidol lebih
disukai selama kehamilan karena tidak terkait dengan cacat kogenital pada trimester
pertama. Dosis rendah obat ini lebih disukai untuk mengurangi risiko efek samping
ekstra pyramidal. Antipsikotik atipikal belum banyak dilakukan penelitian, maka
penggunaan obat atipikal tidak direkomendasikan selama kehamilan atau menyusui.

34
Gambar 3.1 obat antipsikotik selama kehamilan

Gambar 3.2 Keterangan

35
Daftar Pustaka

Anderson, I. et al., 2004. The PLace of ECT in Contemporary Psychiatric


Practice. London: The royal Collage of Pschyatrists.
Elvira, S. & Hadisukanto, G., 2013. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang
Psikiatri. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Patton, S. W. et al., 2002. Antipsychotic Medication During Pregnancy and
Lactation in Women With Schizophrenia : Evaluating the Risk. Can J Psychiatry,
47(10), p. 959.
Puri, B., Laking, P. & Treasaden, I., 2012. Buku Ajar Psikiatri. 2 ed. Jakrta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sadock, B. J., Sadock, V. A. & Ruiz, P., 2015. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11 th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer.
Scott, A., 2004. Practical administration of ECT. London: The Royal Collage
of Pschyatrists.
Yongki, 2012. Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai
Terapi Alternatif Medis Pada Pasien Psikotik. 22(7), p. 317.

36

Anda mungkin juga menyukai