Anda di halaman 1dari 150

ANALISA REMBESAN BENDUNGAN BAJULMATI

TERHADAP BAHAYA PIPING


UNTUK PERENCANAAN PERBAIKAN PONDASI

TESIS

Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Magister Teknik

Oleh :

YULI ASTUTI
106060413111019

PROGRAM MAGISTER TEKNIK PENGAIRAN


MINAT MANAJEMEN SUMBERDAYA AIR

PROGRAM MAGISTER DAN DOKTOR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
JUDUL TESIS :

Analisa Rembesan Bendungan Bajulmati Terhadap Bahaya Piping Untuk


Perencanaan Perbaikan Pondasi.

Nama Mahasiswa : Yuli Astuti

NIM : 106060413111019

Program Studi : Teknik Pengairan

Minat : Magister Pengelolaan Sumber Daya Air

KOMISI PEMBIMBING :

Ketua : DR. Ir. Aniek Masrevaniah, Dipl. HE.

Anggota : Ir. Suwanto Marsudi, MS

TIM DOSEN PENGUJI :

Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Ir. M. Bisri, MS

Dosen Penguji 2 : Dr. Ir. Dian Sisinggih, ST, MT

Tanggal Ujian : 30 Mei 2012

SK Penguji : 329/UN10.6/SK/2012
RINGKASAN

YULI ASTUTI, NIM.106060413111019. Analisa Rembesan Bendungan


Bajulmati Terhadap Bahaya Piping Untuk Perencanaan Perbaikan Pondasi.
Tesis Magister Teknik Pengairan Minat Pengelolaan Sumberdaya Air, Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya, Malang. Dosen Pembimbing : Dr.Ir. Aniek
Masrevaniah, Dipl.HE dan Ir. Suwanto Marsudi, MS

Pondasi sebagai penopang tubuh bendungan harus memenuhi


persyaratan tertentu, yang salah satunya adalah stabil terhadap erosi akibat
rembesan. Kondisi geologi pondasi rencana bendungan Bajulmati yang lulus air
(permeable) mengharuskan untuk dilakukan perbaikan pondasi agar rembesan
yang terjadi tidak membahayakan keamanan bendungan.
Dalam studi ini akan dianalisa pola aliran dan debit rembesan untuk
beberapa alternatif perbaikan pondasi dengan menggunakan analisa numerik
elemen hingga dengan menggunakan program Seep/W. Rembesan pada
pondasi dan bendungan dianalisa pada kondisi steady state, waduk pada
kondisi muka air tinggi. Penyusunan hasil analisa dilakukan dalam 2 tahap, tahap
pertama analisa dilakukan terhadap kondisi tanpa adanya perbaikan pondasi dan
analisa tahap kedua terhadap beberapa alternatif perbaikan pondasi yaitu
sementasi tirai (grouting), cutoff wall, alas kedap air hulu (upstream blanket).
Faktor keamanan terhadap piping pada kondisi tanpa perbaikan pondasi
adalah 2,11, untuk perbaikan pondasi dengan sementasi tirai dan cutoff wall
adalah 10,60 sedangkan untuk perbaikan dengan alas kedap air hulu adalah
2,65. Kuantitas debit rembesan mengalami penurunan terhadap kondisi tanpa
perbaikan untuk alternatif perbaikan pondasi sementasi tirai sebesar 68,00% -
94,73%, cutoff wall sebesar 94,87% - 99,39%, sedangkan untuk alas kedap air
hulu 0,45% - 0,71%. Dari beberapa alternatif perbaikan pondasi di atas, maka
perbaikan pondasi dengan cutoff wall merupakan alternatif yang paling efektif
untuk mengurangi bocoran dari waduk dan mengurangi bahaya piping.

Kata kunci : stabilitas rembesan, piping, perbaikan pondasi


SUMMARY

YULI ASTUTI, NIM.106060413111019. Seepage Analysis Of Bajulmati Dam


Against Piping Hazard For Foundation Improvement Design. Thesis of
Master Degree of Water Rosources Engineering Brawijaya University of Malang.
Comission : Dr.Ir. Aniek Masrevaniah, Dipl.HE and Ir. Suwanto Marsudi, MS

Foundation as the support of dam body shall meet the specified


requirements, i.e against erosion. Geologically, the dam foundation of Bajulmati
Dam is permeable. Therefore, it requires to be improved in order to minimize
seepage that caused instability.
This study will analyze the flow pattern and seepage discharge for
several alternative foundation improvements by using a numerical element
analysis, Seep/W software. Seepage through foundation and dam analyzed
at steady state conditions, the reservoir at high water level conditions.
Preparation of the analysis is carried out in two stages, first stage the analysis is
carried out in the conditions without foundation improvement and the second
stage is analysis of several alternatives of foundation improvement namely
grouting, cutoff wall, upstream blanket.
Safety factor against piping on the condition without foundation
improvement is 2,11, for grouting and cutoff wall foundation improvement is
10,60 and for upstream blanket is 2,65. The quantity seepage discharge with
foundation improvement is decline of without foundation improvement. Grouting
decreased 68,00% - 94,73%, cutoff wall 94,87% - 99,39% and upstream blanket
0,45% - 0,71%. From several alternatives of foundation improvement as
mentioned above, cutoff wall is the most effective alternative to prevent leaks
from the reservoir and reduce piping hazard.

Key Words : seepage stability, piping, foundation improvement


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat ALLAH Yang Maha
Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan Tesis yang berjudul “Analisa Rembesan Bendungan
Bajulmati Terhadap Bahaya Piping Untuk Perencanaan Perbaikan
Pondasi”.

Penyusunan Hasil Penelitian Tesis ini untuk memenuhi salah satu syarat
yang wajib ditempuh oleh Mahasiswa Modular Program Pasca Sarjana Magister
Teknik Manajemen Sumber Daya Air Universitas Brawijaya.

Penyusun menyadari bahwa Hasil Penelitian Tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih memerlukan banyak saran dan masukan yang
bermanfaat. Penyusun juga menyadari bahwa Hasil Penelitian Tesis ini tidak
dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan semua pihak. Atas bimbingan
dan pengarahan yang diberikan, penyusun tidak lupa menyampaikan rasa terima
kasih kepada :
1. Ibu Dr.Ir. Aniek Masrevaniah, Dipl. HE dan Bpk Ir. Suwanto Marsudi, MS.,
selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, motivasi
dan pengarahan dalam penyusunan hasil penelitian tesis ini.
2. Seluruh Dosen Pengajar yang telah memberikan waktu dan ilmunya
selama masa perkuliahan, serta segenap staf administrasi.
3. Rekan – rekan PT Indra Karya yang selalu memberikan dukungan dan
doa.
4. Teman – teman Angkatan 2010 yang selalu menjadi sumber aspirasi dan
semangat saya.

Dengan segenap kesadaran dan keterbatasan yang ada, maka penyusun


mengharapkan masukan, kritikan dan saran demi kesempurnaan Tesis ini.
Semoga Tesis ini dapat dipahami, dimengerti, dan diterima oleh semua pihak
pembaca pada umumnya.

Malang, Mei 2012


Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 2

1.3 Batasan Masalah 3

1.4 Perumusan Masalah 3

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 4

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pondasi Pada Bendungan 5

2.1.1 Umum 5

2.1.2 Perbaikan Pondasi 6

2.1.2.1 Perbaikan pada pondasi pasir dan kerikil 6

2.2 Rembesan Pada Bendungan dan Pondasi 19

2.2.1 Umum 19

2.2.2 Kontrol Rembesan Pada Timbunan Bendungan 21

2.2.3 Kontrol Rembesan Pada Pondasi Bendungan 22

2.3 Stabilitas Bendungan Terhadap Aliran Filtrasi 23

2.3.1 Formasi Garis Depresi 24

iii
2.3.2 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi (Seepage Flow-net) 27

2.3.3 Kapasitas Aliran Filtrasi 31

2.3.4 Gejala – gejala Sufosi (Piping) Dan Sembulan (Boiling) 33

2.4 Analisa Rembesan (Seepage) 33

2.4.1 Hukum Darcy 34

2.4.2 Teori Matematika Laplace 35

2.4.3 Informasi Yang Dibutuhkan Untuk Analisa Rembesan 38

2.4.4 Kondisi Pembebanan 38

2.4.5 Kondisi Batas 39

2.4.6 Metode Analisa 41

2.4.7 Pemodelan Numerik 43

2.4.8 Pemodelan Rembesan Dengan Seep/W 43

2.4.8.1 Gradien hidraulik debit (exit gradien) 44

2.4.8.2 Visualisasi hasil dari Seep/W 46

III. METODE PENELITIAN

3.1 Diskripsi Wilayah Studi 53

3.1.1 Kondisi Geologi 53

3.1.2 Data Teknis Bendungan 53

3.2 Bahan dan Alat 56

3.3 Tahapan Penelitian 56

3.3.1 Inventarisasi Data 56

3.3.2 Langkah – langkah Pemodelan dengan Seep/W 57

3.3.3 Analisa Rembesan 57

IV. HASIL ANALISIS

iv
4.1 Umum 69

4.2 Pemodelan Rembesan Dengan Program Seep/W 69

4.3 Analisa Rembesan Tanpa Perbaikan Pondasi 78

4.4 Alternatif 1, Analisa Rembesan Pada Perbaikan Pondasi

Dengan Sementasi Tirai (Curtain Grouting) 85

4.5 Alternatif 2, Analisa Rembesan Pada Perbaikan Pondasi

Dengan Cutoff Wall 91

4.6 Alternatif 2, Analisa Rembesan Pada Perbaikan Pondasi

Dengan Alas Kedap Air Hulu (Upstream Blanket) 95

4.7 Evaluasi Hasil Analisa Rembesan 102

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 103

5.2 Saran 104

DAFTAR PUSTAKA 106

v
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 2.1 Karakteristik Utama Dinding Halang 12

Tabel 2.2 Matriks Perbedaan Penggunaan Sementasi Tirai 13

dan Dinding Kedap Air

Tabel 2.3 Petunjuk penggunaan beberapa metode analisa

Rembesan 42

Tabel 3.1 Diskripsi Batuan Pada Lokasi Bendungan 59

Tabel 3.2 Paramater Fisik Material Timbunan Bendungan 60

Tabel 3.3 Parameter Fisik Untuk Pondasi Bendungan 60

Tabel 4.1 Debit Rembesan Pada Kondisi Tanpa Perbaikan 82

Tabel 4.2 Perhitungan Kedalaman Sementasi Tirai Untuk

Beberapa Nilai Koefisien 85

Tabel 4.3 Hasil Analisa Debit Rembesan Alternatif 1 87

Tabel 4.4 Prosentase Kuantitas Debit Rembesan Yang Terjadi

Terhadap Kuantitas Debit Rembesan Yang Diijinkan

Pada Alternatif 1 88

Tabel 4.5 Hasil Analisa Debit Rembesan Alternatif 2 92

Tabel 4.6 Prosentase Kuantitas Debit Rembesan Yang Terjadi

Terhadap Kuantitas Debit Rembesan Yang Diijinkan

Pada Alternatif 2 95

Tabel 4.7 Hasil Analisa Debit Rembesan Alternatif 3 97

Tabel 4.8 Prosentase Kuantitas Debit Rembesan Yang Terjadi

Terhadap Kuantitas Debit Rembesan Yang Diijinkan

Pada Alternatif 3 97

Tabel 4.9 Perbandingan hasil analisa rembesan 102

vi
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 2.1 Tirai Kedap Air Sempurna (Cutoff) 8

Gambar 2.2 Dinding/Tirai Kedap Air Kontinyu 11

Gambar 2.3 Lapisan Alas Kedap Air 11

Gambar 2.4 Hubungan antara Xr, a dan X 17

Gambar 2.5 Skema alas kedap air hulu 17

Gambar 2.6 Bendungan Berdiri Di Atas Pondasi Berselang Seling 16

Gambar 2.7 Drainase Sumuran (Relief Well) 18

Gambar 2.8 Berbagai Macam Cara Pengendalian Rembesan

Pada Pondasi dan Tubuh Bendungan Urugan 23

Gambar 2.9 Garis Depresi Pada Bendungan Homogen 25

(sesuai dengan garis parabola)

Gambar 2.10 Garis Depresi Pada Bendungan Homogen 25

(sesuai dengan garis parabola yang mengalami

modifikasi)

Gambar 2.11 Beberapa Cara Untuk Memperoleh Harga ‘a’ Sesuai 26

Dengan Sudut Bidang Singgungnya ()

Gambar 2.12 Hubungan Antara Sudut Bidang Singgung () 26

dengan a/(a+a)

Gambar 2.13 Skema Formasi Garis Depresi Pada 27

Bendungan Inti Vertikal

Gambar 2.14 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi Pada 27

Bendungan Zonal

Gambar 2.15 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi Dalam Bendungan

dimana Kh = 5 Kv 28

vii
Gambar 2.16 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi Dalam Bendungan

dimana k tubuh bendungan = k pondasi 28

Gambar 2.17 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi Dalam Bendungan

dimana k tubuh bendungan ≠ k pondasi 29

Gambar 2.18 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi Dalam Tubuh

Bendungan Pada Saat Terjadinya Penurunan

Mendadak Untuk Berbagai Tipe Tubuh Bendungan 30

Gambar 2.19 Pengaruh Perbaikan Pondasi Terhadap

Kapasitas Aliran Filtrasi 31

Gambar 2.20 Penampang Memanjang Sebuah Bendungan

Urugan 32

Gambar 2.21 Debit Spesifik Aliran Air Melalui Elemen Tanah 33

Gambar 2.22 Desain chimney drain menggunakan hukum Darcy 35

Gambar 2.23 Debit Spesifik Aliran Air Melalui Elemen Tanah 36

Gambar 2.24 Kondisi – kondisi batas 40

Gambar 2.25 Beberapa metode analisa rembesan 41

Gambar 2.26 Perbandingan hasil analisa rembesan secara manual

dengan menggunakan Seep/W 44

Gambar 2.27 Kolom tanah 1 dimensi 45

Gambar 2.28 Garis ekipotensial horisontal 47

Gambar 2.29 Garis ekipotensial untuk pemodelan 2D pada

Bendungan 48

Gambar 2.30 Kontur gradien hidraulik pada bendungan 48

Gambar 2.31 Kontur konduktivitas hidraulik pada bendungan 49

Gambar 2.32 Kontur water content pada bendungan 49

Gambar 2.33 Kontur vektor kecepatan pada bendungan 49

Gambar 2.34 Aplikasi flux section untuk mengontrol inflow dan

viii
outflow 51

Gambar 2.35 Contoh Analisa Rembesan dengan Seep/W Untuk

Mengetahui Kontur Tekanan Air Pori Pada

Bendungan Wadas Lintang 52

Gambar 2.36 Kontur Gradien Hidraulik Dan Debit Rembesan

Bendungan Wadas Lintang 52

Gambar 3.1 Stratigraphi As Bendungan Bajulmati 53

Gambar 3.2 Lokasi Penelitian (Bendungan Bajulmati) 61

Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian 62

Gambar 3.3 Diagram Alir Analisa Rembesan 63

Gambar 3.4 Geologi Daerah Dam Site Bendungan Bajulmati 64

Gambar 3.5 Tipikal Bendungan Bajulmati Alternatif 1 65

Gambar 3.6 Tipikal Bendungan Bajulmati Alternatif 2 66

Gambar 3.7 Tipikal Bendungan Bajulmati Alternatif 3 67

Gambar 3.8 Permeabilitas Bendungan Bajulmati 68

Gambar 4.1 Menu Utama Program Seep/W 70

Gambar 4.2 Tampilan Kotak dialog untuk pengaturan skala

dan satuan 70

Gambar 4.3 Kotak dialog “Volumetric Water Content” 71

Gambar 4.4 Kotak dialog “ConductivityFunction” 72

Gambar 4.5 Kotak dialog “Estimate Hydraulic Conductivity

Function” 72

Gamabr 4.6 Kotak dialog “Material Properties” 73

Gambar 4.7 Koordinat titik untuk pemodelan geometri 74

Gambar 4.8 Kotak dialog pembuatan zona timbunan (regions) 74

Gambar 4.9 Kotak dialog pemilihan jenis material untuk tiap zona 74

Gambar 4.10 Beberapa tipe dari boundary condition 75

ix
Gambar 4.11 Aplikasi kondisi batas (boundary condition) 76

Gambar 4.12 Kotak dialog pemeriksaan data (verify data) 77

Gambar 4.13 Kotak dialog proses analisa 77

Gambar 4.14 Lokasi debit rembesan 78

Gambar 4.15 Potongan melintang bendungan pada kondisi

tanpa perbaikan 79

Gambar 4.16 Pola aliran dan debit rembesan kondisi tanpa

perbaikan 83

Gambar 4.17 Kontur kemiringan hidraulik (in) kondisi

tanpa perbaikan 84

Gambar 4.18 Potongan melintang bendungan Alternatif 1,

D = 40,0 m 86

Gambar 4.19 Pola aliran dan debit rembesan Alternatif 1,

D = 40,0 m 89

Gambar 4.20 Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 1,

D = 40,0 m 90

Gambar 4.21 Grafik hasil analisa rembesan Alternatif 1 88

Gambar 4.22 Potongan melintang bendungan Alternatif 2,

D = 40,0 m 91

Gambar 4.23 Pola aliran dan debit rembesan Alternatif 2,

D = 25,0 m 93

Gambar 4.24 Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 2,

D = 25,0 m 94

Gambar 4.25 Grafik hasil analisa rembesan Alternatif 2 92

Gambar 4.26 Potongan melintang bendungan Alternatif 3,

L = 100,0 m 96

Gambar 4.27 Efisiensi alas kedap air hulu 97

x
Gambar 4.28 Pola aliran dan debit rembesan Alternatif 3,

D = 25,0 m 100

Gambar 4.29 Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3,

D = 25,0 m 101

Gambar 4.30 Grafik hasil analisa rembesan Alternatif 3 99

xi
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia telah banyak bendungan di bangun dan telah banyak pula

manfaat yang diperoleh. Dewasa ini beberapa bendungan sedang dibangun dan

di masa mendatang akan banyak pula bendungan berdiri. Bendungan

mempunyai resiko penting yang harus menjadi perhatian, karena apabila terjadi

keruntuhan dapat menimbulkan kehilangan jiwa yang tidak ternilai dan kerugian

harta benda yang besar. Pada dasarnya, bendungan tidak boleh runtuh bahkan

pada keadaan yang sangat kritis sekalipun. Kegagalan/keruntuhan bendungan

terutama sangat tidak diinginkan dan tidak dapat diterima oleh masyarakat yang

tinggal di sebelah hilir bendungan (Sabar, 2006).

Bendungan sebagai penampung air harus direncanakan dengan bahan

pembentuk tubuh bendungan yang baik dan berdiri diatas pondasi yang stabil.

Pondasi bendungan sebagai penopang tubuh bendungan harus memenuhi

persyaratan tertentu. Namun, apabila pondasi bendungan tidak memenuhi

persyaratan bisa dilakukan perbaikan pada pondasi sepanjang perbaikan

tersebut layak dari segi teknis dan ekonomis. Persyaratan pondasi agar

bendungan stabil salah satunya adalah stabil terhadap erosi akibat rembesan.

Disamping persyaratan yang lain yaitu mempunyai daya dukung dan kuat geser

yang cukup serta kedap air (Masrevaniah,2010).

Rembesan pada bendungan dan pondasi merupakan faktor penting

dalam stabilitas bendungan. Rembesan merupakan aliran yang secara terus

menerus mengalir dari hulu menuju hilir. Aliran air ini merupakan aliran dari air

waduk melalui material yang lulus air (permeable), baik melalui tubuh bendungan
2

maupun pondasi. Untuk itu, maka pola aliran dan debit rembesan yang keluar

melalui tubuh bendungan dan pondasi sangat penting dan perlu untuk

diperhatikan (Yong.et. al , 2009)

Bendungan Bajulmati terletak di desa Wongsorejo Kabupaten

Banyuwangi. Kapasitas tampungan kotor bendungan 10 x 106 m3 berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan air minum dan pembangkit listrik dengan kapasitas 340

kW. Pelaksanaan pembangunan pada saat ini menemui kendala yaitu kondisi

geologi pondasi rencana bendungan Bajulmati yang lulus air (permeable)

mengharuskan untuk dilakukan perbaikan pondasi agar rembesan yang terjadi

tidak membahayakan keamanan bendungan. Dalam studi ini akan dianalisa pola

aliran dan debit rembesan untuk beberapa alternatif perbaikan pondasi dengan

menggunakan analisa numerik elemen hingga (software Seep/W).

1.2 Identifikasi Masalah

Geologi lokasi bendungan Bajulmati di dominasi oleh dua produk

endapan volkanik muda yaitu endapan volkanik Gunung Api Baluran yang terdiri

dari lava flow dan auto breccia dan endapan volkanik Gunung Api Ijen Tua yang

terdiri dari lapilli tuff dan lahar (gravelly sand).

Permasalahan pondasi bangunan utama Bendungan Bajulmati

berkembang seiring dengan tahapan pembangunan. Kondisi geologi bawah

permukaan makin tersingkap dengan makin bertambahnya kemajuan pekerjaan

galian. Koefisien permeabilitas pada lokasi bendungan berkisar antara 10-2 s/d

10-4 sampai dengan kedalaman pondasi 30 m. Rendahnya nilai koefisien

permeabilitas pondasi bendungan dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya

kegagalan bendungan akibat piping dan uplift. Dalam analisa rembesan,


3

koefisien permeabilitas pada pondasi merupakan dasar untuk mengetahui nilai

keamanan bendungan terhadap piping.

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam studi ini adalah :

1. Studi ini mempelajari masalah rembesan pada Bendungan Bajulmati yang

terletak di desa Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi.

2. Kondisi geologi pada pondasi bendungan berdasarkan hasil penyelidikan

geologi yang didapatkan dari instansi yang berwenang.

3. Nilai properties material tanah berdasarkan data yang didapatkan dari hasil

penelitian laboratorium terhadap bahan material timbunan bendungan dari

instansi yang berwenang.

4. Data geometri potongan melintang bendungan didapatkan dari instansi yang

berwenang

5. Analisa dilakukan untuk stabilitas terhadap erosi bulung (piping) tidak untuk

stabilitas lereng timbunan bendungan.

1.4 Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah stabilitas bendungan Bajulmati dengan kondisi tanpa

perbaikan pondasi terhadap bahaya piping dan debit rembesan yang

diijinkan?

2. Bagaimanakah stabilitas bendungan terhadap nilai keamanan yang meliputi

faktor keamanan terhadap bahaya piping > 4 dan debit rembesan (bocoran)

< 2% limpasan tahunan rata-rata dengan alternatif perbaikan pondasi :

a. sementasi tirai (grouting)?

b. cut off wall ?

c. alas kedap air hulu (upstream blanket) ?


4

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari studi ini adalah

1. Mengetahui stabilitas bendungan Bajulmati dengan kondisi tanpa perbaikan

pondasi terhadap bahaya piping dan debit rembesan yang diijinkan.

2. Mengetahui stabilitas bendungan terhadap nilai keamanan yang meliputi

faktor keamanan terhadap bahaya piping > 4 dan debit rembesan (bocoran)

< 2% limpasan tahunan rata-rata dengan alternatif perbaikan pondasi

sementasi tirai (grouting), cut off wall dan alas kedap air hulu (upstream

blanket)

Manfaat yang diharapkan adalah memberikan informasi awal dalam

perencanaan alternatif perbaikan pondasi untuk mengurangi bahaya piping,

sehingga pembangunan bendungan Bajulmati tidak membahayakan masyarakat

di hilirnya.
5

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pondasi Pada Bendungan

2.1.1 Umum

Pondasi adalah bagian bawah dari tubuh bendungan dan bersama

dengan tubuh bendungan berfungsi untuk menampung air. Pondasi terdiri dari

lapisan tanah/batuan asli yang dipilih sebagai penopang tubuh bendungan

beserta seluruh bangunan pelengkapnya. Agar fungsi sebagai penampung air

baik dan bendungan stabil maka pondasi harus baik dan memenuhi persyaratan

tertentu.

Pondasi sebagai penopang tubuh bendungan harus memenuhi 3 (tiga)

persyaratan terpenting yaitu :

1. Mempunyai daya dukung yang mampu menahan bahan dari tubuh

bendungan dalam berbagai kondisi.

2. Mempunyai kemampuan untuk menghambat aliran filtrasi yang memadai,

sesuai dengan fungsinya sebagai penahan air

3. Mempunyai ketahanan terhadap gejala-gejala sufosi (piping) dan sembulan

(boiling) yang disebabkan oleh aliran filtrasi yang melalui lapisan – lapisan

pondasi tersebut.

Sesuai dengan jenis batuan yang membentuk lapisan pondasi, maka

secara umum pondasi bendungan urugan dibedakan dalam 3 jenis yaitu:

1. Pondasi batuan

2. Pondasi pasir atau kerikil

3. Pondasi tanah

Apabila pondasi tidak memenuhi persyaratan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan

sepanjang perbaikan tersebut layak dari segi teknis maupun ekonomis.


6

2.1.2 Perbaikan Pondasi

Untuk menentukan perbaikan pondasi yang tepat perlu diketahui jenis

pondasi dan kelemahan-kelemahan dari pondasi tersebut. Jenis pondasi dan

kelemahannya adalah seperti berikut:

1. Pondasi batuan (rock foundation).

Pondasi ini sangat kukuh ditinjau dari daya dukungnya. Bahan batu juga

masif dan padat sehingga sangat kedap air. Namun sifat mudah lapuk dan

pecah dapat menpengaruhi sifat batu yang kedap menjadi bocor. Hal yang

mungkin ditemui pada pondasi batuan misalnya pelapukan, retakan dan

patahan (foult atau Caesar) Kadang-kadang patahan bersifat tektonis yang

masih aktif.

2. Pondasi Pasir dan Kerikil.

Pondasi ini sifatnya sangat porous namun daya dukungnya cukup memadai

untuk bendungan urugan rendah dengan tinggi maksimum 40 s/d 50 m. Sifat

lain dari pondasi ini ialah liquefaction seakan cair seperti cairan.yaitu jika

kandungan air melebihi kondisi jenuh, pasir bersifat sebagai cairan.

3. Pondasi Tanah.

Pondasi tanah biasanya cukup kedap, meskipun daya dukungnya rendah.

Problem pondasi tanah adalah penurunan yang cukup besar dan lama.

2.1.2.1 Perbaikan pada pondasi pasir dan kerikil

Pondasi yang terdiri dari lapisan pasir dan kerikil berbutir kasar dan

bergradasi baik, cukup kuat menahan tubuh bendungan rendah < 50 m, namun

permeabilitasnya cukup tinggi. Lapisan pasir halus yang bergradasi hampir

seragam dengan coefisien uniformity (koefisien keseragaman) < 10, kepadatan

relatif < 70% serta mudah mencapai tingkat kecairan (liquifaction) tidak baik

digunakan untuk pondasi bendungan. Selanjutnya pondasi pasir dan kerikil yang

porositasnya tinggi harus diperbaiki untuk memperkecil rembesan agar air waduk
7

tidak banyak yang hilang dan untuk memperkecil tekanan ke atas akibat tekanan

air pori. Kecepatan rembesan dapat membuat partikel halus tererosi, selain debit

rembesan yang dikurangi, stabilitas partikel juga ditinjau.

Angka permeabilitas masing-masing lapisan dan ketebalan lapisan

biasanya tidak sama, maka cara perbaikannya juga berbeda-beda. Berhubung

permeabilitas dari setiap lapisan mempunyai angka yang berbeda – beda

dengan ketebalan lapisan yang berbeda – beda pula, maka peningkatan

kekedapan air yang dilakukan pada setiap pondasi akan berbeda – beda pula

baik metode pelaksanaan maupun dimensinya yang biasanya didasarkan pada

jenis serta ukuran pelapisannya, tipe serta dimensi bendungan, pertimbangan

ekonomis dan lain lain. Beberapa contoh prinsip pelaksanaan peningkatan

kekedapan air pada berbagai tipe pondasi dan bendungan akan dijelaskan pada

sub bab 2.2.3.

Perbaikan pondasi pasir dan kerikil dengan koefisien permeabilitas (K)

tinggi (K antara 10-5 s/d 10-4) diklasifikasi menjadi 4 (empat) tipe utama:

 Pondasi pasir kerikil dangkal yang kedalamannya kurang dari 1/3 tinggi

waduk.

 Pondasi pasir dan kerikil sedang yang kedalamnanya hampir sama dengan

tinggi waduk.

 Pondasi pasir dan kerikil dalam yang kedalamnnya > tinggi waduk

 Pondasi yang berselang seling antara lapisan kedap air (tanah) dan lulus air

(Pasir).

1. Pondasi pasir dan kerikil dangkal.

Perbaikan pondasi dangkal sebaiknya dibuat tirai kedap air sempurna, yaitu

menyeluruh persis di dasar bendungan sampai dengan lapisan kedap.Tirai

ini berupa galian lapisan (cut off) berbentuk trapesium yang diisi dengan
8

bahan kedap air yaitu tanah (Gambar 2.1). Untuk bendungan tanah cut off

diletakkan di bagian hulu bendungan, sedang untuk bendungan zonal

diletakkan di bawah inti kedap air, diisi dengan bahan seperti zona inti, agar

bersama-sama inti merupakan tirai kedap air dari atas ke bawah.

Pada bendungan batu tidak diperkenankan berdiri di atas pondasi pasir dan

kerikil karena keduanya besifat porus. Cara perbaikan ini sangat efektif,

daya pengurangan rembesan sangat bagus, bahkan dapat digunakan untuk

kedalaman yang lebih besar, tetapi biayanya sangat mahal, dan ada

bahaya longsor pada saat penggalian pondasinya.

Gambar 2.1 Tirai Kedap Air Sempurna (Cutt off)


a. Positive cutoff
b. Partial cutoff
Sumber : Singh, Bharat.; H. D. Sharma. 1976.

2. Perbaikan pondasi pasir dan kerikil sedang.

Perbaikan pondasi dengan lapisan pasir dan kerikil sedang yaitu hampir

sama dengan kedalaman waduk, dapat dibuat lapisan kedap air sempurna
9

yang tipis, antara lain pembuatan sementasi tirai (grouting), konstruksi turap

baja, turap beton, turap kayu dan sebagainya.

 Sementasi tirai (grouting) pada pondasi pasir dan kerikil:

Sementasi tirai dapat digunakan untuk memperbaiki pondasi pasir dan

kerikil agar terbentuk tirai semen yang menghalangi jalannya rembesan

dengan sempurna. Mengingat sifatnya yang lulus air dan lebih lunak

dibanding dengan pondasi batuan bahan sementasi dianjurkan

menggunakan bahan kimia.

Meskipun lebih mahal, namun ada kelebihan-kelebihan yang sangat

positif dari sementasi kimiawi tersebut, yaitu:

a. Pelaksanaannya tidak menimbulkan suara-suara yang berisik dan

tidak menimbulkan getaran-getaran keras.

b. Kemungkinan terjadinya kerusakan-kerusakan struktur lapisan tanah di

sekitar sementasi tirai kecil.

c. Sangat tinggi efektifitasnya untuk perbaikan pada pondasi yang air

tanahnya tinggi.

d. Sesudah pelaksanaan sementasi, pelaksanaan timbunan dapat

langsung dilaksanakan, tidak seperti sementasi dengan semen yang

harus menunggu dulu sampai keras.

e. Tidak diperlukan pembuatan tirai kedap air sementara.

Kedalaman sementasi tirai dapat ditentukan dengan menggunakan rumus

empiris sebagai berikut :

d = 1/3 h + c .................................. (2.1)

dimana :

d = kedalaman pengeboran (m)

h = tinggi tekanan statis air (m)

c = koefisien (8 s/d 20)


10

 Pembuatan tirai kedap air dengan turap.

Sebetulnya ada kelemahan pada tirai kedap air yang terbuat dari dinding

turap yaitu adanya kebocoran yang terjadi di antara dinding turap akibat

kurang rapatnya diding yang dipancang satu sama lain, dapat juga karena

kerusakan struktur tanah akibat pemancangan. Kurang lurusnya satu

tiang juga mungkin terjadi sehingga terjadi jeda antara tiang.

Beberapa contoh tirai kedap air dengan dinding turap dapat dilihat

sebagai berikut:

a. Pembuatan tiang pancang kontinyu (Gambar 2.2.a)

Tiang beton dicetak dengan penampang bujur sangkar atau kayu

dibuat dengan bentuk yang sama , kemudian dipancang satu persatu

sampai selesai.

b. Pembuatan dinding – dinding dengan penggalian – penggalian di

antara tiang – tiang beton cor yang telah dipasang terlebih dahulu.

Pelaksanaan perbaikan pondasi ini, pertama dilakukan pengeboran

berderet, kemudian digali antara lubang-lubang bor, selanjutnya beton

dicor kedalamnya (Gambar 2.2.b). Pembuatan dinding yang kontinyu,

atau disebut diafraghma wall (Gambar 2.2.c), semakin banyak

digunakan baik pada pembangunan bendungan urugan maupun

bendungan beton, bahkan untuk bangunan-bangunan sipil lainnya.

Bahan konstruksi yang digunakan disesuaikan dengan kondisi

geologi dan tentunya biaya. Bahannya antara lain dinding beton COT,

dinding adukan pasir dan semen, dinding aspal, dinding lempung

kedap air dan sebagainya.

Dari pengalaman pembuatan konstruksi tipe dinding kontinyu ini,

ternyata pembiayaannya cukup tinggi serta senantiasa dihadapkan

dengan problem pengisian-pengisian daerah sambungan, patahan


11

dan tidak selalu memperoleh dinding dengan kualitas yang cukup

baik. Metode ini dapat digunakan untuk perbaikan pondasi yang

sangat dalam, jauh lebih dalam dibanding dengan sementasi tirai,

seperti yang dilakukan pada Bendungan Wonorejo Tulung Agung

yang menggunakan perbaikan pondasi seperti ini dengan panjang

>100m.

Gambar 2.2 Dinding/Tirai Kedap Air Kontinyu


Sumber : Masrevaniah, Aniek. 2010.

Gambar 2.3 Alas Kedap Air di Hulu (Upstream Impervious Blanket)


Sumber : Mujiharjo D. 2009.
12

Karakteristik utama dari dinding yang kontinyu atau dinding halang

dijelaskan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Utama Dinding Halang

Karakteristik Dinding Dinding Dinding Dinding Dinding Dinding Dinding


diafragma diafragma diafragma diafragma diafragma slari tiang
Cara Clamshells Clamshells Clamshells Mesin Mesin Draglines, Downhole
penggalian mekanis mekanis mekanis pemotong pemotong shovel hammer
dan atau (Kelly grabs) (teknik (teknik mekanis drilling
pemasangan pemotongan pemotongan
dgn sirkulasi dgn sirkulasi
balik) balik)
Material Bentonit Beton Bentonit / Slari Beton Bentonit Beton
pengisi konvensiona semen atau bentonit / konvensiona tanah atau
l atau plastis beton semen l atau plastis bentonit
(konvension semen
al atau
plastis)
Sambungan Tidak ada Sambungan Sambungan Beton / Beton / Tanpa Dg
(joints) sambungan keliling, keliling, beton tanpa beton tanpa sambungan Sambungan
sambungan sambungan sambungan sambungan
cetakan cetakan
Kedalaman 50 120 50 - 60 50 150 15 -20 50
maksimum
(m)
Jenis tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Batuan
atau batuan penutup penutup penutup penutup penutup penutup keras (over
(over (over batuan batuan burden)
burden) burden) terlapuk, terlapuk,
batuan batuan
sampai 100 sampai 100
Mpa Mpa
(dengan alat (dengan alat
khusus) khusus)
Keterangan - - - Untuk Untuk Gradien Mahal
kedalaman > kedalaman > hidraulik, I
10 m 10 m ≤ 10 m
Sumber : Direktorat Sungai Danau dan Waduk DPU, Pedoman Pembuatan Dinding Halang (Cutoff
Wall) Pada Bendungan Urugan, Desember 2005
13

Ringkasan perbedaan penggunaan sementasi tirai dan dinding kedap air

tertera pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Matriks Perbedaan Penggunaan Sementasi Tirai dan Dinding


Kedap Air

Uraian Sementasi Tirai Dinding Kedap Air

Pelaksanaan Tidak menimbulan Diperlukan


suara yang berisik pengeboran terlebih
atau keras dahulu, sehingga
menimbulkan suara
berisik
Kerusakan struktur Relatif kecil, lubang Relatif besar, lubang
tanah bor cukup kecil pengeboran cukup
diletakkan berbaris besar, hanya satu
dengan berselang- baris.
seling
Biaya Relatif mahal Mahal
Koefisien Sedang (10 -5 s/d 10 -7) Tinggi, Bisa mencapai
permeabilitas 10-10
Waktu pelaksanaan Tidak terlalu lama, Cukup lama

3. Perbaikan pondasi pasir dan kerikil yang dalam.

Pembuatan tirai kedap air tidak sempurna bisa digunakan untuk perbaikan

pondasi pasir dan kerikil yang sangat dalam. Fungsi dari tirai ini untuk

memperpanjang trayektori aliran filtrasi. Selain pertimbangan kehilangan air

waduk, stabilitas erosi partikel pondasi akibat rembesan sangat perlu

diperhitungkan. Meski kurang efektif pembuatan lapisan alas kedap air

sering menjadi pilihan perbaikan pondasi bendungan urugan, karena

biayanya jauh lebih murah dan lebih mudah pula pemeliharaannya. Dimulai

dari inti ke arah hulu maka dibuat lantai kedap air dengan panjang tertentu

untuk memperkecil rembesan. (Gambar 2.3)

Pengurangan intensitas filtrasi pada pondasi dapat dicapai dengan

memperpanjang trayektori aliran filtrasi, semakin panjang trayektori aliran

semakin kecil debit rembesan dan semakin kecil kecepatan rembesan

seperti pada rumus Darcy


14

Q = A .k.i .................................. (2.2)

V = k.i .................................. (2.3)

dimana :

A = luas penampang basah

k = koefisien permeabilitas

i = gradien hidrolis

= h/L

h = beda tinggi tekan

L = panjang trayektori rembasan

V = kecepatan air rembesan

Bahan-bahan tanah lempung yang terdapat pada permukaan tanah dan

tanah yang kadar air porinya sangat tinggi, cukup baik untuk bahan pelapis

alas kedap air ini. Apabila bahan tersebut tidak terdapat di sekitar

bendungan atau kondisi topografinya tidak memungkinkan atau sulit diambil

sehingga diperlukan bahan lain seperti bentonit atau aspal, maka perlu

dipertimbangkan pembuatan tirai kedap air tergantung yang efektifitasnya

lebih tinggi. Alternatif keduanya perlu dipertimbangkan layak secara teknis

dan layak secara ekonomis.

Hal – hal yang perlu diperhatikan setelah pondasi diberi lapisan kedap air :

 Trayektori aliran filtrasi dalam pondasi yang lulus air di bawah lapisan

alas kedap air dapat dianggap horizontal.

 Angka koefisien filtrasi lapisan alas kedap air sekurang-kurangnya lebih

kecil 10 kali dibanding koefisien filtrasi pondasi lulus air

 Penentuan panjang lapisan kedap air ditentukan sedemikian rupa supaya

aliran filtrasi yang terjadi tidak lagi menimbulkan erosi pada pondasi.
15

Biasanya panjang lapisan kedap air lebih panjang dari pada tebal lapisan

pondasi lulus air.

Pada beberapa kasus pembangunan bendungan, setelah pondasi dilapisi

dengan tanah yang kedap air, debit filtrasi ternyata tetap dan tidak berkurang

juga, setalah dilakukan penelitian yang seksama terhadap problem tersebut

ternyata ada beberapa sebab antara lain :

 Alas kedap air yang terdiri dari tanah aslinya dan dipadatkan serta

disemprot bahan perekat tidak dapat memenuhi fungsinya dengan

sempurna karena pada saat pembersihan zona perakaran, mungkin

penggaliannnya terlalu dalam sehingga lapisan kedap airnya ikut

terbuang.

 Terjadi retakan – retakan pada lapisan kedap air yang di buat.

 Alas kedap air terlalu ringan sehingga terangkat oleh gaya ke atas dari

aliran air filtrasi.

 Angka koefisien filtrasi lapisan pondasi yang lulus air terlalu tinggi,

sehingga lapisan kedap air tidak mampu menahan rembesan.

Jika alas kedap air telah dibuat, yang penting diperhatikan adalah tempat

keluarnya air rembesan tersebut, biasanya disitu terjadi sembulan karena

tekanan air rembesan yang mau keluar ke permukaan. Untuk menghindari

pengaruh negatif aliran filtrasi tersebut dibuat konstruksi pemberat pada

daerah sembulan, dapat juga dibuat drainasi disekitar tumit bendungan

dengan kemungkinan pembuatan drainasi sumuran (relief well). Selain itu,

hal penting yang perlu diperhatikan adalah mempertebal alas kedap air di

tempat kontaknya dengan zona kedap air tubuh bendungan sedemikian rupa

sehingga kemungkinan adanya pergeseran – pergeseran vertikal antara alas


16

kedap air dan tubuh bendungan yang menimbulkan keretakan di daerah

tersebut dapat dihindarkan.

Panjang alas kedap air yang diperlukan, dapat ditentukan dengan rumus

Bennet sebagai berikut :

a. Untuk lapisan kedap air yang menggunakan lapisan teratas permukaan

tanah (alas kedap air asli), dengan panjang yang tidak jelas, biasanya

digunakan rumus empiris berikut :

. .
Xr = .................................. (2.4)

. .
qf = .................................. (2.5)

b. Untuk alas kedap air yang terdiri dari bahan – bahan lempung timbunan

dengan panjang yang terbatas, persamaan empiris yang digunakan

adalah

Xr = .................................. (2.6)
( )

a = .................................. (2.7)
. .

. .
q = .................................. (2.8)

dimana :

Zb = ketebalan alas kedap air (m)

Kb = koefisien K dari alas kedap air (m/dt)


17

Zf = kedalaman lapisan lulus air pada pondasi (m)

X = panjang alas kedap air yang terdiri dari bahan lempung

timbunan (m)

Xr = trayektori efektif aliran filtrasi (m)

Xd = lebar dasar zone kedap air bendungan (m)

qf = debit filtrasi (m3/det)

H = total tinggi tekanan air pada alas kedap air (m)

Hubungan antara X, Xr dan a untuk melihat efisiensi dari alas kedap air

tertera pada gambar 2.4

Gambar 2.4 Hubungan antara Xr, a dan X


Sumber : Sosrodarsono, Suyono.; Kensaku Takeda. 1989.

H
Alas KedapAir

Zr
Xr
Zf Pondasi
X Xd

Gambar 2.5 Skema alas kedap air hulu


Sumber : Sosrodarsono, Suyono.; Kensaku Takeda. 1989.
18

4. Perbaikan pada pondasi yang tersusun dari lapisan – lapisan lulus air dan
kedap air secara bergantian

Pada kondisi pondasi yang demikian itu lihat Gambar 2.6, pertama – tama

perlu dibuatkan tirai kedap air pada lapisan lulus air yang paling atas, atau

beberapa lapisan lulus air teratas, apabila pelapisannya tidak terlalu tebal.

Disamping itu perlu diperhatikan kemungkinan adanya gejala tekanan ke atas

air artesis. Apabila lapisan kedap air bagian atas cukup tebal, maka lapisan

tersebut akan mampu menahan tekanan air ke atas dari lapisan lulus air

dibawahnya, tetapi bila lapisan kedap air tersebut tipis dibanding dengan

kedalaman effektif air dalam waduk, maka lapisan tersebut tidak mampu

menahan tekanan air ke atas tersebut, dan tekanan tersebut akan diteruskan

sampai pada alas bendungan, sehingga akan membahayakan kestabilan

bendungan. Untuk mengeluarkan tekanan air dari pondasi diperlukan

pembuatan relief wells seperti Gambar 2.7.

Gambar 2.6 Bendungan Berdiri Diatas Pondasi Berselang-seling


Sumber : Masrevaniah, Aniek. 2010.

Gambar 2.7 Drainasi Sumuran (Relief Well)


Sumber : Masrevaniah, Aniek. 2010
19

Drainasi sumuran bertujuan untuk mengurangi tekanan air ke atas dari

filtrasi yang terdapat pada lapisan – lapisan lulus air, maka perlu dilakukan hal

– hal sebagai berikut :

a. Ujung bawah drainase sumuran di tempatkan tepat di atas lapisan lulus air

sehingga air filtrasinya akan keluar untuk mengurangi tekanan air ke atas

yang terjadi akibat lapisan lulus air tersebut. Kedalaman drainasi sumuran

sedapat mungkin di buat sama dengan tinggi bendungannya, agar filtrasinya

tidak membahayakan. Jika lapisan kedap air di bagian atas cukup tebal dan

dirasa tidak timbul sembulan, maka pembuatan drainasi sumuran tidak perlu

di lakukan. Drainasi sumuran dapat membuat lapisan lulus air menjadi kering,

akibatnya terjadi penurunan pondasi sehingga menimbulkan longsornya

timbunan bendungan.

b. Konstruksi drainasi sumuran harus dibuat sedemikian rupa supaya lubang –

lubangnya tidak buntu sehingga keluar masuknya air dari dan ke sumur tidak

mendapatkan hambatan.

c. Filter yang di pasang di sekeliling pipa vertikal dari sumur dipilih diameter

yang tepat, agar air yang masuk lancar dan tidak menutup lubang – lubang

drainasi.

2.2 Rembesan Pada Tubuh Bendungan dan Pondasi

2.2.1 Umum

Salah satu persyaratan dasar untuk perencanaan bendungan timbunan

tanah (earthfill) maupun timbunan batu (rockfill) adalah untuk menjamin

keamanan terhadap erosi internal, piping dan tekanan pori yang berlebihan di

dalam bendungan maupun pada pondasi. Rembesan air waduk melalui tubuh

bendungan atau melalui bidang pertemuan antara pondasi bendungan atau

tumpuan bendungan akan menyebabkan dua masalah utama yaitu :


20

1. Menyebabkan kehilangan air yang berlebihan dan dengan demikian

mengurangi penyimpanan yang dapat digunakan reservoir:

2. Piping, yaitu erosi yang terjadi dari tempat keluarnya air rembesan yaitu pada

lereng urugan atau permukaan fondasi, yang kemudian berkembang ke hulu

membentuk buluh (pipa).

Erosi buluh dapat terjadi, baik di dalam massa pondasi maupun didalam

tubuh urugan yang kohesif. Proses erosi buluh dimulai dari suatu titik

diskontinuitas di sebelah hilir atau konsentrasi aliran di sepanjang timbunan

tanah yang kurang padat, terutama pada bidang kontak antara bendungan

dengan struktur tanah arah memanjang dari udik ke hilir, lubang bor yang

terbuka, bekas galian, akar tanaman dan liang binatang. Butir – butir tanah yang

terlepas dimulai dari sebelah hilir, sehingga membentuk pipa – pipa kecil yang

merambat secara perlahan – lahan ke udik bendungan. Pada umumnya lintasan

pipa – pipa kecil tersebut mempunyai bentuk seperti jaringan aliran (flownet).

Untuk mencegah kejadian semacam ini, harus dibuat suatu sistim pengontrol

yang perlu diamati secara kontinyu di lokasi – lokasi rembesan yang

terkonsentrasi.

Di dalam upaya untuk melindungi bendungan terhadap bahaya

rembesan, terdapat 2 buah kategori yaitu :

1. Mengurangi debit rembesan

a. Cutoff trenches, parit halang

b. Grouting tirai

c. Dinding halang beton atau baja, Sheetpile walls, concrete cutoffs

walls

d. Alas kedap air, Upstream blanket

2. Mengontrol debit rembesan atau pengendalian drainasi


21

a. Timbunan zonal (embankment zoning)

b. Selimut drainase, Longitudinal drain and blankets

c. Drainase, Chimney drain

d. Drainase kaki, toe drains

e. Sumur pelepas tekanan, Relief wells

Desain bendungan biasanya menggunakan kombinasi kedua cara

tersebut. Walaupun prinsip kerja dari kedua cara tersebut berbeda, di dalam

analisa rembesan harus digabungkan sebagai satu kesatuan.

Gambar 2.7 Erosi Internal Dan Piping Pada Tubuh Bendungan Dan Pondasi
Sumber : Module 4, Hydraulic Structures For Flow Diversion and Storage, 2009

2.2.2 Kontrol rembesan pada timbunan bendungan

Metode untuk mengontrol rembesan pada timbunan bendungan adalah :

1. Menggunakan Filter

Aliran rembesan yang menyebabkan terjadinya piping, harus dilindungi oleh

filter. Filter harus ditempatkan diantara dua jenis material yang memiliki

permeabilitas yang berbeda, untuk mencegah terjadinya perpindahan butiran

material inti masuk ke zona urugan batu yang permeabilitasnya lebih tinggi.

Di samping itu fungsi dari filter adalah mengaliran aliran rembesan tetapi

tetap menjaga butiran tanah untuk tetap di tempatnya.


22

Fungsi dari filter adalah :

- Mencegah terjadinya erosi internal dengan menutup migrasi butiran tanah

dari tempat asalnya

- Sebagai saluran drainase dari aliran rembesan tanpa menimbulkan

kehilangan tekanan rembesan dan tekanan hidrostatic pada filter atau

drainase.

2. Menggunakan Inti (Impervious Core)

Zona kedap air atau zona inti mutlak diperlukan untuk pembangunan

bendungan urugan. Sebagai standard, koefisien filtrasi (K) dari bahan yang

digunakan untuk zona kedap air supaya tidak melebihi 1 x 10-5 cm/det.

3. Menggunakan Drainase

Konstruksi drainase yang dipergunakan pada bendungan yang sekaligus

berfungsi sebagai filter biasanya menggunakan bahan dengan koefisien

filtrasi (K) antara 20 sampai dengan 100 kali lebih besar daripada harga K

dari bahan tubuh bendungan.

Pembuatan sistim drainase tersebut supaya dilakukan dengan sangat hati –

hati serta pemilihan tipenya didasarkan pada hal – hal sbb :

 Perbandingan nilai K antara bahan tubuh bendungan dan bahan drainase

yang terpilih.

 Angka kadar air yang akan terdapat dalam tubuh bendungan.

 Metode pemadatan tubuh bendungan.

 Kemungkinan pencampuran - pencampuran yang dilakukan untuk bahan

tubuh bendungan.

2.2.3 Kontrol rembesan pada pondasi bendungan

Pondasi dan abutment dari bendungan, yang harus stabil terhadap

pengaruh dari airtanah, sangat mungkin akan menimbulkan piping dan erosi
23

yang disebabkan oleh perubahan regim aliran tanah pada saat pengisian waduk.

Piping yang terjadi pada pondasi bendungan dapat juga disebabkan oleh adanya

lapisan pondasi yang lulus air. Maka, untuk mengontrol rembesan yang terjadi

pada pondasi bendungan diperlukan perbaikan pondasi.

Metode yang umumnya digunakan untuk mengontrol rembesan pada

pondasi yang lulus air antara lain parit halang yang disi kembali dengan lempung

yang dipadatkan, dinding halang (diafragma) cairan lempung dengan bentonit,

dinding halang beton, selimut lempung kedap air di bagian hulu, horizontal drain

di bagian hilir, toe drain, sumur pelepas tekanan (relief well) dan kombinasi satu

dengan cara lain di atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.8

Gambar 2.8 Berbagai Macam Cara Pengendalian Rembesan Pada Pondasi


Dan Tubuh Bendungan Urugan.
Sumber : Zainuddin, 2009

2.3 Stabilitas bendungan terhadap aliran filtrasi

Tubuh bendungan diharuskan mampu mempertahankan diri terhadap

gaya-gaya yang ditimbulkan oleh adanya air filtrasi yang mengalir melalui celah-
24

celah antara butiran-butiran tanah pembentuk tubuh bendungan maupun melalui

pondasi. Untuk mengetahui kemampuan daya tahan tubuh bendungan terhadap

gaya-gaya tersebut diatas, maka diperlukan penelitian pada hal-hal sebagai

berikut:

1. Formasi garis depresi (seepage line formation) dalam tubuh bendungan

dengan elevasi tertentu permukaan air dalam waduk yang direncanakan.

2. Kapasitas air filtrasi yang mengalir melalui tubuh bendungan.

3. Kemungkinan terjadinya gejala sufosi (piping) dan sembulan (boiling) yang

disebabkan oleh gaya-gaya hydrodinamis dalam aliran air filtrasi.

Hal-hal tersebut dapat diketahui dengan mendapatkan formasi garis

depresi (seepage line formation) dan membuat suatu jaringan trayektori aliran

filtrasi (seepage flow-net) dalam tubuh bendungan.

2.3.1 Formasi Garis Depresi (Seepage Line Formation)

Formasi garis depresi pada zone kedap air suatu bendungan dapat

diperoleh dengan metode Casagrade. Ujung tumit bendungan dianggap sebagai

titik permulaan koordinat dengan sumbu-sumbu x dan y, maka garis depresi

dapat diperoleh dengan persamaan parabola bentuk dasar sebagai berikut:

y 2  yo 2
x atau y 2 yox  yo 2 .................................. (2.9)
2 yo

dan yo  h2  d 2  d .................................. (2.10)

dengan:

h = jarak vertikal antara titik A dan B

d = jarak horisontal antara titik B2 dan A

l1 = jarak horisontal antara titik B dan E

l2 = jarak horisontal antara titik B dan A


25

A = ujung tumit hilir bendungan

B = titik perpotongan antara permukaan air waduk dan lereng udik bendungan

B1 = titik perpotongan antara parabola bentuk besar garis depresi dengan

garis vertikal melalui titik B

B2 = titik yang terletak sejauh 0,3 l1, horisontal ke arah udik dari titik B

Gambar 2.9 Garis Depresi Pada Bendungan Homogen (sesuai dengan garis
parabola)
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Gambar 2.10 Garis depresi pada bendungan homogen (sesuai dengan garis
parabola yang mengalami modifikasi)
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Akan tetapi garis parabola bentuk besar (B2-C0-A 0) diperoleh dari

persamaan diatas bukanlah garis depresi yang sesungguhnya, masih diperlukan

penyesuaian menjadi garis B-C-A yang merupakan bentuk garis depresi yang

sesungguhnya seperti terlihat pada Gambar 2.9.

Pada titik permulaan, garis depresi berpotongan tegak lurus dengan

lereng udik bendungan dan dengan demikian titik C0 dipindahkan ke titik C

sepanjang Δa. Panjang garis Δa tergantung dari kemiringan lereng hilir


26

bendungan, dimana air filtrasi tersembul keluar yang dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut:


y0
a  a  .................................. (2.11)
1  cos 
dengan:
AC a = jarak
C 0 CΔa = jarak

α = sudut kemiringan lereng hilir bendungan

Harga a dan Δa yang diperoleh dengan persamaan diatas dan dengan

pengambilan nilai C= Δa/(a+Δa) pada Gambar 2.10 dan Gambar 2.12. Apabila

kemiringan sudut lereng hilir bendungan lebih kecil dari 300, maka harga a dapat

diperoleh dengan rumus sebagai berikut:


2 2
d  d   h  .................................. (2.12)
a     
cos   cos    sin  

Gambar 2.11 Beberapa Cara Untuk Memperoleh Harga ’a’ Sesuai Dengan Sudut
Bidang Singgungnya (α)
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Gambar 2.12 Hubungan Antara Sudut Bidang Singgung (α) Dengan Δa/(a+Δa)
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.
27

Gambar 2.13 Skema Formasi Garis Depresi Pada Bendungan Inti Vertikal
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

2.3.2 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi (Seepage Flow-net)

Berbagai metode telah dikembangkan untuk membuat jaringan trayektori

aliran filtrasi pada bendungan urugan dan metode yang paling sesuai dan

sederhana adalah metode grafis yang diperkenalkan oleh Forchheimer

(Forchheimer’s diagramatical solution). Didasarkan pada jaringan trayektori aliran

filtrasi yang telah tergambar, selanjutnya dapat dihitung kapasitas air filtrasi

dengan ketelitian yang cukup baik dan gambar tersebut akan sangat cocok

dengan kenyataan apabila dibuat oleh tenaga ahli yang cukup berpengalaman.

Jaringan trayektori aliran filtrasi (flownet) sangat tergantung pada tipikal

bendungan dan kondisi pondasi bendungan. Beberapa referensi flownet pada

tubuh maupun pondasi bendungan adalah sebagai berikut:

1. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada bendungan urugan dengan tipe zonal

Gambar 2.14 Jaringan trayektori aliran filtrasi pada bendungan zonal


Sumber : Mujiharjo, 2009
28

2. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada bendungan urugan dengan angka


koefisien filtrasi vertikal berbeda dengan angka koefisien filtrasi horisontal
Pada kondisi ini, jaringan trayektori aliran filtrasi digambar sebagai bidang –

bidang persegi panjang yang sisi – sisi horisontalnya diperpendek sebesar

/ ℎ kali.

Gambar 2.15 Jaringan trayektori aliran filtrasi dalam bendungan dimana


kv= 5 kh
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

3. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada pondasi bendungan

Model dari jaringan trayektori aliran filtrasi pada pondasi bendungan

dibedakan menjadi 2 kondisi yaitu :

a. Angka koefisien permeabilitas pada tubuh bendungan, k sama dengan

angka k pada pondasi bendungan.

Gambar 2.16 Jaringan trayektori aliran filtrasi pada lapisan pondasi, dimana k
tubuh bendungan = k pondasi
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

b. Angka koefisien permeabilitas pada tubuh bendungan, k berbeda dengan

angka k pada pondasi bendungan. Pada kondisi ini, trayektori aliran

filtrasi diperbesar secara proporsional dengan mengalikan perbedaan dari

kedua angka k tersebut.


29

Gambar 2.17 Jaringan trayektori aliran filtrasi pada lapisan pondasi, dimana k
tubuh bendungan ≠ k pondasi
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

4. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada saat terjadinya penurunan mendadak

Aliran filtrasi pada saat terjadinya penurunan mendadak permukaan air

waduk, merupakan aliran tidak tetap (unsteady flow), maka analisa rembesan

harus didasarkan pada teori aliran tidak tetap yang sangat kompleks.

Penyederhanaan analisa biasanya digunakan rumus – rumus Laplace.

Anggapan rumus Laplace, bahwa penurunan permukaan air waduk terjadi

demikian cepatnya, sehingga kapasitas dari fasilitas – fasilitas pelimpah pada

bendungan dapat diabaikan. Dalam analisa ini gejala penyusutan dan gaya –

gaya kapiler yang terjadi pada tubuh bendungan diabaikan, sehingga hasil

analisa akan menjadi lebih aman. Jaringan trayektori aliran filtrasi yang

diperoleh akan merupakan gambaran dalam kondisi yang bersifat sementara.

Permeabilitas bahan – bahan pembentuk tubuh bendungan merupakan faktor

yang paling menentukan untuk karakteristika gambar jaringan aliran filtrasi

dan umumnya akan memberikan hasil sebagai berikut:

a. Untuk bahan tubuh bendungan dengan k > 1 x 10-3 cm/det, maka

penurunan permukaan air dalam waduk akan bersamaan dengan

penurunan air yang terdapat dalam tubuh bendungan.


30

b. Untuk bahan tubuh bendungan dengan k = 1 x 10-3 cm/det (k < 1 x 10-4

cm/det), maka penurunan permukaan air dalam waduk akan segera

diikuti oleh penurunan permukaan air yang terdapat di dalam tubuh

bendungan.

c. Untuk bahan tubuh bendungan dengan k < 1 x 10-4 cm/det, maka

penurunan muka air dalam waduk tidak lagi segera diikuti oleh penurunan

permukaan air dalam tubuh bendungan.

Gambar 2.18 Jaringan trayektori aliran filtrasi di dalam tubuh bendungan pada
saat terjadinya penurunan mendadak untuk berbagai tipe tubuh bendungan
Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

5. Jaringan trayektori aliran filtrasi bendungan dengan perbaikan pondasi cut off

wall, grouting dan upstream blanket


31

Gambar 2.19 Pengaruh perbaikan pondasi terhadap kapasitas aliran filtrasi


Sumber : Mujiharjo, 2009

2.3.3 Kapasitas Aliran Filtrasi

Kapasitas aliran filtrasi adalah kapasitas rembesan air yang mengalir ke

hilir melalui tubuh bendungan dan pondasi. Kapasitas filtrasi suatu bendungan

mempunyai batas-batas tertentu, apabila kapasitas filtrasi melampaui batas

tersebut, maka kehilangan air yang terjadi akan cukup besar. Kapasitas filtrasi

yang besar dapat menimbulkan gejala sufosi (piping) dan gejala sembulan

(boiling) yang sangat membahayakan kestabilan tubuh bendungan.

Besarnya kapasitas filtrasi yang mengalir melalui tubuh bendungan dan

pondasi yang didasarkan pada jaringan trayektori aliran filtrasi, dapat dihitung

dengan beberapa rumus sebagai berikut:

a. Berdasarkan trayektori aliran

Nf .................................. (2.13)
Qf  KHL
Np

dengan:

Qf = kapasitas aliran filtrasi (kapasitas rembesan)


32

Nf = nilai pembagi dari garis trayektori aliran filtrasi

Np = nilai pembagi dari garis equi-potensial

K = koefisien filtrasi

H = tinggi tekanan air total

L = panjang profil melintang tubuh bendungan

b. Berdasarkan rumus empiris

Q = q. B .................................. (2.14)

Dan

q = k. i .A .................................. (2.15)

Dimana :

Q = kapasitas filtrasi

q = kapasitas filtrasi per unit panjang tubuh bendungan

B = lebar potongan memanjang tubuh bendungan (gambar 20)

k = koefisien filtrasi

i = kemiringan hidraulik

A = luas potongan melintang yang dilalui aliran filtrasi per unit lebar

Bn

Gambar 2.20 Penampang memanjang sebuah bendungan urugan


Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Kapasitas filtrasi yang mengalir keluar tubuh bendungan harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut :

1. Maksimal 2% - 5% dari debit rata – rata yang masuk ke dalam waduk1

2. 0,05 % kapasitas tampungan waduk bruto2


33

1
Sumber : Sudibyo, Teknik Bendungan, 2003, h.80.
2
Sumber : The Japanese Institute of Irrigation and Drainage, Engineering Manual for
Irrigation and Drainage No.3, Fill Dam, Maret 1998, h.193

2.3.4 Gejala-gejala Sufosi (Piping) dan Sembulan (Boiling)

Agar gaya-gaya hydrodinamis yang timbul pada aliran filtrasi tidak akan

menyebabkan gejala sufosi dan sembulan yang sangat membahayakan tubuh

bendungan, maka kecepatan aliran filtrasi dalam tubuh bendungan tersebut pada

tingkatan tertentu perlu dibatasi.

Analisa rembesan yang mengindikasikan terjadinya piping ditentukan

berdasarkan faktor keamanan terhadap piping.

Faktor keamanan terhadap piping berdasarkan pedoman pengendalian

rembesan pada bendungan urugan adalah sbb:

Fkpiping = .................................. (2.16)

dengan :

FK piping min = 4

In = gradien hidraulik debit

Icr = gradien hidraulik dari material timbunan atau pondasi

Icr = .................................. (2.17)

SG = berat jenis material, spesific gravity

e = angka porositas

2.4 Analisa Rembesan (Seepage)

Analisa rembesan pada pondasi dan bendungan umumnya dimodelkan

baik secara fisik maupun secara empiris untuk mengetahui fenomena pola aliran

dari rembesan. Dengan memberikan kondisi batas tertentu dan sifak fisik

material tanah maupun pondasi, pemodelan ini dapat digunakan untuk

menentukan tekanan hidraulik, pola aliran, serta jumlah debit rembesan.

Analisa rembesan yang logis, diawali oleh hukum Darcy tahun 1856 dan
34

persamaan Laplace untuk kondisi aliran langgeng (steady state flow) suatu fluida

melalui suatu media yang lulus air (porous).

2.4.1 Hukum Darcy

Pada tahun 1856, Henry Darcy mempublikasikan suatu formula yang

mengatur aliran melalui media lulus air, berdasarkan studi aliran air melalui filter

vertikal di laboratorium. Hukum Darcy telah dijelaskan pada persamaan 2.2 dan

2.3.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada hukum Darcy adalah:

a. Kecepatan aliran, V adalah kecepatan aliran fluida dan didefinisikan sebagai

jumlah kotor aliran yang mengalir melalui luas penampang massa tanah

dalam satuan waktu tertentu. Karena aliran hanya terjadi melalui pori – pori

tanah, aliran air yang riil atau kecepatan rembesan untuk suatu molekul

tunggal dari air yang melalui suatu alur unik dari pori – pori tanah adalah lebih

besar dibandingkan dengan kecepatan debitnya.

b. Kecepatan rembesan secara kasar adalah sama dengan kecepatan debit

dibagi dengan porositas tanah.

c. Hukum Darcy hanya berlaku untuk aliran laminer (aliran – aliran air yang

berdekatan saling sejajar dan lurus serta kecepatan aliran adalah

proporsional dengan gradien hidraulis, i).

d. Hukum Darcy dibatasi untuk aliran yang melalui material jenuh.

e. Hukum Darcy tidak cocok untuk aliran melalui retakan atau rekahan melalui

batu atau tanah.

Beberapa aplikasi dalam analisis rembesan yang menggunakan rumus

Darcy adalah sebagai berikut :

a. Penentuan permeabilitas, baik di lapangan maupun laboratorium

b. Memprediksi jumlah aliran laminer


35

Hukum Darcy juga digunakan untuk mengatasi masalah – masalah

rembesan dan drainase pada bendungan urugan. Salah satu contoh

penggunaan hukum Darcy adalah menentukan permeabilitas yang diperlukan

atau penentuan drainase dari suatu bendungan seperti tertera pada gambar

2.22.

Gambar 2.22 Desain chimney drain menggunakan hukum Darcy


Sumber : Balai Bendungan, 2010.

2.4.2 Teori Matematika Laplace

Kejadian proses resap pada pondasi dan timbunan bendungan dapat

didekati melalui teori aliran air dalam tanah, khususnya peristiwa aliran pada

akuifer bebas, sehingga pergerakan air dianggap dapat mengikuti hukum

hidraulika air dalam tanah. Untuk mengkaji masalah ini, maka dapat digunakan

teori pendekatan dengan hukum Darcy, yaitu memandang gerakan air dalam

tanah yang diilustrasikan dengan system koordinat Kartesius meliputi gerakan

aliran air ke arah 3 sumbu koordinat itu, yaitu arah sumbu x, y, dan z, seperti

tergambarkan berikut ini. Menurut hukum Darcy khususnya pada keadaan tanah
36

homogen isotropis, debit spesifik sebagai vektor pada sistem koordinat Kartesius

di muka adalah :

u
vx   k . ............................................................... (2.18)
x

u
vx   k . ............................................................... (2.19)
y

u
vx   k . ............................................................... (2.20)
z

Gambar 2.23 Debit Spesifik Aliran Air Melalui Elemen Tanah


Sumber : Balai Bendungan, 2010

Dalam hal ini ketebalan elemen tanah adalah arah x = ∆x, arah y = ∆y dan arah z

= ∆z, maka air yang mengalir masuk ke dalam elemen tanah itu adalah sebesar :

Arah x = vz . ∆y . ∆z ..................................... (2.21)

Arah y = vy . ∆x . ∆z ..................................... (2.22)

Arah z = vz . ∆x . ∆y ..................................... (2.23)

Sedangkan air yang mengalir keluar elemen tanah besarnya adalah :

 vx 
Arah x =  vx  .x  . y . z ..................................... (2.24)
 x 

 vy 
Arah y =  vy  .y  . x . z ..................................... (2.25)
 y 
37

 vz 
Arah z =  vz  .x  . x . y ..................................... (2.26)
 z 

Jika berpedoman pada azas kontinuitas bahwa jumlah air yang masuk

elemen tanah akan sama dengan jumlah air yang keluar elemen tanah maka:

vx. ∆y. ∆z + vy. ∆x. ∆z + vz. ∆x. ∆y = ............................ (2.27)

 vx 
 vx  . x  . y . z
 x 

 vy 
  vy  . y  . x . z
 y 

 vz 
  vz  . x  . x . y
  z 

vx vy vz


. x.y.z  .x.y.z  .x.y.z  0 ........... (2.28)
x y z

 vx vy vz 


    . x.y.z  0 ..................................... (2.29)
 x y z 

vx vy vz


  0 .................................... (2.30)
x y z

 vx  2 2
Jika vx   k . maka  k.
x x x 2

 vy  2 2
vy   k . maka  k.
y y y 2

 vz  2 2
vx   k . maka  k.
z z z 2

Sehingga persamaan kontinuitas menjadi

 2  2  2
  0 ....................................... (2.31)
x 2 y 2 z 2

Persamaan (2.32) dalam matematika dinamakan persamaan laplace.


38

2.4.3 Informasi Yang Dibutuhkan Untuk Analisa Rembesan

Validitas dan kualitas dari analisis rembesan tergantung dari informasi

yang tersedia sebagai masukan ke dalam analisis, antara lain meliputi :

a. Lokasi batasan dan alur aliran

b. Jenis aliran

c. Permeabilitas dari berbagai aliran yang dilalui aliran rembesan

Masalah – masalah rembesan timbul, karena informasi yang tersedia

pada saat tahap desain dan konstruksi bendungan sering tidak mencukupi untuk

memprediksi rembesan. Untuk itu, diperlukan pengamatan lapangan pasca

konstruksi sebagai tambahan informasi dalam mengatasi rembesan yang timbul.

2.4.4 Kondisi Pembebanan

Kondisi muka air waduk sebagai faktor pembebanan dalam analisa

rembesan, harus diperhitungkan sebagai berikut :

1. Elevasi muka air maksimum harus digunakan untuk menentukan pengaruh

gradien keluaran dan tekanan angkat pada pondasi yang porus. Jika pondasi

sudah jenuh, perubahan tekanan dapat terjadi dalam waktu yang singkat.

Kapasitas maksimum dari sistim drainasi akibat pengaruh pondasi yang

porus juga harus ditentukan dari pembebanan maksimum ini.

2. Elevasi muka air normal harus digunakan untuk memperkirakan debit

rembesan dan untuk menentukan garis freatik pada kondisi aliran langgeng

(steady seepage). Pada banyak kasus, elevasi ini merupakan elevasi yang

digunakan dalam penentuan kapasitas maksimum untuk kebutuhan air

(konservasi air)

3. Elevasi muka air waduk minimum atau disebut juga sebagai elevasi muka air

konservasi tidak aktif, harus digunakan untuk studi retak susut di dalam tubuh

bendungan, bila terjadi dalam waktu yang lama (jangka panjang). Kriteria ini

dapat digunakan, kecuali jika ada kriteria lain, sebagai perbandingan.


39

4. Elevasi muka air buri (tail water) rata – rata harus digunakan pada analisa

aliran langgeng.

2.4.5 Kondisi Batas

Kondisi batas (boundary condition) ini menentukan batas dan kondisi

aliran dan penampang yang dianalisis. Daerah batas mencakup lapisan pondasi

kedap air (tidak terjadi rembesan), bidang masuknya aliran dan bidang keluaran

rembesan, termasuk penentuan rembesan bersifat tetap atau sementara

(transient).

Kondisi dan lokasi daerah batas tersebut ditentukan oleh :

a. Investigasi lapangan dan geologi lapangan

b. Asumsi berdasarkan “engineering judgement”

c. Kondisi yang diinginkan untuk perencanaan dan jenis struktur

d. Geometri bendungan

Dalam beberapa kasus, diperlukan simplikasi asumsi untuk menentukan kondisi

batas. Beberapa kondisi batas tertera pada gambar 2.24

Bidang kontak antara media pervious yang jenuh dengan material di

dekatnya berupa tanah atau beton yang mempunyai koefisien permeabilitas

rendah dianggap sebagai kondisi batas yang kedap air dan diasumsikan bahwa

aliran rembesan tidak dapat menembus lapisan ini, sehingga aliran yang melalui

lapisan yang porous di dekatnya adalah sejajar dengan daerah batas tersebut.

Garis – garis AB dan 1-8 pada gambar 2.24 A di atas merupakan daerah batas.

Garis – garis yang mementukan dimana air masuk atau keluar dari massa

yang porous, disebut daerah pemasukan (entrance) dan daerah keluaran (exit).

Di sepanjang garis – garis ini (garis – garis 0-1 dan 8-G di gambar 2.24A serta

garis – garis AD dan BE di Gambar 2.24B adalah merupakan garis – garis

potensial yang mempunyai level pisometrik yang sama). Aliran tegak lurus

bidang pemasukan atau keluaran.


40

Massa pervious yang jenuh juga mempunyai suatu daerah kondisi batas

yang berhubungan dengan atmosfir dan air keluar di sepanjang bidang tersebut,

seperti garis GE di gambar 2.24B. Tekanan di sepnajng bidang ini adalah sama

dengan tekanan atmosfir. Bidang ini disebut muka aliran atau bidang rembesan.

Boundaries Other Seepage Parameter


AB - No Flow Boundary Line 1,2,3,4,5,6,7,8 - Seepage Flow Path
CD - Constant Head Boundary h1 - Headwater Potential
EF - Constant Head Boundary h2 - Tailwater Potential
1-8 - No Flow Boundary h (h1-h2) - Drop in Head
1-D - No Flow Boundary 0-1 - Line of Equal Potential
E-8 - No Flow Boundary 8-G - Line of Equal Potential

Boundaries Other Seepage Parameter


AB - No Flow Boundary AD - Line of Equal Potential
CD - Constant Head Boundary GE - Seepage Force
EF - Constant Head Boundary DG - Phreatic Surface
h1 - Depth of Headwater
h2 - Depth of Tailwater
h - Drop in Potential
BE - Line of Equal Potential

Gambar 2.24 Kondisi – kondisi batas


Sumber : Balai Bendungan, 2010
41

Garis DG pada gambar 2.24B adalah garis yang terletak di antara massa

pervious dimana air pada tekanan atmosfir. Garis ini diebut garis freatik atau

permukaan bebas (free surface). Material di bawah garis freatik adalah dalam

kondisi jenuh. Diasumsikan bahwa tidak ada aliran yang memotong permukaan

freatik, jadi aliran dalam massa porous di dekatnya sejajar dengan garis freatik.

Pada daerah batas kedap air serta pemasukan dan keluaran, muka air freatik

tidak diketahui, sampai distribusi aliran di dalam massa pervious diketahui.

Gambar 2.24 di atas juga menunjukkan 2 kasus umum rembesan, yakni

aliran bebas (confined flow) pada gambar 2.24A dan aliran tertekan (unconfined

flow) pada gambar 2.24B. Aliran bebas terjadi di dalam suatu massa pervious

jenuh di bawah suatu bendungan beton yang tidak mempunyai garis freatik.

Aliran tertekan terjadi bila massa tanah pervious mempunyai suatu garis freatik,

permukaan rembesan dan garis freatik harus ditentukan dengan analisis (atau

dari pengamatan lapangan).

2.4.6 Metode Analisa

Penyelesaian terhadap kondisi steady seepage, untuk aliran laminar

berdasarkan pada persamaan Laplace dan Darcy. Beberapa cara telah

dikembangkan untuk menyelesaikan persaman – persamaan tersebut untuk

berbagai kasus rembesan yang diringkas pada gambar 2.25.

Seepage Analysis

FLOWNETS ANALYTICAL METHODS ANALYTICAL METHODS


A. Hand Drawn A. Mapping or A. Finite Difference 2, 3 –
B. Computer Transportation Dimensional
Generated B. Semi- Empirical B. Finite Element 2, 3 -
Methods of Fragments Dimensional
C. Closed Form
D. Deterministic

Gambar 2.25 Beberapa metode analisa rembesan


Sumber : Balai Bendungan, 2010
42

Sebelum melakukan analisa rembesan terlebih dahulu perlu disusun

suatu rencana analisis, seperti berikut di bawah ini :

1. Penjelasan singkat tentang maksud dan tujuan analisa

2. Pemilihan metode analisa

3. Kondisi yang akan dianalisa yaitu :

a. Kondisi pembebanan akibat perubahan muka air waduk

b. Parameter yang akan divariasi

c. Data material yang digunakan untuk analisa

d. Hasil kuantitatif yang akan diperoleh

Petunjuk penggunaan beberapa metode analisa rembesan dijelaskan

pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Petunjuk penggunaan beberapa metoda analisa rembesan.

Situasi Investigasi Tipikal Metoda analisis


Timbunan homogin, Muka air freatik, tekanan Cassagrande grafis atau
pondasi kedap air, kondisi air pori, gaya perembesan flownet
steady 2-D air (stabilitas)

Timbunan zonal, pondasi Muka air freatik, tekanan Flownet atau model
kedap air, kondisi steady 2- air pori, gaya perembesan numerik
D air (stabilitas)
Timbunan homogin, Muka air freatik, tekanan Flownet
pondasi porus seragam, air pori, gaya rembesan atau
kondisi steady 2-D (stabilitas) model numerik
Gradien keluaran, debit
rembesan
Alternatif kontrol
rembesan, variasi sifat
material
Timbunan Zonal, pondasi Sama dengan atas Model Numerik
porous, kondisi steady 2-D
Aliran transient 2-D, kondisi Penjenuhan, waktu untuk Flownet transien
batas steady mencapai kondisi steady

Situasi 2-D aliran Pengisian pertama, operasi Model numerik (lihat


nonsteady, zona jenuh/tak waduk, perubahan kadar Groundwater modelling
jenuh atau timbunan air dan perubahan tekanan Herbert F., Anderson,
homogen. Pondasi air pori, pengaruh Mary P)
heterogen, kondisi batas presipitasi dan evaporasi
transient, kondisi transient
2-D

Sumber : Direktorat Sungai Danau dan Waduk, Desember 2005.


43

2.4.7 Pemodelan Numerik

Pemodelan numerik adalah simulasi matematika dari proses fisik yang

terjadi di lapangan. Dua metode utama dari model numerik tersebut adalah fine

difference dan finite element method. Keduanya dapat digunakan untuk

menyelesaikan masalah rembesan 2-D dan 3-D. Kedua cara di atas

menggunakan sistim grid untuk membagi - bagi daerah aliran ke dalam elemen

terpisah.

Beberapa kelebihan pemodelan numerik jika dibandingkan dengan

pemodelan fisik adalah sbb :

1. Pemodelan numerik dapat dibuat dalam waktu yang singkat

2. Dapat digunakan untuk penelitian beberapa alternatif skenario.

3. Hampir tidak ada kesulitan dalam perhitungan gravitasi

4. Dapat memberikan informasi pada beberapa lokasi berupa potongan

melintang

5. Dapat mengakomodasi bermacam – macam variasi dari kondisi batas

2.4.8 Pemodelan Rembesan dengan Seep/W

Seep/W merupakan software analisa rembesan yang berdasarkan

metode elemen hingga yang merupakan bagian dari GEO-SLOPE internasional.

Teori dasar yang digunakan untuk menganalisa rembesan pada Seep/W adalah

hukum Darcy dan persamaan Laplace. Program ini mempunyai kemampuan

untuk menganalisa rembesan airtanah dan kelebihan tekanan air pori pada

material lulus air yaitu tanah dan batuan.

Program ini dapat diaplikasikan untuk analisa dan perencanaan bidang

geoteknik, sipil, hidrogeologi dan proyek pembangunan tambang. Pemodelan

dapat dilakukan pada kondisi tanah jenuh (saturated) maupun tidak jenuh

(unsaturated). Pemodelan dengan menggunakan program Seep/W sudah

digunakan secara luas dan hasil analisa program dapat dipercaya. Analisa
44

rembesan dengan menggunakan program Seep/W berdasarkan pada hukum

Darcy dan persamaan Laplace untuk aliran air tanah.

Salah satu contoh sederhana perbandingan hasil perhitungan manual

dengan penggunaan program Seep/W adalah seperti tertera pada gambar 2.26

Analisa rembesan untuk mengetahui besarnya debit rembesan pada

timbunan dan pondasi bendungan dengan menggunakan Seep/W, memerlukan

data – data sebagai berikut : potongan melintang bendungan, parameter fisik

material timbunan, koefisien permeabilitas dari material.

Gambar 2.26 Perbandingan hasil analisa rembesan secara manual dan


menggunakan Seep/W
Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

2.4.3.1 Gradient hidraulik debit (exit gradient)

Sebagian besar buku pedoman mekanika tanah menjelaskan tentang

konsep gradient hidraulik debit rembesan dan menyatakan bahwa gradient

hidraulik tidak boleh lebih dari 1,0. Dengan menerapkan kriteria ini untuk analisa

rembesan dua dimensi membutuhkan pemahaman mengenai syarat-syarat yang

mendasari kriteria dari exit gradient lebih besar dari 1.


45

Konsep exit gradient dikembangkan terutama dari aliran murni ke atas

didalam suatu kolom tanah. Berdasarkan gambar 2.26, air akan mengalir ke atas

melalui kolom jika hydraulic head (H) pada dasar kolom lebih besar dari elevasi

permukaan kolom tanah.

Gambar 2.26 Kolom tanah 1 dimensi


Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

Contoh untuk gambar di atas, H pada dasar dianggap setinggi 1,2 m maka air

akan mengalir ke atas melalui kolom. Total head loss adalah 1,2 dikurangi 1,0

yang sama dengan 0,2 m. Gradient adalah total head loss dibagi dengan tinggi

(panjang) kolom yaitu 0,2. Dalam bentuk persamaan dijelaskan sebagai berikut :

( ) ( . . )
= = = 0.2 ................................................ (2.32)
.

Untuk pembahasan, diasumsikan berat jenis tanah adalah 20 kN/m3 dan berat

jenis adalah 10 kN/m3. Sekarang jika kita menerapkan total head pada dasar

kolom yang sama dengan 2,0 m maka gradient ke atas adalah 1,0 dan tegangan

efektif di seluruh kolom akan menjadi nol.


46

=( − )=( ℎ− ) = (20 ∗ 1 − 10 ∗ 2) = 0.................................... (2.33)

Pada saat tegangan efektif adalah nol, gradient disebut sebagai gradient kritis,

dan karena kondisi tegangan efektif nol terjadi ketika gradient adalah 1.0, maka

gradient kritis adalah 1,0. Kondisi tegangan efektif sama dengan nol pada kondisi

aliran ke atas disebut sebagai "quick condition". Kondisi ini sering juga disebut

sebagai "quick sand" atau "boiling." Untuk analisa rembesan 2 dimensi, dapat

disimpulkan bahwa gradient hidraulik untuk kolom tanah adalah konstan. Kriteria

untuk gradient hidraulik < 1 adalah berdasarkan pada konsep gradient hidraulik

untuk kolom tanah 1 dimensi.

Pada analisa elemen hingga, gradient hidraulik dihitung dengan metode titik

integrasi Gauss. Program Seep/W menggunakan metode Gauss untuk

perhitungan gradient hidraulik. Hasil perhitungan Gauss secara ringkas

dipresentasikan dalam bentuk kontur.

2.4.3.2 Visualisasi hasil dari Seep/W

1. Garis equipotensial

Garis equipotensial adalah garis yang menghubungkan semua titik yang

mempunyai energi potensial yang sama. Energi pontensial yang dimaksud

adalah total head, karena terjadinya aliran rembesan akibat adanya perubahan

total head, bukan akibat perubahan pressure, atau water content. Dalam analisa

satu dimensi , aliran yang mengalir secara vertikal, maka garis equipotensial

akan menunjukkan ke arah horisontal sesuai dengan gambar 2.27. Dalam

analisa 2 dimensi, garis equipotensial dapat menunjukkan pada sejumlah arah

tertentu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.28.

Pada gambar 2.27 dan gambar 2.28, vektor aliran ditambahkan sebagai

visualisasi, yang menunjukkan bahwa arah aliran tegak lurus dengan garis

equipotensial. Hal ini dikarenakan, aliran yang terjadi sesuai dengan gradient
47

total head dan gradient yang paling curam terdapat antara dua garis

equipotensial yang paralel. Jika setiap garis equipotensial digambarkan pada

gambar 2.28 maka akan terdapat beberapa garis equipotensial yang hampir

pararel satu sama lainnya dengan vektor aliran yang tegak lurus pada semua

garis equipotensial.

Gambar 2.27 Garis equipotensial horisontal (pemodelan 1 dimensi)


Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

Karena tidak masuk akal untuk menampilkan semua garis equipotensial,

maka Seep/W akan menampilkan garis equipotensial berdasarkan perubahan

energi. Pada gambar 2.28 perbedaan antara garis equipotensial adalah 0,5. Jika

jarak antara garis equipotensial terlihat berdekatan, maka hal ini menunjukkan

gradient hidraulik yang terjadi adalah besar.

2. Aplikasi Metode Gauss pada Titik (Node)

Seep/W melakukan perhitungan berdasarkan parameter pada setiap titik.

Karena parameter dasar, (total head, pressure dan pressure head) dihitung pada

setiap titik, maka parameter-parameter ini dapat dikonturkan secara langsung.

Namun demikian, untuk parameter-parameter sekunder (kecepatan, gradient

hidraulik, konduktifitas dan volumetric water content), akan dihitung pada elemen
48

dengan metode Gauss dan kemudian diproyeksikan ke titik titik (nodes) agar

dapat dilakukan penggambaran kontur.

3. Kontur

Salah satu keuntungan menggunakan metode elemen hingga untuk

menampilkan hasil secara grafis yaitu dapat dengan cepat melakukan

perhitungan dengan ribuan data yang kemudian dapat menampilkan dalam

bentuk gambar untuk bermacam – macam tujuan. Seep/W memiliki kemampuan

untuk menampilkan kontur hasil dari perhitungan analisa dari pemodelan yang

dilakukan seperti kontur total head, gradient hidraulik, konduktivitas hidraulik dan

kontur kecepatan aliran. Penggambaran kontur pada program Seep/W untuk

beberapa hasil analisa tertera pada gambar 2.28 sampai dengan gambar 3.32

Gambar 2.28 Garis equipotensial untuk pemodelan 2D pada bendungan


Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

Gambar 2.29 Kontur gradient hidraulik pada bendungan


Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004
49

Gambar 2.30 Kontur konduktivitas hidraulik pada bendungan


Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

Gambar 2.31 Kontur water content pada bendungan


Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

Gambar 2.32 Kontur vektor kecepatan pada bendungan


Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

4. Vektor kecepatan

Seep/W melakukan perhitungan gradient hidraulik dan kecepatan aliran

pada setiap titik integrasi di dalam setiap elemen. Perhitungan gradient pada

setiap titik integrasi Gauss berdasarkan persamaan :


50

= [ ]{ } ........................................................ (2.34)

dimana :

ix = gradient arah x

iy = gradient arah y

[B] = matriks gradient

{H} = vektor total head pada setiap titik

Perhitungan kecepatan berdasarkan rumus Darcy pada setiap titik integrasi

Gauss berdasarkan persamaan sbb :

= [ ][ ]{ } ........................................................ (2.35)

dimana :

vx = kecepatan arah x

vy = kecepatan arah y

[C] = matriks konduktivitas hidraulik

Pada saat kecepatan dan gradient dihitung, maka akan disimpan dalam

file data untuk digunakan selanjutnya untuk memvisualisasikan informasi titik

Gauss, vektor aliran dan garis aliran yang dihasilkan. Vektor kecepatan

merupakan cara untuk melihat tidak hanya pada aliran yang terjadi, tapi

seberapa banyak aliran yang berpengaruh pada bidang lain. Seep/W

menggunakan besaran dari kecepatan aktual dalam perhitungannya untuk

menampilkan apakah vektor kecepatan itu tinggi atau rendah. Untuk tiap elemen,

kecepatan rata-rata x dan kecepatan rata-rata y dari nilai kecepatan titik Gauss

dihitung dan kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan vektor kecepatan rata-

rata dari elemen. Vektor kecepatan rata-rata kemudian diambil dengan ujung

vektor pada tengah elemen.


51

5. Flux Section

Seep/W memiliki kemampuan untuk menghitung debit rembesan yang

mengalir melewati bagian yang ditentukan baik untuk analisa steady state atau

analisa transient melalui flux section. Flux diidentifikasikan sebagai kuantitas

aliran filtrasi (debit rembesan) per meter panjang.

Flux section dapat digunakan dengan berbagai cara, karena flux section

bisa digambar di manapun untuk mengetahui flux. Aplikasi dari flux section

diilustrasikan pada gambar 2.33. Flux section tidak perlu digambar sebagai garis

lurus tunggal. Tapi flux section tersebut bisa dibuat menyambung terus seperti

yang diilustrasikan gambar 2.33. Hal penting yang harus diperhatikan pada saat

mendefinisikan bagian flux adalah untuk membuat bagian flux yang melewati sisi

elemen dan bukan pada node/ simpul dari elemen.

Hal yang harus diperhatikan pada sebelum running program, flux section

harus ditentukan sebelum running program, karena program perlu melakukan

analisa selama rangkaian solving, bukan setelahnya.

Gambar 2.33 Aplikasi flux section untuk mengontrol inflow dan outflow
Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

Contoh hasil analisa rembesan dengan menggunakan Seep/W pada

Bendungan Wadas Lintang tertera pada gambar 2.34 dan gambar 2.35.
52

220
200
180
160
200
140

Elevasi (m )
Air 400
120
600
100
800
80 0
1000
60 200
1200
40 10 Fondasi 400
00 80
0 600
20
0
-20
-450 -400 -350 -300 -250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jarak (m)

Gambar 2.34 Contoh Analisa Rembesan dengan SEEP W untuk mengetahui


kontur tekanan air pori pada Bendungan Wadas Lintang
Sumber : Mujiharjo D, 2009

220
200
180
160
140
Elevasi (m)

Air
120
06

100
8e-0

80
4.421

0.2
3.
6

60
Fondasi
0.4

40
20
0
-20
-450 -400 -350 -300 -250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jarak (m)

Gambar 2.35 Kontur Gradien Hidrolik Dan Debit Rembesan Bendungan


Wadaslintang. Debit Rembesan Yang Terjadi = 4.4218 x 10-6 m3/det
Sumber : Mujiharjo D, 2009
53

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Diskripsi Wilayah Studi

3.1.1 Kondisi Geologi

Bendungan Bajulmati direncanakan dengan tipe zonal dan bertumpu

pada pondasi berupa batuan alluvial. Stratigrapi pada as bendungan terdiri dari

tallus deposit, terrace deposit, river deposit, sandy clay dan old river deposit serta

batuan dasar berupa lapilli tuff. Stratigraphi As bendungan Bajulmati dari muda

ke tua adalah seperti pada gambar 3.1. Masing-masing sifat batuan diuraikan

pada tabel 3.1.

Legenda :
Tr : Terrace deposit
TL : Talus deposit
Rd : River Deposit
Lv : Lava basalt
Lt : Lapilli tuff
Ts : Tuffaceous sand
Gs : Gravelly sand
Lta : Alterated lapilli tuff
St : Silty tuff
Lt : Lapilli tuff

Gambar 3.1 Stratigrapi As Bendungan Bajulmati


Sumber : Anonim. 2011. Executive Summary Perbaikan Pondasi Tubuh
Bendungan dan Daerah Genangan Bendungan Bajulmati.

3.1.2 Data Teknis1

Berdasarkan perencanaan Bendungan Bajulmati oleh Nippon Koei and

Co tahun 2004, data-data teknis Bendungan Bajulmati adalah sebagai

berikut :

1. Waduk / bendungan

Daerah Aliran Sungai : 98,430 km²


54

Elevasi Puncak Tubuh Bendungan : EL. 91.800

Muka Air Tertinggi ( HWL ) : EL. 90,750

Muka Air Normal ( NWL ) : EL. 87,600

Muka Air Rendah/Mati ( LWL ) : EL. 73,400

Kapasitas Tampungan Bruto : 10 x 106 m³

Kapasitas Tampungan Effektif : 7,5 x 106 m³

Kapasitas Tampungan Mati : 2,5 x 106 m³

Luas Daerah Genangan : 91,93 Ha

Debit Banjir Rencana Q 1000 Th : 818 m3/det

Debit Banjir Rencana Q PMF : 1,463 m3/det

2. Pengelak aliran

Tipe : Tapal Kuda.

Diameter Tunnel : 4,00 m

3. Bendungan Utama

Tipe : Zonal Dengan

Inti di Tengah

Elevasi Puncak : EL. 92,80

Elevasi Dasar Bendungan Bervariasi : EL.45,00 m

Tinggi Bendungan : 57,80 m

Lebar Puncak Bendungan : 6,00 m

Panjang Puncak Bendungan : 250,00 m

Kemiringan Hulu : 1 : 3,30

Hilir : 1 : 2,30

4. Cofferdam Hulu

Tipe : Homogen

Elevasi Cofferdam : EL. 69,00

Elevasi Dasar Galian : EL. 60,00


55

Tinggi Cofferdam (dari galian) : 9,00 m

Kemiringan Hulu : 1 : 3,30

Hilir : 1 : 2,00

5. Cofferdam Hilir

Tipe : Homogen

Elevasi Puncak Cofferdam Hilir : EL. 60,00

Kemiringan Hilir : 1 : 2,30

6. Bangunan Pelimpah (Spillway)

Type Pelimpah : Side Channel

Elevasi Puncak Spillway : EL. 87,60

Elevasi Dasar Hulu Spillway/Apron : EL. 84,00

7. Bangunan Pelimpah Darurat

Tipe : Fuse Dike

Elevasi Puncak Emergency Spillway : EL. 89,460

Panjang Puncak Emergency Spillway : 190,00 m

8. Bangunan Pengambilan

Diameter pipa : 1,20 m

Debit Maksimum : 4,00 m3/det

9. Micro Hidro Power Plant

Type Pembangkit Listrik : Low Head Unit

Type Generator

Jumlah Pembangkit Listrik : 2,00 set

Gross Head : 33,60 m


1
Sumber Data : Laporan Revisi Desain Perbaikan Pondasi Tubuh Bendungan dan
Daerah Genangan, PT. Indra Karya Wilayah – I Jawa Timur, Juli 2010.
56

3.2 Bahan dan Alat

Analisa rembesan pada studi ini menggunakan program bantuan Program

Seep/W. Program tersebut merupakan bagian dari Program Geo Slope yang

dibuat oleh Geo Slope International, Ltd.

3.3 Tahapan Penelitian

Metoda pendekatan dalam melakukan analisis ini adalah dengan

melakukan pemodelan tubuh bendungan dengan tahapan umum adalah sebagai

berikut :

1. Penyiapan data-data model (data geometri tipikal bendungan, data geologi,

data teknis bendungan ).

2. Analisa rembesan tanpa adanya perbaikan pondasi.

3. Penentuan alternatif perbaikan pondasi

4. Analisa rembesan dengan program Seep/W

5. Analisis hasil pemodelan

6. Kesimpulan dan rekomendasi

Bagan alir yang menjelaskan secara umum langkah analisis dapat dilihat

pada gambar 3.2 dan gambar 3.3.

3.3.1 Inventarisasi Data

Pengumpulan data - data yang diperlukan untuk analisa adalah sbb:

1. Data Geologi

Kondisi geologi pada bendungan diperoleh dari instansi yang berwenang.

Gambar kondisi geologi seperti pada gambar 3.4.

2. Data Geometri

Data geometri berupa tipikal bendungan dan alternatif perbaikan pondasi

yang terdiri dari 3 alternatif seperti pada gambar 3.5 s/d 3.7.

3. Data Parameter Fisik Material Timbunan Bendungan dan Pondasi


57

Parameter fisik yang digunakan untuk analisa stabilitas dan rembesan seperti

pada tabel 3.2 dan tabel 3.3.

3.3.2 Langkah – langkah Pemodelan Dengan Seep/W

Tahapan pemodelan dengan menggunakan program SEEP/W adalah

sebagai berikut :

1. Mempersiapkan data geometri tipikal bendungan

2. Mengatur skala dan grid untuk membatasi daerah penggambaran dan

menentukan ukuran terkecil dari dimensi tersebut

3. Melakukan penggambaran tipikal bendungan dengan memasukkan koordinat

x, y kemudian dihubungkan antar titik.

4. Memasukkan data konduktivitas hidrolik dan pF kedalam persamaan (key in)

5. Membagi model geometri menjadi beberapa elemen melalui perintah draw

lalu lanjutkan ke elements

6. Menentukan kondisi batas (boundary condition) dengan cara klik menu draw

lalu lanjutkan ke boundary condition. Kemudian klik pada bagian hulu data

pressure head (p) sedangkan pada bagian hilir klik data debit (Q)

7. Menentukan flux section maka klik menu draw lalu lanjutkan ke flux section

kemudian klik bagian sketsa bendungan dari bawah sampai atas.

8. Memeriksa data dan memisahkan data dengan menggunakan verify/sort

data, apabila masih terjadi error maka periksa ulang data yang dimasukkan

melalui key in, elemen, maupun boundary condition

9. Menganalisa pemodelan dengan menggunakan tools kemudian klik solve

untuk mendefinisikan data tiap elemen agar tergambar dalam hasil running

10. Melihat hasil running dengan cara klik menu tools pada bagian atas

kemudian klik contour

3.3.3 Analisa Rembesan

Analisa rembesan dilakukan terhadap 3 alternatif tipikal bendungan

sebagai berikut :
58

1. Alternatif 1 : Tipikal bendungan dengan perbaikan pondasi

sementasi tirai (curtain grouting) (Gambar 3.5)

2. Alternatif 2 : Tipikal bendungan dengan perbaikan pondasi

dinding diapraghma (cutoff wall ) (Gambar 3.6)

3. Alternatif 3 : Tipikal bendungan dengan perbaikan pondasi alas

kedap air hulu (upstream blanket) (Gambar 3.7)

Dari masing –masing alternatif rembesan pada bendungan dan pondasi

dianalisa terhadap kondisi muka air banjir.

Debit rembesan yang didapatkan dari hasil pemodelan dengan Seep/W

dianalisa terhadap debit rembesan yang diijinkan. Debit rembesan yang diijinkan

yaitu kurang dari 2 % debit rata – rata yang masuk ke waduk.

Faktor keamanan terhadap piping dianalisa berdasarkan persamaan

2.17, sedangkan nilai kemiringan hidraulik aliran dan material pondasi didapatkan

dari hasil pemodelan dan data – data penyelidikan dan pengujian tanah.
59

Tabel 3.1. Diskripsi Batuan Pada Lokasi Bendungan

Geology Diskripsi
Hitam gelap,sangat keras(CH),fresh,struktur flow
Andesite-
Extrusive Rock banded and scoria,dibeberapa tempat menunjukan
basalt lava
bentuk-bentuk coloumnar joint.
Abu-abu kehitaman,lemah(D),sangat lapuk,non
Top soil plastis,heterogeneous material,uk butir lempung s/d
pasir halus. Terdapat akar tanaman.
Coklat keabu-abuan,sangat lunak - lunak (CLL-
Terrace CL),lapuk sempurna,non plastis, heterogeneous
deposit material,uk butir lempung s/d krikil,sangat sensitive,
-4
kering. Permeabilitas rendah (9.4 x 10 ).
Coklat gelap,lunak (CL),lapuk sempurna,sedikit
plastis,heterogeneous material,uk lempung-pasir
Tallus
kasar,sensitive sedang,agak lembab. Dibeberapa
deposit
tempat terdapat batuan dengan ukuran boulder.
-4
Unconsolidated Permeabilitas sedang (1.4 x 10 ).
sediments Hitam gelap, sangat keras, lepas, fresh,uk krakal-
Recent river bongkah, heterogeneous material, interlocking.
deposit Tersusun oleh batuan andesite-basalt.
-3
Permeabilitas rendah (2.6 x 10 ).
Coklat kemerahan, lunak (CL), plastis,uk lempung-
Sandy clay pasir halus,lembab (moist). Permeabilitas tinggi (2.3
-5
x 10 ).
Hitam gelap, sangat keras, lepas, fresh,uk krakal-
bongkah, heterogeneous
Old river
material,semiconsolidated, poorly cemented.
deposit
Tersusun oleh batuan andesite-basalt.
-3
Permeabilitas rendah (1.3 x 10 ).
Abu-abu terang, agak keras (CL), pelapukan kuat,
masa dasar tuffa pasiran dgn fragmen andesite
Lapilli tuff sedikit, pumice, ringan dan mudah rusak bila
terpapar pada udara terbuka, moist. Permebilitas
-4
sedang (1.7 x 10 ).
Abu-abu terang, medium hard (CLL), fresh, padat,
Tuffaceous
masa dasar tuffa-pasiran dgn fragmen andesite,
sand -4
obsidian. Permeabilitas sedang (6.8 x 10 ).
Coklat kemerahan, medium hard (CL-CM), fresh,
masa dasar tuffa-pasiran dgn fragmen andesite,
Alterated of
masive, sebagian mineral batuan terubah menjadi
Base rock Lapilli tuff
lempung banyak dijumpai lensa-lensa pasir.
-5
Permeabilitas sedang-tinggi (7.8 x 10 ).
Hitam gelap, sangat keras, padat, fresh,uk krakal-
Gravelly
krikil, heterogeneous material, lepas, poorly
sand-
cemented. Tersusun oleh batuan andesite-basalt.
(laharic) -3
Permeabilitas rendah (1.48 x 10 ).
Abu-abu terang, lunak (CL), fresh, masa dasar
Lapilli tuff tuffaan dengan fragment andesite sedikit pumice.
-5
Permeabilitas sedang-tinggi (7.8 x 10 ). Moist
Abu-abu terang, lunak (D-CLL), fresh, masa dasar
tuffaan dengan fragment pumice, ringan, mudah
Silty tuff
hancur apabila terpapar di udara terbuka.
-5
Permeabilitas rendah (5.9 x 10 )
60

Tabel 3.2 Parameter fisik material timbunan bendungan

Inti Filter Soft Rock Cors Rock Rip Rap


No. Parameter Satuan Zona - 1 Zona - 2 (combined Zona - 4 Zona - 5
1:1)
Zona - 3
1. Water Content W % 34.23 5.50 7.50 4.10 4.10
2. Spec .gravity Sg gr/cc 2.528 2.681 2.504 2.692 2.692
3. Dry density γd gr/cc 1.301 1. 597 1.502 1. 589 1. 589
4. Wetdensity γt gr/cc 1.747 1.685 1.615 1.655 1.655
5. G.Saturated γsat gr/cc 1.762 1.978 1.902 2.041 2.041
6. G.Submergd. γsub gr/cc 0.762 0.978 0.902 1.041 1.041
2
7. Cohesion C kg/cm 0.32 0 0.18 0 0
8. Int. Friction ang  degree 15. 50 30.00 23.30 40 40
9. Void Ratio e - 0.905 0.591 0.668 0.626 0.626
10. Porocity n - 0.475 0.372 0.400 0.385 0.385
11. Permeability K cm/sec 1.01xE-07 2.2xE-02 4.56xE-04 1.5xE-01 1.5xE-01
Sumber : Anonim, 2011, Laporan Revisi Desain Bendungan Bajulmati

Tabel 3.3 Parameter fisik untuk pondasi bendungan


Lapilli Tuffaceous Gravelly Pumice River Talus
No. Parameter Satuan Tuff Sand Sand Tuff Deposit Deposit
1. Water % 1.04 1.50 5.50 2.50 5.50 10.50
Content
(W)
2. Spec .gravity gr/cc 2.426 2.501 2.681 1.801 2.681 2.658
(Sg)
3. Dry density gr/cc 1.279 1.251 1. 597 - 1. 597 1.579
(γd)
4. Wet density gr/cc 1.330 1.270 1.685 0 1.685 1.745
(γt)
5. G.Saturated gr/cc 1.775 1.754 1.978 - 1.978 2.088
(γsat)
6. G.Submergd. gr/cc 0.775 0.754 0.978 - 0.978 1.080
(γsub)
2
7. Cohesion kg/cm 0 0.10 0 0.10 0 0
(C)
8. Int. Friction degree 28.00 28.00 30.00 15.00 30.00 30.00
ang (
9. Void Ratio - 0.345 0.990 0.591 - 0.591 0.523
(e)
10. Porocity - 0.824 0.497 0.372 - 0.372 0.343
(n)
11. Permeability cm/sec 1.09xE-04 8.5E-05 2.2xE-02 1.8xE-03 2.2xE-02 1.2xE-05
(K)
Sumber : Anonim, 2010, Laporan Revisi Desain Bendungan Bajulmati
Lokasi Bendungan
Bajulmati

Gambar 3.2 Lokasi Penelitian (Bendungan Bajulmati)

61
62

MULAI

Data Geometri Data Geologi Data Teknis Bendungan


Timbunan

Analisa Rembesan tanpa perbaikan


pondasi

STABIL terhadap debit Ya


rembesan yang diijinkan Konstruksi
dan bahaya piping?

Tidak
Penentuan Alternatif
Perbaikan Pondasi

Alternatif 1 (grouting) Alternatif 2 Alternatif 3 (upstream


(cutoff wall) blanket)

Alternatif kedalaman Alternatif kedalaman Alternatif panjang


(grouting) (cutoff wall) (upstream blanket)

Analisa
A Rembesan Perubahan
Dimensi

Tidak
STABIL ?

Ya

REKOMENDASI

SELESAI

Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian


63

MULAI

Data Data Material Data q, hasil


Geometri Tanah analisa Seep/W

Pemodelan
dengan Seep/W

Kapasitas Aliran Gradien hidraulik debit


Filtrasi (q) (exit gradien), in

Perhitungan Q=q.B

Kontrol FKpiping < 4?

Kontrol Q < 2% debit rata –


rata yang masuk ke waduk?

KESIMPULAN

SELESAI

Gambar 3.4 Diagram Alir Analisa Rembesan (A)


Gambar 3.1. Geologi Daerah Dam Site Bendungan Bajulamati
64
69

BAB IV
HASIL ANALISIS

4.1 Umum

Analisa rembesan pada bendungan Bajulmati menggunakan analisa

steady state 2 dimensi pada kondisi muka air tinggi. Analisa dilakukan untuk

menentukan jaringan trayektori aliran filtrasi lapisan pondasi dan bendungan.

Penyusunan hasil analisa dilakukan dalam 2 tahap, tahap pertama

analisa dilakukan terhadap kondisi eksisting yaitu tanpa adanya perbaikan

pondasi dan analisa tahap kedua terhadap beberapa alternatif perbaikan

pondasi. Analisa rembesan untuk setiap alternatif perbaikan pondasi dilakukan

terhadap variasi dimensi untuk material yang sejenis. Untuk mempercepat

perhitungan terhadap seluruh alternatif, maka perhitungan dilakukan dengan

paket program Seep/W.

4.2 Pemodelan Rembesan Dengan Program Seep/W

Program Seep/W digunakan untuk memodelkan rembesan yang terjadi

pada pondasi dan bendungan. Tahapan pemodelan rembesan pada bendungan

adalah sebagai berikut :

1. Menu Utama

Program Seep/W menampilkan menu utama seperti pada gambar 4.1.

2. Pengaturan Skala dan Satuan

Skala dan satuan diatur untuk menentukan batas daerah penggambaran

dan mengatur satuan (units) yang digunakan. Pengaturan skala dan grid terdapat

pada menu set kemudian dipilih scale maka akan muncul kotak dialog seperti

pada gambar 4.2.


70

Gambar 4.1 Menu Utama Program Seep/W

Gambar 4.2 Tampilan kotak dialog untuk pengaturan skala dan satuan
71

3. Input Data

Data utama yang digunakan sebagai masukan (input) program Seep/W

merupakan hasil penyelidikan laboratorium yang telah dilakukan yaitu koefisien

permeabilitas dan water content yang tertera pada tabel 3.2 dan tabel 3.3.

Koefisien permeabilitas merupakan input pada menu “hydraulic function”

sedangkan water content sebagai data pendukung pada menu “hydraulic

conductivity”. Selanjutnya, data pada menu “hydraulic conductivity” dan water

content digunakan sebagai masukan untuk identifikasi material pada menu

“material properties”.

a. Water Content

Data water content merupakan input pada menu “KeyIn – Vol.Water Content”

seperti yang tertera pada gambar 4.3. Pada program Seep/W, untuk

mendapatkan keakurasian analisa maka water content harus dirubah menjadi

fungsi dengan menekan tombol “Estimate”. Fungsi dari water content ini

menjelaskan kemampuan dari material untuk menyimpan air terhadap

perubahan tekanan air pori (pore water pressures).

Gambar 4.3 Kotak dialog “Volumetric Water Content Function”


72

b. Permeabilitas (Hydraulic Conductivity)

Hydraulic conductivity untuk material harus didefinisikan sebagai fungsi

bukan hanya satu angka untuk mendapatkan keakurasian analisa. Menu untuk

merubah angka koefisien permeabilitas menjadi fungsi sudah tersedia dengan

menekan tombol “Estimate” kemudian memilih metode estimasi yang digunakan

dan “volume water content # Fn” untuk tiap jenis material. Kurva fungsi hydraulic

conductivity untuk setiap jenis material tertera pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Kotak dialog “Conductivity Function”

Gambar 4.5 Kotak dialog “Estimate Hydraulic Conductivity Function”


73

c. Data Material

Setiap material harus didefinisikan sesuai dengan input parameter fisik

masing – masing material yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Hidraulic conductivity yang dijelaskan pada kolom K-Fn.

2. Water Content yang dijelaskan pada kolom W.C.Fn

3. Perbandingan antara koefisien permeabilitas arah horisontal (Kh) dan

koefisien permeabilitas arah vertikal (Kv) diidentifikasi pada kolom K-ratio.

Pada analisa rembesan ini K-ratio diasumsi sama dengan 1.

4. Arah atau sudut Kh, koefisien permeabilitas ke semua arah diasumsikan

sama, yang diidentifikasikan pada kolom K-Direction.

Gambar 4.6 Kotak dialog Material Properties

4. Data Geometri

Pemodelan geometri adalah menggambarkan potongan melintang

bendungan yang dimulai dengan memasukkan data koordinat titik (point) seperti

yang tertera pada gambar 4.7. Setiap point dihubungkan untuk membentuk

region atau zona timbunan bendungan dan lapisan pondasi. Zona tersebut harus

diidentifikasi sesuai dengan jenis material dan pola meshing untuk zona itu

sendiri, seperti yang tertera pada gambar 4.8 dan gambar 4.9.
74

Gambar 4.7 Koordinat titik untuk pemodelan geometri

Gambar 4.8 Kotak dialog pembuatan zona timbunan (regions)

Gambar 4.9 Kotak dialog pemilihan jenis material untuk tiap zona
75

5. Kondisi Batas (Boundary Condition)

Penentuan kondisi batas untuk setiap pemodelan merupakan langkah

penting pada analisa numerik. Kondisi batas ditentukan agar hasil analisa dapat

mendekati kondisi sesungguhnya di lapangan. Pada program Seep/W, kondisi

batas ditentukan oleh tinggi tekanan air (H) dan debit (Q) yang dapat

diaplikasikan secara beragam seperti tertera pada gambar 4.10.

Gambar 4.10 Beberapa tipe dari boundary condition

Kondisi batasan pada analisa ini yaitu :

1. Material timbunan dan pondasi diasumsikan isotropic, Kh = Kv, yang

diaplikasikan pada input data material (material properties).

2. Kedalaman lapisan pondasi yang dianalisa sampai dengan kedalaman

60,0 m dengan pertimbangan lapisan pondasi sampai dengan kedalaman

60,0 m merupakan lapisan yang kedap air sehingga aliran filtrasi dari lapisan

pondasi yang lulus air tidak dapat menembus lapisan ini.

3. Panjang dari dasar pondasi dianalisa sampai dengan panjang 20,0 m di hulu

dan hilir timbunan bendungan dengan pertimbangan kecepatan aliran air

sangat rendah sehingga kapasitas aliran filtrasi sangat kecil.

4. Pada lereng dan dasar pondasi di hulu yang merupakan daerah pemasukan

(entrance) aliran air, ditentukan kondisi batas sesuai dengan tinggi tekanan

air pada kondisi muka air tinggi (HWL) yaitu H = 40,75 sedangkan pada

dasar lereng hilir yang merupakan daerah keluaran (exit) ditentukan kondisi
76

batas H = 0. Perbedaan tinggi tekanan air pada lereng hulu dan lereng hilir

ditentukan agar aliran air filtrasi dapat mengalir dari hulu menuju hilir,

perbedaan tekanan air diidentifikasikan pada setiap titik melalui program

Seep/W.

5. Pada puncak dan lereng hilir bendungan diasumsikan tidak terdapat aliran

Q = 0. Kondisi batas tersebut sesuai dengan kondisi lapangan yang

diharapkan, debit rembesan tidak mengalir keluar menuju puncak dan lereng

hilir, tetapi mengalir keluar menuju kaki bendungan hilir.

HWL = 90,75 Daerah keluaran, dengan


kondisi batas total head H = 0
Daerah pemasukan, dengan kondisi
batas total head H = 40,75
Q=0

EL = 50,00 m H=0

Daerah batas lapisan


pondasi yang kedap air

Gambar 4.11 Aplikasi kondisi batas (boundary condition)

6. Pemeriksaan Data

Bagian terpenting dari pemodelan numerik adalah pemeriksaan

data (verify data) untuk mengetahui kesalahan dari proses input . Proses

pemeriksaan data dilakukan dengan menekan icon pada awal paragraf ini. Hasil

dari pemeriksaan data akan terlihat pada dialog box yang tertera pada

gambar 4.12.
77

Gambar 4.12 Kotak dialog pemeriksaan data (verify data)

7. Proses Analisa

Jika semua data telah dimasukkan dan hasil pemeriksaan data

menunjukkan tidak terdapat kesalahan, maka proses analisa dapat dilakukan

dengan menekan icon Proses analisa akan terlihat pada dialog box

seperti pada gambar 4.13

Gambar 4.13 Kotak dialog proses analisa

8. Intepretasi Hasil Analisa

Hasil analisa rembesan dapat diketahui dengan menekan tombol ,

sehingga debit rembesan per meter panjang, pola garis phreatic, garis

ekuipotensial, kontur kemiringan hidraulik dan kecepatan aliran dapat diketahui.


78

Hasil analisa rembesan yang digunakan untuk mengetahui stabilitas

pondasi bendungan adalah sebagai berikut :

1. Vektor aliran untuk mengetahui pola aliran yang terjadi pada pondasi.

2. Kontur garis equipotensial dan flowpath untuk mengetahui jaringan trayektori

aliran filtrasi

3. Debit rembesan (flux), analisa dilakukan terhadap beberapa lokasi yaitu di

bawah lereng hulu (q1), di bawah inti (q 2), di bawah lereng hilir (q 3) dan di

outlet (q4) seperti dijelaskan pada gambar 4.14

q1 q4
q2 q3

Gambar 4.14 Lokasi debit rembesan

4. Kontur kemiringan hidraulik untuk menentukan faktor keamanan terhadap

bahaya piping.

4.3 Analisa Rembesan Tanpa Perbaikan Pondasi

Analisa rembesan pada kondisi tanpa perbaikan pondasi dilakukan untuk

mengetahui pola aliran yang terjadi pada pondasi serta besarnya debit rembesan

pada pondasi dan kaki lereng hilir bendungan. Potongan melintang bendungan

Bajulmati pada kondisi tanpa perbaikan pondasi tertera pada gambar 4.15.
79

HW L EL. 90,75

EL. 50,00
q1 q4
q2 q3

-7
Inti k = 1,01 x 10 cm/dt
-2
Filter k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Softrock (combined 1:1) k = 4,56 x 10 cm/dt
-1
Coarse rock k = 1,5 x 10 cm/dt
-2
Sand, gravel and cobble k = 1,98 x 10 cm/dt
-4
Ashy sand and gravel k = 1,07 x 10 cm/dt
-2
Gravelly sand k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Sandy tuff and gravel k = 3,4 x 10 cm/dt
-5
Tuffaceous sand k = 8,5 x 10 cm/dt
-3
Lapilli tuff k = 1,09 x 10 cm/dt

Gambar 4.15 Potongan melintang pondasi bendungan kondisi tanpa perbaikan

Hasil analisa pola aliran pada kondisi tanpa perbaikan dengan

menggunakan program Seep/W disajikan pada gambar 4.16. Berdasarkan

gambar 4.16, aliran rembesan yang terjadi pada pondasi diindikasikan akan

menyebabkan erosi (piping) pada dasar lereng hilir bendungan.

Indikasi bahaya piping diperiksa dengan menggunakan persamaan 2.17

dan 2.18 untuk mengetahui faktor keamanan terhadap piping.

Faktor keamanan terhadap piping adalah sbb:

Fkpiping = .................................. (2.17)

dengan :
80

FK piping min = 4

In = gradien hidraulik debit

icr = gradien hidraulik kritis

icr = .................................. (2.18)

SG = berat jenis material, spesific gravity

e = angka porositas

Besarnya kemiringan hidraulik debit “i n” yang terjadi pada dasar pondasi

di bawah inti didapatkan dari hasil analisa Seep/W adalah sebesar 0,5 seperti

tertera pada gambar 4.17, sedangkan besarnya kemiringan hidraulik kritis

dengan menggunakan persamaan 2.18 adalah sbb :

Icr = .................................. (2-18)

SG = 2,681 (tabel 3.3 untuk lapisan pondasi gravelly sand)

e = 0,591 (tabel 3.3 untuk lapisan pondasi gravelly sand)

maka

, ,
Icr =
,
= ,
= 1,06

Faktor keamanan terhadap bahaya piping pada dasar pondasi untuk alternatif

tanpa perbaikan pondasi adalah :

Fkpiping = .................................. (2.17)

,
Fkpiping = = 2,11 < 4, Tidak Aman
,
81

Dari hasil analisa di atas, maka diindikasikan terjadi piping pada dasar

pondasi bendungan di bawah inti yang akan menyebabkan erosi pada dasar

lereng hilir timbunan bendungan.

Debit rembesan dianalisa terhadap beberapa lokasi berdasarkan pola

aliran yang terjadi untuk mengetahui besarnya aliran filtrasi yang mengalir dari

hulu menuju hilir. Lokasi debit rembesan yang dianalisa yaitu di bawah lereng

hulu (q1), di bawah inti (q2), di bawah lereng hilir (q3) dan di outlet (q4), q

merupakan besarnya kapasitas aliran filtrasi per unit panjang tubuh bendungan

yang dinyatakan dalam m3/det/m.

Besarnya kapasitas aliran filtrasi yang mengalir melalui tubuh bendungan

dan pondasi ditentukan berdasarkan persamaan 2.14 dan 2.15 sebagai berikut

Q = q. B .................................. (2.14)

Dan

q = k. i .A .................................. (2.15)

Dimana :

Q = kapasitas filtrasi

q = kapasitas filtrasi per unit panjang tubuh bendungan

B = lebar potongan memanjang tubuh bendungan (gambar 2.20)

k = koefisien filtrasi

i = kemiringan hidraulik

A = luas potongan melintang yang dilalui aliran filtrasi per unit lebar
82

Kapasitas aliran filtrasi atau kuantitas debit rembesan yang disyaratkan

adalah sebagai berikut :

1. Maksimal 2% - 5% dari debit rata – rata yang masuk ke dalam waduk yaitu

2% x 2,2 m3/det = 0.044 m3/det atau

2. 0,05 % kapasitas tampungan waduk bruto, yaitu 0,05% x 10.000.000 m3 =

5000 m3/hari

Hasil analisa kuantitas debit rembesan pada pondasi tertera pada tabel

4.1. Berdasarkan tabel 4.1, kuantitas debit rembesan pada dasar pondasi lebih

besar dari kuantitas debit rembesan yang diijinkan, maka diperlukan perbaikan

pondasi untuk memperkecil kuantitas debit rembesan. Hal yang perlu

diperhatikan, kuantitas debit rembesan pada dasar lereng hilir timbunan “Q3”

sangat besar namun pada kaki bendungan hilir “Q4” mengecil, sehingga

dikhawatirkan kehilangan air yang cukup besar dari waduk tidak terdeteksi

apabila pengukuran debit dilakukan pada kaki bendungan hilir.

Selanjutnya, analisa rembesan bendungan dilakukan dengan perbaikan

pondasi untuk beberapa alternatif perbaikan yaitu sementasi tirai (grouting),

cutoffwall dan alas kedap air hulu (upstream blanket).

Tabel 4.1 Debit rembesan pada kondisi tanpa perbaikan


HWL EL. 90,75

Lokasi yang diindikasikan terjadi piping

EL. 50,00

Gambar 4.16 Pola aliran dan debit rembesan kondisi tanpa perbaikan

83
HWL EL. 90,75

EL. 50,00

Gambar 4.17 Kontur Kemiringan hidraulik (i n) pada kondisi tanpa perbaikan

84
85

4.4 Alternatif 1, Analisa Rembesan Pada Perbaikan Pondasi Dengan


Sementasi Tirai (Curtain Grouting)

Analisa rembesan pada pondasi bendungan dengan perbaikan pondasi

sementasi tirai dilakukan terhadap variasi kedalaman sementasi tirai yang

terletak pada dasar inti bendungan. Kedalaman sementasi tirai yang dianalisa

yaitu 25 m, 30 m, 35 m, 40 m, 45 m, dan 50 m. Penentuan variasi kedalaman

sementasi tirai berdasarkan perhitungan kedalaman sementasi tirai secara

empiris sebagai berikut,

D = 1/3 h + c .................................. (2.1)

Dimana :

D = kedalaman sementasi tirai

H = tinggi bendungan, EL.92,80 – EL.45,00 = 47,80 m

C = koefisien yang bervariasi antara 8 s/d 20

Hasil perhitungan kedalaman dengan beberapa nilai koefisien disajikan

pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Perhitungan Kedalaman Sementasi Tirai Untuk Beberapa Nilai


koefisien

Berdasarkan hasil analisa, kuantitas debit rembesan pada sementasi tirai

dengan kedalaman 35, 0 m masih lebih besar dari kuantitas debit rembesan

yang diijinkan, maka variasi kedalaman sementasi tirai ditentukan sampai

kedalaman 50,0 m.

Koefisien permeabilitas sementasi tirai yang digunakan sebagai input

data harus sesuai dengan test yang telah dilakukan. Hasil test koefisien
86

permeabilitas sementasi tirai terdapat pada lampiran. Potongan melintang

bendungan untuk alternatif 1 disajikan pada gambar 4.18.

HW L EL. 90,75

EL. 50,00
q2 q4
q1 q3

-7
Inti k = 1,01 x 10 cm/dt
-2
Filter k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Softrock (combined 1:1) k = 4,56 x 10 cm/dt
-1
Coarse rock k = 1,5 x 10 cm/dt
-2
Sand, gravel and cobble k = 1,98 x 10 cm/dt
-4
Ashy sand and gravel k = 1,07 x 10 cm/dt
-2
Gravelly sand k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Sandy tuff and gravel k = 3,4 x 10 cm/dt
-5
Tuffaceous sand k = 8,5 x 10 cm/dt
-3
Lapilli tuff k = 1,09 x 10 cm/dt
-5
Grouting k = 2,71 x 10 cm/dt

Gambar 4.18 Potongan melintang pondasi bendungan alternatif 1 , D = 40,0 m

Berdasarkan gambar 4.19, pola aliran sudah tidak terkonsentrasi pada

dasar inti dan dasar lereng hilir timbunan bendungan, yang menunjukkan dengan

adanya sementasi tirai air filtrasi mengalir melalui ujung bawah sementasi tirai

sehingga trayektori aliran menjadi lebih panjang. Trayektori aliran yang

bertambah panjang mengakibatkan debit rembesan yang mengalir keluar

bendungan menjadi berkurang, disamping itu akan mengurangi pula gaya ke

atas pada dasar bendungan. Pola aliran untuk variasi kedalaman sementasi tirai
87

lainnya mempunyai pola yang sama dengan kedalaman 40 m seperti tertera

pada lampiran hasil analisa rembesan.

Analisa terhadap piping pada alternatif 1, dilakukan dengan pemeriksaan

faktor keamanan terhadap bahaya piping. Berdasarkan gambar 4.20, kemiringan

hidraulik aliran (in) pada dasar lereng hilir timbunan bendungan adalah 0,1; untuk

lapisan pondasi gravelly sand nilai kemiringan hidraulik kritis (icr) adalah 1,06

maka faktor keamanan terhadap piping adalah :

Fkpiping = .................................. (2.17)

,
Fkpiping = = 10,60 > 4, Aman
,

Berdasarkan hasil di atas, maka dengan alternatif perbaikan pondasi

alternatif 1 dengan kedalaman 40 m aman terhadap bahaya piping. Perhitungan

faktor keamanan terhadap bahaya piping untuk kedalaman sementasi tirai

lainnya seperti pada kedalaman 40 m karena kemiringan gradien hidraulik pada

lokasi yang diindikasikan terjadi piping adalah sama.

Hasil analisa debit rembesan untuk masing – masing variasi panjang

sementasi tirai disajikan pada tabel 4.3 , sedangkan secara grafik disajikan pada

gambar 4.21.

Berdasarkan tabel 4.3 dan gambar 4.21, secara keseluruhan kuantitas

debit rembesan pada dasar pondasi masih lebih besar dari kuantitas debit

rembesan yang diijinkan, tetapi pada debit “Q4” kuantitas debit aliran filtrasi lebih

kecil dari debit yang diijinkan. Hal ini disebabkan oleh struktur lapisan pondasi

yang berlapis lapis dengan nilai koefisien permeabilitas yang berbeda. Pada

dasar lereng hilir, terdapat lapisan pondasi lapilli tuff (k = 1,09 x 10-4 cm/dt) dan

tuffaceous sand (k = 8,5 x 10-5 cm/dt) yang dapat menghambat aliran air filtrasi

dari lapisan pondasi gravelly sand (k = 2,2 x 10-2 cm/dt) sehingga kuantitas debit

rembesan yang keluar pada kaki bendungan sebelah hilir lebih kecil. Untuk
88

kuantitas debit Q1, Q2 dan Q3 yang masih lebih besar dari kuantitas debit yang

diijnkan, disebabkan oleh nilai koefisien permeabilitas dari material sementasi

tirai yang masih relatif tinggi yaitu 2,71 x 10-5 cm/dt.

Gambar 4.21 Grafik hasil analisa rembesan alternatif 1

Prosentase kuantitas debit rembesan yang terjadi terhadap debit

rembesan kondisi tanpa perbaikan tertera pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Prosentase kuantitas debit rembesan yang terjadi terhadap kuantitas
debit rembesan tanpa perbaikan pondasi pada alternatif 1
HWL EL. 90,75

EL. 50,00

Gambar 4.19 Pola aliran dan debit rembesan alternatif 1, D = 40 m

89
HWL EL. 90,75

Kemiringan hidraulik aliran yang dikaji

EL. 50,00

Gambar 4.20 Kontur kemiringan hidraulik (i n) alternatif 1, D = 40 m

90
91

4.5 Alternatif 2, Analisa Rembesan Pada Perbaikan Pondasi Dengan


Cutoff Wall

Analisa rembesan untuk alternatif 2 dilakukan terhadap variasi kedalaman

cutoff wall yang diletakkan di bawah material inti. Koefisien permeabilitas cutoff

wall yang digunakan untuk analisa ini berdasarkan Engineering Manual EM

1110-2-1901, USAE. Kedalaman cutoff wall yang dianalisa yaitu 20 m, 25 m, 30

m, 35 m, 40 m dan 45 m. Potongan melintang bendungan untuk alternatif 2 ini

disajikan pada gambar 4.22.

HW L EL. 90,75

EL. 50,00 q2
q1 q3 q4

-7
Inti k = 1,01 x 10 cm/dt
-2
Filter k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Softrock (combined 1:1) k = 4,56 x 10 cm/dt
-1
Coarse rock k = 1,5 x 10 cm/dt
-2
Sand, gravel and cobble k = 1,98 x 10 cm/dt
-4
Ashy sand and gravel k = 1,07 x 10 cm/dt
-2
Gravelly sand k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Sandy tuff and gravel k = 3,4 x 10 cm/dt
-5
Tuffaceous sand k = 8,5 x 10 cm/dt
-3
Lapilli tuff k = 1,09 x 10 cm/dt
-7
Concrete cap k = 1,00 x 10 cm/dt
-9
Cutoff W all k = 1,00 x 10 cm/dt

Gambar 4.22 Potongan melintang pondasi bendungan alternatif 2, D = 25,0 m

Hasil analisa rembesan alternatif 2 seperti tertera pada gambar 4.23,

sedangkan kontur kemiringan hidraulik in alternatif 2 tertera pada gambar 4.24.

Berdasarkan gambar 4.23, aliran filtrasi pada pondasi juga sudah tidak

terkonsentrasi pada dasar inti dan dasar lereng hilir bendungan seperti halnya
92

pada alternatif 1. Pola aliran untuk variasi kedalaman cutoff wall lainnya juga

mempunyai pola yang sama seperti tertera pada lampiran hasil analisa

rembesan.

Analisa terhadap piping pada alternatif 2, dilakukan dengan pemeriksaan

faktor keamanan terhadap bahaya piping. Berdasarkan gambar 4.24, kemiringan

hidraulik aliran (in) pada dasar lereng hilir timbunan bendungan adalah 0,1; untuk

lapisan pondasi gravelly sand nilai kemiringan hidraulik kritis (icr) adalah 1,06

maka faktor keamanan terhadap piping adalah :

Fkpiping = .................................. (2.17)

,
Fkpiping = = 10,60 > 4, Aman
,

Hasil analisa debit rembesan untuk masing – masing alternatif disajikan

pada tabel 4.5, sedangkan gambar grafiknya disajikan pada gambar 4.25.

Tabel 4.5 Hasil Analisa Debit Rembesan Dengan Alternatif 2

Gambar 4.25 Grafik hasil analisa rembesan alternatif 2


HWL EL. 90,75

EL. 50,00

Gambar 4.23 Pola aliran dan debit rembesan alternatif 2, D = 25,0 m

93
HWL EL. 90,75
Kemiringan hidraulik aliran yang dikaji

EL. 50,00

Gambar 4.24 Kontur kemiringan hidraulik (in) alternatif 2, D = 25,0 m

94
95

Berdasarkan tabel 4.5, secara umum kuantitas debit rembesan pada

dasar pondasi lebih kecil dari debit rembesan yang diijinkan, namun pada Q3

kuantitas debit rembesan masih lebih besar dari debit rembesan yang diijinkan.

Perbaikan pondasi alternatif 2 ini cukup efektif untuk menahan aliran air filtrasi

dari hulu (Q1) sehingga debit rembesan Q2 menjadi lebih kecil, namun terjadi

peningkatan debit pada Q3 tetapi kemudian menurun lagi pada debit Q4 (gambar

4.26). Peningkatan debit rembesan pada Q3, disebabkan oleh aliran air filtrasi

yang masih mengalir melalui lapisan pondasi yang lulus air dibawah cut offwall

menuju lapisan gravelly sand pada lokasi debit Q3, sedangkan pada debit

rembesan Q4 aliran air filtrasi ditahan oleh lapisan pondasi lapilli tuff dan

tuffaceous sand pada dasar lereng hilir. Prosentase kenaikan debit pada Q3 dan

penurunan debit Q1, Q2 , Q3 terhadap debit rembesan kondisi tanpa perbaikan

seperti tertera pada tabel 4.6

Tabel 4.6 Prosentase kuantitas debit rembesan yang terjadi terhadap


kuantitas debit rembesan kondisi tanpa perbaikan pada alternatif 2

4.6 Alternatif 3, Analisa Rembesan Pada Perbaikan Pondasi Dengan


Alas Kedap Air Hulu (Upstream Blanket)

Analisa rembesan untuk alternatif perbaikan pondasi dengan alas kedap

air hulu dilakukan terhadap variasi panjang alas kedap air. Panjang upstream

blanket yang dianalisa yaitu 80 m, 100 m, 120 m, 140 m, 160 m, 180 m dan

200 m. Parameter fisik material untuk upstream blanket sama dengan material
96

inti, sehingga koefisien permeabilitasnya juga sama, sedangkan tebal lapisan

kedap air adalah 1,0 m. Potongan melintang pondasi dan bendungan untuk

alternatif 3 ini disajikan pada gambar 4.26.

HWL EL. 90,75

Upstream blanket

EL. 50,00
q2 q3 q4
q1

-7
Inti k = 1,01 x 10 cm/dt
-2
Filter k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Softrock (combined 1:1) k = 4,56 x 10 cm/dt
-1
Coarse rock k = 1,5 x 10 cm/dt
-2
Sand, gravel and cobble k = 1,98 x 10 cm/dt
-4
Ashy sand and gravel k = 1,07 x 10 cm/dt
-2
Gravelly sand k = 2,2 x 10 cm/dt
-4
Sandy tuff and gravel k = 3,4 x 10 cm/dt
-5
Tuffaceous sand k = 8,5 x 10 cm/dt
-3
Lapilli tuff k = 1,09 x 10 cm/dt

Gambar 4.26 Potongan melintang pondasi bendungan dan pondasi alternatif 3

Perhitungan panjang efektif upstream blanket secara empiris berdasarkan

persamaan 2.6 s/d 2.8 adalah 306,76 m dengan efisiensi dari panjang tersebut

adalah 62% seperti tertera pada gambar 4.27, maka untuk alternatif perbaikan

pondasi alternatif 3, variasi panjang upstream blanket ditentukan seperti pada

awal paragraf ini.


97

Berdasarkan referensi dari Suyono Sosrodrasono, 1989, Bendungan

Type Urugan, h.116 efisiensi alas kedap air ditentukan berdasarkan

perbandingan antara Xr dan X. Nilai Xr didapatkan dari grafik hubungan antara

Xr, X dan a.

Hasil perhitungan panjang upstream blanket secara empiris adalah

sebagai berikut :

a = = 0,0046 .................................. (2.7)

Zb = ketebalan alas kedap air (m) = 1


Kb = koefisien K dari alas kedap air (m/dt) =1,01 x 10-9
Kf = koefisien K dari pondasi (m/dt) =1,98 x 10-4
Zf = kedalaman lapisan lulus air pada pondasi (m) = 24

Dengan harga aX = berdasarkan referensi dari Bharat Sigh,1976, Earth and

Rockfill Dams,h. 106 maka, X = 306,76 m

X = 306,76

Xr = 200

a=0,0046

Xr/X = 200/306 = 0,62

Gambar 4.27 Efisiensi alas kedap air hulu


98

Pola aliran rembesan untuk alternatif 3 pada dasar pondasi tertera pada

gambar 4.28, sedangkan kontur kemiringan hidraulik tertera pada gambar 4.29.

Berdasarkan gambar 4.28, pola aliran masih terkonsentrasi pada dasar inti dan

dasar timbunan lereng hilir, maka diindikasikan akan terjadi piping pada daerah

ini yang dapat membahayakan timbunan lereng hilir.

Analisa piping pada alternatif 3, dilakukan dengan pemeriksaan faktor

keamanan terhadap bahaya piping. Berdasarkan gambar 4.29, kemiringan

hidraulik aliran (in) pada dasar lereng hilir timbunan bendungan adalah 0,4; untuk

lapisan pondasi gravelly sand nilai kemiringan hidraulik kritis (icr) adalah 1,06

maka faktor keamanan terhadap piping adalah :

Fkpiping = .................................. (2.17)

,
Fkpiping = = 2,65 > 4, Tidak Aman
,

Berdasarkan hasil di atas, maka dengan alternatif perbaikan pondasi

alternatif 3 dengan panjang 100,0 m tidak aman terhadap bahaya piping.

Analisa debit rembesan untuk masing – masing alternatif disajikan pada

tabel 4.7, sedangkan secara grafik disajikan pada gambar 4.30.

Berdasarkan tabel 4.7, secara umum kuantitas debit rembesan yang

terjadi pada dasar pondasi masih lebih besar dari debit rembesan yang diijinkan,

namun tidak demikian pada debit Q4 yang lebih kecil dari debit rembesan yang

diijinkan. Perbaikan pondasi pada alternatif 3 ini belum efektif untuk menahan

aliran alir filtrasi dan bahaya piping. Pada debit Q2, terjadi peningkatan kuantitas

debit yang sangat besar tetapi kemudian menurun pada debit Q3 dan Q4, hal ini

disebabkan struktur lapisan pondasi yang berlapis – lapis baik searah vertikal

maupun searah horisontal. Prosentase kuantitas debit rembesan yang terjadi

terhadap debit rembesan yang diijinkan tertera pada tabel 4.8


99

Tabel 4.7 Hasil Analisa Debit Rembesan Alternatif 3

Gambar 4.30 Grafik hasil analisa rembesan alternatif 3

Tabel 4.8 Prosentase kuantitas debit rembesan yang terjadi terhadap


kuantitas debit rembesan yang diijinkan pada alternatif 3
HWL EL. 90,75

EL. 50,00

Gambar 4.28 Pola aliran dan debit rembesan pada alternatif 3

100
HWL EL. 90,75

Kemiringan hidraulik aliran yang dikaji

EL. 50,00

Gambar 4.29 Kontur kemiringan hidraulik (in) alternatif 3

101
102

4.7 EVALUASI HASIL ANALISA REMBESAN

Berdasarkan uraian hasil analisa di atas, alternatif perbaikan pondasi

pada bendungan Bajulmati dapat mengurangi bahaya piping dan debit rembesan

yang keluar melalui dasar pondasi lulus air (permeable) seperti tertera pada tabel

4.9. Variasi dimensi untuk masing – masing alternatif perbaikan pondasi

menunjukkan dengan bertambahnya kedalaman atau panjang dari alternatif

perbaikan pondasi maka debit rembesan pada bendungan juga semakin

berkurang. Hal tersebut tidak terjadi pada faktor keamanan terhadap bahaya

piping.

Tabel 4.9 Perbandingan hasil analisa rembesan

Alternatif 3
Tanpa Alternatif 1 Alternatif 2
Uraian (alas kedap air
Perbaikan (sementasi tirai) (cutoffwall)
hulu)
FK piping 2,11 10,60 10,60 2,65
Prosentase
pengurangan
debit
rembesan 0% 68,00% - 94,73% 94,87% - 99,39% 0,45% - 0,71%
terhadap
kondisi tanpa
perbaikan

Alternatif perbaikan pondasi yang paling efektif adalah alternatif 2

berdasarkan prosentase pengurangan debit rembesan terhadap kondisi tanpa

perbaikan yang tertera pada tabel 4.9.


103

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Analisa rembesan pada bendungan Bajulmati untuk mengetahui stabilitas

bendungan terhadap bahaya piping dan kuantitas debit rembesan adalah

sebagai berikut :

1. Stabilitas bendungan Bajulmati tanpa perbaikan pondasi terhadap debit

rembesan yang diijinkan dan bahaya piping adalah sebagai berikut :

a. Stabilitas bendungan tidak aman terhadap bahaya piping, faktor

keamanan terhadap piping adalah 2,11 < 4. Lokasi yang diindikasikan

berbahaya terhadap piping adalah pada dasar inti dan dasar lereng hilir

timbunan bendungan.

b. Kuantitas debit rembesan pada dasar pondasi lebih besar dari kuantitas

debit rembesan yang diijinkan

2. Stabilitas bendungan Bajulmati dengan perbaikan pondasi terhadap debit

rembesan yang diijinkan dan bahaya piping adalah sebagai berikut :

a. Alternatif 1, perbaikan pondasi dengan sementasi tirai (curtain grouting)

 Stabilitas bendungan aman terhadap bahaya piping, faktor keamanan

terhadap piping adalah 10,60 > 4.

 Kuantitas debit rembesan pada dasar pondasi lebih besar dari kuantitas

debit rembesan yang diijinkan, tetapi pada kaki bendungan hilir (Q4) lebih

kecil dari kuantitas debit rembesan yang diijinkan.

b. Alternatif 2, perbaikan pondasi dengan cutoff wall

 Stabilitas bendungan aman terhadap bahaya piping, faktor keamanan

terhadap piping adalah 10,60 > 4.


104

 Kuantitas debit rembesan pada dasar pondasi (Q1, Q2, Q4) lebih kecil dari

kuantitas debit rembesan yang diijinkan, tetapi pada dasar lereng hilir

timbunan bendungan (Q3) lebih besar dari kuantitas debit rembesan yang

diijinkan.

c. Alternatif 3, perbaikan pondasi dengan alas kedap air hulu (upstream

blanket) adalah sebagai berikut :

 Stabilitas bendungan belum aman terhadap bahaya piping, faktor

keamanan terhadap piping adalah 2,65 > 4.

 Kuantitas debit rembesan pada dasar pondasi (Q1, Q2, Q4) lebih besar

dari kuantitas debit rembesan yang diijinkan, tetapi pada kaki lereng hilir

timbunan bendungan (Q4) lebih kecil dari kuantitas debit rembesan yang

diijinkan.

Dari beberapa alternatif perbaikan pondasi di atas, maka alternatif 2

merupakan alternatif yang paling efektif untuk mengurangi bocoran dari waduk

dan mengurangi bahaya piping yang diindikasikan terjadi pada dasar inti dan

dasar lereng hilir timbunan bendungan. Hal tersebut ditunjukkan dengan

prosentase pengurangan debit rembesan yang terjadi terhadap debit rembesan

tanpa perbaikan

5.2 Saran

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka terdapat beberapa saran

dan rekomendasi sebagai berikut :

1. Untuk menentukan perbaikan pondasi bendungan, maka perlu

diperhatikan struktur lapisan pondasi searah vertikal maupun horisontal

2. Pada dasar lereng hilir timbunan bendungan perlu ditambahkan zona

kedap air yang dilengkapi dengan alas kedap air horisontal dari semen

agar dasar lereng hilir timbunan aman terhadap erosi . Selain itu perlu
105

dipasang drainase sumuran pada timbunan berm hilir untuk memantau

debit rembesan yang terjadi.

3. Debit rembesan yang terjadi pada dasar lereng hilir timbunan bendungan

perlu dipantau dengan memasang alat pengukur debit rembesan yang

dihubungkan dengan drainase sumuran.

4. Untuk penelitian selanjutnya disarankan menggunakan analisa 3 dimensi

untuk mengetahui penyebaran rembesan pada pondasi dan tubuh

bendungan

.
106

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Pedoman Pengendalian Rembesan Pada Bendungan Urugan,


Balai Bendungan Direktorat Sungai Danau dan Waduk, Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air DPU, Desember 2005

Anonim. 2010. Evaluasi Rembesan, Balai Bendungan Direktorat Sungai Danau


dan Waduk, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air DPU, 2010

Anonim. 2010. Laporan Revisi Desain Perbaikan Pondasi Tubuh Bendungan dan
Daerah Genangan, PT. Indra Karya Wilayah – I Jawa Timur, Juli 2010.

Anonim. 2011. Laporan Executive Summary Perbaikan Pondasi Tubuh


Bendungan dan Daerah Genangan, PT. Indra Karya Wilayah – I Jawa Timur,
Juli 2010

Anonim. 2009. Module 4, Hydraulic Structures For Flow Diversion and Storage,
Version 2 CE IIT, Kharagpur

HAN Yong.; KE Chuanfang. Study on Anti-seepage Effect of Xiongjiagang Earth-


Rock Dam Based on Cut-off Wall Scheme, Publishing China Three Gorges
University, Yichang, Hubei P. R.China, 443002

Krahn, J. 2004. Seepage Modelling with SEEP/W, Calgary, Alberta, Canada

Masrevaniah, Aniek. 2010. Konstruksi Bendungan Urugan Volume 1, CV.


Asrori, Malang

Mekonnen, T.A. 2008. Hydraulic Failure of Micro Embankment Dams and


Remedial Measures, Thesis Addis Ababa University

Mujiharjo D. 2009. Rembesan, Bahan Ajar Diklat Fungsional Inspeksi dan


Evaluasi Keamanan Bendungan, Balai Bendungan Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air, Jakarta

Mujiharjo D. 2009. Kegagalan Bendungan Akibat Piping, Bahan Ajar Diklat


Fungsional Inspeksi dan Evaluasi Keamanan Bendungan, Balai Bendungan
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Jakarta

Sabar H. 2006. Rekayasa Bendungan J. Teknologi dan Energi 6 (2)

Sadikin N.; Hutasoit, L.; Mudjihardjo D.; Seepage Analysis Wulukut Dam
Kabupaten Kuningan West Java, Puslitbang Sumber Daya Air, Bandung.

Singh, Bharat.; H. D. Sharma. 1976. Earth and Rockfill Dams, Sarita Prakashan
Nauchandi Meerut, India
107

Sosrodarsono, Suyono.; Kensaku Takeda. 1989. Bendungan Type Urugan,


PT.Pradnya Paramita, Jakarta

Soedibyo. 1993. Teknik Bendungan, Pradnya Paramita, Jakarta

The Japanese Institute of Irrigation and Drainage, Maret 1988, Engineering


Manual for Irrigation and Drainage No.3, Fill Dam

Zainuddin. 2009. Prinsip Perencanaan Bendungan Urugan, Bahan Ajar Diklat


Fungsional Inspeksi dan Evaluasi Keamanan Bendungan, Balai Bendungan
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Jakarta
Lampiran A-1

LAMPIRAN HASIL ANALISA REMBESAN DENGAN SEEP/W

1. Alternatif 1, Analisa Rembesan Dengan Perbaikan Pondasi Sementasi Tirai

(Curtain Grouting)

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A1. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 1, D = 25,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A2. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 1, D = 25,0 m


Lampiran A-2

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A3. Kontur pressure head Alternatif 1, D = 25,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A4. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 1, D = 25,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A5. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 1, D = 30,0 m


Lampiran A-3

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A6. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 1, D = 30,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A7. Kontur pressure head Alternatif 1, D = 30,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A8. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 1, D = 30,0 m


Lampiran A-4

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A9. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 1, D = 35,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A10. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 1, D = 35,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A11. Kontur pressure head Alternatif 1, D = 35,0 m


Lampiran A-5

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A12. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 1, D = 35,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A13. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 1, D = 40,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A14. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 1, D = 40,0 m


Lampiran A-6

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A15. Kontur pressure head Alternatif 1, D = 40,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A16. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 1, D = 40,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A17. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 1, D = 45,0 m


Lampiran A-7

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A18. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 1, D = 45,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A19. Kontur pressure head Alternatif 1, D = 45,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A20. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 1, D = 45,0 m


Lampiran A-8

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A21. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 1, D = 50,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A22. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 1, D = 50,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A23. Kontur pressure head Alternatif 1, D = 50,0 m


Lampiran A-9

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A24. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 1, D = 50,0 m

2. Alternatif 2, Analisa Rembesan Dengan Perbaikan Pondasi Cutoff Wall


HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A25. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 2, D = 20,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A26. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 2, D = 20,0 m


Lampiran A-10

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A27. Kontur pressure head Alternatif 2, D = 20,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A28. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 2, D = 20,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A29. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 2, D = 25,0 m


Lampiran A-11

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A30. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 2, D = 25,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A31. Kontur pressure head Alternatif 2, D = 25,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A32. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 2, D = 25,0 m


Lampiran A-12

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A33. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 2, D = 30,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A34. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 2, D = 30,0 m


HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A35. Kontur pressure head Alternatif 2, D = 30,0 m


Lampiran A-13

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A36. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 2, D = 30,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A37. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 2, D = 35,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A38. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 2, D = 35,0 m


Lampiran A-14

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A39. Kontur pressure head Alternatif 2, D = 35,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A40. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 2, D = 35,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A41. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 2, D = 40,0 m


Lampiran A-15

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A42. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 2, D = 40,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A39. Kontur pressure head Alternatif 2, D = 40,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A44. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 2, D = 40,0 m


Lampiran A-16

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A45. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 2, D = 45,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A46. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 2, D = 45,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A47. Kontur pressure head Alternatif 2, D = 45,0 m


Lampiran A-17

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A48. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 2, D = 45,0 m

3. Alternatif 3, Analisa Rembesan Dengan Perbaikan Pondasi Alas Kedap Air

Hulu (Upstream Blanket)

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A49. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 3, L = 80,0 m


Lampiran A-18

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A50. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 3, L = 80,0 m


HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A51. Kontur pressure head Alternatif 2, L = 80,0 m


HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A52. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3, L = 80,0 m


Lampiran A-19

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A53. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 3, L = 100,0 m


HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A54. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 3, L = 100,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A55. Kontur pressure head Alternatif 3, L = 100,0 m


Lampiran A-20

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A56. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3, L = 100,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A57. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 3, L = 120,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A58. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 3, L = 120,0 m


Lampiran A-21

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A59. Kontur pressure head Alternatif 3, L = 120,0 m

Gambar A60. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3, L = 120,0 m

Gambar A61. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 3, L = 140,0 m


Lampiran A-22

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A62. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 3, L = 140,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A63. Kontur pressure head Alternatif 3, L = 140,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A64. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3, L = 140,0 m


Lampiran A-23

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A65. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 3, L = 160,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A66. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 3, L = 160,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A67. Kontur pressure head Alternatif 3, L = 160,0 m


Lampiran A-24

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A68. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3, L = 160,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A69. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 3, L = 180,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A70. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 3, L = 180,0 m


Lampiran A-25

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A71. Kontur pressure head Alternatif 3, L = 180,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A72. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3, L = 180,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A73. Pola Aliran dan Debit Rembesan Alternatif 3, L = 200,0 m


Lampiran A-26

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A74. Jaringan Trayektori Aliran Alternatif 3, L = 200,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A75. Kontur pressure head Alternatif 3, L = 200,0 m

HWL EL.90,75 m

EL.50,00 m

Gambar A76. Kontur kemiringan hidraulik (in) Alternatif 3, L = 200,0 m

Anda mungkin juga menyukai