Anda di halaman 1dari 7

JPSP: Jurnal Psikologi Sains dan Profesi Vol. 2, No.

3, Desember 2018: 222-228


ISSN: 2614-2279 e-ISSN: 2598-3075

KEMANDIRIAN EMOSIONAL PADA REMAJA AWAL: STUDI DI SMPN 1 MARGAASIH KABUPATEN


BANDUNG

Aulia Nurul Husna S.Psi dan Esti Wungu, M.Ed., Psikolog


Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
E-mail: aulia14014@mail.unpad.ac.id

ABSTRAK, Remaja yang belum memiliki kemandirian emosional sesuai dengan usianya, dikhawatirkan akan mengalami kesulitan
dalam mendapatkan identitas diri yang jelas. Hal ini karena kemandirian emosional penting bagi individu, terutama pada remaja awal
karena kemandirian emosional ini menunjukkan proses kematangan individu dalam mempersiapkan diri menuju dewasa. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik mengenai gambaran kemandirian emosional pada siswa SMPN 1 Margaasih Ka-
bupaten Bandung. Penelitian ini dilakukan terhadap 290 siswa (remaja awal) SMPN 1 Margaasih Kabupaten Bandung. Rancangan pe-
nelitian yang digunakan adalah non eksperimental kuantitatif dengan metode deskriptif menggunakan alat ukur berupa kuesioner tentang
kemandirian emosional, yang mengacu pada teori Steinberg. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar siswa SMPN 1 Margaasih
Kabupaten Bandung memiliki kemandirian emosional yang tergolong tinggi. Artinya, mereka sudah mampu memandang orang tuanya
bukan sebagai sosok yang paling tahu mengenai kehidupan dan perasaan remaja. Mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua
sebagai orang dewasa lainnya yang memiliki berbagai peran. Dapat bergantung pada kemampuan dirinya sendiri tanpa mengharapkan
bantuan orang tua ketika menyelesaikan masalah. Serta memiliki sesuatu yang pribadi yang tidak selalu harus diketahui oleh orang tua
(proses individuasi) dan dapat bertanggung jawab atas dirinya.

Kata kunci: kemandirian emosional; remaja awal; siswa

Emotional Autonomy in Early Adolescents: Study at SMPN 1 Margaasih, Band-


ung Regency

ABSTRACT, Teenagers who were still relying on their parents and also have the lack of an autonomy according to their age, were feared
to have difficulty in getting a true identity. This is important because emotional autonomy is essentials for every individual, especially in
adolescents because the emotional autonomy showed the maturity process of individuals in preparing themselves for their maturity. The
purpose of this study was to obtain empirical data regarding the description of emotional autonomy in students of SMPN 1 Margaasih,
Bandung Regency. The number of participants used in this study amounted to 290 students. The research design used was a quantitative
non-experimental approach with quantitative descriptive methods. The results showed that the majority students of SMPN 1 Margaasih
Bandung Regency had high emotional autonomy. That is, they are able to see their parents not as the person who knows most about the
life and feelings of teenagers. Able to view and interact with parents as other adults who have various roles. Can depend on his own
abilities without expecting help from parents when solving problems. As well as having something personal that does not always have to
be known by parents (individuation process) and can be responsible for themselves.

Key words: Emotional autonomy; early adolescence; student


PENDAHULUAN pertumbuhan jasmani, hubungan dengan orang tua, aga-
ma, masa depan, dan sosial. Di mana pada masa ini per-
Masa remaja merupakan masa di mana terjadinya hatian remaja terhadap kedudukannya dalam masyarakat
transisi dari masa ketidakmatangan anak-anak menuju ke- sangat besar, remaja ingin selalu diterima oleh kawan-ka-
matangan di masa dewasa (Santrock, 2014). Dalam masa wannya, kemudian remaja dapat menyelesaikan masalah
remaja tersebut terdapat beberapa tugas-tugas perkem- tersebut secara mandiri. Hal ini sesuai dengan salah satu
bangan yang harus dipenuhi. Tugas-tugas perkembangan tugas perkembangan remaja menurut Steinberg (2014),
pada masa remaja menurut Santrock (2007) adalah men- yaitu mengenai perkembangan kemandirian (autonomy),
capai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman yang merupakan kemampuan remaja untuk mengatur di-
sebaya, baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial rinya sendiri dan mengekspresikan perilaku dengan tidak
sesuai dengan jenis kelamin, pria atau wanita, menerima bergantung pada orang lain, baik secara emosional, perila-
keadaan fisiknya dan memanfaatkan dengan efektif, mam- ku, dan nilai.
pu dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, Kemandirian menurut Steinberg (2014) terdiri dari
mencapai kemandirian emosional terhadap orang tua tiga aspek, yaitu kemandirian emosional, kemandirian
dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier perilaku, dan kemandirian nilai. Kemandirian emosional
ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan kehidupan kel- merupakan aspek kemandirian yang berhubungan dengan
uarga, serta mengembangan sistem nilai dan etika sebagai perubahan kedekatan individu dengan orang lain, teruta-
pegangan dalam berperilaku mengembangkan ideologi. ma orang tua (Steinberg, 2014). Individu pada fase remaja
Remaja juga dituntut untuk mampu menghadapi tidak lagi bergantung kepada orang tuanya ketika membu-
berbagai permasalahan, seperti masalah yang menyangkut tuhkan bantuan. Remaja tidak lagi menganggap orang tua
Kemandirian Emosional pada Remaja Awal: Studi di SMPN 1 Margaasih 223
Kabupaten Bandung

mereka sebagai sosok yang serba tahu (all knowing) atau dalam menyelesaikan masalah, 4) individuation (bagaima-
berkuasa penuh atas kehidupan anaknya (all powerfull). na individu memandang dirinya sendiri).
Individu memiliki hubungan emosional dengan orang lain Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa awal
selain orang tuanya, seperti teman atau pacar. masa remaja merupakan waktu yang penting untuk meng-
Kemandirian perilaku merupakan kemampuan un- embangkan kemandirian emosional dalam hubungan kel-
tuk mengambil keputusan secara mandiri dan bertanggu- uarga dan teman sebaya (Hartup, 1983; Youniss & Smol-
ng jawab atas pilihan yang diambil (Steinberg, 2014). lar, 1985, dalam Steinberg, 1985). Menurut David Elkind
Seorang remaja mengambil keputusan berdasarkan per- dalam Santrock (2007), remaja awal (early adolescence)
timbangan dari alternatif penyelesaian masalah dari beber- adalah individu yang berada pada rentang usia 12-15 tahun
apa sudut pandang kemudian membandingkan alternatif dan pada umumnya usia tersebut merupakan individu yang
tersebut. Selain itu, remaja juga mempertimbangkan kon- sedang menjalani masa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
sekuensi-konsekuensi yang akan muncul dari keputusan Sejak kecil individu sudah dihadapkan pada berb-
yang ia pilih. Kemandirian nilai merupakan pengemban- agai pilihan. Semasa kanak-kanak, individu saat itu masih
gan suatu keyakinan yang akan membimbing pemikiran dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sederhana dengan
dan perilaku seseorang tentang benar dan salah (Steinberg, alasan pemilihan yang lebih berdasarkan kesukaan. Pada
2014). Selain itu, keyakinan mereka juga didasari oleh masa ini, individu akan dibantu dalam menentukan pilihan
prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan. Ke- oleh orang tua. bahkan tidak jarang orang tua akan mem-
yakinan seorang remaja juga tidak hanya didasari dari buat keputusan bagi anaknya tanpa mendiskusikannya
nilai yang diberikan oleh orang tua atau peran otoritas lain, terlebih dahulu.
tetapi didasarkan pada nilai dari dalam diri mereka sendiri Semakin bertambahnya usia, alasan yang mendasari
(Steinberg, 2014). individu menentukan suatu pilihan akan semakin kompl-
Pada saat memasuki fase masa remaja, individu eks dengan berbagai macam faktor yang harus disertakan
diharapkan mampu mengembangkan tugas kemandirian dalam pertimbangan sebelumnya (Santrock, 2014). Re-
secara bertahap, diawali mengembangkan aspek kemandi- maja awal dengan berbagai perubahan yang terlihat akan
rian emosional terlebih dahulu. Apabila individu sudah diajarkan untuk mulai menentukan keputusan tanpa atau
mampu mengembangkan kemandirian emosional, indi- bantuan yang seminimal mungkin dari orang tua atau
vidu dapat mengembangkan kemandirian perilaku dan ke- orang dewasa lainnya dan remaja diharapkan dapat be-
mandirian nilai sehingga individu dapat dikatakan mampu lajar mempertanggungjawabkan keputusannya. Apalagi,
menyelesaikan tugas perkembangannya di masa remaja remaja awal yang berstatus sebagai siswa SMP umumnya
(Steinberg, 2014). mulai lebih banyak menghabiskan waktu jauh dari pen-
Tugas kemandirian emosional ini penting bagi re- gawasan langsung orang tua, sebab siswa SMP memili-
maja karena kemandirian emosional ini menunjukkan ki tugas perkembangan lain yang harus dijalani dan juga
proses kematangan individu dalam mempersiapkan diri dikembangkan, seperti bersekolah untuk menuntut ilmu
menuju dewasa. Individu akan dengan mudah menyesuai- pengetahuan serta mengembangkan kemampuannya ber-
kan diri ketika menghadapi tuntutan dari lingkungannya sosialisasi dengan teman-teman.
di masa dewasa jika individu mampu mengembangkan Terdapat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
kemandirian emosionalnya di masa remaja. Menurut Nur Afni (2015) yang berjudul “kemandirian emosional
Steinberg (2002), perkembangan kemandirian emosional remaja usia 12-15 tahun berdasarkan tipe pola asuh orang
dimulai pada awal masa remaja dan ketergantungan rema- tua”, menunjukkan bahwa beberapa responden mengung-
ja terhadap orang tua akan berkurang pada remaja akhir. kapkan mereka melihat orang tua sebagai sosok yang se-
Kemandirian emosional menitikberatkan pada pe- lalu benar karena orang tua adalah orang yang mengeta-
rubahan hubungan individu yang awalnya dekat dengan hui segala sesuatu, terutama suatu hal yang tang terbaik
orang tua perlahan-lahan mulai berkurang. Individu yang untuk anaknya, misalnya ketika memilih sekolah lanjutan,
awalnya selalu bergantung pada orang tua, kini secara kemudian remaja menuruti saran dan pilihan sekolah dari
emosional mulai berusaha untuk mengurangi rasa keter- orang tua. Kemudian responden juga mengatakan ket-
gantungan tersebut dengan menunjukkan kebebasannya ika mereka menghadapi masalah, misalnya bertengkar
sendiri. Pada fase remaja, individu tidak tertarik lagi mel- dengan teman, mereka akan menceritakan permasalahan
akukan aktivitas bersama orang tua, tidak mau menden- tersebut kepada orang tua atau teman dekat mereka untuk
garkan nasehat atau kritik dari orang tua, dan ikatan em- meminta saran agar keluar dari permasalahan tersebut.
osional dengan orang tua tidak lagi sedekat waktu masih Kemudian orang tua mereka pun akan memberi saran dan
anak-anak (Santrock, 2014). Menurut Steinberg (2014) remaja akan mengikuti saran dari orang tuanya. Dan hal
kemandirian emosional remaja terdiri atas empat dimen- ini kurang sesuai dengan aspek non-dependency pada teori
si, yaitu: 1) de-idealized (memandang orang tua bukan Steinberg (2014).
sebagai sosok yang ideal), 2) parents as people (meman- Remaja awal yang yang berstatus siswa SMP masih
dang orang tua sebagai orang dewasa pada umumnya), 3) memandang orang tuanya sebagai orang paling ideal, yang
non-dependency (tidak selalu bergantung pada orang tua mengetahui segala sesuatu sehingga dapat membuat kebi-
224 Aulia Nurul Husna S.Psi dan Esti Wungu, M.ed., Psikolog

jakan yang tepat. Hal ini memungkinkan sulitnya siswa gunakan alokasi proporsional agar sampel yang diambil
SMP menerima kesalahan yang ternyata dapat dilakukan pun jumlahnya proporsional. Berdasar paparan Notoat-
orang tuanya. Pada remaja yang masih pada tingkat SMP, modjo (2005) untuk populasi kecil atau lebih kecil dari
biasanya peraturan masih sepenuhnya dibuat oleh orang 10.000, maka diperoleh jumlah sampel 96 siswa untuk
tua dan anak masih memiliki ketakutan untuk menyatakan kelas 7, 97 untuk kelas 8, dan 97 untuk kelas 9 dengan
pendapatnya pada orang tua karena otoritas orang tua. total seluruhnya 290 siswa.
Remaja awal dengan status siswa SMP masih sangat Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
bergantung kepada orang tua di dalam menentukan kepu- ini berbentuk kuesioner yang diisi sendiri oleh re-
tusan, terlebih mengenai perencanaan masa depan, seperti sponden. Kuesioner yang digunakan merupakan alat
sekolah dan bidang pendidikan yang diminati. Kemudian, ukur yang disusun oleh Ervini Natasya (2014) ber-
siswa SMP masih memiliki bayangan ketika masa kecil dasarkan teori Emotional Autonomy Scale dari Stein-
yang melihat orang tua sebagai sosok yang ideal sehingga berg & Silverberg (1986) dengan reliabilitas 0,932
banyak siswa SMP yang memiliki cita-cita sama seperti menggunakan Cronbach’s alpha melalui bantuan
orang tuanya, dan bahkan mencoba menjadi sama seper- SPSS 20.0. Alat ukur ini terdiri dari 67 item yang
ti orang tuanya dalam segala hal. Selain itu, siswa SMP diturunkan dari keempat dimensi yaitu de-idealized,
akan memberitahu segala permasalahan yang dihadapinya parent as people, non-dependency, dan individua-
kepada orang tua karena anggapan bahwa orang tua mer- tion. Kuesioner kemandirian emosional ini terdiri
upakan sosok yang paling tahu mengenai hal-hal yang ha- dari item positif dan negatif yang tersebar secara
rus dilakukan, atau bahkan dapat langsung menyelesaikan acak. Skala pengukuran yang digunakan adalah ska-
masalah yang dihadapi remaja. la likert dengan rentang skala 1-4. Setiap item per-
Menurut Conger (1991) dalam Permana, (2011:3), nyataan yang ada di dalam alat ukur ini terdiri dari
remaja yang masih bergantung pada orang tua dan belum empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS),
memiliki kemandirian sesuai dengan usianya, remaja akan Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Ses-
mengalami kesulitan dalam mendapatkan identitas diri uai (STS). Pada alat ukur kemandirian emosional ini,
yang jelas seperti mengejar pekerjaan dengan rasa percaya data dari masing-masing subjek penelitian diolah dan
diri serta membangun hubungan heteroseksual. Kemudi- hasilnya dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu
an hal ini juga tidak sesuai dengan tugas perkembangan tinggi dan rendah (lihat tabel 1).
pada masa remaja menurut Hurlock (2001), yaitu men-
Tabel 1. Kategorisasi Skor Total Kemandirian Emosional
capai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-
pada Setiap Aspek
orang dewasa lainnya. Karenanya, peneliti tertarik untuk
Dimensi Jumlah Skor Skor Kategori Kategori
meneliti lebih lanjut “Bagaimana gambaran kemandirian Item Min Maks Rendah Tinggi
emosional remaja pada siswa SMPN 1 Margaasih Kabu- Total 67 67 268 67-167 168-268
paten Bandung?”
Non 14 14 56 14-35 36-56
dependency
METODE Individuation 16 16 64 16-40 41-64
Parent as 15 15 60 15-45 46-60
Penelitian ini menggunakan pendekatan non-ek- People
sperimental kuantitatif dengan metode deskriptif. Pen- De- 22 22 88 22-55 56-88
idealized
dekatan non-eksperimental penelitian empirik sistematis
di mana peneliti tidak dapat mengontrol variabel bebas Berdasarkan kategori yang telah di paparkan,
secara langsung karena menifestasinya telah muncul atau berikut merupakan penjelasan untuk setiap kategori:
karena sifat variabel tersebut menutup kemungkinan ter- 1. Kemandirian emosional tinggi artinya adalah ke-
mampuan remaja awal untuk tidak bergantung se-
jadinya manipulasi (Kerlinger, 2006). Sementara pene-
cara emosional kepada orang tua mereka diband-
litian kuantitatif adalah penelitian yang mengumpulkan
ingkan ketika masa anak-anak dilihat berdasarkan
beberapa data numerik untuk menjawab pertanyaan pe- empat dimensi kemandirian emosional.
nelitian. Sedangkan metode deskriptif merupakan peng- 2. Kemandirian emosional rendah artinya adalah ket-
gambaran sebuah fenomena, kejadian, atau situasi secara idakmampuan remaja awal untuk tidak bergantung
akurat (Christensen, 2007). secara emosional kepada orang tua mereka diband-
Karakteristik sampel dari penelitian ini adalah sis- ingkan ketika masa anak-anak dilihat berdasarkan
wa SMPN 1 Margaasih Kabupaten Bandung, kelas 7, 8, empat dimensi kemandirian emosional.
dan 9. Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digu- Analisis statistik dilakukan dengan bantuan pro-
nakan adalah probability sampling dalam bentuk stratified gram SPSS 20.0 for Windows. Metode analisis menggu-
random sampling. Proses pengambilan sampel ini meng- nakan uji non parametrik (Mann-Whitney dan Kruskal
gunakan teknik proportional stratified random sampling. Wallis) untuk melihat perbedaan signifikan kemandi-
Sampel dikelompokkan dalam tiga strata, yaitu kelas 1, 2, rian emosional ditinjau dari jenis kelamin, usia, urutan
kelahiran, pola asuh, suku bangsa, tempat tinggal, pen-
dan 3. Untuk menentukan besar sampel setiap kelas meng-
didikan ibu, dan aktivitas ibu pada subjek penelitian
Kemandirian Emosional pada Remaja Awal: Studi di SMPN 1 Margaasih 225
Kabupaten Bandung

HASIL DAN PEMBAHASAN lasi dan pemaparan data demografis tersebut, dapat dilihat
bahwa siswa SMPN 1 Margaasih Kabupaten Bandung
Setelah pengumpulan data dilakukan, terkumpul yang menjadi responden penelitian tersebar berdasarkan
sampel sejumlah 290 siswa dengan karakteristik demo- jenis kelamin, usia, suku bangsa, tempat tinggal, pola
grafi seperti tergambar di tabel 2. asuh, dan pendidikan ibu yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil pemaparan data (lihat tabel 3),
Tabel 2. Data Demografi Subjek Penelitian
diperoleh bahwa mayoritas siswa SMPN 1 Margaasih
Data Demografi Frekuensi Persentase
Kabupaten Bandung yaitu sebanyak 222 (77%) dari 290
Laki-laki 133 45,9%
Jenis Kelamin responden memiliki kemandirian emosional yang ting-
Perempuan 157 54,1%
gi. Dari keempat aspek kemandirian emosional, terdapat
11 6 2,15%
dua aspek yang menunjang kemandirian emosional siswa
12 54 18,6%
SMPN 1 Margaasih Kabupaten Bandung tinggi, yaitu as-
Usia 13 96 33,1% pek de-idealized 158 (54%) dan individuation 210 (72%)
14 101 34,8% siswa. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden
15 33 11,4% penelitian ini memiliki kemampuan untuk mengatur
Sulung 96 33,1% dirinya sendiri dan tidak bergantung secara emosional
Urutan Tengah 75 25,9% dengan orang tua (Steinberg, 2014). Dengan kata lain,
Kelahiran Bungsu 101 34,8% siswa SMPN 1 Margaasih Kabupaten Bandung mampu
Tunggal 18 6,2% memandang orang tua bukan sebagai sosok yang paling
Authoritative 257 88,6% tahu mengenai kehidupan dan perasaan remaja, mampu
Authoritarian 18 6,2% memandang dan berinteraksi dengan orang tua sebagai
Pola Asuh
Permissive 9 3,1% orang dewasa lainnya yang memiliki berbagai peran,
Neglected 6 2,1% dapat bergantung pada kemampuan dirinya sendiri tanpa
Sunda 259 89,3% mengharapkan bantuan dari orang tua ketika menyelesai-
Jawa 19 6,6% kan masalahnya, dan memiliki sesuatu yang pribadi yang
Batak 7 2,4% tidak selalu harus diketahui oleh orang tua dan dapat ber-
Suku Bangsa tanggung jawab atas dirinya.
Minang 2 0,7%
Nias 1 0,3%
Aspek yang pertama yaitu de-idealized, sebanyak
Betawi 2 0,7%
158 (54%) atau sebagian besar responden berada pada
kategori tinggi. Artinya, siswa SMPN 1 Margaasih Ka-
Orang Tua 281 96,9%
Tempat bupaten Bandung tidak lagi memandang orang tuanya se-
Nenek 8 2,8%
Tinggal bagai sosok yang ideal yaitu, sosok yang paling mengeta-
Tante 1 0,3%
hui segala hal mengenai kehidupan dan perasaan remaja
SD 67 23,1%
serta sebagai seseorang yang selalu benar (de-idealized).
SMP 73 25,2%
Menurut Steinberg (2014), cara pandang remaja menge-
SMA 120 41,4%
Pendidikan
nai orang tua merupakan proses yang akan terus berlanjut
D3 13 4,5%
Ibu hingga remaja memasuki fase dewasa sehingga remaja
S1 6 2,1% memiliki pandangan yang lebih realistik terhadap orang
S2 5 1,7% tua. Apabila dilihat pada item-item alat ukur kemandirian
S3 2 0,7% emosional, dapat dikatakan bahwa siswa SMPN 1 Mar-
Buruh 21 7,2% gaasih Kabupaten Bandung mampu memandang orang
Wiraswasta 14 4,8% tua memiliki kesalahan dan keterbatasan serta mampu me-
Wirausaha 9 3,1% nentukan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya misalnya
Aktivitas Ibu
(Pekerjaan
Karyawan
13 4,5%
menyadari bahwa orang tua pernah berbuat kesalahan atau
Swasta
Ibu) berbohong kepada orang lain.
PNS 9 3,1% Aspek kedua yaitu individuation, sebanyak 210 (72%)
IRT 223 76,9% responden penelitian termasuk ke dalam kategori tinggi. Hal
Meninggal 1 0,3% ini berarti responden mampu menunjukkan tanggung
Kemandirian emosional tidak terjadi begitu saja. jawabnya secara verbal kepada orang tua, mampu ber-
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ke- tanggung jawab atas dirinya, dan memiliki privasi yang
mandirian emosional. Dalam penelitian ini, peneliti mel- tidak harus diketahui oleh orang tua, tidak menceritakan
akukan uji beda terhadap beberapa faktor yang mempen- kepada orang tua semua hal mengenai dirinya termasuk
garuhi kemandirian emosional menurut Steinberg (2014) yang sifatnya pribadi atau menjaga ruang pribadi (privacy)
yaitu jenis kelamin, usia, budaya (suku bangsa), urutan dari orang tua.
kelahiran, tempat tinggal, pola asuh, pendidikan ibu, dan Menurut Zeman dan Shipman, dalam Steinberg
aktivitas ibu (pekerjaan ibu). Berdasarkan hasil rekapitu- (2002) menjaga jarak secara emosional dari orang tua me-
226 Aulia Nurul Husna S.Psi dan Esti Wungu, M.ed., Psikolog

Tabel 3. Gambaran Skor Total dan Setiap Aspek pada Dimensi Kemandirian Emosional
SKOR TOTAL KEMANDIRIAN SETIAP ASPEK KEMANDIRIAN EMOSIONAL
EMOSIONAL
De-idealized Parent as People Non-Dependency Individuation
Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah
77% 23% 54% 46% 8% 92% 44% 56% 72% 28%

rupakan salah satu bagian dari proses individuation. Hal remaja mengenai peran orang tua dalam kehidupan sosial.
ini sesuai jika dilihat dari perkembangan sosialnya sendi- Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, mayoritas re-
ri, remaja memiliki keinginan untuk memiliki privasi dari sponden belum bisa melihat orang tua memiliki peran lain
orang tua misalnya mengenai asmara, di mana remaja mu- sebagai individu biasa dalam kehidupan sosial, seperti per-
lai tertarik dengan lawan jenis tetapi tidak ingin orang tua an sebagai anak, peran sebagai teman, peran sebagai adik/
mengetahui hal tersebut. Proses individuasi bagi remaja kakak, dan peran sebagai tetangga.
ini dapat berkembang dengan baik apabila orang tua tidak Aspek keempat yaitu non-dependency, sebanyak 162
menunjukkan kekuasaannya atas diri remaja sehingga re- (56%) responden atau dapat dilihat bahwa sebagian besar
maja tidak merasa cemas dan takut pada orang tua keti- responden berada pada kategori rendah. Artinya, responden
ka memiliki privasi (Hock, Eberly, et al., 2001; R. Ryan & masih bergantung kepada orang tua dalam menyelesai-
Lynch, 1989; Steinberg 2014). kan masalah, masih mencari orang tua ketika sedang se-
Apabila dilihat pada item-item alat ukur kemandi- dih serta meminta bantuan dalam mengambil keputusan,
rian emosional, dapat dikatakan bahwa siswa SMPN 1 responden belum bisa bergantung pada dirinya sendiri.
Margaasih Kabupaten Bandung memiliki privasi (sesuatu Apabila dilihat pada item-item alat ukur kemandirian em-
yang pribadi) yang tidak harus selalu diketahui orang tua, osional, dapat dikatakan bahwa siswa SMPN 1 Margaasih
mampu menunjukkan tanggung jawabnya secara verbal Kabupaten Bandung belum mampu mengatasi kesedihan
kepada orang tua, dan mampu bertanggung jawab atas di- dan gejolak perasaannya secara mandiri tanpa bantuan
rinya sendiri misalnya berani meminta maaf kepada orang orang tua, mengambil keputusan untuk menyelesaikan
tua jika lalai melaksanakan kewajiban. masalahnya tanpa bergantung pada orang tua, serta men-
Aspek ketiga yaitu parent as people menunjukkan yampaikan gagasan/ide berdasarkan pendapatnya sendiri
bahwa sebagian besar responden sebanyak 268 (92%) bukan pendapat orang tua.
berada pada kategori rendah. Hal ini berarti, responden Berdasarkan uji beda yang dilakukan peneliti, terdap-
belum dapat memandang orang tua sebagai individu pada at perbedaan yang signifikan pada kemandirian emosional
umumnya dan berinteraksi dengan orang tua tidak hanya berdasarkan usia responden penelitian yang berusia 12, 13,
sebagai orang tua dan anak tetapi juga hubungan antar in- 14, dan 15 tahun. Jika dilihat dari hasil uji beda siswa SMPN
dividu. Hal ini tidak sesuai dengan teori menurut McEl- 1 Margaasih Kabupaten Bandung, hasilnya memperlihat-
haney et al., 2009; Zimmer-Gembeck, Ducat, & Collins, kan bahwa semakin meningkat usia remaja, semakin tinggi
2011 (dalam Steinberg, 2014) yang mengatakan bahwa as- pula kemandirian emosionalnya. Hal ini didukung oleh teori
pek parent as people dapat dilihat dari hubungan interaksi yang menjelaskan bahwa kemandirian akan meningkat seir-
remaja dengan orang tua, di mana semakin sering remaja ing bertambahnya usia pada periode remaja (W. A. Collins
berinteraksi dengan orang tua maka kemampuan remaja & Steinberg, 2006, dalam Steinberg, 2014).
memandang orang tua sebagai individu biasa semakin Hal ini juga sesuai dengan seiring bertambahnya
baik, serta hal ini akan terus berkembang sampai remaja usia tersebut, remaja cenderung memiliki pendapat yang
memasuki masa remaja akhir. berbeda dengan orang tua atau mereka tidak selalu setu-
Apabila dilihat pada item-item alat ukur kemandi- ju dengan orang tua (McElhaney et al., 2009; Zhang &
rian emosional, dapat dikatakan bahwa siswa SMPN 1 Fuligni, 2006, dalam Steinberg, 2014). Selain itu, remaja
Margaasih Kabupaten Bandung belum mampu meman- cenderung lebih mempertimbangkan risiko dan manfaat
dang orang tua sebagai individu pada umumnya, selain se- terkait dengan keputusan yang mereka buat dan mem-
bagai sosok orang tua bagi remaja, menjelaskan keputusan pertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari keputu-
yang diambil kepada orang tua selayaknya kepada orang san yang mereka ambil (Crone & van der Molen, 2007;
dewasa lainnya, serta berdiskusi secara leluasa dengan Halpern-Ffelsher & Cauffman, 2001; Steinberg, Graham
orang tua tanpa adanya hambatan. et al., 2009, dalam Steinberg, 2014).
Menurut Steinberg (1995: 291) remaja pada tingkat Peneliti selanjutnya melakukan uji beda kemandirian
SMP tampak mengalami kesulitan dalam memandang emosional berdasarkan jenis kelamin dan suku bangsa re-
orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Dalam sponden penelitian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
analisisnya aspek kemandirian emosional ini sulit berkem- tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemandi-
bang dengan baik pada masa-masa remaja. Hal yang rian emosional dengan jenis kelamin responden penelitian.
mendukung bahwa aspek parent as people masuk ke da- Menurut Steinberg dan Silverberg (1986), menyatakan bah-
lam kategori rendah dapat dilihat berdasarkan pertanyaan wa perbedaan jenis kelamin dalam skor kemandirian em-
terbuka dari data penujang, dilihat bagaimana pandangan osional kurang kuat dibandingkan dengan perbedaan usia.
Kemandirian Emosional pada Remaja Awal: Studi di SMPN 1 Margaasih 227
Kabupaten Bandung

Hal ini bertentangan dengan hasil-hasil penelitian Terakhir, peneliti melakukan uji beda kemandirian
sebelumnya, yaitu menurut Bancroftt, Carmody, dan Bar- emosional berdasarkan aktivitas ibu. Hasil penelitian
croft, 1996; Daddis dan Smenta, 2005, (dalam Steinberg, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signi-
2014), bahwa anak laki-laki diberi kebebasan lebih banyak fikan antara kemandirian emosional berdasarkan aktivitas
tetapi anak perempuan kurang diberi kebebasan. Kemu- ibu. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilaku-
dian remaja perempuan memiliki perasaan lebih mandi- kan Lindgren, 1976; Burchinal & Lovell, dalam Hoffman
ri daripada remaja laki-laki (W. A. Collins & Steinberg, & Nye (1984), (dalam Denrich dan Cindy 2003) yang men-
2006, dalam Steinberg, 2014), serta remaja perempuan gatakan bahwa pola pengasuhan anak yang dilakukan pada
juga lebih mampu melawan tekanan teman sebaya karena ibu yang bekerja akan berbeda dengan ibu yang tidak bekerja.
anak perempuan akan dewasa lebih awal secara psikoso- Ibu yang bekerja, secara tidak langsung ,akan lebih
sial daripada anak laki-laki (Steinberg & Monahan, 2007, banyak menekankan latihan kemandirian dan tanggung
dalam Steinberg, 2014). jawab terhadap pekerjaan rumah tangga. Hal ini dikare-
Tidak adanya perbedaan signifikan pada jenis nakan aktivitas ibu (pekerjaan ibu) pada siswa SMPN 1
kelamin dengan kemandirian emosional didukung oleh Margaasih Kabupaten Bandung homogen, 223 dari 290
penelitian dari Wray-Lake, Crouter, &McHale (2010) responden adalah IRT (Ibu Rumah Tangga), sehingga
yang menjelaskan bahwa perbedaan kemandirian ber- tidak seimbangnya proporsi setiap kelompok aktivitas
dasarkan jenis kelamin bergantung pada sex role yang orang ibu yang ada pada siswa SMPN 1 Margaasih Kabupaten
tua pahami, yaitu cara orang tua dalam mendidik anak Bandung ini sehingga hasilnya tidak terdapat perbedaan
yang relatif sama antara anak laki-laki dan perempuan serta yang signifikan pada aktivitas ibu. Kemudian penelitian
bergantung pada kumpulan anak laki-laki dan perempuan ini tidak dapat digeneralisir ke SMP lain di Kabupaten
di dalam keluarga. Bandung maupun daerah lain.
Menurut Covey (2007:64), urutan kelahiran dan
interpretasi terhadap posisi seseorang dalam keluarga SIMPULAN
berpengaruh terhadap cara seseorang berinteraksi. Uru-
tan kelahiran, akan membentuk karakter tertentu. Feist & Kemandirian emosional siswa SMPN 1 Margaasih
Feist (2010 : 100) menjelaskan, anak sulung memiliki kar- Kabupaten Bandung berada dalam kategori tinggi. Art-
akter selalu berkuasa, kecemasan tinggi, serta cenderung inya, mayoritas responden sudah tidak lagi bergantung
overprotektif. Anak tengah memiliki karakter kompetitif, secara emosional kepada orang tua, siswa SMPN 1 Mar-
minat sosial yang tinggi, dan mau bekerja sama. Anak gaasih Kabupaten Bandung mampu memandang orang
bungsu kurang dewasa, sering kurang percaya diri, dan tua bukan sebagai sosok yang paling tahu mengenai ke-
sering mengalami gangguan emosional. hidupan dan perasaan remaja, dapat bergantung pada ke-
Hal ini dapat mempengaruhi kemandirian yang di- mampuan dirinya sendiri tanpa mengharapkan bantuan
miliki oleh remaja. Namun, pada uji beda urutan kelahi- dari orang tua ketika menyelesaikan masalahnya, mampu
ran, hasilnya menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang memandang dan berinteraksi dengan orang tua sebagai
signifikan pada urutan kelahiran dengan kemandirian em- orang dewasa lainnya yang memiliki berbagai peran, dan
osional pada responden penelitian. Tidak adanya perbe- memiliki sesuatu yang pribadi yang tidak selalu harus
daan yang signifikan tersebut disebabkan masih ada faktor diketahui oleh orang tua dan dapat bertanggung jawab atas
lain yang perlu dipertimbangkan, seperti jarak usia antar dirinya. Responden lainnya berada dalam kategori rendah.
anak. Jarak usia yang terlalu jauh dapat mengurangi pen- Artinya, masih terdapat siswa yang bergantung secara em-
garuh urutan kelahiran terhadap perkembangan kemandi- osional kepada orang tuanya.
rian emosional (Santrock, 2014). Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian kecil
Selanjutnya, peneliti melakukan uji beda terhadap fak- dari remaja masih belum mengembangkan kemandirian
tor tempat tinggal. Remaja yang tinggal terpisah dari orang emosionalnya. Hal ini perlu menjadi perhatian pihak orang
tua namun tetap memiliki perasaan terikat dengan orang tua tua dan sekolah untuk dapat menjadi landasan penyusunan
cenderung lebih mandiri (Steinberg, 2014). Namun, hasil program pengembangan karena pentingnya membangun
penelitian yang didapatkan peneliti tidak sesuai dengan pe- kemandirian emosional akan mempengaruhi pada tahapan
nelitian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak berikutnya.
terdapat perbedaan yang signifikan pada kemandirian emo-
sional dengan tempat tinggal responden penelitian. Hal ini DAFTAR PUSTAKA
dikarenakan tempat tinggal (dengan siapa tinggal) pada siswa
SMPN 1 Margaasih Kabupaten Bandung homogen, 281 dari Anwar, N. A. (2015). Gambaran Kemandirian Emosional
290 responden tinggal dengan orang tua mereka, sehingga Remaja Usia 12-15 Tahun Berdasarkan Pola Asuh
tidak seimbangnya proporsi setiap kelompok tempat tinggal Authoritative. Universitas Padjadjaran, Psikologi.
yang ada pada siswa SMPN 1 Margaasih Kabupaten Band- Sumedang: Universitas Padjadjaran.
ung ini sehingga hasilnya tidak terdapat perbedaan yang sig- Berk, L. E. (2005). Infants, Children, and Adolescents
nifikan pada kelompok tempat tinggal. (5th ed.). Boston: Pearson Education.
228 Aulia Nurul Husna S.Psi dan Esti Wungu, M.ed., Psikolog

Budiman, N. (2010). Perkembangan Kemandirian pada Steinberg, L. (2002). Adolescence (6th ed.). New York:
Remaja. Jurnal Pendidikan, 3(1), 1-12. McGraw-Hill Companies, Inc.
Christensen, L. B. (2006). Experimental Methodology Steinberg, L. (2014). Adolescence (10th ed.). New York:
(10th ed.). Boston: Pearson Education. Mc-Graw Hill Companies, Inc.
Corey, G. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Steinberg, L. D., & Silverberg, S. B. (1986). The
Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Vicissitudes of Autonomy in Early Adolescence.
Child Development, 57(4), 841-851.
Feist, J., & Feist, G. (2010). Teori Kepribadian (7th ed.).
Jakarta: Salemba Humanika. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif.
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing: Design,
Analysis and Use. Boston: Allyn and Bacon. Suryadi, D., & Damayanti, C. (2003). Perbedaan Tingkat
Kemandirian Remaja Putri yang Ibunya Bekerja
Goodwin, C. J. (2010). Research In Psychology: Methods
dan yang Tidak Bekerja. Jurnal Psikologi, 1(1),
and Design (6th ed.). Hoboken: John Wiley &
1-28.
Sons, Inc.
Widjaja, H. (1986). Hubungan antara Asuhan Anak
Hurlock, E. B. (2004). Developmental Psychology (6th
dengan Ketergantungan Kemandirian. Universitas
ed.). New York: McGraw-Hill Education.
Padjadjaran, Pertanian. Sumedang: Universitas
Kaplan, R. M., & Saccuzzo, D. P. (2009). Psychological Padjadjaran.
Testing: Principles, Applications, and Issues (9th
Wray-Lake, L., Crouter, A. C., & McHale, S. M.
ed.). Boston: Cengage Learning.
(2010). Developmental Pattern in Decision
Kerlinger, F. N. (2006). Asas-Asas Penelitian Behavioral Making Autonomy Across Middle Childhood
(3rd ed.). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. and Adolescence: European American Parents
Mangkudilaga, E. N. (2014). Studi Komparatif Mengenai Perspective. Child Development, 81(2), 635-651.
Kemandirian Emosional Pada Siswa SMP Yang
Tinggal Di Asrama Dan Yang Tinggal Di Rumah
Dengan Orang Tua. Universitas Padjadjaran,
Psikologi. Sumedang: Universitas Padjadjaran.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Permana, M. S. (2011). PROGRAM BIMBINGAN
DAN KONSELING UNTUK
MENINGKATKAN KEMANDIRIAN SISWA
. Universitas Pendidikan Indonesia, Bimbingan
dan Konseling. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Rice, F. P. (1996). The Adolescent: Development, Relationship,
& Culture (8th ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is Everything, or is it?
Exploration on the Meaning of Psychological
Well-Being. Journal of Personality and Social
Psychology, 57(6), 1069.
Santrcok, J. W. (2014). Adolescence (11th ed.). New
York: McGraw-Hill Education.
Santrock, J. W. (2014). Adolescence: Perkembangan
Remaja (15th ed.). Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2000). Psikologi Remaja. Depok:
RajaGrafindo Persada.
Steinberg, L. (1993). Autonomy, conflict, and harmony
in the family relationship. In S. S. Feldman, &
G. R. Elliott, At the Treshold: The Developing
Adolescent (pp. 255-276). Cambridge: Harvard
University Press.
Steinberg, L. (1995). Adolescence. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai