Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

HAM bermula dari sebuah gagasan bahwa manusia tidak boleh diperlakukan
semena-mena oleh kekuasaan, karena manusia memiliki hak alamiah yang melekat pada
dirinya yaitu kemanusiannya. Dalam konteks HAM, negara menjadi subyek hukum
utama karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi,
menegakan, dan memajukan HAM. Negara dalam menjalankan perannya tidak luput dari
kesalahan yang dapat menimbulkan terjadinya pelanggaran berat HAM.
Pada umumnya pelanggaran berat HAM terjadi di berbagai belahan dunia berawal
dari konflik bersenjata, kerusuhan internal, pertikaian politik, kekacauan, kekerasan, dan
kejahatan kemanusian lainnya.2 Kejadian tersebut akan memaksa penegak hukum,
pemegang otoritas pertahanan, dan keamanan negara, seperti polisi dan tentara,
melakukan tindakan tegas untuk menangani konflik atau mendamaikan pihak-pihak yang
bertikai. Aparat negara dalam menjalankan kewenangan tersebut
Indonesia pada masa orde baru dalam 32 tahun kepemimpinan Soeharto banyak
dinamika politik yang terjadi. Rezim Soeharto dapat bertahan selama waktu tersebut
akibat strategi politik yang kuat. Indonesia pada orde baru mengakui bahwa demokrasi
ialah salah satu sistem pemerintahan, akan tetapi pada pelaksananya tidak, melainka n
otoriter. Orde baru merupakan makna pembeda dari periode sebelumnya yakni orde lama.
Tidak ada yang berbeda dengan masa sebelumnya, bahkan cenderung meneruskan gaya
orde lama. Modifikasi memang dilakukan, misalnya dalam pemaknaan kata “revolus i”
diganti dengan “Pembangunan”, sedangkan “kepribadian bangsa” ditukar dengan “jati
diri bangsa”, sebab pada masa orde lama kata-kata tersebut tabu untuk diucapkan.
Bahkan, sikap otoriter Soekarno mirip dengan Soeharto, menurut pandangan penulis.
Ketika masa orde lama dan orde baru berkuasa, semua kekuatan politik dan golongan
berada pada kekuatan pemimpin, sehingga memengaruhi demokrasi di Indonesia. Dengan
demikian, orde baru merupakan kepanjangan perjalanan orde lama. Meskipun
keberlanjutanya penuh intrik dan trik dalam melanggengkan kekuasaan, masa orde baru
lebih ekstrim dibandingkan dengan orde lama.
Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia
karena persoalannya berkaitan langsung dengan hak dasar yang dimiliki manusia yang
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu pada dasarnya setiap manusia memilik i
martabat yang sama maka, dalam hal hak asasi mereka harus mendapat perlakuan yang
sama, walaupun kondisi mereka berbeda-beda. Martabat manusia, sebagai substansi
sentral hak-hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek bahwa manusia memilik i
hubungan secara eksistensial dengan Tuhannya (Al-Hakim,dkk, 2012 : 60).

1
Berlatar dari pengertian HAM diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap
manusia memiliki martabat yang sama tanpa ada pembeda baik itu dari kondisi maupun
status sosial mereka di masyarakat. Pemerintah sebagai institusi yang diamanati
kekuasaan oleh rakyat bertugas dalam penjaminan hak-hak warga negaranya. Tujuan
nasional dalam menegakkan HAM tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yang berbunyi, “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan
keadilan sosial”.
Namun jaminan atas hak-hak dasar tersebut harus tercoreng oleh peristiwa
PETRUS (Penembakan Misterius) yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Korban yang tewas dalam
peristiwa tersebut sebagian besar merupakan preman atau mereka yang melawan
kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan sebagai
penjahat.
Orang-orang yang menjadi korban Petrus biasanya akan dibiarkan tergeletak di
tengah jalan atau di bawah jembatan sehingga publik dapat menyaksikan sendiri
kejamnya peristiwa tersebut. Selain dibiarkan tergeletak, beberapa korban lainnya justru
disembunyikan dan hingga kini tidak diketahui nasibnya.
Berbagai macam spekulasi hadir untuk menjelaskan cara Petrus bekerja selama
Order Baru. Presiden Soeharto, sebagaimana ditulis dalam otobiografinya Pikiran,
Ucapan, dan Tindakan Saya, mengungkapkan bahwa Petrus merupakan metode
pembasmi kejahatan yang efektif. Petrus menjadi efektif karena mampu membawa efek
jera yang luar biasa pada para pelaku kejahatan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai


berikut:

1. kronologis terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)


2. Pasal yang dilanggar oleh pemerintah selama terjadinya peristiwa PETRUS
(Penembakan Misterius)
3. Analisis kasus terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)?

C. TUJUAN

1. Untuk menjelaskan kronologis terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan


Misterius)

2
2. Untuk menjelaskan pasal yang dilanggar oleh pemerintah selama terjadinya
peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)
3. Untuk menjelaskan analisis kasus terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan
Misterius)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keamanan Nasional
Salah satu fungsi dasar yang harus diperankan oleh negara dalam melind ungi
kedaulatannya dan memberikan jaminan rasa aman terhadap warga negara dari berbagai
bentuk ancaman disebut sebagai keamanan nasional. Keamanan nasional memilik i
beberapa nilai inti yang bersifat adaptif terhadap lingkungan internal dan eksternal suatu
negara.
Nilai inti pertama secara internal akan berdampak pada proses perumusan konsep
keamanan nasional untuk reorganisasi dalam berbagai sektor sebuah negara. Pelaku
dalam sektor keamanan tersebut ialah aktor yang paling berperan. Terdapat sebuah
kebutuhan dasar untuk mendorong profesionalisasi aktor-aktor keamanan di Indonesia,
antara lain dengan menyempurnakan berbagai regulasi tentang peran, fungsi, posisi,
wewenang, dan aspek-aspek lain yang bersangkutan.
Kedua, nilai inti dari konsep keamanan nasional secara eksternal merupakan
bentuk ancaman global multidimensional yang memaksa negara untuk memiliki strategi
keamanan nasional yang fleksibel dan mudah beradaptasi. Karakter tersebut juga
menekankan pentingnya penyesuaian strategi dan pendekatan terhadap isu keamanan
nasional secara lebih konperhensif dan multidisipliner.
Pelaksanaan fungsi keamanan nasional menurut ahli secara teoritik dapat penulis
simpulkan dalam bidang dan kegiatan yang lebih spesifik. Salah satu metodenya ialah
dengan membedakan fungsi- fungsi melalui tahapan atau sekuens kegiatan. Tindakan-
tindakan antisipatif, reaktif, aktif atau proaktif untuk menghadapi ancaman secara
konvensional atau non-konvensional yang berasal dari ancaman tradisonal maupun non-
tradiosional yang dapat menimbulkan konsekuensi fisik (militer, bersenjata, menderita)
terhadap referensi objek (keutuhan wilayah, kedaulatan negara dan keselamatan warga
negara) merupakan fungsi dari keamanan nasional.
Apabila sebuah negara dalam situasi dan kondisi tercancam, maka negara dapat
mengambil sebuah keputusan politik. Tanggung jawab politik tersebut pada dasarnya
mewajibkan adanya mekanisme koordinasi baik ditataran pengambilan kebijakan
maupun operasional dalam pelaksanaan fungsi keamanan nasional. Adanya koordinasi
tersebut menjadi sebuah alasan politik bahwa negara harus melaksanakan tatanan
demokrasi. Sementara demokrasi menghendaki pelaksanaan negara yang sesuai dengan

3
fungsinya masing- masing, tidak terfokus pada satu kekuasaan tertentu. Biasanya pada
sebuah kondisi saat demokrasi melemah, maka keamanan nasional akan menguat. Oleh
sebab itu, aktor-aktor nasional harus tersebar dengan fungsinya masing- masing.
Aktor-aktor yang berperan dalam penyelenggaran fungsi- fungsi keamanan
nasional terdiri dari TNI, POLRI (ABRI) dan Intelijen. Ketiga aktor tersebut ialah sebagai
penyelenggara pertahanan sebuah negara untuk melindungi warga negara dan seluruh
aspek kenegaraan dari setiap ancaman yang berasal dari dalam atau luar negara.
nampak hubungan yang seharusnya ada dalam penyelenggaraan fungsi keamanan
nasional. Pada bab pembahasan selanjutnya penulis akan menjelaskan bagaimana
pelaksanaan penyelenggaraan fungsi keamanan nasional pada masa orde baru saat
peristiwa petrus terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, kerangka konseptual keamanan
nasional diungkapkan pada kajian pustaka ini agar menjadi kerangka analisis dalam
menjelaskan setiap peristiwa yang terjadi agar menjadi ilmiah.
B. Teori Keamanan
Konsep keamanan (Security) berasal dari bahasa Latin “secures” (secura) yang
bermakna terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan (Free from danger, free from
fear). Kata ini juga bisa di definisikan berdasarkan susunannya, yaitu gabungan kata “se”
(yang berarti tanpa) dan “curus” yang berarti (rasa gelisah). Sehingga bila digabungka n
kata ini bermakna “liberation from uneasiness, or a peaceful situation without any risk or
threats”. Dengan kata lain, di dalam makna keamanan (secures) terkandung arti terbebas
dari segala macam ancaman, bebas dari rasa takut baik dari individu, kelompok, dan
negara.
Pada kajian ini penulis menggunakan teori keamanan sebab pada peristiwa Petrus
latar belakang yang mendasari negara untuk bertindak adalah isu keamanan. Seperti ya ng
telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep keamanan dimaknai sebagai pembebasan dari
rasa takut. Studi keamanan bertujuan untuk mempelajari konsep-konsep dari isu yang
berkembang. Peperangan, ancaman, atau globalisasi menjadi kerangka konseptual dalam
memahami studi keamanan. Ada beberapa konsep yang menjadi kunci dalam studi
keamanan :

a. Power

Power merupakan suatu proses sosial yang memiliki dampak terhadap aktor yang
memperoleh kontrol terhadap nasib orang lain, dimana konsep ini memiliki dua dimensi,

4
sebagai intinya yang pertama adalah jenis hubungan sosial tersebut. Power bersumber
dari kemampuan seseorang untuk mengatur orang lain, sebab dianggap sebagai aktor
yang mampu melindungi atau mensejahterakan kehidupan sebuah negara. Pada tataran
tradisional untuk mendefinisikan power digunakan ukuran dari kekuatan militer oleh
sebuah negara.

Pendapat penulis sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Morgenthau, power
merupakan segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan memelihara
kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan power meliputi seluruh hubungan sosial, mulai
dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melalui mana seseorang bisa mengontro l
orang lain.

Kemudian menurut Nye power terbagi menjadi dua yaitu Soft Power dan Hard
Power. Soft Power merupakan suatu kemampuan suatu pihak untuk mengarahkan pihak
lain dan mengikuti kemauan pihak pertama tanpa tekanan. Hard Power di definis ika n
sebagai kemampuan suatu pihak untuk memaksa pihak lain melakukan sesuatu yang
dikehendaki pihak pertama.
Ada tiga tipe power yang berdasarkan pada tindakan, nilai atau kebijakan yang
diambil oleh negara. Tipe-tipe power ini menjadi sebuah acuan dalam menganalisis data
yang diperoleh pada penelitian ini, Tindakan Instrumen Yang Digunakan Kebijakan Yang
Diambil Hard Power Koersi Deterence Perlindungan Ancaman Kekuatan Diplomas i
Koersif Aliansi Perang Economic Power Bujukan Koersi Pembayaran Sanksi Bantuan
Suap Sanksi Soft Power Ketertarikan Setingan Nilai Kebudayaan Kebijakan Institusio na l
Diplomasi Publik Diplomasi Bilateral dan Multirateral Konsep power ini diperkenalkan
oleh Joseph. S. Nye. Jr seorang ilmuwan politik asal Amerika. Pada tahun 1977 dia
menulis sebuah buku yang berjudul Power and Interdenpedence bersama rekannya
Keohane. Melalui buku itu tipetipe power diungkapkan melalui konsep asimetris dan
kompleksitas interdepedensi. Ia juga mengungkapkan tentang hard power dan soft power,
dan menjadi pioner atas dasar pemikiran dalam memecahkan masalah atau konflik
kepentingan secara global dengan konsep soft power yang ia kemukakan.
Pemikiran Nye tersebut memang saat itu dipengaruhi oleh kondisi negara-negara
yang terlibat konflik. Oleh sebab itu, konsep hard power dan soft power yang ia
kemukakan merupakan sebuah solusi untuk konflik saat itu. Konsep hard power identik
dengan kekerasan, akan tetapi kemudia konsep itu mendapat kritikan, bahwa tidak semua
konflik dapat diselesaikan dengan kekerasaan, sehingga muncul konsep soft power.

b. Ancaman

Menurut Webster’s International Dictionary, ancaman adalah sebuah pernyataan


atau ekspresi atau keinginan untuk menyakiti, menghancurkan, menghukum atau
membalas. Secara umum, ancaman dapat diartikan sebagai sebuah masalah yang berasal
dari dalam ataupun dari luar sistem.

5
Kemudian, untuk mengetahui tentang ancaman, maka dapat dibagi ke dalam
beberapa dimensi yaitu berdasarkan dimensi lingkup, sifat, sumber, intensitas, dan
historis. Adapun dimensi lingkup mencakup empat ancaman, yaitu ancaman militer,
ancaman politik, ancaman ekonomi, dan ancaman ekologi. Dimensi sifat mencakup dua
ancaman, yaitu ancaman langsung dan ancaman tak langsung. Dimensi sumber menca kup
dua ancaman, yaitu ancaman dari dalam dan ancaman dari luar. Dimensi intensitas dibagi
lagi kedalam sub dimensi jarak, waktu, dan kemungkinan. Sub dimensi jarak mencapai
tiga ancaman, yaitu ancaman yang jaraknya dekat, ancaman yang jaraknya menenga h,
dan ancaman yang jaraknya jauh. Sub dimensi waktu mencakup dua ancaman, yaitu
ancaman yang ada dalam waktu pendek dan ancaman yang ada dalam waktu panjang.
Sub dimensi intensitas mencakup ancaman yang telah terjadi, ancaman yang sedang
terjadi, dan ancaman.

C. Teori tentang HAM

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal
(1), bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Dalam bagian Pendekatan dan Substansi TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat
pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan
manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh
siapapun.
Dalam konteks HAM, peristiwa Petrus (Penembakan Misterius) ini masuk ke
dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sebagaimana yang dimaksud
dalam penjelasan dalam UU No. 39 Th 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal
104 ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah
pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan
pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara
paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
diserimination).

D. .Pengertian PETRUS

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu
operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggula ngi
tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu

6
keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus"
(penembak misterius).

E. . Sejarah

Petrus berawal dari operasi pe-nang-gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun


1982, Soeharto memberikan peng-har-gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol
Anton Soedjarwo atas keber-ha-silan membongkar perampokan yang meresahkan
masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadap-an Rapim ABRI, Soehar-to meminta
polisi dan ABRI mengambil lang-kah pemberantasan yang efektif me-ne-kan angka
kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pang---opkamtib Laksamana Soedomo da-lam rapat
koordinasi dengan Pangdam Ja-ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta
di Markas Kodam Metro Ja-ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk
melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan
ABRI di ma-sing-masing kota dan provinsi lainnya.

F. . Akibat Petrus

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat
luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an--taranya 15 orang tewas
ditembak. Ta-hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an-taranya tewas ditembak. Para
korban Pe-trus sendiri saat ditemukan masyarakat da-lam kondisi tangan dan lehernya
te-ri-kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la-ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa-ra
korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke-amanan. Petrus
pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat
itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali
(Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S.
Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya
gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

G. . Kontroversi

Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra,
baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe-megang kekuasaan. Amnesti Internasio na l
pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini.

H. . Korban dari Petrus

Sebagian besar korban para petrus adalah preman-preman kelas teri yang biasanya
menjadi pemalak, perampok, dan Bromocorah atau mereka yang dianggap melawan

7
peraturan kekuasaan rezim soeharto. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Galli. Petrus
biasanya mengambil para pemuda yang dianggap sebagai preman. Meraka biasanya
dibawa dengan mobil jeep gelap dan dibawa ke tempat yang jauh dari keramaian. setelah
itu mereka dibunuh dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. Pada masa itu, para
preman menjadi sangat takut untuk keluar rumah, bahkan pemuda bukan preman tapi
mempuanyai tato di badanya kadang juga sering menjadi incaran para petrus. maka tak
heran jka pada masa itu, Rumah sakit kewalahan menerima para pemuda yang ingin
menghapus tato mereka.
Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan
lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di
pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola
pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat
keamanan. Tercatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Tapi sampai sekarang, belum ada pengakuan
resmi dari pemerintah . Dan bahkan kasus ini seakan hilang begitu saja seiring dengan
lengsernya kekuasaan Soeharto.

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. KRONOLOGIS KASUS TERJADINYA PETRUS (PENEMBAKAN


MISTERIUS)

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu
operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggula ngi
tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu
keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah “petrus”
(penembakan misterius).
Petrus berawal dari operasi pe-nang-gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun
1982, Soeharto memberikan peng-har-gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol
Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan
masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadap-an Rapim ABRI, Soehar-to meminta
polisi dan ABRI mengambil lang-kah pemberantasan yang efektif me-ne-kan angka
kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pang---opkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat
koordinasi dengan Pangdam Ja-ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta
di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk
melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan
ABRI di ma-sing-masing kota dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat
luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an--taranya 15 orang tewas
ditembak. Ta-hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an-taranya tewas ditembak. Para
korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya
terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la-ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa-
ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke-amanan.
Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada
saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali
(Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S.
Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya
gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung
ditembak di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka tembak
pada pagi hari sebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga 1985. Dari para
tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk sasaran tembak.

9
Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam di langit- langit rumah
tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang, Bathi ke Jakarta, menghadap
orang yang ia sebut sebagai “Number One”, yakni Ali Moertopo.
Tokoh “Operasi Khusus” ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo “patron” para preman yang ia
pimpin. Ali Moertopo memberinya selembar “surat jaminan” tak akan ditembak. Tapi
tetap saja Bathi tak merasa aman. “Mungkin penguasa saat itu menganggap tugas saya
sudah selesai dan tiba saatnya untuk dihabisi,” Bathi mengenang.
Selama sepuluh tahun Bhati berpindah-pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu
di wilayah Magetan, Jawa Timur, lalu ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Ia
setidaknya tujuh kali berganti nama: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama pasaran
lain. Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya
administrasi. Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa,
Semarang. Pada 1968, ia terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan bermotif
perampokan. Bathi diganjar hukuman penjara hingga 1970.
Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim
Penggalangan Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang.
Ketika itu, Orde Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen
masyarakat. Intinya: setia hanya kepada Golkar. Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak
preman dan wong cilik Semarang memilih Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980,
ia mengetuai serikat buruh terminal dan parkir Semarang, lalu diangkat menjadi kader
Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada Pemilu 1977, Bathi kembali menjadi motor
penggalang suara preman dan masyarakat jelata agar mencoblos Golkar. “Istilahnya kami
bina,” katanya. “Kalau tidak mau kami bina… ya kami binasakan.
Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang
yang ia sebut “bos besar” untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah
organisasi bekas narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan,
semuanya preman. Pada 1982, Golkar bertekad merebut Jakarta pada Pemilu 1977 kalah
dari Partai Persatuan Pembangunan. Kelompok preman pimpinan Bathi terlibat operasi
menghancurkan citra PPP di Jakarta. Pada Pemilu 1982, Bathi mengkoordinas i
pengawalan dan pengamanan Badan Pemenangan Pemilu Golkar Jawa Tengah. Tapi ia
dan anak buahnya dikirim ke Jakarta untuk memenangkan Golkar. Ketika lautan manusia
memenuhi kampanye Golkar di lapangan Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu 1982,
Bathi dan anak buahnya menyamar sebagai pendukung PPP.
Mereka menyerang pendukung Golkar dan merobohkan panggung sambi
berteriak, “Hidup Ka’bah!” Sejumlah kendaraan dibakar. Mereka berangkat naik bus
berkaus PPP, tapi terbungkus rapat jaket Golkar. Sesampai di lapangan, mereka melepas
jaket sehingga tinggal kaus PPP yang tampak. “Sudah kami siapkan mana mobil ya ng
dibakar, mana yang tidak,” kata Bathi. Alhasil, pada Pemilu 1982, suara PPP di Jakarta
tumbang oleh Golkar.

10
Kontras pernah menginvestigasi kasus ini pada 2002 dengan menghadirka n
sejumlah saksi dan korban selamat. Setahun kemudian, Komnas HAM meneliti kasus ini,
tapi mandek di tengah jalan. Kini tragedi petrus kembali menjadi target Komnas HAM
untuk diungkap dengan membentuk tim ad hoc pada akhir Februari lalu. Tim itu telah
mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan
petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap dihormati hak hukumnya.
“Mereka tidak boleh asal ditembak,”katanya. Kontras mencatat korban tewas petrus di
seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah 532 orang, pada 1984 sebanyak 107 orang, dan
pada 1985 sebanyak 74 orang.

B. PASAL YANG DILANGGAR OLEH PEMERINTAH SELAMA


TERJADINYA PERISTIWA PETRUS (PENEMBAKAN MISTERIUS)

Landasan Hukum
Pasal-pasal yang dilanggar dalam peristiwa Petrus :

Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan : “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.”

Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuha n
dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Pasal 344 KUHP tentang pembunuhan: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, penyiksaan diartikan sebagai tindakan yang dengan sengaja
dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik
maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah
pengawasan.

Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan : (1) Barang siapa sengaja melukai berat orang
lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355 KUHP tentang Penganiayaan : (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan
rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lams lima belas tahun.

11
C. ANALISIS KASUS TERJADINYA PERISTIWA PETRUS (PENEMBAKAN
MISTERIUS)

Indonesia pernah mengalami masa kelam menurut sejarah Hak Asasi Manusia.
Masa tersebut merenggut banyak korban jiwa. Akibat angka kriminalitas yang tinggi,
negara melalui ABRI membuat sebuah keputusan menyelesaikan masalah dengan
menggunakan hard power. Penulis merangkum kejadian-kejadian tersebut sesuai fakta
sejarah yang pernah ditulis dalam media masa online atau media cetak. Sebuah majalah
yang memuat konten sejarah bangsa Indonesia mengangkat kejadian petrus pada tahun
1982-1985.

Sejarah mencatat bagaimana Petrus (penembak misterius) di era Presiden


Soeharto menjadi mesin efektif menekan kriminalitas di Indonesia. Semua preman yang
memiliki catatan hitam ditembak mati ditempat, sementara mereka yang belum merasa
ketakutan setengah mati menunggu giliran kapan dihabisi. Pada tahun 1982, Soeharto
memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas
keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Rapim ABRI yang
dilaksanakan pada bulan Maret tahun 1982, Soeharto menugaskan polisi dan TNI
mengambil langkah penanganan masalah yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal
yang sama diulang Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaa nnya
ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan
Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam
Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983.

Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah
ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing- masing kota dan provinsi
lainnya. Sebuah kisah yang penulis dapat sebagai sumber informasi dari artikel dari media
sosial. Isinya berdasarkan pengalaman mantan preman yang pernah diburu pelaksana
petrus. Bathi Mulyono mengemudikan sebuah mobil Toyota Hardtop pada malam hari
melewati Kawi-Semarang pada tahun 1983. Tiba-tiba dua motor menyalip kencang
sambil menembakan peluru dari pistol yang dibawa oleh pengendara motor tersebut yang
tidak diketahui Bathi. Dua peluru menembus mobil. Akan tetapi, Bathi dapat menghindar
dan selamat dari penembakan.”
Apa yang ditulis dalam media tersebut menggambarkan betapa saat kejadian
tersebut kondisi mencekam. Bathi Mulyono adalah seorang yang paling dicari oleh para
eksekutor penembak, dia adalah seorang komandan preman era petrus. Komandan Bathi
Mulyono merupakan seorang ketua organisasi Fajar Menyingsing yang dibentuk tahun
1983 yang beranggotakan 6000 orang mantan narapidana di Jawa Tengah dan
Yogyakarta.
Gambar 3.1

12
Sumber : Media Online Tribun News
Atas kejadian tersebut memang faktanya, eksekutor memburu preman-preman
yang dianggap membahayakan. Tentunya preman-preman kejadian tersebut membuat
masyarakat resah. Seperti yang diungkapkan Soeharto pada pidato presiden tahun 1982.
“seperti yang telah penulis singgung dimuka keadaan stabilitas keamanan kita
selama ini cukup mantap. Bahkan telah melampaui dengan selamat situasi yang
peka dan rawan”
Adanya ancaman-ancaman dari preman tersebut membuat resah. Menurut
Webster’s International Dictionary, ancaman adalah sebuah pernyataan atau ekspresi atau
keinginan untuk menyakiti, menghancurkan, menghukum atau membalas. Secara umum,
ancaman dapat diartikan sebagai sebuah masalah yang berasal dari dalam ataupun dari
luar sistem. Karena pemerintahan merasa terancam dengan apa yang dilakukan preman-
preman tersebut, maka keputusan yang diambil untuk memerangi premanisme tersebut
dengan penembakan. Ancaman yang dilakukan oleh preman ini telah masuk pada
ancaman dalam dimensi lingkup, karena melibatkan ekonomi, sosial, politik dan militer.
Selama 32 tahun Soeharto menjabat sebagai Presiden di Indonesia, kasus petrus
ialah satu kasus besar yang terjadi pada masa orde baru. Soeharto seorang pemimpin yang
selalu melaporkan hasil kerjanya selama satu tahun dalam pidato tahunan yang rutin
beliau laksanakan pada tanggal 16 Agustus, tepat sehari sebelum perayaan kemerdekaan
Indonesia. Dalam pidato-pidato tersebut merupakan hal yang menurut penulis penting
untuk dijadikan acuam amalisis data primer, jika banyak asumsi yang menyudutka n
bahwa otak dibalik petrus ialah Soeharto, penulis mencoba mengamati melalui pidato-
pidato presiden pada kurun waktu 1982-1985.
Pidato kenegaraan tersebut ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai
pemegang kedaulatan, isinya berupa laporan tentang laporan perkembangan negara
selama satu tahun yang telah dilalui. Laporan tersebut dapat dipandang sebagai neraca.
Dari situ dapat diketahui posisi Indonesia saat itu, menilai keberhasilan dan kegagalan
selama kurun waktu tersebut, dan sebagai acuan untuk menyusun rencana bagi Indonesia
setahun kemudian. Pidato Soeharto yang isinya dokumen negara tersebut jelas isinya

13
begitu sangat penting sebagai laporan pertanggungjawaban seorang Presiden kepada
rakyatnya. Membaca dan memahami pidato itu merupakan salah satu cara untuk melihat
wajah sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari tahun ke tahun.
“Hal ini berkat kewaspadaan dan kesadaran masyarakat yang tidak mudah
terseret pada gelombang gerakan dan isu-isu yang tidak bertanggungjawab dan
juga berkat kewaspadaan dan kesigapan bertindak oleh alat-alat”
Pada kedua kutipan pidato presiden tahun 1982 tersebut bahwa Soeharto selain
mengungkapkan kondisi masyarakat yang terancam dengan isu dan kejadian yang
meresahkan, beliau juga menyinggung tentang gelombang gerakan yang tidak
bertanggung jawab. Gelombang gerakan tersebut memang dilakukan oleh kelompok
Bathi Mulyono ini. Kemudian, dalam tulisan di republika menjelaskan kembali
bagaimana dia bisa lolos dari operasi petrus.
“Sejak malam itu Bathi menghilang. Dia tak pulang ke rumah kendati istrinya,
Siti Noerhayati, tengah hamil tua. Bathi memutuskan untuk menyembunyikan
dirinya dari kejaran operasi pembasmian preman yang kerap disebut “Petrus”
atau Penembakan Misterius. Sejak pertengahan 1983 Bathi hidup nomaden dan
bersembunyi di Gunung Lawu. Dia baru berani turun gunung pada 1985, setelah
Petrus mereda. Nasib Bathi masih mujur. Ribuan orang yang dituduh preman
mati tanpa proses peradilan”

Tentunya dapat diketahui kejadian penembakan misterius memaksa individu yang


dianggap sebagai preman untuk menyerah. Petrus memaksa mereka juga merasa
ketakutan. Nasib preman dianggap sebagai pembayaran yang sah atas perilaku yang
presiden katakan sebagai pembuat isu-isu yang tidak bertanggung-jawab.
“Bathi Mulyono bukan sembarang preman. Dia ketua Yayasan Fajar
Menyingsing, organisasi massa yang menghimpun ribuan residivis dan pemuda
di daerah Jawa Tengah. Organisasinya itu dibekingi oleh Gubernur Jawa Tengah
Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno
Widjojo. Dengan “restu” elite penguasa daerah, Bathi menjalankan bisnisnya
mulai dari jasa broker sampai dengan lahan parkir di wilayah Jawa Tengah.
Hubungan yang dibangun antara elite dengan para preman pun bergerak lebih
jauh dari sekadar bisnis. Preman pun digunakan sebagai kelompok-kelompok
milisi yang diberdayakan pada saat musim kampanye Pemilu tiba. Golongan
Karya (Golkar) sebagai generator politik Orde Baru banyak menggunakan jasa
para preman untuk menggalang massa dan mengamankan jalannya kampanye.
Bathi dan kawan-kawannya salah satu kelompok yang digunakan oleh Golkar
dalam kampanye Pemilu 1982. Tugasnya memprovokasi massa Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta
Pusat. Insiden itu dikenal sebagai peristiwa Lapangan Banteng. Sejumlah korban
berjatuhan. Beberapa orang ditangkap atas tuduhan mengacau.Tapi Bathi dan

14
kawankawan tak tersentuh. Ali Moertopo dituduh berada di belakang peristiwa
itu dan tak beberapa lama kemudian Soeharto “membuangnya”
Demi mempertahankan rezim, apapun dilakukan. Mungkin ungkapan tersebut
yang patut menggambarkan situasi saat itu. Preman diburu seperti binatang buaya yang
dianggap telah habis manfaatnya untuk ekosistem, karena bisa menerkam kapan saja.
Gambaran itu seperti yang terjadi untuk rezim orde baru. Siegel berpendapat bahwa para
preman itu seorang ekstrimis, akan tetapi mereka juga pantas untuk mendapatkan apa
yang mereka inginkan, meskipun demikian, Siegel juga tidak membenarkan tindakan
preman yang telah meresahkan masyarakat.
“Ian Wilson dalam tulisannya “The Rise and Fall of Political Gangster” pada
buku Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and
Society (2010: 201) mengatakan kalau keterlibatan preman di dunia politik
berakar jauh dalam sejarah. Jenderal Nasution pun pernah menggunakan jasa
mereka untuk menekan Presiden Sukarno membubarkan parlemen. Sementara itu
Robert Cribb menyuguhkan fakta tentang keterlibatan bandit dalam politik
dimulai sejak zaman revolusi kemerdekaan.”
Rezim orde baru mencontoh kekuatan untuk pertahanan rezim melalui peristiwa
dimasa lalu yang dianggap penguasa saat itu menjadi sebuah kelaziman. Sehingga, ironis
bukan hanya melindungi seluruh rakyat Indonesia, jika banyak korban yang mati
terbunuh, padahal pada setiap pidato kenegaraan sehari sebelum kemerdekaan dirayakan,
Soeharto selalu menghimbau perihal kemanusiaan. Pada zaman itu aktivitas politik belum
tentu menjamin keselamatan hidup seseorang, berlaku juga untuk preman. Tokoh yang
dianggap punya jasa untuk rezim seperti Bathi tetap menjadi incaran eksekutor.
“Sejumlah pentolan organisasi preman pun dicokok dan dihabisi nyawanya tanpa
pernah ada yang tahu keberadaan mayatnya. Tokoh-tokoh preman yang juga
jaringan Fajar Menyingsing telah lebih dulu dihabisi, antara lain Eddy Menpor
dan Agus TGW. Mayat mereka tak pernah ditemukan dan keluarga yang
ditinggalkan pun tak tahu harus mencari dan mengadu kepada siapa. Pada 10
Juli 1983 halaman Minggu koran Merdeka secara khusus memberitakan tentang
derita yang dialami oleh istri kedua pentolan preman Jakarta itu.”
Kisah yang ditulis dalam media online tersebut juga diceritakan oleh Siegel dalam
bukunya yang berjudul Penjahat Gaya (Orde) Baru. Siegel dengan lugas dan tegas
menjelaskan kondisi korban petrus. Kejadian-kejadian tersebut membuat kehilanga n
bukan hanya nyawa, tapi martabat dan harkat sebagai manusia.
“Cerita kelam ini bermula ketika Letkol. M. Hasbi, Komandan Kodim di
Yogyakarta melancarkan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Operasi
yang diklaim hanya bertujuan mendata para pelaku kriminal. Namun apa yang
dilakukan oleh M. Hasbi di Yogyakarta lebih dari sekadar mencatat. Eksekutor
operasi tak segan menembak mati siapa saja yang mereka anggap sebagai gali
(gabungan anak liar).”

15
Memang saat itu tingkat kriminalitas sangat tinggi. Banyak kejahatan penjarahan,
penculikan dan pemerkosaan yang tidak manusiawi. Oleh sebab itu, presiden
menganggap kejadian ini jangan dibiarkan. Karena, pelakunya preman hukuman yang
saat itu pantas melalui ABRI dengan menembak semua pengacau yang meresakan
masyarakat. Akan tetapi, keputusan yang diambil Soeharto tentu saja tidak menyelesa ika n
masalah dengan baik. Malah masyarakat semakin trauma, meskipun maksud pemerinta h
mengambil keputusan tersebut untuk shock therapy agar preman-preman tersebut tidak
berontak dimana-mana. Bukan hanya preman- preman yang terlibat, warga sipil banyak
yang merasa nyawanya terancam atas kejadian tersebut. Siegel mencatat bahwa preman-
preman bertato tersebut ditembaki peluru oleh aparat ABRI yang juga berpakaian seperti
preman. Siegel mengungkapkan analogi kejadian tersebut sebagai membunuh dengan
bayangan sendiri “Pembunuhan Yang Ada Pada Citra Sendiri”. Pembunuhan tersebut
sudah terencama dengan baik. Siegel juga mengungkapkan bahwa preman-preman
tersebut berontak karena bangkitnya nilai-nilai nasionalisme67. Nilai-nilai nasionalis me
tersebut menjadi faktor internal individu yang memaksa diri untuk melakukan pembelaan.
Pembelaan tersebut untuk merebut apa yang seharusnya mereka dapatkan dari sebuah
rezim. Kemudian, framing media masa bermunculan atas kejadian tersebut.
“Berita di koran-koran yang terbit pada masa itu pun hampir seluruhnya
menampilkan penemuan mayat-mayat bertato dengan dada atau kepala
berlubang ditembus peluru. Dalam sehari, di berbagai kota, hampir dapat
dipastikan ada mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan ke
dalam karung yang digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran kali, dan
di semak-semak. Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat
itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan
kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Dalam operasi itu, Kodam Jaya
berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut
keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983 operasi itu tidak hanya
ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk
menginventarisasi nama-nama pelakunya.”
Kejadian petrus tersebut meninggalkan kesan yang buruk bagi masyarakat.
Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di
depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban
kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput Kejadian petrus tersebut
meninggalkan kesan yang buruk bagi masyarakat. Kebanyakan korban juga dimasukkan
ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut,
hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak
dikenal dan dijemput.

Gambar 3.2 Kejadian Petrus

16
Sumber: Historia.Id
Berita-berita di media masa memberitakan banyak kejadian-kejadian penembakan
tersebut. Sementara masyarakat merasa resah dengan kejadian petrus, para pejabat tinggi
negara menganggap kejadian itu sebagai hal yang wajar untuk menegakan hukum di
Indonesia. Mereka pikir preman-preman itu memang pantas mendapatkan hukuman mati
tertembak untuk menebus perlakuan yang telah mereka lakukan yang berbuat onar di
masyarakat. Kepala Bakin Yoga Soegama menyatakan tak perlu mempersoalkan para
penjahat yang mati secara misterius (Sinar Harapan, 23 Juli 1983). Akan tetapi, ada pihak
lain yang tidak setuju. Seperti H. Adam Malik, mantan Wakil Presiden menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap aksi penembakan misterius (Terbit, 25 Juli 1983).
“Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu
diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara
hukum sudah terpenuhi,” Adam Malik mengingatkan, “setiap usaha yang
bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,”
kecam pemuda angkatan 1945 itu”.
Adam Malik merasa kejadian petrus tidak sesuai dengan hukum yang berlaku,
penembakan itu terlalu cepat. Indonesia sebagai negara hukum memiliki aturan untuk
bertindak secara perikemanusiaan. Semua yang dianggap preman ditembak, siapapun
yang bertato dianggap sebagai bagian dari gali. Akan tetapi, petrus yang semula dilakukan
secara rahasia, ternyata dapat tersebar di masyarakat dan bahkan mendapatkan perhatian
dari dunia luar. Sejumlah organisasi, antara lain Amnesti Internasio na l,
mempermasalahkan pembunuhan yang sadis itu.
“Namun surat Amnesti Internasional dianggap sepi oleh pemerintah. Yoga
Sugama menilai pembunuhan terhadap preman “Merupakan kepentingan yang
lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan
persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” katanya seperti dikutip dari
Harian Gala, 25 Juli 1983.”

17
Kejadian penembakan itu memang ternyata bukan hanya meresahkan seluruh
masyarakat di Indonesia, tetapi dunia internasional. Kejadian itu dianggap sebagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Faktor pelanggaran HAM pada kasus petrus tersebut
adalah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Presiden Soeharto pada saat itu sebagai
pemegang kekuasaan pertama di Indonesia yang membiarkan kejadian ini sebagai bentuk
hukuman. Kemudian, aparat hukum tidak tegas, adanya dwifungsi ABRI pada saat itu
menyebabkan fungsi polisi dan TNI tidak pada fungsinya masing- masing. Meskipun
pemerintah berdalih ini untuk sebuah kepentingan nasional. Konsep kepentingan nasional
yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau dapat dirangkum dalam tiga bagian utama,
yaitu :

1. Perlindungan terhadap identitas fisik, dalam arti mampu mempertaha nka n


integritas territorialnya.
2. Perlindungan terhadap identitas politik, dalam arti mampu mempertaha nka n
rezim ekonomi dan politiknya. Ketiga, perlindungan terhadap kulturnya dalam
arti mampu mempertahankan linguistik dan sejarahnya.
Seorang Panglima TNI LB Moerdani disebut sebagai salah satu orang yang
mendesain operasi Petrus. Moerdani juga berpendapat bahwa peristiwa itu dipicu oleh
perang antar-genk. Namun, Moerdani memastikan bahwa kejadian tersebut ABRI tidak
terlibat. Sementara itu, Soeharto berdalih jika Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah
kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera. “Dengan sendirinya
kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya,
harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor!
begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena
melawan, maka mereka ditembak. Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk
shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap
perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya”. Setelah mendapatkan
protes dari masyarakat dan tekanan dunia internasional, akhirnya pemerintah Orde Baru
menghentikan operasi tersebut pada tahun 1985. Sejak dimulai pada akhir tahun 1982
hingga selesai korban tewas tercatat lebih dari seribu orang. Puncak tertinggi korban
petrus terjadi pada 1983 dengan jumlah 781 orang tewas.
Dari kejadian tersebut dapat diketahui bahwa militer di Indonesia saat itu sangat
paling berperan. Karena itu masih kuatnya budaya militer dalam dunia politik, tanda-
tanda yang dapat dengan mudah diketahui adalah penyelesaian masalah yang dilakukan
selalu mengandalkan kekerasan atau hard power. Hard Power di definisikan sebagai
kemampuan suatu pihak untuk memaksa pihak lain melakukan sesuatu yang dikehendaki
pihak pertama. Pada kejadian petrus anggota militer ABRI dipaksa oleh penguasa rezim
sebagai pihak pertama untuk menindak pelaku ancaman di masyarakat. Bentuk dari
ancaman tersebut memaksa pemerintah untuk melindungi masyarakat yang merasa ada
dalam ancaman akibat perilaku preman tersebut. Penembakan yang terjadi sebagai bentuk

18
dari kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan tersebut pada akhirnya melahirka n
masalah yang besar dan dianggap melanggar hak hidup seseorang.
Kasus penembak misterius diatas merupakan kasus HAM terbesar selama masa
presiden soeharto. Kasus tersebut sampai sekarang belum diproses secara hukum. Dalam
kasus ini dalam terdapat salah satu korban sasaran penembak misterius yang berhasil lolos
dan masih hidup sampai sekarang. Orang tersebut bernama Bathi Mulyono. Bathi bukan
sembarang preman. Dia merupakan ketua organisasi Fajar Menyingsing, organisasi yang
menghimpun resividis dan pemuda se-jawa tengah yang di bekengi oleh gubernur jawa
tengah Supardjo Rustam dan pengusaha Soetikno Widjojo. Dengan restu kedua orang
tersebut Bathi menjalankan bisnisnya.
Bathi yang menjadi salah satu sasaran eksekutor pada masa itu berhasil melarika n
diri ke dan hidup Nomaden di Gunung Lawu sampai suasana merada. Setelah turun,
banyak ditemuksn kenyataan bahwa banyak ornag mati tak jelas dan tanpa melalui proses
hukum. Kasus penembak misterius ini merupakan kasus yang menggambaraka n
bagaimana kondisi pemerentahan saat itu. pemerintahan soeharto yang dikenal sangat
diktator melakukan pembasmian terhadap kelompok gabungan anak liar (gali) dengan
dalih melakukan stabilitas keamanan dan melakukan pembunuhan kedapa meraka bila
perlu dilakukan. Secara garis besar, kasus ini berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM).
Pertama, bila kita lihat pernyataan bagir manan pada salah satu kategori hak asasi
manusia yaitu hak sipil. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama di muka hukum, hak
bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat tertentu, serta hak
hidup dan kehidupan. Dalam kasus ini dapat kita lihat bahwa tindakan yang dilakukan
oleh aparat pemerintah telah melanggar hak sipil yang dimiliki oleh setiap individ u
warganegara baik yang baik maupun yang jahat yaitu mendapatkan perlakuan yang sama
dimuka hukum. Hal itu terbukti dari mereka yang dituduh sebagai gali atau dituduh
melakukan kejahatan langsung saja diculik dan dibunuh. Bahkan ada yang disiksa terlebih
dahulu dan mayatnya ditinggalkan di emoeran jalan secara terikat dan dilihat oleh
masyarakat sekitar. Selain hak untuk diperlakukan sama dimuka hukum juga ada hak
bebas dari kekerasan. Pada kasus diatas jelas sekali banyak orang-orang yang merupakan
target penembak misterius diperlakukan secara tidak layak bahkan disiksa sebelum
dibunuh. Hal itu terbukti dari banyaknya tearget penembak misterius yang pada
jenazahnya terdapat bekas-bekas luka siksaan. Yang terakhir adalah hak untuk hidup
dimana dengan jelas target penembak misterius dibunuh secara sewenangwenang.
Kedua, bila ditinjau dari pendapat Baharudin Lopa tentang jenis-jenis HAM
bahwa tindakan penembak misterius ini telah melanggaar hak untuk hidup yang dimilik i
oleh para target. Hal itu telah jelas saya terangkan diatas bahwa meskipun melakukan
kejahatan mereka masih berhak untuk hidup kecuali yang dilakukan adalah kejahatan
yang tidak bisa ditoleransi dan memang harus dihukum mati. Namun, pada kasus
penembak misterius ini, para target yang menjadi korban dan dibunuh tidak diketahui

19
kejahatan apa yang dilakukan. Mereka hanya di cap mengganggu keamanan dan langsung
diculik dan dibunuh. Bahkan hanya menggunakan tato dapat membuat orang tersebut
menjadi target penembak misterius.
Ketiga, bila kita tinjau dari pasal 321 DUHAM pada butir (10) bahwa salah satu
hak personal seseorang adalah hak perlindungan hukum dari serangan terhadap
kehormatan dan nama baik. Pada kasus ini jelas para target telah direndahkan martabat
dan kehormatannya serta tercoreng nama baiknya dengan dituduh sebagai tersangka
pelaku kejahatan tanpa bukti yang jelas dan dibunuh secara semena-mena. Selain korban
itu sendiri, nama baik dan martabat keluarga korban telah hancur. Semua ini dilakukan
pemerintah sendiri sehingga tidak mungkin adanya perlindungan hukum terhadap korban
dan keluarga korban

20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada
zaman orde baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa melalui proses
hukum dengan cara dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman itu
sangat besar, karena mereka menjadi “sasaran tembak” pelaku petrus. Sistem dari
penembakan misterius adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku krimina l
atau kejahatan, seperti preman, perampok, , anak jalanan, dan sejenisnya. Awalnya,
program ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang diimplementasikan oleh Polda Metro
Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka kriminalitas yang dinilai berada di ambang kritis.
Namun karena hasilnya cukup efektif, maka operasi ini diadopsi oleh daerah-daerah lain
seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta. Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu
kuatnya rezim pemerintahan Soeharto, sehingga segala macam cara dilakukan untuk
mencapai tujuan pribadinya. Kasus ini juga mencerminkan sikap pemerintah yang
represif. Orang-orang yang menjadi buruan petrus adalah oknum yang melakukan
perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah satu saksi hidup menyebutka n
bahwa oknum tersebut dulunya pernah dimanfaatkan Soeharto selama kampanye pemilu
tahun 1982. Banyak yang mengindikasikan kasus ini dilakukan oleh aparat keamanan.
Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto melakukan strategi ini untuk meneror siapa
saja yang menentang kekuasaannya. Di samping itu, peran lembaga yudikatif seolah
berada di bawah kontrol penguasa, sehingga kasus ini belum tuntas sampai sekarang.

B. Saran
Hukum Hak Asasi Manusia yang menjadi dasar perlindungan hak – hak bagi
seluruh masyarakat Indonesia bahkan Dunia, menjadi patokan perlindunga n yang
penerapannya pun harus sesuai dasar – dasar dan norma- norma kemanusian sehingga
dengan adanya hukum ini dapat memberikan kebebasan bagi manusia untuk dapat hidup
tanpa ada intervensi atau gangguan dari pihak – pihak tertentu yang ingin mengganggu
kemerdekaan untuk hidup seperti kasus petrus ini dapat menjadi pelajaran penting dalam
perkembangan aturan mengenai Hak Asasi Manusia baik pelaksanaan ataupun penerapan
dalam perkembangan Hukum di Indonesia khususnya Undang-Undang No. 26 Tahun
2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Rumusan tanggung jawab komando
diterjemahkan dari pengertian command responsibility. Namun dalam rumusannya tidak
memberikan keterangan yang jelas tentang tanggung jawab komando baik militer maupun
polisi dan sipil. Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26
Tahun 2000 yang membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung
jawab komando yakni terhadap komandan militer dan atasan polisi atau sipil lainnya.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).

Dwi Ardhanariswari. 2008. Sistem Keamanan Nasional Indonesia. CV Dunia


Printing Selaras. Hal, 2.

http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius

http://citizenshipterritory.weebly.com/assignments/kasus-penembak-misterius-
zaman-presidensoeharto

Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), (Semarang: Badan Penerbit


UNDIP, 2012), hlm 51.

Republika. 29 Oktober 2017. Berita Republika Petrus: Kisah Gelap Sejarah


Orba. (Online) https://www.republika.id/2017/10/29/petrus-kisah- gelap-sejarah-gelap-
orba/. Diakses pada 1 Maret 2022 pukul 02.00 WIB.

Susanto Zuhdi. 2009. Resensi Buku : McGlynn, John H. et al. (red.), Indonesia
in the Soeharto years; Issues, incidents and images. Jakarta: Lontar Foundation, 2007,
xxiii + 483 hlm. ISBN 979-808357-1. Price: EUR 49,90 (hard cover). Wacana, Vol. 11
No. 1 (April 2009).

Tribun News berita online yang sudah penulis validasi datanya dengan
membandingkan informasi tersebut menggunakan buku yang ditulis oleh James T.
Siegel melalui riset, buku itu juga penulis jadikan sebagai referensi.

Yanyan Mochamad Yani & Ian Montratama at all. 2017. Pengantar Studi
Keamanan. Malang, Intrans Publishing. hal. 13.

23

Anda mungkin juga menyukai