Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

-Hukum Islam sejatinya bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang menjadi
petunjuk dan tatanan serta peraturan Allah SWT dalam mengatur semua lini kehidupan
manusia, akan tetapi Al-Quran dan Al-Hadits memiliki jangkauan yang terbatas sebab
masa Turunnya Al-Quran telah selesai dan penyampaian al-Sunnah} sudah tidak ada lagi
karena Rasulullah SAW telah wafat. Akan tetapi perubahan keadaan dan datangnya
permasalahan silih berganti dan berkembang sesuai dengan keadaannya serta menuntut
kepastian hukum.1 Hukum Islam meimiliki bentuk yang dinamis dan sangat fleksibel,
Karakter ini yang menjadi indikasi bahwasanya Hukum Islam mampu menjawab dan
merespon setiap permasalahan baru yang muncul ditengah-tengah umat Islam yang
hukumnya tidak terdapat baik dalam Al-Quran dan Al-Hadits.2 Dengan Metode al-
Ijtiha@d para ‘Ulama Fikih dan para Cendikiawan Muslim berkumpul membahas
permasalahan yang dihadapi Ummat. Mereka berupaya dengan segala upaya untuk
merekontstruksi dan menghasilkan hukum baru yang pernah dihasilkan oleh para ‘Ulama
sebelumnya agar disesuaikan dengan keadaan dan kondisi zaman sekarang ini, hal tersebut
telah ditunjukkan oleh Rasulullah Saw, didalam dialognya bersama Muaz bin Jabal, pada
saat Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi al-Qa@ḍhi :-

ٍ ‫ ع َْن ُأنَا‬،َ‫ث ب ِْن َع ْم ِرو ب ِْن َأ ِخي ْال ُم ِغي َر ِة ْب ِن ُش ْعبَة‬


،‫س‬ ِ ‫ َع ِن ْال َح‬،‫ ع َْن َأبِي عَوْ ٍن‬،َ‫ ع َْن ُش ْعبَة‬،‫َح َّدثَنَا َح ْفصُ بْنُ ُع َم َر‬
ِ ‫ار‬
َ َ‫ث ُم َعا ًذا ِإلَى ْاليَ َم ِن ق‬
" ‫ال‬ َ ‫ُول هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم لَ َّما َأ َرا َد َأ ْن يَ ْب َع‬
َ ‫ب ُم َعا ِذ ْب ِن َجبَ ٍل َأ َّن َرس‬
ِ ‫ص ِم ْن َأصْ َحا‬
َ ‫ِم ْن َأ ْه ِل ِح ْم‬
ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ قَا َل فَبِ ُسنَّ ِة َرس‬. " ِ ‫ب هَّللا‬ِ ‫ قَا َل " فَِإ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِي ِكتَا‬. ِ ‫ب هَّللا‬ ِ ‫ قَا َل َأ ْق‬. " ‫ضا ٌء‬
ِ ‫ضي بِ ِكتَا‬ َ َ‫ك ق‬َ َ‫ض ل‬ ِ ‫َك ْيفَ تَ ْق‬
َ ‫ضي ِإ َذا َع َر‬
َ‫ قَا َل َأجْ تَ ِه ُد َرْأيِي َوال‬. " ِ ‫ب هَّللا‬
ِ ‫ُول هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم َوالَ فِي ِكتَا‬ ِ ‫ قَا َل " فَِإ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِي ُسنَّ ِة َرس‬. ‫صلى هللا عليه وسلم‬
ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫ضي َرس‬ َ َّ‫ص ْد َرهُ َوقَا َل " ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّ ِذي َوف‬
ِ ْ‫ق َرسُو َل َرسُو ِل هَّللا ِ لِ َما يُر‬ َ ‫ب َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ َ‫ ف‬. ‫آلُو‬
َ ‫ض َر‬
."

1
Muhammad Khalid Mas'ud. Filsafat Hukum: Studi Tentang Pemikiran Abu Ishaq al-Syathiby,
(Bandung: Pustaka Madani, 1999), h. 5.
2
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah, t.t),
h. 142.

1
Artinya: “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus
Mu’adz ke Yaman bersabda: “Bagaimana engkau akan menghukum apabila datang
kepadamu satu perkara? Ia (Mu’adz) menjawab: “Saya akan menghukum dengan
Kitabullah”. Sabda beliau: “Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah?” Ia menjawab:
“Saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda: “Bagaimana jika
tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah?” Ia menjawab: “Saya berijtihad dengan pikiran
saya dan tidak akan lalai” (HR. Abu daud).3

Pada saat ini Dunia masih sedang dilanda musibah bencana non alam dengan
munculnya Virus Corona Desease atau biasa disebut dengan Covid -19.4 Segala aktivitas
manusia dibatasi demi untuk memutuskan mata ranta penyebaran dari wabah penyakit ini.
Kasus Pheumonia misterius pertama kali dilaporkan pada bulan Desember 2019 di Wuhan,
provinsi Hubei. Kasus ini pertama kali munculnya dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan. 5
Wabah penyakit ini bisa menyerang siapa saja tanpa memandang Negara, Suku ataupun
strata sosial lainnya. Pandemi Covid -9 merupakan realitas global yang menerjang tatanan
kehidupan umat manusia dari level Internasional, hingga rumah tanggga. Ia menjadi
musuh bersama yang harus dilawan dengan cara, salah satunya, memutus mata rantai
penyebarannya.

Covid -19 merupakan musibah yang mengglobal. Ia tidak akan memilih sasarannya
berdasarkan pertimbagan keagaamaan ataupun aliran. Siapapun bisa berpotensi terpapar
jika daya tahan tubuhnya tidak kuat, dan tidak menerapkan pola hidup sehat, ataupun tidak
menerapkan physical distancing. Hal tersebut sangat berdampak bagi Umat Islam dari segi
kesehatan maupun dari segi cara pelaksanaan ibadah. Virus ini berpindah dan mencari
inang baru dalam tubuh manusia melalui droplet yang keluar dari mulut dan hidung orang
yang terjangkiti. Setelah keluar, ia dapat bertahan hidup beberapa jam misalnya pada
benda-benda seperti lantai, kulit manusia, dan sebagainya. Kemudian Corona menyebar
dengan kecepatan luar biasa ke seluruh dunia, sehingga menimbulkan korban sakit dan
meninggal jutaan orang. Kepanikan pun melanda seluruh negara di dunia, termasuk
Indonesia hingga akhir April 2020, tercatat lebih sepuluh ribu orang positif terpapar virus
corona dan hampir seribu orang meninggal dunia. Oleh karena itu, Pemerintah Republik
3
H. Mustofa dan H. Abdul Majid, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika,2013), h. 65.
4
Fadjar Hadi, Denny Armandhanu, Virus Corona Diduga Muncul Pertama Kali Pada 17 November
2019 di Hubei, dikutip dari https://kumparan.com, diakses pada tanggal 23 Januari 2022.
5
Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus disease (COVID-
19) outbreak. J Autoimmun. 2020; dipublikasikan secara online 3 Maret 2020.

2
Indonesia menetapkan sebagai bencana nasional, sehingga penanganannya pun langsung
oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pada Tanggal 2 Maret 2020
Presiden Joko Widodo secara terbuka untuk pertama kali mengumumkan adanya pasien di
Indonesia yang saat itu Positif Terinfeksi Virus Corona, penyebaran virus Corona yang
begitu cepat sehingga banyak menimbulkan korban dan kematian dan hingga sampai saat
ini Virus itu belum hilang dan masih ada keberadaannya. Maka oleh karena itu pemerintah
saat itu menetapkan status darurat sipil dalam menghadapi virus Covid -19. Presiden Joko
Widodo meminta kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dilakukan
lebih tegas, disiplin dan efektif.

Sejumlah negara di dunia yang terkena pandemi Covid -19 melakukan Lockdown,
kendati dalam prakteknya tergantung dari kebijakan Pemerintah masing-masing. Di
Wuhan, Tiongkok, lockdown diterapkan secara total, seluruh warga dilarang keluar rumah
dan semua area publik, seperti mal dan pasar, ditutup. Di Spanyol dan Italia, kebijakan
lockdown masih memperbolehkan warganya pergi keluar rumah untuk berbelanja
kebutuhan sehari-hari dan membeli obat-obatan. Di Indonesia lockdown diistilahkan
dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Pencepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid -19). Dalam Peraturan Pemerintah
tersebut, yang dimaksud PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi Covid -19 untuk mencegah penyebarannya. PSBB
dilakukan selama masa inkubasi terpanjang, yaitu 14 hari. Jika masih terdapat bukti
penyebaran berupa adanya kasus baru, dapat diperpanjang dalam masa 14 hari sejak
ditemukannya kasus terakhir. Menindaklanjuti Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020,
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid -19).
Berdasarkan Permenkes tersebut, pelaksanaan PSBB meliputi : peliburan sekolah dan
tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau
fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi,
pembatasan kegiatan lainnya. Dengan dimulai dari wilayah DKI Jakarta pada hari Jumat,
10 April 2020, PSBB pun secara bertahap diberlakukan di sejumlah kota besar, seperti,
Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, Bandung Raya, Surabaya Raya, dan kota-kota lainnya

3
di Indonesia. Bahkan, PSBB di wilayah DKI Jakarta diperpanjang 2 x 14 hari dan di kota
lain pun tidak menutup kemungkinan perpanjangan dilakukan.

-Dalam konteks PSBB memasuki bulan Ramadhan, Pemerintah dan Fatwa MUI
pun mengimbau umat Islam menjalankan ibadah puasa tanpa tarawih berjama’ah di
mesjid, termasuk Shalat Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, sudah jauh hari shalat berjama’ah,
termasuk shalat Jum’at dihentikan sementara di banyak masjid, Selain itu, sejak 24 April
2020 Pemerintah melarang masyarakat mudik, bahkan mulai 7 Mei 2020 diberlakukan
sanksi tegas bagi pelanggar. Pemerintah pun mengerahkan puluhan, bahkan ratusan ribu
petugas gabungan TNI, Polri dan sukarelawan untuk mengawal penegakan larangan
mudik. Mudik dilarang untuk mencegah persebaran virus Covid -19 yang hingga kini
masih masif dan merajalela mengancam kesehatan dan jiwa masyarakat dunia.-

Semua itu merupakan bagian dari ikhtiar untuk terhindar dari bahaya yang lebih
besar makin meluasnya persebaran Covid -19. Dampak Covid -19 tidak hanya mencabik-
cabik kesehatan dan berujung kematian, tetapi juga meluluhlantakan sensi-sendi
kehidupan. Hingga akhir April 2020, menurut Hikmat (2020) ketika persebaran Covid -19
masih di zona merah perkotaan dengan angka yang terpapar ribuan, penderitaan sudah
terjadi di mana-mana. Kebangkrutan usaha, kehilangan pekerjaan, pengangguran, dan
kelaparan menimpa sebagian rakyat Indonesia.

-Menyikapi berbagai kasus merebaknya Virus Covid -19 ini, beberapa lembaga-
lembaga keagamaan di Indonesia juga mengambil sikap diantaranya Seperti MUI (Majelis
Ulama Indonesia), PBNU (Pengurus Besar Nahdhatul Ulama), dan PP (Pengurus Pusat)
Muhammadiyah. MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang
Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid -19. PBNU juga Menggelar
Bahthu Al-Mas}ā’il Tentang Pelaksanaan Sholat Jumat Di Daerah Terjangkit Covid -19
dan PP Muhammadiyah juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 02/EDR/I.0/E/2020
Tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid -19.-

Berbagai kebijakan pemerintah dalam upaya penanggulangan persebaran Covid -19


telah mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat, tidak hanya aspek sosial-
ekonomi tetapi juga ritual keagamaan. Memahami sensitivitas masalah keagamaan ini,
pada tanggal 16 Maret 2020, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor:
14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid 19.

4
Dikeluarkannya fatwa ini merupakan langkah keagamaan dalam upaya penanggulangan
Covid -19 agar tidak meluas (MUI, 2020:1), mengingat masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat beragama dan mayoritasnya Muslim.

-Langkah yang diambil MUI tersebut sunggguh tepat karena fatwa merupakan
salah satu pedoman dalam hukum Islam di samping Syari’ah dan Fiqih (Auda, 2015: 24).
Jasser Auda membedakan karakteristik ketiga bentuk hukum. Syari’ah merupakan sumber
hukum yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai pedoman umat
Islam. Fiqih merupakan bentuk pemahaman para ulama atas syari’ah, yang secara umum
telah terbukukan selama 14 abad dalam kitab-kitab Fiqih Madzhab. Sedangkan fatwa
merupakan bentuk aplikasi Syari’ah dan/atau Fiqih dalam kehidupan nyata umat Islam.
Dari sisi karakteristiknya, menurut Mudzhar (1997:4), fatwa tidak mengikat sebagaimana
halnya keputusan pengadilan, namun ia dipandang lebih bersifat dinamis dan responsif
terhadap situasi dan kondisi nyata yang dihadapi umat Islam.-

-Penetapan Fatwa MUI No. 14/2020 diawali dengan mengemukakan dasar-dasar


argumentasi dari ayat Al-Quran, hadits Rasulullah, al-Qa>idah Fiqhiyya}h, serta
memperhatikan pendapat para ulama. Pengambilan dalil-dalil tersebut merupakan upaya
MUI untuk menyelaraskan pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi umat saat ini. Penetapan fatwa hukum yang dialkukan
MUI tidak saja mendasarkan pada pemahaman makna tekstual dari ayat-ayat al-Quran dan
Hadits yang menjadi dasar pertimbangannya. Lebih jauh, fatwa ini juga
mempertimbangkan tujuan pensyari’atan (al-Maqa>sid al-Syari’ah) yang di antaranya
berorientasi pada penegakkan kemashlahatan umat. Hal ini terlihat dari bunyi Ketentuan
Hukum nomor 1, Fatwa MUI No. 14/2020, yang menyatakan, ikhtiar untuk menjaga
kesehatan dan menjauhi hal-hal yang dapat menjadi penyebab terpaparnya penyakit
menjadi kewajiban bagi setiap orang. Tindakan tersebut merupakan bagian dari menjaga
lima hal pokok (al-Dharu>riyat al-Khams) sebagaimana yang disyari’atkan dalam agama
Islam (MUI, 2000:8):-

-al-Maqa>sid al-Syari’ah pada dasarnya merupakan salah satu metode ijtihad yang
dilakukan para ulama dalam menetapkan dan menerapkan hukum Allah. al-Maqa>sid al-
Syari’ah lebih menekankan pada pemahaman terhadap maksud atau tujuan Allah Swt.,
sebagai pencipta hukum, dalam menetapkan hukum-hukum-Nya untuk dipedomani
manusia. Dalam hal ini, Juhaya S. Praja (1995:99) mengatakan, tidak diragukan lagi

5
bahwa agama Islam diarahkan pada tujuan-tujuan Sang Penciptanya Yang Maha
Bijaksana, termasuk pula dengan masalah hukumnya. Tujuan Hukum Islam pada dasarnya
mengacu pada tujuan Pencipta hukum itu sendiri yang menjadi arah berbagai perilaku
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup. Menurut Ibnu ‘Asyur al-Maqa>sid al-
Syari’ah merupakan makna-makna dan hikmahhikmah yang diungkapkan oleh Allah Swt.
dalam keseluruhan atau sebagian besar syari’at Allah, yang pada intinya bertujuan untuk
memelihara dan menciptakan kemaslahatan umat yang sebesar-besarnya. Senada dengan
itu Wahbah Zuhaili mengatakan, bahwa pada dasarnya syariat bertujuan untuk
mewujudkan kemashlahatan individu dan masyarakat melalui pemeliharaan aturan dan
pemanfaatan sarana yang ada, dalam rangka memakmurkan kehidupan di muka bumi
menuju kesempurnaan dan kebaikan dalam berperadaban dan berkebudayaan bersama di
alam nyata (Rahmi, 2017:160-161).

-Menurut Praja (1995:100), terdapat dua sisi untuk dapat mengetahui tujuan-tujuan
Hukum Islam: dari sisi manusia sebagai mukallaf, dan kedua dari sisi Pembuat hukum,
yaitu Allah Swt. Dari sisi manusia, secara fitrah manusia sudah diberikan potensi-potensi
daya oleh Allah Swt. berupa akal (‘aql), syahwat, dan al-Ghadab. Daya akal berfungsi
untuk mengetahui Allah dan mengesakan-Nya, daya syahwat berfungsi untuk menginduksi
hal-hal yang menyenangkan dan bermanfaat, sedangkan daya ghadlab berfungsi untuk
mempertahankan diri dan menjaga kelangsungan hidup. Pada intinya, daya-daya yang
dimiliki manusia berfungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup dan mempertahankan
keberlangsungannya (al-Tahshîl wa al-Ibqa’). Sementara itu, tujuan hukum Islam selaras
dengan fitrah manusia dan fungsi daya-daya yang dimilikinya, yaitu mengambil maslahat
sekaligus menolak kerusakan (jalb al-Mashâlih wa daf’ al-Mafâsid). Dari sisi Pembuat
hukum, melalui penalaran induktif atas sumber-sumber ajaran Islam yang diwahyukan
Allah, diketahui bahwa tujuan hukum Islam itu terbagi tiga sasaran (Zahrah, 1994: 543-
548). Pertama, penyucian jiwa agar setiap Muslim menjadi sumber kebaikan bagi
lingkungannya; Kedua, penegakan keadilan dalam kehidupan masyarakat; Ketiga,
kemaslahatan, yaitu kebaikan hakiki untuk kepentingan masyarakat, bukan kebaikan pihak
tertentu yang dilandasi nafsu.-

Kemaslahatan merupakan tujuan utama yang dikehendaki oleh Syara’, dan tujuan
ini mengacu pada lima hal pokok yang harus terpelihara demi kebaikan dan kelangsungan
hidup manusia: yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan pemeliharaan harta. Dalam

6
terminologi tradisional, lima kemaslahatan yang menjadi sasaran hukum Islam berorientasi
pada konsep penjagaan dan perlindungan (al-Hifdz), sedangkan dalam pandangan para
ulama kontemporer, konsep-konsep tersebut lebih diperluas ke arah pengembangannya dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia.

1. Pemeliharaan agama (hifdz al-Dîn). Dalam pemeliharaan agama (hifdz al-Dîn),


misalnya, dalam terminologi Al-Ghazali dan Al-Syatibi, orang-orang yang meninggalkan
kewajiban agama harus diberikan hukuman karena melakukan tindakan pemurtadan yang
merusak agama. Namun, dalam istilah Ibn ‘Asyur, (dalam Sidiq, 2017:156) dari Auda
(2015:59), pemeliharaan agama itu adalah kebebasan menganut kepercayaan (Freedom Of
Faiths) sebagai implementasi dari firman “lâ ikrâha fi al-dîn”, “tidak ada paksaan dalam
agama” (QS. AlBaqarah:256). Pemahaman seperti ini sesuai dalam penerapannya saat ini
mengingat heterogennya kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan masing-
masing pihak tidak hanya menjaga kemaslahatan agama, tetapi juga menghormati
kepercayaan agama lain: toleransi.

2. Pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs). Konsep memelihara jiwa (hifdz al-nafs) atau
kehormatan (hifdz al-‘ird), dalam terminologi klasik dimaknai sebagai upaya melindungi
jiwa dan kehormatan setiap individu atau kelompok yang didasarkan pada sebuah Hadits
Rasulullah: “darah, harta, dan kehormatan setiap muslim adalah haram, yang tidak boleh
dilanggar” (Hadits Riwayat. Bukhari). Dalam perkembangannya, konsep tersebut
diperluas, sehingga mencakup perlindungan atas hak-hak asasi manusia (Sidiq, 2017:155-
156).

3. -Pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql). Konsep perlindungan terhadap akal manusia,


pada awalnya dipahami sebagai pengharaman terhadap setiap tindakan yang merusak akal
seseorang, misalnya, memberikan hukuman bagi orang yang mengkonsumsi khamr, seperti
dijelaskan dalam Zahrah (1994:550). Konsep ini diperluas, sehingga mencakup
pengembangan pemikiran ilmiah, mencegah sikap taklid, dan mencegah perginya tenaga-
tenaga ahli ke luar negeri yang dapat mengakibatkan kekurangan tenaga ahli di dalam
negeri. Pengembangan pemahaman atas konsep, terutama terkait dengan pencegahan
terhadap sikap taklid, sangat relevan dalam kondisi bangsa Indonesia saat ini. Ketika
berbagai informasi semakin mudah didapatkan seiring perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi, ternyata banyak orang yang justeru menyebarkan dan
terpengaruh berita-berita bohong (hoax). Tindakan yang diambil pemerintah dengan

7
memberikan hukuman kepada penyebar berita bohong tersebut sungguh tepat, sehingga
masyarakat terjaga dari berita-berita bohong yang terkadang menyesatkan dan
mengacaukan stabilitas nasional.-

4. Pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl). Konsep memelihara keturunan (hifdz al-


nasl) dimaksudkan sebagai tujuan syari’at Islam untuk menjaga kelestarian umat manusia.
Di samping itu, juga untuk melakukan pembinaan terhadap sikap dan mental generasi
penerus, sehingga tertanam persahabatan dan persatuan di antara umat (Zahrah, 1994:551).
Untuk tujuan tersebut, Islam mensyari’atkan lembaga perkawinan yang dapat melahirkan
generasi manusia yang baik, serta mengharamkan perbuatan yang dapat merusak tatanan
keluarga. Wahyu Allah yang mengatur hubungan perkawinan, perceraian, warisan, dan
yang lainnya yang tercakup ke dalam al-ahwal al-syakhsiyah (hukum kekeluargaan) cukup
banyak. Hal itu, menurut Al-Faruqi (1998:145), karena lembaga keluarga merupakan
intisari kehidupan manusia. Sementara itu, tatanan keluarga yang baik menjadi soko guru
terbentuknya tatanan masyarakat yang baik. Bagi AlFaruqi, tujuan-tujuan tersebut
merupakan rencana Ilahiah dalam penciptaan manusia di muka bumi.

5. -Pemeliharaan harta (hifdz al-mâl). Bagi Al-Ghazali, konsep perlindungan


terhadap harta dimaknai sebagai pemberian hukuman yang terdapat dalam syari’at Islam
bagi tindakan-tindakan pencurian. Sementara itu, Al-Juwaini memperluas konsep tersebut,
sehingga tercakup di dalamnya pengembangan ekonomi, bantuan sosial, dan
mempersempit jurang perbedaan kelas sosial ekonomi masyarakat (Sidiq,2017:157).
Konsep ini selaras dengan kebijakanekonomi Pemerintah RI, misalnya dengan mendorong
produk dalam negeri, memproteksi impor barang melalui penambahan bea masuk untuk
melindungi Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi (UKMK), serta kebijakan-kebijakan
sejenis lainnya.-

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin sekali membahas tentang sejauh
mana Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini dapat melindungi dan dapat diterapkan oleh
umat islam yang berada pada saat pandemic dan akan dituangkan dalam bentuk Disertasi
dengan judul : Perlindungan Dan Penerapan Hukum Melalui Fatwa MUI Dalam
Pelaksanaan Ibadah al-Mahdhah Pada Masa Pandemi Covid -19 Di Sumatera Utara
Perspektif Maqahid Syari’ah.

B. Rumusan Masalah

8
Berdasarkan Latar Belakang Penelitian di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi latar belakang lahirnya Fatwa MUI Dalam Pelaksanaan Ibadah
al-Mahdhah Pada Masa Pandemi Covid -19 ?
2. Bagaimana Implementasi Perlindungan Dan Penerapan Hukum Melalui Fatwa
MUI Dalam Pelaksanaan Ibadah al-Mahdhah Pada Masa Pandemi Covid -19 Di
Sumatera Utara ?
3. Bagaimana Fatwa MUI Dalam Pelaksanaan Ibadah al-Mahdhah Pada Masa
Pandemi Covid -19 ditinjau melalui Perspektif Maqahid Syari’ah ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Rumusan Masalah yang disebutkan maka Tujuan Penelitian yang


ingin dicapai adalah :

1. Untuk menganalisasi Bagaimana latar belakang lahirnya Fatwa MUI Dalam


Pelaksanaan Ibadah al-Mahdhah Pada Masa Pandemi Covid -19
2. Untuk mengevaluasi Implementasi Perlindungan Dan Penerapan Hukum Melalui
Fatwa MUI Dalam Pelaksanaan Ibadah al-Mahdhah Pada Masa Pandemi Covid -
19 Di Sumatera Utara
3. Untuk menganalisis Fatwa MUI Dalam Pelaksanaan Ibadah al-Mahdhah Pada
Masa Pandemi Covid -19 ditinjau melalui Perspektif Maqahid Syari’ah

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini penulis berharap agar tulisan ini bisa memberikan manfaat,
antara lain :

1. Kegunaan akademis
a. Diharapkan bisa berguna untuk semua civitas akademik sebagai materi data
serta materi riset kepada kasus yang berhubungan dengan riset ini.
b. Membagikan antusias untuk para penggiat ilmu supaya membagikan ekspansi
pandangan dalam amatan Fikih Kontemporer yang permasalahannya tidak
pernah habis.

9
c. Di harapkan sanggup memancing antusias periset yang lain untuk mempelajari
permasalahan yang berhubungan dengan tata cara berijtihad agar menciptakan
sesuatu hukum dengan memakai filosofi kaidah serta Maqashid.

2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi panduan bagi umat islam dalam
menjalankan Ibadah pada masa pandemic Covid -19.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagaimana Maqashid
Syari’ah dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam aspek ibadah mahdhoh
pada masa pandemi Covid -19. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang proses pengambilan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia khususnya dalam Ibadah mahdhoh pada masa pandemic.
c. Sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar Doktoral pascasarjana UIN-SU
pada program studi Hukum Islam.

E. Batasan Istilah

Dasar Daripada sebuah penelitian yang focus adalah menemukan, mengembangkan


serta menguji suatu kebenaran dalam suatu pengetahuan.6 Agar tidak menyalahi
sistematika dalam penulisan sebuah karya ilmiah sehingga akan mendapatkan hasil yang
dituju dan diharapkan, maka dalam hal ini penulis akan membatasi masalah yang akan
dibahas dalam disertasi ini sehingga tidak keluar dari topik pembahasan yaitu :

1. Covid – 19 (Corona Virus Desease 2019)

Covid - 19 (Corona Virus Desease 2019) Corona virus yaitu virus RNA yang
mempunyai dimensi unsur 120- 160 nm. Pada awal mulanya virus ini menginfeksi
binatang, semacam kelelawar serta onta. Corona virus yang jadi etiologi Covid - 19
tercantum kedalam tipe betacoronavirus. Trenggiling diprediksi selaku reservoir perantara
Covid - 19. Strain coronavirus pada trenggiling serupa genomnya dengan corona virus
pada kelelawar ( 90, 5%) serta SARS- CoV- 2 ( 91%). Genom SARS- CoV- 2 mempunyai
homologi 89% kepada corona virus kelelawar ZXC21 serta 82% terhadapp SARS- CoV.

6
Ishaq, Metode Penelitian Hukum Skripsi, Tesis, Disertasi, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2017), h.
22.

10
Hasil pemodelan lewat pc membuktikan kalau SARS- CoV- 2 mempunyai bentuk 3
format pada protein spike daerah receptor- binding yang nyaris sama dengan SARS- CoV.
Pada SARS- CoV, protein ini mempunyai afinitas yang kokoh kepada
angiotensinconverting- enzyme 2 (ACE2).

2. Ibadah al-Mahdhoh

Secara Etimologi kata Ibadah berasal dari kata Arab yaitu (‫ )عبادة‬bentuk jamak dari
(‫ادات‬¥¥‫ )عب‬yang artinya adalah pengabdian, ketundukan dan kepatuhan. 7
Hasbi Ash-
Shiddiqy , dalam kitab Kuliah Ibadah membagi arti ibadah dalam dua arti, arti menurut
bahasa dan arti dab arti menurut istilah. Ibadah atau al-Ibada>t} dari segi bahasa berarti :
taat, menurut, mengikut dan sebagainya. Penggunaan kata ibadat dalam arti taat dan
sebagainya, tersebut dalam al-Qur’an :

             
 

Artinya : Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu
tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
kamu",(QS. Yasin : 60)8

-Dalam Buku Tafsir Al-misbah dijelaskan bahwa ayat diatas menggunakan bentuk
tunggal untuk menunjuk kepada Allah SWT, yakni, pada kata ‫ اَ ْعهَ ْد‬dan ‫اُ ْعبُ ُدوْ نِي‬. Hal itu
mengisyaratkan bahwa penyembahan tidak diperkenankan kecuali kepada-Nya semata-
mata, tidak kepada siapapun selain-Nya. Dengan demikian, makna thaat kepada Allah
jelas terlihat dan manusia diperintah untuk menyembah ahnaya kepada Allah SWT. 9
Secara terminologis ibadah diartikan segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai
keridlaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat. Dari makna ini jelas, ibadah itu
mencakup semua aktivitas manusia baik perkataan maupun perbuatan yang didasari
dengan niat ikhlas untuk mencapai keridlaan Allah dan mengharap pahala di akhirat
kelak.10-

7
Yunasril Ali, Buku Induk Rahasia Dan Makna Ibadah, (Jakarta: Zaman, 2011), h.17.
8
Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, h. 631.
9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 166.
10
Imam Syafei, Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter Di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Rajawali Press, 2014), cet.3, h. 133.

11
-Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti penyerahan diri
secara sempurna pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini kan mewujudkan
suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal ini dapat dicapai sebagai nilai
dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan mengabdikan diri
kepada Allah SWT.11 Ibadah mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan
pokoknya adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan mengkonsentrasikan niat
kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan adanya tujuan seseorang akan mencapai
derajat yang tinggi di akhirat. Sedangkan tujuan tambahan adalah agar terciptanya
kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik. Tujuan tambahannya antara
lain adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar.-

Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, seperti yang dikutip dalam buku
Pengantar Hukum Islam, karya Hasbi Ash-Shidieqy yaitu :

1) Ibadah al-Mahdhah (ibadah khusus) yaitu ibadah langsung kepada Allah tata
cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh
Rasulullah. Karena itu, pelaksanaannya sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh
dari Rasul. Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati
dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Penambahan atau
pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah yang ada dinamakan al-Bid’ah dan
berakibat batalnya ibadah yang dilakukan. Contoh ibadah khusus ini adalah shalat
(termasuk didalamnya al-T}hohatoh), puasa, zakat, dan haji.

2) Ibadah ghairu al-Mahdhah (ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara
pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. 12 Ibadah umum ini
tidak menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi justru berupa hubungan antara
manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Bentuk ibadah ini
umum sekali, berupa aktivitas kaum muslim (baik tindakan, perkataan, maupun
perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari dengan niat karena Allah (mencari rida
Allah).

11
Ahmad Thib Roya, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2014),
h. 132.
12
Imam Syafei, Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter Di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Rajawali Press, 2014), h. 112-123.

12
Menurut Ali Anwar Yusuf mendefinisikan al-Mahdhah yaitu : Ibadah yang
mengandung hubungan dengan Allah sematamata (vertikal atau ‫ل من هللا‬¥¥‫)حب‬. Ciri-ciri
Ibadah ini adalah semua ketentuan dari aturan pelaksanaannya telah di tetapkan secara
rinci melalui penjelasan-penjelasan al-Qur’an atau al-Sunnah.13 Ibadah mahdhah
merupakan ibadah yang sifatnya khusus. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang disyariatkan
dalam al- Qur’an dan hadis. Contohnya; shalat, puasa, zakat dan naik haji.14

Dengan demikian, Pemahaman Ibadah Mahdhah berasal dari kata pemahaman dan
Ibadah mahdhah. Dari penjelasanpenjelasan yang sudah dibahas dapat ditarik kesimpulan
tentang pengertian pemahaman Ibadah mahdhah. Pemahaman Ibadah mahdhah adalah
kemampuan menangkap makna serta penguasaan terhadap bahan-bahan yang dipelajari
secara baik dan benar mengenai ajaran agama Islam tentang ibadah Mahdhah sesuai
dengan ketentuan dan tatacara yang ditentukan oleh syari’at agama.

3. Fatwa MUI Pada Masa Pandemi

Secara Bahasa kata Fatwa berasal dari Bahasa Arab yaitu al-Fat}wa> (‫وى‬¥¥‫)الفت‬.
Menurut al-Ima>m Ibnu Manz}hu>r kata Fatwa ini merupakan bentuk al-Mash}da>r dari
akar kata

(‫ فتوا‬- ‫ يفتو‬- ‫)فتى‬ yang bermakna muda, baru, penjelasan, atau penerapan. Menurut
al-Ima>m al-Z}amakhs}yari>, Fatwa secara terminologis adalah “Penjelasan hukum syara
tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok”. Menurut al-Ima>m al-
S}yatibi>, Fatwa dalam arti ‫اء‬¥¥¥‫ اإلفت‬berarti “Keterangan-keterangan tentang hukum
syara’yang tidak mengikat untuk diikuti”.15

-Ketetapan Fatwa yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI dilakukan secara
kolektif, dan penetapan Fatwa MUI ini didasarkan pada al-Quran, al-Ha>dit}s, al-Ijma>’,
al-Qiya>s dan dalil lain yang al-Mu’tabar. Proses penetapan fatwa oleh MUI bersifat
responsif, proaktif dan antisipatif, fatwa yang ditetapkan MUI bersifat argumentatif
(memiliki kekuatan hujjah), legitimatif (menjamin penilaian keabsahan hukum),
kontekstual (al-Waqi’i>), aplikatif (siap diterapkan) dan moderat.16-

13
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung:CV Pustaka setia, 2003), h. 132.
14
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),h.
237.
15
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 22-20.
16
Pedoman Penetapan Fatwa MUI, h. 75.

13
Terdapat tiga pendekatan yang dilakukan dalam penetapan fatwa oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI)17 yaitu :

1. Pendekatan pertama adalah ‫ نص القطعى‬yang bersumber dari al-Quran dan al-


Ha>dit}s, jika fatwa telah jelas hukumnya di dalam Alquran maupun Hadis
maka akan disampaikan sebagaimana mestinya
2. Pendekatan kedua adalah pendekatan ‫قولى‬, yakni dengan mengambil jawaban
dari kitab-kitab yang al-Mu’tabar, jika terjadi perubahan sosial maka akan
dikaji ulang
3. Pendekatan ketiga adalah pendekatan ‫منهجى‬, yakni melalui al-Ijtiha>d kolektif (
‫)جماعى‬

-MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga independen yang beranggotakan


para alim ulama telah mengeluarkan fatwa terkait himbauan pemerintah untuk
melaksanakan aktivitas ibadah di rumah. Terkait peribadahan, MUI pada intinya
memperbolehkan masyarakat yang beragama Islam di kawasan rawan penyebaran virus
corona, mengganti sholat Jum’at dengan sholat Dhuhur di rumah. Karena sholat Jum’at
melibatkan orang banyak, dan berisiko tinggi terhadap penyebaran virus corona. Selain itu,
fatwa tersebut juga melarang menyelenggarakan aktivitas jamaah sholat lima waktu (al-
Rawa>ti}b), sholat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri
pengajian umum dan majelis taklim.18 Seperti yang diketahui, bahwa sholat Jum’at
merupakan kewajiban umat Islam terutama bagi laki-laki. Perintah ini tertuang dalam al-
Qur’an dalam Surat al-Jumu>’ah, Ayat : 9 yang berbunyi:-

         
            

Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. 19 yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. al-Jumu>’ah, Ayat 9).

17
Ahmad Insya' Ansori dan Moh. Ulumuddin, Kedudukan Fatwa MUI Dan Lembaga Fatwa Di
Indonesia, Jurnal Mahkamah, Vol. 5, No. 1, Juni 2020, h. 44.
18
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam
Situasi Terjadi Wabah Corona Covid-19.
19
Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum
muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.

14
Sedangkan sholat berjamaah di masjid, adalah perintah langsung Allah SWT dalam
Surat al-Baqa>rah, Ayat : 43 sebagai berikut:

       

Artinya : dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'20(QS. al-Baqa>rah, Ayat : 43).

Dan dalam al-Hadit}s Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫س ع َْن النَّبِ ِّي‬ ٍ ِ‫ي ْب ِن ثَاب‬


ٍ ‫د ْب ِن ُجبَي ٍْر ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬¥ِ ‫ت ع َْن َس ِعي‬ ِّ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َح ِمي ِد بْنُ بَيَا ٍن ْال َوا ِس ِط ُّي َأ ْنبََأنَا هُ َش ْي ٌم ع َْن ُش ْعبَةَ ع َْن َع ِد‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم ْن َس ِم َع النِّدَا َء فَلَ ْم يَْأتِ ِه فَاَل‬
‫صاَل ةَ لَهُ ِإاَّل ِم ْن ع ُْذ ٍر‬ َ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Bayan Al Wasithi berkata,
telah memberitakan kepada kami Husyaim dari Syu'bah dari 'Adi bin Tsabit dari Sa'id bin
Jubair dari Ibnu 'Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa mendengar suara adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada
shalat baginya kecuali karena udzur.”21

-Namun dalam keadaan darurat nasional akibat Covid -19 ini, pemerintah yang
mengeluarkan himbauan pembatasan sosial didukung oleh lembaga keagamaan tidak
terkecuali MUI.Walaupun sejatinya terkait dengan penyebaran sebuah virus, dalam Islam
sebelumnya tidak ada produk hukumnya, karena virus corona adalah virus baru yang
muncul pada akhir 2019 lalu. Di tengah-tengah masyarakat sendiri terjadi pro dan kontra
penerimaan fatwa MUI dipicu oleh kesalahpahaman yang diterima oleh masyarakat.
Tujuan MUI mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaran Ibadah
Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid -19 diterima masyarakat sebagai anjuran sepenuhnya,
bahwa semua masyarakat harus melaksanakan ibadah di rumah masing-masing, walaupun
di daerah tertentu belum ada orang yang dinyatakan positif terinfeksi Covid -19. Yang
perlu dipahami oleh masyarakat adalah kondisi terkait pribadi seseorang dan kondisi
terkait kawasan. Apabila seseorang yang sudah positif atau dalam masa isolasi diri terkena
virus Covid -19, maka tidak boleh berada di komunitas publik termasuk untuk kepentingan
ibadah. Namun apabila ada orang masih dalam keadaan sehat dan berada di kawasan yang

20
Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-
perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
21
Ibnu Mundzir, dalam Abwabul Masajid wal Jama’ah, Bab: Taghlid Fi Takhalluf ‘Anil Jama’ah,
Nomor 777

15
tingkat potensi penyebaran virus rendah, maka kewajiban pelaksanaan ibadah seperti
shalat Jum’at tetap dilaksanakan seperti biasanya. MUI di dalam fatwa Nomor 14 Tahun
2020 memuat sembilan poin yang merupakan satu kesatuan.22-

Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 adalah fatwa tentang penyelenggaraan ibadah
dalam situasi terjadi wabah covid-19. Fatwa tentang penyelenggaraanini tertera
dalam point memutuskan nomor kedua yang membahas tentang ketentuan hukum. 23
Adapun bunyi dari fatwa tersebut adalah:

1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi


setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal
itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat
al-Khams).
2. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri
agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat
dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat jum’at merupakan ibadah
wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya
penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah
sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah
shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat
umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar
COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya
tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang
maka ia boleh meninggalkan shalat jum’at dan menggantikannya
dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan
jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau
tempat umum lainnya;
b) Dalam hal ia berada di suatu kawasanyang potensi penularannya
rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia
tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa
22
Muhammad Zulfikar, Zita Meirina, “MUI: Pro dan Kontra Fatwa Dipicu Kesalahpahaman
Masyarakat”, dikutip dari https://m.antaranews.com, diakses pada tanggal 25 Januari 2022.
23
Isi fatwa secara lengkap dapat dilihat pada Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang
penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah covid-1

16
dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti
tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan),
membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
4. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang
mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di
kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan
wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan
orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19,
seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di
masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan
majelis taklim.
5. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam
wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan
aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah
shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat
umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan
tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.
6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan
kebijakan penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan
dan umat Islam wajib menaatinya.
7. Pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) yang terpapar COVID-19, terutama
dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis
dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan
ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya
dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar
COVID-19.
8. 8.Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian
publik, seperti memborong dan/atau menimbun bahan kebutuhan pokok
serta masker dan menyebarkan informasi hoax terkait COVID-19 hukumnya
haram.
9. Umat Islam agar semakin mendekatkandiri kepada Allah SWT dengan
memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di
setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, sedekah, serta senantiasa

17
berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari
musibah dan marabahaya (daf’u al-bala’), khususnya dari wabah COVID-19.24

Langkah mengeluarkan fatwa yang diambil oleh MUI ini tidak berangkat dari
ruang hampa.Keadaan darurat yang berpotensi menimbulan kerugian bagi banyak orang
harus ditolak lebih dahulu dibandingkan melaksanakan sebuah kewajiban. Ini sesuai
dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

َ ‫ب ْال َم‬
ْ‫صالِح‬ ِ ‫َدرْ ُء ْال َمفا َ ِس ْد َخ ْي ٌر ِم ْن َج ْل‬

Artinya : mencegah kerusakan lebih baik daripada mendatangkan mashlahah25

Atau dalam kaidah yang lain berbunyi:

َّ ‫اَل‬
‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬

Artinya: “segala bentuk bahaya harus dihilangkan dan disingkirkan.”26

Kaidah-kaidah diatas menegaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk meraih
kemaslahatan di dunia dan akhirat. Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan
manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan bagi kehidupan manusia.

F. Landasan Teori

-Sebuah karya yang dikategorikan terbilang ilmiah, maka untuk mendukung hal ini
penulis mengaitkan kepada beberapa landasan teori, dimana teori tersebut digunakan
sebagai suatu konsep yang saling keterkaitan yang menyusun dan menetapkan berbagai
gejala-gejala atau berbagai variabel-variabel secara sistematis serta menjelaskan gejala-
gejala tersebut.27-

-Gijssels dan Mark Van Hoecke mengemukakan bahwa kemampuan untuk


menjelaskan sebuah teori adalah unsur yang sangat berpengaruh untukmenentukan bahwa
suatu teori ilmiah (hukum) dapat diterima dalam lingkunganyang lebih luas. Sebuah
falsifikasi yang sungguh-sungguh dapatmenentukan keberlakuan atau diterimanya teori
24
Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi
wabah covid-19, h. 8-9
25
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 11.
26
Ibid., h. 9.
27
Juhana Nasrudin, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Panca Tera Firma, 2019) h.17

18
tersebut. Penolakan atas sebuahteori dalam praktik akan terjadii bila dapat lebih lama lagi
jika dihadapkan padasebuah kenyataan bahwa terdapatnya teori lain yang lebih baik yang
mampu menjelaskan gejala-gejala yang sama secara lebih-lebih akurat dan komprehensif.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, maka pendapat Nancy Levit dan pendapat Gijssels
Van Hoecke tersebut adalah bersifat komplementer.28-

Dalam hal ini disebutkan, perihal diperlukan dalam sebuah penulisan karya ilmiah
sebagai hasil dari sebuah penelitian:

a. Sebuah teori memiliki kegunaan untuk mempertajam berbagai fakta-fakta


yang akan diuji kebenarannya
b. Sebuah teori memiliki kegunaan untuk mengembangkan dan membina
berbagai konsep-konsep dan berbagai strukturstruktur.
c. Sebuah teori merupakan garis besar dari beberapa hal yang dapat diuji
kebenarannya objek yang diteliti
d. Sebuah teori dapat memberikan gambaran mengenai faktafakta pada masa
mendatang serta faktor penyebabnya
e. Sebuah teori juga memberikan petunjuk kepada peneliti mengenai
kekurangan-kekurangan dalam penelitiannya.29

Oleh sebab itu dengan adanya teori yang digunakan oleh seorang peneliti, maka
akan mampu membantu terhadap objek dari penelitian, dalam upaya peneliti menarik
kesimpulan sementara, terlebih dalam menyimpulkan kesimpulan akhir. Dalam hal
menjaga kemudahan dalam menarik kesimpulan nantinya, maka terdapat beberapa teori
didalam penelitian ini yaitu :

1. Maqashid Syari’ah

-Maqashid al-Syar’i pertama kali dikemukakan oleh Imam Turmudzi (wafat 296
H/908 M) dalam Kitab ash-shalah wa maqashiduha. Kitab ini mengurai sekumpulan
hikmah dan rahasia spiritual di balik setiap gerakan shalat. Menegaskan ketundukan
sebagai maqashid/tujuan di balik pengagungan kepada Allah SWT melalui setiap gerakan
shalat. Mencapai kesadaran sebagai tujuan di balik memuji Allah SWT. Menfokuskan
shalat seseorang sebagai tujuan menghadap Ka’bah sebagai kiblat. Berikutnya teori
28
Jonaedi Effendi dan Jhony Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Cetakan ke-II ,(Depok: Prenada Media Group (Divisi Kencana,2018)) h.53
29
Ibid,h.16.

19
maqashid dikemukakan oleh Abu Zaid al-Balkhi dalam Kitab al-ibanah ilal ad-diyanah
(menjelaskan tujuantujuan di balik praktik ibadah) dan Kitab Mashalih al-abdan wal anfus
(kemaslahatan-kemaslahtaan raga dan jiwa).30-

-Maqashid Al-Syar’i yaitu sasaran, tujuan atau maksud dibalik hukum, bagi
sejumlah teoritikus Hukum Islam sebagai pernyataan alternatif untuk kemaslahatan-
kemaslahatan. Misalnya Abdul Malik Al-Juwaini (W. 478 H / 1185 M) salah seorang
kontributor yang paling awal menggunakan istilah al-Maqashid dan al-Mashalih
al-‘Ammah (kemaslahatan-kemaslahatan umum). Imam AlGhazali (W. 505 H / 1111 M)
mengelaborasi klasifikasi Maqashid yang ia masukkan dalam kategori mashlahah
mursalah (kemaslahatan yang tidak disebut secara langsung dalam nas Al-Qur’an dan
Hadits. Najmuddin Ath-Thufi (W. 716 H / 1216 M) adalah tokoh yang memberikan hak
istimewa pada kemaslahatan, dengan pernyataannya “Suatu maksud tidak sah, kecuali jika
mengantarkan pada pemenuhan kemaslahatan atau menghindari kemudlaratan”.31 -

-Teori ini berkembang lagi dengan berbagai penyempurnaan dan menyeluruh oleh
al-Syathiby pada 790 H/1400 M. Melalui karya gemilangnya kitab al-Muwafaqat,
Maqaashid asy-Syar’i menjadi konsep baku dalam Ilmu Ushul Fiqh. Sebelum teori
Maqaashid asy-Syar’i, metode penalaran terhadap nash terdapat dua teori, yaitu: teori
keumuman lafadz (‘umuum al-Lafdz) dan teori kekhususan sebab (khushush al-Sabab).32
Teori ini sangat penting dipergunakan dalam negara hukum, mengingat teori ini sangat
bersinggungan dengan nilai humanisme, genetika, agama, sosial dan ekonomi. Tujuan
diberlakukannya hukum harus mempertimbangkan : -

a. Maqashid al-Dlaruriyat (tujuan primer), dimaksudkan untuk memelihara lima


unsur pokok dalam kehidupan manusia. Yaitu: menjaga agama (hifdz al-diin),
menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan
(hifdz al-nasl) dan menjaga harta (hifdz al-maal).
b. Maqashid al-Hajiyat (tujuan sekunder), dimaksudkan untuk menghilangkan
kesulitan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia

30
Jasser Audah, Penerjemah Rasidin dan Ali Abd. Mun’im, Membumikan Hukum Islam melalui
Maqashid Al-Syar’i, h. 46.
31
Ibid., h. 33.
32
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah, Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta), .h. 5.

20
c. Maqashid al-Tahsiniyat (tujuan tersier), dimaksudkan agar manusia dapat
melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok
dalam kehidupan manusia

-Segi menolak kemudlaratan dan menghindari kerusakan, syari’at mengadakan


macam-macam hukuman pidana bagi orang yang melakukannya. Untuk menolak
kemudlaratan dan kehancuran agama, Hukum Pidana Islam menetapkan dan mewajibkan
jihad terhadap orang yang menghambat dakwah Islamiyah, menghukum pembuat bid’ah
dan sebagainya.33 --

-Diadakannya hukum qishash dan kafarat bagi orang yang dengan sengaja
melakukan tindak makar, pembunuhan dan diharamkannya bunuh diri merupakan bentuk
usaha untuk menghindarkan kemudlaratan bagi jiwa. Untuk menolak kemudlaratan akal,
Hukum Pidana Islam memberikan hukuman bagi peminum khamr. Perbuatan zina juga
dilarang dalam dan diberikan sanksi had bagi pelakunya, hal ini dimaksudkan untuk
menghindarkan dari kemudlaratan bagi berlangsungnya keturunan. Untuk menghindari
kemudlaratan harta, Hukum Pidana Islam memberikan ancaman potong tangan kepada
siapa yang mencuru, mengharamkan riba.34 -

-Bahasan utama dalam teori ini adalah mengenai masalah hikmah dan illat
ditetapkannya sebuah hukum.35 Sehingga dengan demikian akan diketahui bagaimana
hakikat dan tujuan awal pemberlakuan hukum yaitu kemashlahatan manusia.
Kemashlahatan itu akan terwujud apabila kelima unsur pokok (agama, jiwa akal,
keturunan dan harta) terpelihara: -

a. Memelihara agama
b. Memelihara Jiwa
c. Memelihara Akal
d. Memelihara Keturunan
e. Memelihara Harta

33
Pengertian jihad dalam hlm ini tidak dimaksudkan untuk berbuat anarki, karena bila dihubungkan
dengan Surat Al-An’am ayat 108, jelas sekali perbuatan menghina kepercayaan, ajaran agama lain tidak
dibenarkan dalam Islam.
34
Mukhtar Yahya, Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-
Ma’arif, 1993, h. 334-335.
35
Ahmad al-Raisuni, Nadzariyat al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi, Dar al-Yaman, Rabath, 1991, h.
67.

21
Dalam usaha memelihara lima unsur pokok itu, al-Syathibi membagi tiga tingkat:36

a. Maqashid al-Dlaruriyat (tujuan primer), dimaksudkan untuk memelihara


lima unsur pokok dalam kehidupan manusia.
b. Maqashid al-Hajiyat (tujuan sekunder), dimaksudkan untuk menghilangkan
kesulitan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia
c. Maqashid al-Tahsiniyat (tujuan tersier), dimaksudkan agar manusia dapat
melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur
pokok dalam kehidupan manusia

-Permasalahan yang terjadi dalam Pandemi Covid-19 ini bagi umat Islam yang
diutamakan adalah terpeliharanya agama, artinya kegiatan beribadah dengan situasi
apapun harus dilaksanakan. Maka Hukum Islam selalu hadir di tiap situasi apapun, agar
umat Islam tetap tenang dalam menjalankan aktifitas agamanya. Dengan berbagai rujukan
kesehatan tentang bahaya Covid-19 dan menjaga keamanan stabilitas negara dengan
keluarnya perpu No. 1 Tahun 2020 yang saat ini menjadi Undang-undang, maka fatwa-
fatwa ulama’ yang tergabung dalam MUI maupun ormas keagamaan seperti Nahdlatul
Ulama’ telah memberikan solusi hukum yang cepat dan dan tepat. Inilah letak fleksibilitas
Hukum Islam. – -Secara garis besar, kebijakan hukum atau pembaruan hukum dalam
Islam sangat mempertimbangkan kemashlahatan umat/masyarakat. Kaidah ushul fiqih
menyatakan bahwa tasharruful imaam ‘alarra’iyyah manuthun bil-mashlahah, yang
berarti kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus mempertimbangkan kemashlahatan
masyarakat secara luas. Kemaslahatan dalam hal ini mencakup kesejahteraan rakyat, dan
kesejahteraan rakyat akan tercapai dengan cara menghilangkan kemudlaratan/kerusakan.
Hal ini bisa dipelajari dari contoh di masa Nabi saw, pernah menegur seorang sahabat
karena membiarkan ontanya tidak tertambat dengan dalih tawakal kepada Allah SWT,
sementara ia masuk masjid hendak shalat. Hadits lain juga secara jelas mengatur lockdown
ketika terjadi wabah tha’un; “Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah
tha’un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan jika kalian tengah berada di
dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya. (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi saw
pernah menganjurkan tinggal di rumah daripada ke masjid hanya karena hujan
lebatmenakutkan. -

36
Ibid ., h. 71-72.

22
-Nabi saw juga pernah berujar agar yang sakit tidak bercampur dengan yang sehat
(HR. Bukhari dan Muslim). Rasa takut dan sakit diyakini sebagai udzur (alasan) untuk
tidak shalat berjamaah di masjid. Contoh-contoh ini merupakan preseden yang baik untuk
diteladani saat pandemi ini. Fikih pada dasarnya telah memberi ruang fleksibilitas yang
sangat terbuka, saat bahaya mengintai dan juga membahayakan orang lain, maka semua
ibadah tidak bisa dilakukan secara normal. Jika tidak mampu berdiri untuk shalat, maka
dengan duduk, jika duduk tak mampu dilakukan, maka dengan berbaring dan seterusnya.-

2. Teori Perlindungan Hukum

-Terkait dengan teori perlindungan hukum, ada beberapa ahli yang menjelaskan
bahasan ini, antara lain yaitu Fitzgerald, Satjipto Raharjo, Phillipus M Hanjon dan Lily
Rasyidi.-

-Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan
tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum
memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan
dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat
yang pada dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan
perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah
yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.37 -

-Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman


terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum.38 -

-Selanjutnya menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat


sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum

37
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, h. 53.
38
Ibid, h. 69.

23
yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkandiskresi dan
perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan.39 -

Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat
didifungsikan untuk menghujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan
fleksibel, melaikan juga predektif dan antipatif.40

Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa perlindungan hukum
merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan
hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah
suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum,
baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang
secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

3. Teori Penerapan Hukum


-Hukum adalah suatu motor penggerak dan menata perilaku manusia atau sebagai
aturan yang harus ditaati oleh manusia, walaupun hukum bisa dibilang sebagai pengontrol
sosial tetapi terkadang hukum senantiasa selalu tertinggal dari objek yang diaturnya.41
Akan tetapi, manusia itu sendiri juga tidak bisa lepas dari sebuah aturan hukum dimanapun
mereka berada, pasti ada hukum yang berlaku ditempat itu. Dimanapun dan kapanpun
masyarakat budaya yang ditemukan, ada hukum juga ditemukan, karena masyarakat
sebagai bagian dari budaya. Adapun menurut beberapa ahli tentang yang dimaksud teori
tersebut, yang diantaranya sebagai berikut : -

a. Ewick and Silbey, Kesadaran Hukum mengacu ke cara-cara dimana orangorang


memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahamanpemahaman
yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.42
b. Bagi Ewick dan Silbey, Kesadaran Hukum terbentuk dalam tindakan dan karena
nya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris.
39
Ibid, h. 54.
40
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : Remaja Rusdakarya,
1993) h. 118.
41
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, Semarang, 1980, h. 99.
42
Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Intrepensi Undang-Undang, Kencana, Bandung, 2009, h. 510.

24
Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku,”
dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau asas. 43 Sebagai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum maka beberapa literatur yang
diungkap oleh beberapa pakar mengenai ketaatan hukum bersumber pada kesadaran
hukum, hal tersebut tercermin dua macam kesadaran, yaitu :
a. Legal consciouness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan
hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan hukum yang disadari atau
dipahami.
b. Legal consciouness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud
menentang hukum atau melanggar hukum.44

-Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana merupakan salah satu upaya
yang bisa digunakan dalam mengatasi masalah sosial terutama dalam penegakan hukum.
Namun, disamping itu harus dilandasi dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umum nya. Akan tetapi, kebijakan hukum ini juga termasuk dalam
bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Untuk dapat tegak nya suatu hukum di dalam lingkungan masyarakat harus
memenuhi beberapa unsur, yang diantaranya : -
a. Berlakunya hukum secara yuridis artinya apabila penentuan nya didasarkan pada
kaedah yang lebih tinggi tingkatan nya;
b. Berlaku secara sosiologis apabila kaedah tersebut efektif. Artinya kaedah
tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun keputusan
tersebut tidak diterima masyarakat;
c. Berlakunya secara filosofis artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai
positif yang tinggi.45 Ketiga unsur inilah yang seharusnya ipenuhi dalam hukum
dan penegakan hukum. Karena tanpa adanya suatu hukum yang dapat tegak di
dalam tengah-tengah masyarakat maka tidak ada kontrol sosial terhadap pola
tingkah laku masyarakat.

-Namun, dari unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum tersebut,
di dalam penegakan hukum juga terdapat beberapa kaedahkaedah/faktor-faktor yang ada di

43
Ibid., h. 511.
44
Ibid., h. 521.
45
Barda Nawawi Arief , Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Cet. Ke-4, Genta Publishing, Semarang, 2009, h. 17.

25
dalam nya diantaranya kaedah hukum/peraturan itu sendiri, petugas/penegak hukum,
fasilitas, masyarakat. Akan tetapi untuk berfungsinya suatu kaedah hukum dalam
masyarakat sangat tergantung dari pada hubungan yang serasi (kaitan proposionil) antara
keempat faktor diatas.46 Dengan begitu dalam penegakan hukum dapat berjalan dengan
baik. -

G. Metode Penelitian

-Dalam sebuah penelitian diharuskan adanya metode untuk menjelaskan objek


yang akan dikaji dalam sebuah penelitian ilmiah. Agar hasil yang didapatkan sesuai
dengan perumusan masalah penelitian itu. Hal ini dilakukan untuk membatasi gerak dan
batasan dalam pembahasan agar tidak melebar kepada pembahasan lainnya dan tentunya
tepat pada sasaran.47 Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif-analitik
melalui penelitian kepustakaan atau Library Research yang secara fokus dalam mengkaji
dan menelaah fatwa, penelitian ini bersifat kualitatif. -

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam Disertasi ini adalah merupakan jenis
penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah rangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat
serta mengolah bahan penelitian.48 penelitian ini juga merupakan penelitian hukum
normative-empiris dengan pendekatan analisis. Penelitian hukum normatif memiliki
kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin prespektif, melihat hukum dari
sudut norma-norma saja, adapun penelitian hukum empiris dimaksudkan untuk mengajak
para penelitinya tidak hanya memikirkan masalah-masalah hukum yang bersifat normatif
(Law Is Writen In Book), penelitian empiris bersifat teknis dalam mengoperasionalkan
peraturan hukum.49

Oleh karena itu, penelitian hukum normative-empiris yang dimaksud oleh penulis
disini adalah penelitian hukum yang berasal dari suatu aturan normatif atau suatu peristiwa

46
Ibid., h. 14.
47
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indones ia, 2008), h. 12.
48
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), h. 65.
49
Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari
Metode Penelitian Hukum, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 1, Januari-Maret 2014, h. 27-32.

26
yang telah terjadi akibat dari suatu hukum normatif. Objek hukum dalam penelitian ini
adalah Fatwa MUI selama masa pandemic Wabah Covid -19. Penulis juga memfokuskan
pembahasan berupa analisis ketentuan hukum dan metode penetapan dalam Fatwa MUI
selama masa pandemic.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian penulis adalah sumber data
sekunder, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Adapun yang dimaksud
dengan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh oleh peneliti berasal dari sumber
kedua atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan.50

Dalam penelitian ini sumber data sekunder yang dibutuhkan adalah:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya
mempunyai otoritas.51 Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama masa pandemic Covid -19.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai


bahan hukum primer.52 Adapun bahan hukum sekunder yang peneliti gunakan adalah
sebagai berikut:

1) Himpunan Fatwa MUI Edisi Terlengkap.


2) Buku-buku yang berkaitan dengan al-Istinba>t} Hukum dan Maqasid
Syari’ah
3) Kitab-Kitab Fikih Klasik dan Kontemporer
3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

50
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi danKebijakan
Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainya, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 128.
51
Djulaeka, Devi Rahayu, Buku Ajar Metode Penelitian Hukum, (Surabaya: Scopindo Media
Pustaka, 2019), h. 43.
52
Rahman Amin, Pengantar Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), h. 73.

27
Pengumpulan data akan penulis lakukan adalah dengan cara membaca beberapa
dokumen, naskah atau literatur yaitu kitab-kitab fiqh dan Hadits, buku, karya tulis ilmiah
dan Fatwa MUI selama masa pandemic.

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode


dokumentasi, karena penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library
research). Metode dokumentasi adalah sesuatu yang tertulis dan tercetak sebagai bukti bila
diperlukan.53 Dalam penelitian ini dokumen-dokumen yang digunakan berasal dari buku,
catatan, surat kabar, majalah, website dan sebagainya yang bisa memberikan keterangan
terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Adapun metode dokumentasi diharapkan
dapat mempermudah penelitian ini dalam menemukan bahan-bahan dokumen yang
diperlukan, dan bisa menjadi pendukung bukti apabila diperlukan.

4. Metode Analisis Data

Model analisis yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis Hermeneutik, karena dalam proses menganalisis objek hukum dalam penelitian ini
tidak terlepas dari penafsiran (Hermeneutik). Analisis data dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif.

Untuk menganalisis data penelitian ini, maka metode analisis sangat diperlukan.
Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi (Content Analysis),
dengan tujuan untuk menggali isi atau makna dalam bentuk dokumen, karya sastra, artikel
dan sebagainya yang berupa data tak terstruktur. 54 Metode ini ditujukan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin, dan terbilang sangat rinci dalam hal menganalisis persoalan.
Dengan metode ini penulis berusaha menggambarkan atau mengungkapkan analisis al-
Istinba>t} hokum dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia selama masa pandemic serta
perlindungan dan penerapan hukum. Dalam membahas dan menganalisis penelitian ini
penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata,
gambar dan bukan angka-angka.

5. Teknik Penulisan

53
Purwono, Dokumentasi, (Yogyakaarta: Graha Ilmu, 2010), h. 8.
54
Wagiran, Metodologi Penelitian Pendidikan: Teori Dan Implementasi, (Yogyakarta: Deepublish,
2013), h. 132.

28
Penulisan Disertasi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Pascasarjana
UINSU.

H. Tinjauan Pustaka

Berikut tinjauan pustaka terhadap studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian
penulis :

NO Nama Penulis /Judul Hasil Penelitian Persamaan dan


Penelitian Perbedaan

1. Ahmad Mukri Aji dan Diana Ananlisis Fatwa MUI Persamaan : Studi
Mutia Habibaty / Fatwa No. 14 Tahun 2020 Fatwa MUI yang
Majelis Ulama Indonesia Tentang dikeluarkan pada masa
Tentang Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ibadah pandemi Covid 19
Ibadah Dalam Situasi Terjadi dalam Situasi Terjadi
Perbedaan : Dalam
Wabah Covid -19 Sebagai wabah Covid 19. Dan
penelitian ini fatwa
Langkah Antisipatif dan penyelenggaraan shalat
MUI yang dianalilis
Proaktif Persebaran Virus Jumat dan jamaah
adalah Fatwa MUI
Corona Di Indonesia berdasarkan Fatwa MUI
No. 14 Tahun 2020,
No. 14 Tahun 2020
sedangkan yang
dianalisis oleh penulis
adalah tentang
Perlindungan Dan
Penerapan Hukum
Melalui Fatwa
MUIDalam
Pelaksanaan Ibadah
al-Mahdhah Pada
Masa Pandemi Covid
-19 Dan locusnya
adalah Di Sumatera
Utara Perspektif
Maqahid Syari’ah

29
2. Fisher Zulkarnain, Ahmad Ali Kebijakan penetapan Persamaan : Studi
Nurdin, Nanang Gojali dan fatwa yang dilakukan Fatwa MUI mengenai
Fitri Pebriani Wahyu / oleh MUI pada masa penyelenggaraan
Kebijakan Fatwa MUI pandemi Covid 19 dan shalat Jumat pada
Meliburkan Shalat Jumat penyelenggaraan ibadah masa pandemi Covid
Pada Masa Darurat Covid -19 pada masa pandemi 19
Covid 19 berdasarkan
Perbedaan : Fokus
Fatwa MUI No. 14 2020
penelitian ini adalah
kebijakan penetapan

3. Hasbiyallah , Ratu Suntiah , fatwa MUI sebagai Persamaan : Studi


Hilda Ainisyifa , Titim kebijakan yang rasional Fatwa MUI yang
Fatimah, FIKIH CORONA dan berdasarkan nash dikeluarkan pada masa
(Studi Pandangan Ulama terhadap tiga hukum pandemi Covid 19
Indonesia terhadap Ibadah ibadah di masa Covid -
Perbedaan : Dalam
dalam Kondisi Dharurat 19. Ibadah yang pada
penelitian ini fatwa
Covid -19) awalnya wajib berubah
MUI yang dianalilis
menjadi haram, atau
sebagai landasan
makruh atau mubah.
aktifitas ibadah saja,
Kedua, pandangan
sedangkan yang
masyarakat terhadap
dianalisis oleh penulis
fatwa tersebut terdapat
adalah analisis dalam
tiga pandangan yaitu
fatwa MUI
ekstrimisme dalam
menggunakan teori
bentuk ketataan untuk
tetap di rumah. Moderat Perlindungan Dan
dengan mengambil jalan Penerapan Hukum dan
tengah antara di rumah Perspektif Maqahid
dan tempat ibadah dan Syari’ah
liberal yaitu penolakan
dari instruksi tetap di
rumah. Ketiga, dalil
yang mereka gunakan

30
adalah dalil dari ulama
yang telah memberikan
informasi kepada
mereka dari aspek yang
berbeda.

4. NUR INDAHSARI, Hasil penelitian ini Persamaan : Studi


Pengalaman Masyarakat adalah bahwa MUI Fatwa MUI yang
Mengimplementasikan Fatwa berperan terhadap dikeluarkan pada masa
Mui Tentang Ibadah Dalam keputusan pemerintah pandemi Covid 19
Masa Pandemi COVID -19 Di dan terdapat dua
Perbedaan : dalam
Desa Bonto Birao Kabupaten pandangan masyarakat
penelitian ini penulis
Pangkep ( Tinjauan Sosiologi untuk mengikuti atau
menjelaskan keadaan
Agama) menolak keputusan
masyarakat Di Desa
MUI untuk ibadah di
Bonto Birao
rumah, dan terdapat
Kabupaten Pangkep
pandangan ulama
dalam
Indonesia yang beragam
Mengimplementasikan
tentang aspek ibadah
Fatwa Mui Tentang
dalam kondisi dharurat
Ibadah Dalam Masa
Covid -19.
Pandemi COVID -
19 , sedangkan yang
dianalisis oleh penulis
adalah analisis dalam
fatwa MUI dan
locusnya adalah Di
Sumatera Utara

5. MAULIDA FATKHIYAH, pembatasan ibadah yang Persamaan : Studi


Analisis Dampak Pandemi dikeluarkan oleh Fatwa MUI yang
Covid -19 Terhadap Praktik Majelis Ulama dikeluarkan pada masa
Ibadah Pada Masjid Di Indonesia bersama pandemi Covid 19
Kabupaten Sukoharjo ( Studi kementrian agama pada

31
Perbandingan Antara Masjid Fatwa MUI No. 14 Perbedaan : dalam
Di Kawasan Perkotaan Dan Tahun 2020. penelitian ini penulis
Perdesaan) Analisis Dampak
Kesesuaian pelaksanaan
Pandemi Covid -19
praktik ibadah selama
Terhadap Praktik
pandemi Covid -19 pada
Ibadah Pada Masjid
kawasan perkotaan
Di Kabupaten
menurut Fatwa MUI
Sukoharjo dan
No.14 Tahun 2020 yaitu
membandingkan
rata rata persentase
antara keadaan Masjid
sesuai adalah 61% dan
Di Kawasan Perkotaan
rata rata persentase
Dan Perdesaan ,
tidak sesuai adalah
sedangkan yang
39%. Sedangkan pada
dianalisis oleh penulis
kawasan perdesaan, rata
adalah analisis dalam
rata persentase sesuai
fatwa MUI
adalah 24% dan rata
menggunakan metode
rata persentase tidak
Maqashid Syaria’ah
sesuai adalah 76%

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan penulis dalam membuat Disertasi ini, agar mudah dipahami
oleh pembaca. Maka penulis membuat sistematika penulisan menjadi Lima Bab, pada
masing-masing bab terdiri dari dari sub bab dan sub-sub bab sebagai penjelasan yang lebih
rinci. Adapun sistematika pembahasan disini dimaksudkan agar penulis lebih mudah dalam
menyusun skripsi, sebagai berikut:

Bab I : Pada bab ini merupakan pendahuluan yang berfungsi sebagai dasar dari
seluruh bahasan yang ada dalam skripsi ini. Di dalamnya tercakup bahasan, latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

32
Bab II : Pada bab ini merupakan pembahasan umum tentang teori yang terdiri dari
definisi Maqashid Syaria’ah, perlindungan hukum dan penerapan hukum.

Bab III : Pada bab ini akan mendeskripsikan tinjauan umum mengenai lembaga
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejarah berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI);
mendeskripsikan tentang Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dan penyebab awal mula
munculnya virus tersebut

Bab IV : dalam bab ini akan menganalisa bagaimana bahayanya Coronavirus


Disease 2019 (COVID-19) bagi kesehatan; bagaimana isi fatwa MUI pada masa pandemi
tentang penyelenggaraan ibadah mahdhod dalam situasi terjadi wabah covid-19;
bagaimana implementasi Fatwa MUI tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi
wabah covid-19 di Sumatera Utara. Dan menganalisis Maqashid Syaria’ah, perlindungan
hukum dan penerapan hukum dalam fatwa MUI tentang penyelenggaraan ibadah dalam
situasi terjadi wabah covid-19 di Sumatera Utara.

Bab V : Pada bab ini merupakan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan
penelitian ini, saran dan penutup.

33

Anda mungkin juga menyukai