Anda di halaman 1dari 5

Bab 1

Damar memeriksa data yang telah dia masukkan ke program perusahaan sebelum menekan tombol
enter. Setelah yakin tak ada kekeliruan, suara ketikan terdengar lagi, lebih keras dari yang lain. Keyboard
model lawasnya memang perlu dikasari.

Ruangan ini, seperti biasa, menjadi yang paling dingin karena dua AC yang dinyalakan bersamaan pada
suhu paling rendah. Mungkin sekitar 4x6, dia tak tahu secara pasti, tapi harusnya berukuran sama
dengan ruangan di sebelah kiri maupun kanan.

"Mar, aku cariin data-data kerjaan ini, dong. Terus tambahin keterangan kayak gini."

Di saat dirinya fokus, seorang pria paruh baya menghampirinya sambil menyodorkan sobekan kertas.
Lembaran itu mendarat tanpa permisi di atas papan ketik.

Alih-alih membuka mulut untuk menjawab, Damar mengangkat kedua alis dan bergantian menatap laki-
laki itu.

"Ayolah, Mar. Tolong."

Dia bahkan tak perlu bersusah payah untuk menolak. Setelah menghela nafas, pemuda ini langsung
mengalihkan pekerjaannya sendiri. Dia membuka fitur lain dari program perusahaan dan mengabulkan
paksaan berkedok minta tolong tersebut.

Satu misi dadakan menghabiskan waktu hitungan menit. Tak bisa disebut lama, tapi cukup
menjengkelkan karena menunda tugasnya sendiri.
Pria itu lalu ke luar ruangan setelah selesai dengan urusannya. Padahal bukan dari divisi yang sama, tapi
karena terjadi hampir setiap hari kerja membuat Damar terbiasa . Pengalaman selama 5 tahun di sini
bisa dibilang menakjubkan dalam cara yang agak menjengkelkan.

"Bisa gini-gitu bukannya cepet naik pangkat malah dimanfaatin divisi lain," keluhnya pelan saat menoleh
ke ujung ruangan. Atasannya yang gemuk tengah terlelap dengan menyandarkan punggung di kursi.

Ketika dia hendak melanjutkan pekerjaan yang tertunda, pundak kanannya merasakan tepukan ringan.
Damar hanya berdengung untuk menanggapi.

"Coba lihat ke luar."

Temannya yang seumuran, Arga adalah pelengkap ruangan berisi 3 laki-laki ini, menunjuk ke sesuatu
yang berada di balik pintu kaca. Awalnya, Damar tidak menggubris karena memikirkan tenggat waktu
tugas, tapi terpaksa mengikuti arah jari si pengganggu setelah pundaknya digoyang-goyang cukup
kencang.

"Apa, sih?"

"Lihat aja itu."

Di gedung empat lantai ini, tempat kerjanya berada di lantai pertama. Aula kantor tepat di depan,
beberapa orang berpangkat tinggi berkumpul di sana. Tampak direktur utama sedang melakukan
pengarahan atau hal semacam itu. Namun, apa yang paling menarik perhatian adalah sosok seorang
gadis.

Terpisah oleh jarak beberapa meter, wajah halusnya menimbulkan kesan tegas dan tenang. Rambut
segelap malam mengalir sepunggung agak bergelombang. Kulit bak mutiara terlapisi dandanan yang bisa
disebut monokrom. Blazer hitam membungkus blus putih, terlihat cukup tinggi dengan celana panjang
yang juga hitam, meski memakai sepatu hak rendah.
"Pakaiannya modelan kantor biasa. Cuma, karena cantik, jadinya wah," Ucap Arga, jarinya yang
menunjuk berpindah ke dagu, berusaha menilai tingkat busana dalam mata amatir.

Damar, mau tak mau mengakui bahwa gadis itu sejenak telah mencuri fokusnya. Hanya saja, bukan
sebuah perasaan yang akan dia temukan pada tipikal film romantis. Pemuda ini sekedar mengagumi
karya seni, beberapa detik kemudian dia mengangguk dan kembali menoleh ke layar komputer.

"Ya, cantik."

Temannya yang melihat reaksi datar dan singkat itu, ikut tertular kehilangan sebagian semangat. Arga
kemudian mengingat sesuatu yang terjadi masih di bulan ini. Dia kembali mengguncang pundak Damar.

"Aku dapat info, katanya anaknya si bos bakalan gabung buat gantiin bapaknya."

"Yang itu?"

"Iya, kalau infonya bener, sih, berarti dia putrinya direktur utama."

Damar berpikir bahwa memiliki relasi kurang lebih merupakan aspek penting dan sangat membantu di
dunia kerja. Apalagi jika anggota keluarganya adalah pemimpin sebuah perusahaan ternama, yang
cabangnya tersebar di Indonesia dan negara-negara tetangga. Manusia yang diberkahi dengan
hubungan ini tengah bermain di panggung kehidupan pada tingkat kesulitan 'mudah'. Setidaknya itulah
yang dipikirkan si pemuda berumur 24 tahun.

"Dia mulai kerja di sini hari ini?"

"Kemungkinan besok. Palingan sekarang cuma pengenalan."


Arga lalu melepaskan pundak temannya. Pemandangan berkilau terganti oleh pendaran remang monitor
pc 19 inch. Di saat Damar merasa lega dan bersiap menekan tombol-tombol ketik lagi, secarik kertas
yang berbeda kembali disodorkan. Dia mendapati kawan busuknya tersenyum manis dari samping
sambil menyerahkan sobekan tersebut.

"... Apaan?"

"Tolong, ya. Tadi pagi pas dari toilet, aku disuruh bikin daftar barang sama atasan."

"Kita kan bukan orang gudang. Ngapain?"

"Atasan kita dimintai tolong kepala bagian di ruangan sebelah. Deadline mepet, takutnya gak sempat.
Efeknya juga ada di kita kalau daftarnya gak ada, makanya atasan gak nolak. Cuma, dia gak tahu bikin
ginian, akhirnya nyuruh aku."

"Dan kamu juga gak tahu?"

"Iya."

"Sialan! Ujung-ujungnya ke aku lagi."

Damar menarik kencang kertas itu dari tangan temannya. Kejengkelan tumbuh seiring dengan diri yang
menjadi insan serba guna bagi pihak lain. Mereka mungkin sungkan karena pemuda ini terkadang
menunjukkan keengganannya dalam membantu, seperti tatapan mata yang mendadak sinis, helaan
nafas dibuat-buat, atau secara terang-terangan menegur. Stress yang ditumpuk cukup berdampak.

Sambil beranggapan bahwa faktor bermasalah di lingkungan kerja ini adalah SDM-nya, si pemuda,
dengan terpaksa, mengurus perintah yang tertulis di lembaran kertas tersebut. Sebagian alasan dia
masih mau membantu adalah karena tugas ini tampak tak telalu merepotkan.
Suara ketikan pun kembali terdengar. Tubuh penuh lemak atasan mereka melonjak saat dibangunkan
oleh Arga, memintanya waspada karena direktur utama ada tepat di depan ruangan. Begadang tak
pernah bagus untuk seseorang, terutama untuk golongan 'besok siang kerja'.

Pembicaraan kerumunan di aula depan berlangsung cukup lama. Damar sesekali akan mengintip ke arah
sana sampai mereka bubar.

Anda mungkin juga menyukai