~ chapter 1 Night 1
From : Creepypasta
.
.
.
.
"Hallo?"
"Yaya, hallo,"
Terdengar suara dari lubang hitam di gagang telepon.
Suara itu sedikit parau dan gelisah.
"Ada apa? Kamu kenapa? Cerita sama Mamah!" tutur
sang lawan bicara dengan nada jauh lebih wibawa,
lembut namun tegas.
"Ehm. Tidak ada apa-apa, Mah," sang anak yang masih
dengan suara paraunya, sedikit berdehem, entah apa
tujuannya. Tentu firasat seorang ibu jarang sekali salah,
ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari anak
kesayangannya itu. Terlebih sebelumnya sang anak
mengirimnya pesan.
"Bohong, kalau tidak ada apa-apa untuk apa kau
mengirim pesan seperti itu? Uangmu habis lagi? Iya,
'kan?"
Sang anak menahan nafasnya sejenak lalu
menghembuskannya secara kasar, naluri orang tua selalu
tajam. Tapi bukan ini yang akan ia katakan sebenarnya. Ia
memang mengirim pesan kepada ibunya, hanya ingin
bicarakan sesuatu saja.
"Y-ya, maaf," suara sang anak kini penuh rasa bersalah
dari jauh, tersampai melalui telepon.
"Sudah Mamah duga! Nanti Mamah kirim uang"
"Tidak usah, Mah!" cegah sang anak terburu-buru. "Masih
ada beberapa, kok! Untuk makan cukup. Yah, walau
untuk kuliah tidak," nada lesunya membuat sang ibu ikut
menghela nafas.
"Ya, kalau begitu tetap saja kirim"
"Ya, untuk bayar kuliah saja! Tidak untuk jajan,"
"Kenapa?"
"Ehm. 'kan sudah Jeremy bilang, sebenarnya Jeremy
ingin kerja sambilan,"
.
.
.
Jeremy Fitzgerald, mahasiswa kuliah siang dan juga
mahasiswa 'kupu-kupu' (Kuliah-pulang-kuliah-pulang).
Sebenarnya ia berkecukupan, ia hanya memegang
prinsip tidak mau merepotkan orang tuanya lebih jauh.
Ia ingin merasakan bagaimana dunia kerja, dan
kebetulan pihak kampus memperbolehkan dirinya untuk
kerja sambilan.
Jeremy bukan Anak Mamih, ia benci julukan itu. Ia hanya
terlalu mendapat kasih sayang yang berlebih dari sang
ibu. Dengan sedikit berdebat dengan sang ibu, Jeremy
akhirnya mendapat izin dari kedua orang tuanya, untuk
kerja sambilan.
Pria itu berumur duapuluh tahunan, badan tidak terlalu
kurus, wajah tidak bisa dibilang jelek, dan ia cukup tinggi.
Banyak teman-temannya yang membantu mencarikan
kerja sambilan, namun semuanya bergaji terlalu rendah.
Ia sempat frustasi, tidak menemukan nominal gaji yang
cocok untuknya, untuk kehidupan sehari-harinya. Jeremy
tak lupajustru sangat rajin untuk melihat lowongan
kerja pada koran maupun majalah.
DICARI
Mata Jeremy tertuju pada tulisan itu dan satu gambar
yang menarik perhatiannya. Gambar itu menunjukan tiga
makhluk yang mirip kelinci memegang gitar elektrik, lalu
beruang dengan mic-nya, dan semacam bebek atau
ayam yang membawa cup cake bermata dua menghiasi
bagian krimnya, tak lupa ada lilin di atasnya.
"Hmm, robot?"
Gumam pria itu sambil mengamati gambar serinci
mungkin. Lalu matanya beralih ke tulisan di sampingnya.
GRAND RE-OPENING!
TEMPAT PIZZA ANTIK YANG MEMBERI KEHIDUPAN BARU!
DATANG DAN JADILAH BAGIAN DARI WAJAH BARU
FREDDY FAZBEAR'S PIZZA!
KENAPA TIDAK?
$100.50 SEMINGGU!
HUBUNGI : 1-888-FAZ-FAZBEAR
"Huh? Apa ini? Mereka membutuhkan apa? Dan
bahasanya aneh sekali,"
Jeremy pun bertanya pada teman-teman kampusnya.
KRIIIING
Jeremy hampir jatuh dari kursinya, ia terkejut
mendengar telepon berdering dekat mejanya. "Bukannya
sedang rusak, ya?" alisnya kembali berkerut dan sedikit
lagi menyatu.
KRIIIIING
KRIIIIING
Jeremy baru sadar itu adalah pesan masuk, buru-buru ia
memenekan tombol jawab. (Disini author juga bingung,
memangnya udah ada ya telepon merekam dan
mengirim pesan di tahun 1987? Klo udah ada syukurlah
)
"Uh, hallo? Halo, hallo? Uh, hallo dan selamat datang di
pekerjaan barumu di musim panas ini di tempat yang
lebih baik, Freddy Fazbear's Pizza. Uh, aku di sini ingin
berbicara denganmu mengenai beberapa hal yang bisa
kau harapkan selama minggu pertama di sini dan untuk
membantumu memulai karir baru dan menarik ini,"
Jeremy menelan ludahnya sendiri, dan mendengarkan
dengan seksama.
"Uh, sekarang, aku ingin kau melupakan apa pun yang
mungkin pernah kau dengar tentang lokasi lama restoran
ini, kau tahu. Eh, beberapa orang masih memiliki kesan
agak negatif terhadap perusahaan ini. Uh... Bahwa
restoran lama dibiarkan 'membusuk' selama beberapa
waktu, tapi saya ingin meyakinkan padamu, Fazbear
Entertainment berkomitmen untuk menyenangkan
keluarga di atas semua, termasuk keamanan,"
Seketika itu Jeremy membeku, seakan terkena serangan
jantung skala kecil. Ia ingat apa yang dikatakan
temannya, dulu restoran ini pernah terjadi insiden yang
membuat tempat ini tutup. Dan sekarang kembali
dibuka, walau lokasi yang berbeda tentunya.
"Mereka telah menghabiskan beberapa uang untuk
Animatronic baru, uh, perubahan wajah, mobilitas
canggih, para pegawai bahkan membiarkan mereka
berjalan-jalan di siang hari. Bukankah itu apik?"terdengar
orang itu berdehem sebentar.
"Tapi yang paling penting, mereka semua terikat ke
dalam beberapa jenis kriminal, sehingga mereka dapat
mendeteksi predator mil jauhnya. Kita harus membayar
mereka untuk menjagamu.Uh, seperti yang sudah
dikatakan, tidak ada sistem baru tanpanya... Uh... Kau
"Ya! Uhbukan maksudku untuk berhenti bekerja. Aku ingin bekerja di sini tapi, apa para teknisi
tidak membetulkan mereka?"
Jeremy sengaja belum pulang dari apa yang terjadi malam sampai pagi ini tadi. Ia mendatangi
ruangan Manajer itu.
"Ehm. Maaf, para teknisi itu sedang tidak ada di kota ini. Jadi kami juga belum bisa mengatasi
masalah ini. Pekerja sebelum kau juga memproteskan hal yang sama, dan dia ada di shift siang
hari,"
"Ya, aku sudah dengar tentangnya," aku Jeremy.
"Huh? Dari siapa? Aku belum menceritakannya padamu," Manajer memasang ekspresi heran.
"Dari orang yang mungkin bekerja di sini sebelum orang yang pindah shift itu. Semalam ada
rekaman yang masuk,"
Manajer terdiam, alisnya menukik tajam seperti tanjakan empat puluh lima derajat. "Apa? Rekaman?
Orang sebelum pekerja shift siang, katamu?"
Jeremy mengangguk mantap. "Dengar, Jeremy. Telepon kami rusak, tidak bisa menerima maupun
melakukan apa-apa,"
"Y-ya aku tahu, tapi tadi malam bukan halusinasi"
"Dan tidak ada yang kerja malam selain orang sebelum kau,"
Jeremy terhenti, kini ia yang memasang ekspresi heran yang lebih heran dari biasanya. "Ehm, maaf.
Apa maksud Pak Manajer?"
"Selama kami buka, hanya kau dan dia yang pernah menjaga malam di restoran ini. Tidak ada yang
lain,"
"Lalu siapa dia, Pak? Pesannya tidak dapat diulang dan langsung terhapus setelah dimainkan,"
Jeremy memijit pelipisnya, ia merasa dipusingkan dalam hal ini.
"Kalau dia bukan penjaga malam, lalu siapa lagi? Dia sepertinya tahu benar dan mengarahkanku,
memberiku saran, seperti seorang senior," lanjut Jeremy.
"Pekerja malam yang sudah berganti shift tidak mengatakan apa-apa soal rekaman, dia sudah
datang, panggilkan saja dia dan tanyakan,"
.
.
.
"Kau tahu, tidak ada rekaman apapun pada malam pertamaku. Memang benar aku melewati malam
pertama dan baik-baik saja. Tapi mereka berkeliaran seperti di siang hari! Aku lebih menjaga siang
hari tentunya. Yang datang pertama kali ke tempatku adalah Marionette itu. Dia berdiri sendirian di
depan lorong dan mengamatiku sampai pagi, aku tidak tahu kenapa. Dan jam enam tiba dia
menghilang,"
"Tapi" Jeremy menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Karena itu aku pindah shift. Aku harus bekerja dulu,bye!"
"Jadi, kau mau berhenti bekerja atau melanjutkannya? Tentu tetap berjaga malam," tawar Manajer
seletah mendengar semuanya.
"Uh, ehm." Jeremy memutar otaknya. Untung saja hari ini tidak ada jadwal kuliah jadi ia bisa istirahat
sepuasnya. "Baiklah, aku coba bertahan," gumamnya terdengar oleh Manajernya. "Kami perbaiki
teleponnya hari ini, malam nanti sudah bisa kau gunakan. Jika ada apa-apa telepon saja,"
.
.
.
"Hay, Jeremy! Selamat menikmati hari ke duamu di sini,"
Waiter itu lagi-lagi menyapanya lalu pergi, ditambah senyuman yang janggal menurut Jeremy. Dia
tidak tahu nama sang waiter, jadi ia memilih untuk diam tak menanggapinya. Jeremy sudah datang
dari jam sepuluh malam. Ia terlalu kenyang beristirahat di rumah sementaranya. Jadi ia putuskan
untuk berangkat kerja lebih awal.
Tidak mau terulang, ia membawa kopi yang sudah diseduh dalam termos cukup besar. Nantinya ia
tinggal tuang ke dalam gelas plastik di kantornya. "Malam kedua! Aku siap!"
.
.
.
Jam menunjukan pukul sebelas malam lebih, tentu semua karyawan belum pulang. Tapi Jeremy
sudah duduk manis di kantornya.
"Semoga tidak terjadi apa-apa hari ini," doanya lalu melihat layar televisi khususnya. Jari Jeremy
menekan tombol yang akan menunjukan ruang Prize Corner.
Gelap. Layar tidak memunculkan apa-apa selain warna hitam pekat.
"Loh? Rusak?"
Tiba-tiba layar memunculkan pixel-pixel berwarna-warni membentuk sepeti ruangan dengan seisi
perabotannya. Mirip ruangan pesta di restoran ini namun dalam bentu pixel seperti game arcade.
"Ha? Game-kah?" Jeremy terheran-heran. Ia menekan tombol kecil pada samping televisi. Empat
tombol yang ia tekan membuat salah satu gambar berjalan. Gambar yang berjalan itu nampak
seperti beruang berwarna kuning membawa seperti mic di tangannya, tangan kanannya.
".. Jangan-jangan. Ini beruang yang kulihat kemarin," Jeremy sebenarnya ragu namun ia tetap
memainkannya. Ia mendengar suara dari alat elekrtonik di hadapannya itu setiap karakternya
berjalan, dan ia melihat ada karakter lain, seperti melayang dan berwarna hitam, berkepala putih.
". Apa itu Marionette? Tempat ini pernah membuatgame sendiri? Apa untuk anak-anak?"
Pertanyaan yang tidak terjawab dari Jeremy, ia mau tak mau meneruskan game yang mendadak
muncul itu.
Jeremy sadar kalau ia harus mengikuti karakter lain yang berwarna hitam itu, namun tiba-tiba
muncul satu karakter lagi berwarna ungu, di dadanya ada warna kuning, dan tangannya yang aneh.
"Huh?"
Karakter yang Jeremy mainkan terhalang makhluk ungu yang berbentuk seperti manusia dalam pixel
itu. Lalu layar menghitam kembali dan terdapat garis-garis biru berjalan cepat. Jeremy sempat
membaca hurufpixel yang ada di pojok kiri layar di bagian bawah.
YOU CAN'T
"Eh? Game over? Apanya yang tidak bisa"
Jeremy tersentak.
Ia ingat setiap karakternya berjalan, ada suara seperti mengeja. Ia mengingat ejaan tersebut.
S-A-V-E T-H-E-M
"Save them? You can't? Apa maksudnya?" Jeremy terdiam sebentar. "Mungkin itu kata lain dari
Game over. Ups! Sudah jam dua belas malam. Manajer sudah pulang, besok aku akan tanyakan
game ini,"
.
.
.
KRIIING
Jeremy tidak terkejut, namun ia hanya melirik kearah telepon itu dan melihat LED menyala warna
hijau, bertanda itu adalah pesan.
"Huh? Dari siapa?"
KRIIIING
KRIIIING
Jeremy terpaksa menerimanya lagi.
"Ah. Hallo, hallo! Uh, hey, sudah saya katakan malam pertamamu tidak akan menjadi masalah.
Kau hebat!"
Jeremy entah kenapa justru sedikit kesal mendengar suara ini lagi. Dia pria-yang-entah-siapa-itu
kembali menerornya lewat pesan. Seandainya saja Jeremy punya alat untuk kembali merekam apa
yang terjadi hari ini, sayangnya di kantornya ini tidak ada kamera pengintai seperti tempat lainnya.
"Uh, sekarang saya yakin kau telah melihat para Animatronic lama duduk di ruang belakang. Uh,
mereka itu dari restoran sebelumnya. Kami hanya menggunakannya untuk bagian sekarang. Ide
awalnya adalah untuk memperbaiki mereka... Uh, para teknisi bahkan mulai menyesuaikan mereka
dengan beberapa teknologi baru, tapi mereka hanya begitu jelek, kau tahu?"
Jeremy mendengus kesal. "Yah, terserah apa katamu,"
"Baunya... Uh, sehingga perusahaan memutuskan untuk membuat yang baru, dengan wajah yang
lebih ramah. Uh, mereka yang lebih tua tidak seharusnya mampu untuk berjalan-jalan, tetapi jika
mereka seperti itu, trik memakai kepala Freddy yang kosong dapat mengelabui mereka juga, jadi,
ya, begitulah,"
Jeremy memutar bola matanya kesal. "Ya, ya, ya," komentarnya.
"Uh... Heh... Aku menyukai para karakter lama. Apakah kau pernah melihat Foxy si bajak laut? Oh,
tunggu, tunggu. Oh yeah, Foxy. Uh, hei dengarlah, dia itu agak gugup,"
"Seperti kau, Tuan entah-siapa-dirimu," celetuk Jeremy.
"Uh... Aku tidak yakin kalau trik memakai kepala Freddy yang kosong itu akan berpengaruh pada
Foxy, uh. Jika karena alasan tertentu ia aktif pada malam hari dan kau melihat dia berdiri di ujung
lorong, sorot saja menggunakan senter kearahnya dari waktu ke waktuAnimatronic yang lebih tua
selalu bingung dengan lampu terang. Dan itu akan menyebabkan restart sistem, atau sesuatu. Uh,
kalau dipikir-pikir, kau mungkin ingin mencoba pada setiap ruangan di mana sesuatu yang tidak
diinginkan mungkin. Mungkin menahan mereka di tempat selama beberapa detik. Mungkin berlaku
juga untuk Animatronic baru,"
"Terima kasih atas sarannya," Jeremy mendengus kesal lagi.
"Satu hal lagi, jangan lupa kotak musik. Jujur saja, saya tidak pernah menyukai Marionette itu. Dia
selalu... berpikir, dan bisa pergi ke mana saja... Menurutku topeng Freddy tidak akan bisa
menipunya, jadi jangan lupa kotak musiknya. Pokoknya, aku yakin malam ini tidak akan menjadi
masalah. Uh, selamat malam, dan berbicara lagi denganmu besok,"
"Besok? Okay! Aku akan membawa orang lain untuk menjadi saksi!" Jeremy rupanya kesal karena
tidak ada yang kenal dengan orang yang memberikan pesan ini. Terlebih Manajernya tidak tahu
siapa diayang memberi pesan itu.
Satu jam berlalu, Jeremy sudah terbiasa dan hapal detik kapan ia harus memutar kotak musik itu,
dan kapan ia harus mengecek yang lain.
Jeremy menyeruput kopinya yang sudah ia tuangkan dalam gelas sembari mengecek satu persatu
ruangan.
Parts and Service Room.
Jeremy hampir tersedak kopi yang ia minum setelah melihat ruangan ini dari kameranya. Ia tidak
melihat apa-apa di ruangan itu. Yang berarti Bonnie yang seharusnya terlihat paling jelas di situ,
telah menghilang.
"Astaga, ke mana dia!?" Jeremy memeriksa ruangan lainnya. Jeremy menemukan sosok Bonnie
berada diMain Hall dekat dengan ruangan pesta ke empat. Jeremy meneguk saliva-nya sendiri.
"Hiiy!"
Jeremy bergidik saat melihat Kid's Cove, terlihat jelas Mangle sedang menggantung di sana. Ia yang
tak punya badan, kenapa bisa berjalanlebih tepatnya menggantung seperti itu? Seharusnya dia
ada di ruangan yang sama dengan Animatronic lama!
Kabel yang menggantung dari tubuh abstraknya itu, terlebih matanya yang menatap ke arah kamera,
membuat Jeremy memutuskan untuk kembali melihatPrize Corner dan memutar musik lagi.
"Mereka bergerak, uh, sial!" umpat Jeremy sambil menyalakan senternya untuk memastikan
sekitarnya aman.
Kembali lagi ke Parts and Service Room, bukan kelaptop, belum lahir laptop pada tahun 1987 ini.
Jeremy melihat Chica, tepat di ruangan itu. Dan ia mencari sosok Bonnie yang ternyata sudah
pindah dari tempatnya yang tadi berada di Main Hall.
Jeremy buru-buru menyalakan senternya mengarah lorong di depannya. Seketika itu juga Jeremy
menahan nafas dan memandangi sosok jauh di sana. Warna Lavender-nya samar-samar. Bonnie
ada di hadapannya, memang jauh tapi tetap saja menyeramkan.
Jeremy melirik televisinya, lalu menekan tombol untuk memutarkan musik. Untung ia masih ingat
kotak musik itu dan saran dari entah-siapa-dia. Jeremy masih waspada dengan makhluk ungu di
ujung lorong sana.
Seandainya ia bisa pergi dari sini, sudah ia lakukan semenjak Bonnie menghilang. Manajer pernah
bilang, untuk tidak pergi sebelum jam kerja selesai. Terlebih kursi ini dengan ajaibnya seperti
mengunci Jeremy, pria itu tak bisa ke mana-mana.
"Baiklah, kau bisa lakukan ini, Jeremy!" ia menyemangati dirinya sendiri, tentu karena ia sendirian di
restoran ini.
Ia menyinari lorong laknat itu lagi, tidak ada apa-apa. Tak lupa melihat samping kiri dan kanan
ventilasididekatnya. Tidak ada yang mencurigakan. Jeremy tidak bosan-bosannya memutar My
Grandfather's Clockdi Prize Corner.
Satu jam berlalu lagi, kini angka dua di tunjuk oleh jarum jam yang lebih kecil. Jeremy sesekali
membuka mulutnya, melepaskan karbon dioksida dari dalam tubuhnya melalu mulut.
'Hi!'
Matanya terbelalak, tak salah lagi kupingnya mendengar suara sapaan menggema dari sudut
ruangan ini, seperti suara anak kecil. Jeremy langsung memasukkan kepalanya ke dalam topeng
Freddy yang siap sedia di sampingnya. Di dalam topeng itu, jarak pandang dan pergerakan Jeremy
terbatas.
Jeremy tidak dapat menyinari lorong di depannya ketika memakai topeng itu, dan jarak pandang
Jeremy tidak luas. Jeremy merasakan ada yang datang.
"Hhh. Hhhahhh" nafasnya memburu. Iya yakin suara sapaan itu dekat sekali dengannya.
Seketika itu lampu dalam kantornya meredup. Mata Jeremy dapat melihat sesuatu, dari ke dua
lubang topeng Freddy.
Badan yang besar, seungu bunga Lavender. Tangan kirinya tidak ada, hanya ada kabel yang
menjuntai tak karuan, cara berdirinya yang seperti waria. Jeremy tidak akan menyangka kalau
Bonnie ada di depannya sekarang, detik ini juga.
Wajah Bonnie tidak ada, memang. Namun Jeremy dapat merasakan kalau Bonnie sedang
menatapnya, sepasang LED merah dari dalam kegelapan kepalanya itu membuat bulu kuduk
Jeremy menegang.
Jeremy menutup matanya, berharap ini hanya mimpi. "Fuuuuh," ia hembuskan nafasnya pelan.
Seketika itu ruangan kembali terang dan Bonnie tidak ada di hadapannya saat Jeremy
memberanikan diri membuka matanya. Ia dengan cekatan melepas topeng Freddy.
Jeremy langsung menekan lagi tombol untuk memainkan musik di ruangan khusus itu. Dan sekalian
melihat ruangan lainnya. Mengecek bagian dalam ventilasi kiri-kanannya. Lalu mengecek ruangan
yang selalu terdapat pergerakan dari mereka; Parts and Service Room.
Tidak ada yang berubah, Bonnie sudah duduk di tempat semula. Jeremy melihat ruangan lainnya,
yaitu kamera yang menyorot kearah panggung. Satu dari tiga Animatronic itu menghilang.
"SialToy Chica, di mana dia?"
Jeremy untung masih sempat memutarkan musik untuk sang Marionette lalu kembali mencari Chica.
Dan setiap ada Animatronic yang hilang atau ada bunyi-bunyi mencurigakan, Jeremy dengan sigap
menyinari atau langsung memakai topeng Freddynya.
Ia bertahan dari teror yang dibuat Animatronic.Jeremy merasa mereka sangat berbahaya, instingnya
merasa demikian. Ia ingat kalau pria yang memberinya pesan telah mengatakan; 'sesuatu' tentang
robot melihatmu sebagai Endoskeleton tanpa kostum, dan ingin menjejalkanmu ke dalamnya.
'SESUATU' dan MENJEJALKAN, Jeremy mencerna kalimat itu matang-matang. Dalam arti para
Animatronic ini seperti mesin pembunuh saat malam. Tidak untuk siang hari. Jeremy sadar, ini
adalah pekerjaan terburuk di dunia. Digaji kecil, taruhan nyawa, tidak ada jaminan, dan terakhir
untuk menjaga supaya mereka tidak keluar restoran, mungkin.
Bayangkan saja kalau tidak dijaga. Mereka akan keluar, berjalan-jalan di tengah kota. Membuat teror
yang lebih parah. Jeremy tidak tahu harus sedih atau justru ingin menghancurkan para Animatronic
ini. Jeremy pun tak kuasa, ia baru dua hari bekerja di sini. Dan sudah mendapat ujian yang luar
biasa di luar khayalan manusia manapun.
Satu jam yang mencekam ia lewati. Masih ada tiga jam lagi dan ia harus melaporkannya pada
Manajer. "Mereka semakin aktifugh!"
Jeremy melindungi dirinya sendiri dari sosok biru muda yang tersenyum manis. Pipinya merona
merah, mata besar dan dihiasi bulu mata plastik itu. Penampilan mereka benar-benar menipu. Toy
Bonnie berjalan secara horizontal di hadapan Jeremy. Seakan ia mencari sisi lemah Jeremy.
Tidak hanya Toy Bonnie, terkadang Mangle muncul di lorongnya. Membuat Jeremy ingin sekali
berteriak meminta pertolongan.
Pertolongan? Percayalah, Jeremy sudah mencoba menelepon Manajer maupun temannya. Telepon
itu tidak berfungsi sama sekali.
Demi apapun, Jeremy membenci suara anak kecil yang menyapanya sedari tadi, terkadang tertawa
sekali. Suaranya jelas jika Balloon Boy itu muncul diventilasi bagian kiri.
Malam ini Jeremy seperti sedang lari marathonselama dua puluh delapan jam. Tapi, rambut maupun
kondisi badannya tidak sebagus yang iklantampakkan. Jeremy seperti mandi keringat dingin. Ia
bersyukur juga kalau para Animatronic tidak punya indra penciuman seperti anjing. Hanya punya
pendeteksi entah apa itu seperti yang dibicarakan oleh pria misterius yang mengoceh dari telepon.
Tak terasa kalau satu jam lain telah berlalu. Jeremy masih punya dua jam ke depan untuk bertahan.
Yang membuat tak terasa adalah untuk memutar kotak musik itu dan melihat sekelilingnya dengan
sangat amat waspada. Jeremy masih menyemangati dirinya. Hanya untuk hari ini saja, dan saat pagi
tiba ia akan benar-benar meng-komplain-kan semua.
Sensasi aneh terkadang dirasakan Jeremy. Kepalanya pusing, dan seperti hari pertama ia mendapat
visionaneh di kepalanya. Seperti melihat kata-kata itu lagi;'IT'S ME'. Tidak hanya itu, wajah
Animatronic yang muncul terkadang Bonnie maupun Freddy, tanpa mata.
Kali ini sensasi itu muncul kembali. Dan melihat Freddy berwarna kuning dalam benaknya. "Nghh!"
erangnya sambil menahan rasa sakit kepala yang dideritanya. Jeremy bersumpah besok jika ia
masih ingin bekerja di sini, ia akan membeli obat sakit kepala dulu sebelum bekerja.
'Save him!'
Samar-samar telinganya menangkap perkataan itu. Suara parau yang ter-distorsi itu membuat sakit
kepala Jeremy lenyap. "AH! Musiknya!"
Jeremy terburu-buru melihat Prize Corner dan menekan tombol untuk memutarkan lagu kesayangan
Marionette. Jeremy membeku, matanya tertuju pada senyum joker yang mengembang pada kepala
putih itu. Menyembul keluar dari kotak besar tempat ia tidur.
Jeremy sadar, Marionette itu terbangun dari tidurnya. Suara tenggorokan yang sedang menggiling
salivakembali ke dalam tubuhnya itu terdengar jelas. Jeremy mencoba melihat ruangan lain, untuk
mengalihkan rasa takutnya.
Saat kembali melihat Prize Croner, hanya untuk melihat apakah dia sudah masuk kembali ke dalam
tempatnya tidur atau justru keluar. Jeremy bernafas lega, Marionette tidak ada dan kotak itu tertutup
lagi. Jeremy tak lupa untuk memutarkan lagu itu kembali.
Pukul empat pagi. Jeremy semakin berkeringat, lebih dari hari pertamanya. Para Animatronic itu
satu persatu mendatanginya. Entah itu Foxy, Mangle, Bonnie, Chica. Maupun para Animatronic baru
lainnya. Dan Jeremy pun bersyukur, Freddy maupun Toy Freddy tidak ikut mengunjunginya. Jeremy
merasa sang maskot Animatronic itu kalem dan tidak suka berjalan-jalan.
.
.
.
Tubuhnya terasa terguncang, suara-suara itu membawanya ke alam sadar.
"Jeremy?"
Suara Manajer membangunkannya. "Huh?"
"Kau ketiduran?"
Jeremy mengumpulkan nyawanya yang berceceran, dan sekaligus mengumpulkan kesadarannya.
"Uhm, mungkin? Jam berapa ini, Pak?"
"Jam delapan pagi," balas Manajer singkat. "Ehaku ketiduran? Maaf, Pak!" Jeremy langsung
berdiri dari tempat ia duduk. "Loh, aku bisa berdiri," tuturnya spontan. "Ha? Apa maksudmu?"
"Ah, iya, Pak! Saya bercerita jujur, saya tidak pernah berbohong selama kerja di sinidari malam
kemarin dan juga malam ini saya tidak bisa berdiri dari kursi saya, Pak! Danteleponnya kembali
tidak berfungsi! Tapi saat tengah malam, pria itu mengirim pesan lagi," Jeremy melapor seperti
bawahan kepada sang kapten.
"Sungguh?" Manajer mengangkat gagang telepon. Terdengar suara bunyi panjang tak berujung.
"Lalu suara apa ini?" Manajer memencet angka-angka dengan sembarang lalu menutup teleponnya
kembali. "Kau yakin ini tak berfungsi?"
"L-loh? Tapi sumpah, Pak! Semalam saya tidak bisa menghubungi siapapun dan para Animatronic
itu berkeliaran lebih sering dari kemarin malam!" Jeremy menjelaskan dengan tegas.
"Dengar, Jeremy. Kami tidak punya tempat kosong lainnya jika kau memang ingin pindah shift,
pilihan lain kau berhenti bekerja di sini,"
Jeremy terdiam sejenak dan meminta maaf. Disaat itu juga ia melihat waiter itu mengintip di ujung
lorong sana.
.
.
.
Sebelum Jeremy pulang, ia menyempatkan diri melihat para maskot beraksi di panggung. Trio
maskot itu seakan sedang bernyanyi, walau lagu itu hanya lipsync. Gerakan mereka sangat terlihat
seperti robot, patah-patah dan membosankan. Tapi Jeremy tidak heran, dia pernah menjadi anak
kecil tentunya, ia pernah menyukai hal seperti itu dulunya.
'Bagaimana bisa Animatronic seperti mereka bisa menjadi sangar di malam hari?'
Jeremy masih belum menemukan jawabannya.
.
.
.
"Bagaimana kerjamu?"
"Buruk,"
Teman Jeremy menyambutnya saat datang ke tempat tinggal sementaranya itu. "Sudah kuduga, apa
pekerja lainnya meremehkanmu? Atau ada sesuatu?"
"Sesuatu. Kau tahu insiden yang terjadi dulu di restoran itu, 'kan? Aku hanya tahu kalau lima anak
kecil hilang di restoran yang dulu,"
Jeremy menatap teman dekatnya itu. "Itu, insiden itu yang membuat mereka dipaksa tutup. Freddy
Fazbear's Pizza sudah ada sejak kita kecil dan tidak terlalu terkenal. Namun aku pernah ke sana
waktu kecil, yang paling ditunggu adalah kemunculan Foxy si bajak laut,"
"Dia ada di tempat kerjaku. Tidak mau diam saat malam, seperti sedang mencari makan," Jeremy
tidak tahan untuk menceritakannya juga.
"Sungguh!? Tapi, tapi Foxy, dia walau berperan sebagai bajak laut, dia baik. Ada juga kelinci dan
bebek, dan Freddy sendiri. Mereka suka bernyanyi di atas panggung,"
"Bukan bebek, dia ayam. Bonnie, Chica dan Freddy. Kau kangen dengan mereka? Lupakan saja,
bentuk mereka sudah buruk rupa," Jeremy menghela nafasnya.
"Jadi. Mereka benar-benar bergerak di malam hari?"
Jeremy mengangguk dan menceritakannya. "Mereka belum diperbaiki sejak datang ke restoran itu.
Justru pemilik restoran membeli Animatronic baru yang lebih terlihat ramah. Memang terlihat ramah,
tapi kelakuan mereka masih sama. Sama-sama suka berkeliaran saat malam. Mencari orang-orang.
Atau mereka malah mencari makan," Jeremy mengangkat bahunya.
"Jadi insiden itu disebabkan oleh mereka adalah benar. Tapi ada yang mengatakan bahwa
pegawainya yang melakukannya. Aku sendiri tidak tahu pasti," temannya itu ikut mengangkat
bahunya.
"Memangnya apa yang terjadi?" Jeremy bertanya penuh penasaran.
"Ada lima anak, saat di dalam restoran itu sedang menikmati pertunjukan Foxy. Hanya lima anak itu
dan Foxy dalam ruangan. Selanjutnya mereka tidak ditemukan di manapun. Diduga Foxy rusak atau
dikendalikan oleh seseorang. Sampai berhari-hari ke lima anak itu tidak ditemukan. Lalu Freddy saat
itu warnanya kuning,"
"Tunggu! Golden Freddy, maksudmu?" Jeremy memotong, mendapati jawaban positif dari temannya,
Jeremy langsung menelan ludah. "Dia muncul di hari pertama aku bekerja, padahal pihak restoran
tidak membawanya,"
"Uh, kalau aku jadi kau, aku berhenti bekerja di sana. Oke, kita lanjut. Golden Freddy itu
mengeluarkan bau tidak enak, dan membuat para orang tua komplain. Dan yang benar saja, dari
matanya Golden Freddy ternyata ada sedikit bercak darah dan lendir! Tidak hanya Golden Freddy,
semua Animatronic juga. Tapi polisi tidak dapat menemukan tubuh lima anak itu. Darah itu ternyata
memang berasal dari anak-anak yang hilang saat diselidiki. Sejak kejadian itu, berbagai pihak
meminta Freddy Fazbear's Pizza ditutup. Dan tidak beroperasi lagi selama bertahun-tahun,"
Jeremy manggut-manggut. "Jadi pembunuhnya belum ditemukan?"
"Belum, entah itu pekerjanya atau para maskot yang melakukannya. Polisi tidak sanggup
mengungkapkannya. Jadi kau masih mau bekerja di sana?"
"Walau aku takut setengah mati setelah dua malam diteror oleh mereka. Entah kenapa aku masih
penasaran. Maksudku, kemarin sebelum aku memulai jam kerjaku. Televisi yang kugunakan tahutahu memainkan suatu game yang sepertinya tentangrestoran itu sendiri. Saat kutanya pada
Manajer, dia tidak tahu apa-apa. Dan aku meminta kalau seandainya dia mau bukti bahwa aku tidak
berhalusinasi, aku akan membawa teman untuk berjaga denganku. Dia menolak,"
"Hmm, ya sudah. Itu hakmu, kawan. Tapi, aku benar-benar khawatir kalau kau masih bekerja di
sana. Sampai sekarang pembunuh itu belum ditemukan masalahnya,"