Anda di halaman 1dari 64

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................... 3


BAB I : 5 MILIAR.......................................................... 4
BAB II : KOMPETISI DIMULAI .................................. 8
BAB III : Awal Petualangan ......................................... 11
BAB IV : London ......................................................... 14
BAB V : Memulai Lingkungan Baru ............................ 18
BAB VI : Siapa dia? ..................................................... 20
BAB VII : Alasan Pindah.............................................. 23
BAB VIII : Siapa Lagi??? ............................................ 27
BAB IX : Whats Next? ................................................. 36
Bab X : Kapan ini akan berakhir? ................................. 40
BAB XI : Pengkhianat? ................................................ 43
BAB XII : Tidak Ada Kata Tenang............................... 50
BAB XIII : Kembali Lagi ............................................. 54
BIOGRAFI ................................................................... 63
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur selalu kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena limpahan rahmat dan karunia-Nya saya mampu menyelesaikan novel
dengan judul ‘Zombie Maniac’. Novel ini berkisah tentang cerita fiksi dimana
petualangan dimulai ketika adanya uang yang tiba-tiba ada di dalam suatu
kelas dan untuk mendapatkan uang itu harus melakukan pertandingan dan
bertahan melawan zombie.

Di dalam menulis novel ini, saya sadar bahwa saya tidak akan bisa
menyelesaikannya tanpa ada bantuan dari berbagai pihak yang telah
menyumbangkan energi dan pikirannya di dalam penyusunan novel sehingga
memiliki alur seperti sekarang ini.

Sebagai menusia kami sadar bahwa novel yang saya buat masih belum
pantas jika disebut sebagai sebuah karya yang sempurna. Saya sadar tulisan
saya masih banyak memiliki kesalahan, baik dari tata bahasa maupun teknik
penulisan itu sendiri. Maka saya meminta adanya masukan yang membangun
agar saya semakin termovitasi untuk menjadi lebih baik dan lebih
memperbaiki kualitas novel saya selanjutnya.

Yogyakarta, 27 Maret 2023

Penulis
BAB I : 5 MILIAR
Aku memulai hariku seperti biasanya, hari selasa bagiku hari yang
menyenangkan. Banyak pelajaran yang aku sukai hari itu. Jam demi jam kami
lalui bersama hingga kami memasuki istirahat ke dua pukul jam 12.05. Pada
jam itu kelas sepi karena waktunya istirahat dan beribadah. Ketika ketua
kelasku kembali ke kelas, terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan. Tidak
ada angin tidak ada hujan, hal tak terduga uang sebesar 5 miliar ada diatas
meja guru “haa???? Uang siapa ini” ujar Romi ketua kelas. Satu persatu
temanku masuk ke kelas.

Romi menyampaikan apa yang telah terjadi. “apa kalian ada yang
bawa uang sebanyak ini ke sekolah?” tanya Romi. “enggak lah, orang gilak
kali!!!” ujar Satya. Semua tampak kebingungan. Tidak ada yang berani
menyentuh uang itu. Sampai akhirnya kami sekelas memutuskan untuk
membagi uang itu, namun tiba-tiba saja temanku sekelas Tama berkata “biar
lebih seru, kita buat jadi kompetisi aja buat dapet uangnya”

Kami sekelas menyentujui ajakan tersebut. Entah apa yang membuat


kami setuju dengan ajakannya. “emang mau kompetisi apa dulu, yang masuk
akal lah!!!” Veronica menyahut dengan amarah. “ya kalo menurutku sih
kayak adu nilai aja” kata Rendi. “ya elah, kalo itu mah udah jelas siapa yang
dapet aneh ya kamu” ujar Veronica. Tanpa pikir panjang Tama berkata “udah
deh kalian tenang aja, aku udah punya rencana besar”. “awas kalo nggak
masuk akal” seru Veronica.

Akhirnya bel masuk pun berbunyi. Kami sekelas tidak terlalu


mempercayai Tama. “emangnya apa sih kompetisinya, kok perasaanku ga
enak ya” tiba-tiba Jek berkata seperti itu.
“jujur aku juga engga percaya sama si Tama itu, tapi kita ikuti alur mainnya
saja” ujar Tere. Memang semuannya sungguh tampak tak nyata bagi kami
sekelas.

Esok harinya semua nampak seperti biasa, suasana kelas pagi yang
masih sepi karena kebanyakan teman-teman berangkat sekolah mendekati bel
masuk sekolah. Uang 5 miliar yang kami dapatpun dibawa oleh si bendahara
kelas Jek dan Vano. “mana katanya mau ada kompetisi, Cuma omong doang
tu si Tama” Isa berbicara dengan lantang. “eh kamu Isa, jangan sembarangan
ya, kompetisi ini engga main-main, jadi aku persiapkan dengan matang” Tama
pun yang mendengar lalu menjawab seperti itu.

Kami sekelas sudah mulai lupa apa yang dikatakan Tama. Bepikir
keras kami dibuatnya dengan tanpa aba-aba apapun mengenai kompetisi yang
akan Tama buat. Memang Tama adalah temanku yang nekat dalam hal
apapun. Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi, aku, Vero, Fey, Isa, Jek
berkumpul dikantin sembari menunggu hujan reda. Dari kejauhan nampak
Rendi dan Rasya mendatangi kami. “eh guys, ikut nimbrung ya” ujar Rasya.
“iya santai aja” jawab Vero. “btw, kalia emang pada ga penasaran kompetisi
apaan yang mau diadain tu sama si Tama” tanya Rendi dengan sedikit emosi.
“kalo aku sih udah nggak mau tau sama dia, aku juga udah terlanjur ga suka
wkwkkwkwk” ujar Jek dengan nada santai. “tapi apa kita enggak mau bikin
kompetisi apa gitu kek? Orang kayak Tama gitu kita ikutin?” tanya Isah
“misalpun mau buat, emang mau buat apa coba?” tanya Fey. “ya apa kek, pake
undian misalnya” ujarku. Hujanpun mereda kami memutuskan untuk pulang
sebelum hujan kembali deras dan membasahi tubuh kami.

Firasatku mengatakan bahwa ini semua janggal. Di satu sisi teman-


temanku excited, aku tak mau mengkhawatirkan teman-temanku dengan
firasatku yang tidak enak. Aku berpikir semalaman di kamarku apakah aku
akan mundur saja dari kompetisi itu? Ataukah aku tetap bersama teman-
temanku?

Hari telah berganti, dan sekolahpun dimulai. Kaget sekali, tidak


biasanya Tama berangkat pagi-pagi. “tumben berangkat awal, kesambet apa
kamu?” tanya Jay dengan humornya. “aku udah mau nyiapin kompetisi nih,
tunggu aja nanti” ujar Tama dengan sedikit tawa.

Satu persatu temanku mulai masuk kelas. Pelajaran dimulai seperti


biasanya pukul 7.30 pagi. “guys-guys, kalian masih ingetkan kompetisi yang
mau aku buat? Nah nanti kompetisinya bakalan diadain pas pulang sekolah
nih” kata Tama dengan penuh semangat. “loh gimana kalo missal ada yang
les? Apa iya harus bolos les?” ujarku. “ya udah sih, berarti yang mau tetep les
atau ada acara ya emang bener-bener enggak mau uangnya” saut Tama.
“enggaklah, libur les sehari bukan masalah sih” jawab Tere.

Tiba-tiba waktu berlalu secara cepat bel pulang sekolah sudah


dibunyikan. Tidak biasanya kami sekelas berdiam diri di kelas seusai
pelajaran. Biasanya kami langsung berlari pulang dan menuju ke rumah.

“oke, kita tunggu sampe sekolah ini sepi” perintah Tama. “kenapa
nunggu sepi sih, lama tau aku ngantuk nih, nggak tau aja orang pulang sekolah
ngantuk!” jawab Vero dengan menahan kantuknya. Kami menunggu sejam
lamanya untuk bisa memulai kompetisi yang kami tidak ketahui apa ini. Tanpa
angina dan hujan tama menyebutkan apa yang akan kita mainkan untuk
mendapatkan uang 5 miliar itu. “ok, karena ini uangnya ada 5M aku pengen
pemenangnya ada 10 orang, dan 10 orang ini nantinya akan pergi ke eropa
selamanya menetap disana istilahnya for good lah”. “gilak! Enggak bisalah
udah enggak usah aja adain kompetisi ini!” ujarku. “bentar-bentar emang apa
kompetisinya” tanya Jek. “kalian semu setuju enggak sih? Missal enggak
setujupun enggak jadi masalah, orang uangnya ada di aku hahahahha” ujar
Tama dengan tawa yang jahat.

Jek dan Vano kaget mendengar penyataan Tama. Tak hanya Jek dan
Vano, kami sekelas tercengan kaget dan bingung dibuatnya. “bisa-bisanya
kamu dapet uang itu!” seruku dengan penuh amarah. “ya bisalah, Tama gitu
lho”.

Saat ini kami sudah putus asa dan ingin kembali pulang. Entah
bagaimana pintu kelas dan semua akses keluar telah dikunci oleh Tama
bahkan kami diminta untuk mengumpulkan HP. “ok, karena sekarang
semuanya udah aku anggap setuju, kita masuk ke permainannya”.

“game kali ini adalah mati/bertahan” ujar Tama. “gila! Kamu ini apa-
apaan sih” Rasya menjawab dengan penuh amarah. Dorrrrrrrrrr!!!!!!!! Satu
tembakkan dilepaskan Tama. “ini tembakan peringatan ya, kalo sampai ada
yang coba melawan atau melarikan diri, jangan harap kalian keluar dari sini
hidup”ujar Tama dengan tawa jahatnya. Semuapun tertunduk dan terdiam
hanya bisa mengikuti perintah Tama. Kami tidak melawan maupun
memberontak, karena semuannya akan dikorbankan disini. Selama dua jam
Tama menyekap kami di ruang kelas tanpa mengatakan satu patah kata apapun
dari mulutnya itu. Sungguh bukan ini yang aku dan teman-temanku mau

Tapi, apaboleh buat semua sudah terlanjur, kamu semua terkena tipu
muslihat Tama yang sangat-sangat licik itu. Entah apa yang ada dipikirannya
sehingga setega itu kepada kami teman-temannya
BAB II : KOMPETISI DIMULAI
Setelah dua jam lamanya, akhirnya Tama membuka suaranya. Bagi
kami saat ini sangat membenci sungguh-sungguh kepada Tama. “langsung aja,
tanpa bertele-tele, jadi aku bakalan suntikin cairan zombie ini ke salah satu
dari kalian”. “apa-apaan zombie!” Karlo yang sudah menahan tangisnya.
Dorrrrrrrr!! Suara tembakan itu benar adanya dan kepala Karlo sudah
berlumuran darah.

“itu buktinya kalo kalian menyela, membantah ataupun mencoba


mengelak” kata Tama dengan muka yang sadis. Mau tidak mau semua diam
dan mendengarkan penjelas dari Tama seorang. “dan kalian 33 manusia harus
bertahan sampai akhirnya nanti tersisa 10 orang, paham kalian!” bentak Tama
dengan nada yang keras. “paham” jawab kami serentak ketakutan.

“tutup mata kalian!” gertak Tama sekali lagi. Kami pun menutup
mata. Tak lama sekitar 20 detik kemudian teman kami yang tidak beruntung
Anton terkena suntikan itu. Pintu kelas akhirnya dibuka, dan disinilah
pertandingan sebenarnya dimulai.

Aku, Fey, dan Vero bersembunyi bersama berlari kearah XII MIPA 6.
Sedangkan Isa dan Jek bersembunyi dibalik ruang bimbinga konseling teman-
temanku sudah berpencar. Aku menyaksikan betapa mengerikannya teman-
temanku yang tidak beruntung terkena virus zombie itu.

Zombie sensitive sekali dengan suara, banyak temanku yang tidak


mengetahui itu sehingga banyak yang menjadi korban. Lama kelamaan kami
menjadi semakin egois. Kami memutuskan berpencar

Aku naik ke atas genteng dan ada beberapa temannku. Jason,


Mariopun sudah berada di genteng yang sama denganku. Ketakutan semakin
menjadi-jadi ketika kami melihat bahwa ada sebuah kandang besar di dekat
taman. Untuk memasukkan zombie nantinya.

Akhirnya Jason, Mario, dan aku menjadi 1 tim. Vero, Fey, Rasya 1
tim. Rendi, Jek, Jay, Isa menjadi 1 tim. Akhirnya Tamapun memberikan
peringatan kepada kami bahwa waktu bermain tinggal 1 jam. Satu persatu
kami berkumpul di belakang ruang bimbingan konseling.

“gimana ini, kita masih 11 orang sama Tama bodoh itu!” ucap Vero
dengan penuh amarah. “dia udah jahat kayak gitu sama kita, kita juga jahat aja
sama dia?” kata Jason. “hah?? Gimana-gimana aku engak ngerti maksudmu
itu” Jay tampak kebingungan. “hmm, aku tau maksumu jas, jadi kita bikin
scenario lagi buat jebak tu Tama jadi mati dehhh” kataku.

“gini-gini ini cara emang licik, tapi Tama licik banget sih. Nanti kamu
masukin sepatumu aja Jas ke kandang zombie itu, terus kita minta buat Tama
buka kandangnya as you know kalo Jason sesayang itu sama sepatunya”
scenario dari Rasya. “boleh juga tuh, tapi harus ada yang sembunyi satu” kata
Jek dengan penuh pertimbangan.

Akhirnya aku memutuskan untuk sembunyi. Waktupun sudah habis


dan untungnya kami tersisa 10 orang. Semua yang sudah menjadi zombie
dimasukkan ke kandang yang telah disiapkan. “buat semuanya, waktu sudah
habis silahkan kumpul dilapangan basket! Segera !” kata Tama dengan
bentakan.

Kamipun bersiap diposisi masing-masing. “hahahha, untung kalian


hanya bersembilan, jadi aku enggak usah capek-capek membunuh satunya
lagi” kata Tama dengan tawa jahatnya.

“sekarang mana duitnya Tam, awas aja kalo kamu bohong” Vero yang
bertanya dengan penih amarah. “tenang Ver, nih catet ya, uangnya ada di bank
Permai Asri, dengan pin tanggal hari ini 200323. Puas kalian semua” ujar
Tama dengan lantang.

“sttt stt, Jason sepatumu yang satu lagi hilang!” terika Jay kaget, yang
sebenarnya itu adalah jebakan untuk Tama. “oiya, Tama boleh anterin aku ke
kandang enggak ya? Sepatu kesayanganku yang langka itu kayaknya di sana,
masak aku pergi ke Eropa enggak pake sepatu itu heheheh” ujar Jason dengan
penuh candaan. “iya sana, anterin dulu” kata Rendi. “oke, ayo ikut aku Jas,
kita ambil sepatumu” ajak Tama.

Setelah Tama membuka pintu kandangnya dan sesuai rencana awal,


aku akan mendorong Tama ke dalam kandangnya. Srokkkkk suara Tama yang
ku dorong ke dalam kandang. Tanpa mengucapkan satu katapun Tama
langsung berubah menjadi sosok zombie.

Kami pun kembali berkumpul dilapangan dan berpelukan bersama,


setelah apa yang telah kami lalui. “tapi kita harus tetep waspada, kan kita
enggak tau masih ada zombie yang lepas atau enggak” kata Fey dengan
kesenangan.

Kami bingung apa yang selanjutnya kami lakukan. Karena uang itu
yang jumlahnya miliaran, dan zombie ini harus kita apakan. “ok, sekarang gini
kita cepat-cepat kabur ke rumah masing, berpamitan lalu kita berkumpul di
lapangan Madukismo” perintah Rendi.

Kamipun memutuskan untuk pulang. Tak lupa kami berpamitan


kepada orang tua. Beberapa orang tua mengizinkan, dan beberapa tidak. Mau
tidak mau kami harus pergi dari rumah dan bersembunyi secara aman dan
terjamin
BAB III : Awal Petualangan
Setelah kami sampai di Lapangan Madukismo, kami membentuk
lingkaran dan membagi tugas untuk megurus segala keperluannya. Kami
merasa harus melengkapi satu dengan yang lainnya. Rendi, Fey, Vero
mengurus visa, passport, dan dokumen penting kami bersembilan. Aku,
Rasya, Jek mengurus tiket keberangkatan kami dan seluruh akomodasi yang
akan kami gunakan di Eropa nanti. Isa, Jason, dan Jay mencari tempat tinggal
untuk kami tinggal bersama di sana. Memang kami memutuskan tinggal
bersama agar tidak saling bingung ketika di sana.

“gimana guys perkembangannya, kita cuma punya waktu 2 hari lagi”


tanyaku. “aku sih udah siap” ujar Isa. “aku juga udah” ujar Fey. Semua urusan
sudah kami lakukan. Sampai tibalah waktunya keberangkatan kami
dijadwalkan 20 Januari 2023. Kami terpaksa berbohong dan berpamitan
bahwa kami mendapatkan beasiswa di London. Karena akhirnya kami
memntapkan diri ke negeri orang itu.

Krinnnggg!!!!!!! Telepon kami berbunyi, ternyata Fey memulai


panggilan melalui grup whatshap. “dimana kalian? Aku udah di stasiun nih,
buruan di deket minimart ini ya” dan kami serentak menjawab iya. Setelah
tiga puluh menit lamanya kami berkumpul “kuy, gasss berangkat” ajak Jason
dengan semangat. “tunggu wey, pastiin semuanya oke dan engga ada yang
ketinggal, repot nanti” ingat Vero.

Aku menatap ke arah luar jendela dalam hatiku berkata “apa memang
ini adalah jalan terbaik untuk kita? Meninggalkan sanak saudara”. Isah
tampaknya sadar akan lamunanku “kenapa Ren, ngelamun mulu kamu
kepikiran apa?”. Aku terkaget karena Isah mengajakku bicara ditengah
lamunanku. “ya biasalah, orang kalau mau pergi jauh gini nih heheheeh”.
Pemberitahuan kereta berbunyi menyatakan bahwa sebentar lagi kami
akan tiba di bandara. “guys, cek semua barang-barang jangan sampe ada yang
ketinggalan” ingat Jek. Tak terduga cuaca buruk melanda, terpaksa pesawat
yang kami naiki ditunda sementara sekitar 2 jam. Waktu luang itu kamu
gunakan bersantai dan beristirahat. “kira-kira nanti aku di sana bisa kerja
sambilan enggak ya?” tanya Jay keheranan. “hahahahahahaha buat apa kerja,
udah sekolah aja kan duit kita juga udah banyak” saut Jason dengan tawanya.
“ya biarin aja enggak sih kalo emang Jay pengen kerja” kata Fey. “jangan lupa
bagi hasil lah Jay jangan ceraki wkwkwkwk” Vero dengan candaannya.

Tak terasa setelah berbincang dan beristirahat, pesawat kami sudah


siap terbang. Sehingga kami bergegas ke tempat yang telah ditentukan.
Penerbangan memakan waktu cukup lama. “gimana ya keadaan sekolah
sekarang? Apa bakalan jadi berita besar? Kalau kita bersembilan yang dituduh
bagaimana?” tanyaku dengan pikiran yang kacau. Vero yang mendengarpun
menjawab “Lohhh, kamu ini gimana, kalau kamu emang khawatir ya udah dari
kemarin kamu enggak usah ikut kita, di sini aja”. Walaupun kata-katanya
sedikit pedas, tapi karenanyalah aku tersadar bahwa aku hanya overthingking.
“udahlah Ren, kamu enggak usah OVT” itu buat apa, toh kita juga sekarang
udah disini, kita hadapin semuanya bareng-bareng bersembilan” Rasya yang
menimbrung percakapan kami membuatku semakin tenang.

Pesawat sudah take-off dan saat ini kami berada di ketinggian ribuan
kaki. “wahh, senang banget akhirnya setelah sekian lama aku ingin naik
pesawat kesampaian” kata Jay dengan gembiranya. Tak sengaja Fey
mendengar perkataann Jay “ya, perlu diperjelasih kita ini senang di atas
penderitaan orang-orang yang udah berubah jadi zombie”. “buat apasih kamu
ngomong kayak gitu? Enggak perlu kan? Emang ini kan udah takdir” jawab
Rendi yang sedikit berdebat dengan Fey.
Kami mendapat kesempatan untuk transit di Jepang. Betapa senangnya
kami terutama Jek dan Rasya karena mereka berdua mempunyai impian untuk
belajar ke negeri sakura ini. “huhhhhh, andai saja enggak ada kompetisi yang
Tama adain, aku pasti udah persiapan berangkat ke Jepang” “iya bener banget,
tapi mungkin ini udah jalan terbaik enggak sih, malah kita bisa pergi ke benua
lain” Jek dan Rasya berbincang-bincang mengenai ambisi lamanya.

“yuk guys, ini kita udah mau berangkat lagi, siapa yang belum di sini?”
aku yang mengingatkan teman-teman untuk segera. “ehhh bentar-bentar ini
Fey sama Jason kemana sih?” tanya Rendi. “halo, fey cepet ya, kita udah di
depan gate nih” tanpa banyak bicara Vero langsung menelfon Fey. Vero
memang orang yang sedikit judes tapi hatinya lembut.

Pesawatpun sudah take-off dari Jepang, selama perjalanan dari Jepang


menuju London sudah tidak transit lagi sehingga akan menjadi lebih cepat.
Kami lebih banyak menghabiskan waktu di pesawat untuk tidur.
Mempersiapkan petualangan kami yang tidak pendek di London nanti. “kamu
tau enggak Sah, masa nanti katanya dari bandara ke rumah kita sekitar 5 jam,
capek banget enggak sih” kata Jason secara tiba-tiba. “iya kah? Kalo gitu kita
harus siapin energy, belum nanti juga cari rumahnya, huhhhhh” jawab Isah.
“udah enggak usah pada ngeluh lu pada, orang kita juga tinggal naik” kata
Rasya.
BAB IV : London
Pesawat telah mengeluarkan pemberitahuan, bahwa sudah tiba di
London pukul 7 pagi. “guys, yuk turun jangan lupa barang-barang” kataku.
“iya-iya Ren, kamu sering ngingetin tapi barangmu sendiri suka ketinggalan”
ujar Vero dengan tawanya. Memang kemarin saat di Jepang aku hamper
kehilangan handphoneku. Aku memang sudah dikenal pelupa ulung. Bahkan
di sekolah, ahhhh jadi teringat sekolah.

Setelah kami mengurus imigrasi dan mengambil koper kami akhirnya


kami lanjutkan perjalanan kami dengan menyewa mobil sendiri. Mobil ini
adalah mobil camper van. “siapa nih yang mau nyetir duluan” tanyaku. “aku
dulu aja, nanti gentian deh kalo semisal aku ngantuk” jawab Rendi dengan
penuh semangat.

Memang tak disangka Rasya untungnya mengingatkan kami mengenai


Surat Izin Mengemudi Internasional. “untung kemarin kamu Sya, bilang soal
SIM inter ini” ujar Vero.

Tak terasa sudah dua jam setengah perjalanan kami lalui. “guys, ada yang mau
tuker engga? Aku ngantuk nih” keluh Rendi. “ya aku aja deh, aku juga tidur
terus” jawabku.

Wushhhh! Suara truk yang menyalipku dari kiri secara tidak aturan.
Aku otomatis terkaget karenanya. “gilakkk tu truk!!! Mau kita mati apa ya!”
sentakku dengan penuh emosi. “udah-udah yang penting kita semua masih
aman, fokus aja sama apa yang di depan” ujar Fey dengan penuh sabar. Fey
memanglah orang yang penyabar dalamm situasi apapun.

Tak terasa perjalanan sudah mau selesai, kami sudah akan sampai di
rumah kami. “bentar deh, kita belum makan berat, gimana kalo kita mampir
dulu di restoran deket sini” ajak Jek dengan penuh semangat. Karena kami
memang sangat lapar dan hanya memakan makanan ringan saja.

“sini aja nih food court gitu, jadi enggak cuma satu makanan aja” Isah
yang menunjukkan ponselnya. “ok, buka maps ya” ujarku.

Setelah kami selesai makan, kami bergegas berkunjung untuk pertama


ke rumah kami. Dan tibalah kami di rumah yang sudah kami beli “ini guys
rumahnya, kalau missal kurang cocok kita bisa aja pindah kok” ujar Jason
yang bertanggung jawab mengurus rumah. “ok, aku jelasin aja ya, ini ada 10
kamar tidur, dan semuanya kamar mandi dalam, ada dapur disetiap lantainya
dan bangunan ini terdiri dari 3 lantai” jelas Isah dengann teliti. “wahhh gila,
gila rumah ini mewah banget” kami bersembilan terkagum.

Selesai sudah kami memilih kamar. Di lantai 2 ada aku, Vkhero, Jek,
Jason, dan Rasya, sedangkan di lantai 3 ada Fey, Jay, Rendi, Isah. Malampun
mulai datang, kami memutuskan untuk membeli makanan pesan antar cepat
saji.

Rumah ini masih belum terorganisir dengan benar. Untunglah pemilik


lama meninggalkan furniture dan juga beberapa barang-barang yang masih
sangat layak pakai. “guys, guys aku ada ide nihhh, gimana kalo kita di rumah
ini bagi tugas aja” usulku. “boleh tu, biar semua tanggung jawab sama enggak
berantakan juga sih” ucap Rasya Nampak setuju. “gimana cara baginya, aku
rasa semua bakal pilih kerjaan paling enak” ujar Vero dengan seranggainya.
“undi ajaa, ngapa sih ribet” jawab Jay secara tiba-tiba.

Akhirnya kami mengundi dan terdapat tiga bidang membersihkan


rumah, mencuci baju, memasak. Untuk mencuci piring semua mengerjakan.
Hasilnya Vero, Rasya, dan Fey mendapat bagian membersihkan rumah. Aku,
Isah, dan Jason mendapatkan bagian mencuci baju. Rendi, Jay, dan Jek
mendapatkan tugas memasak.

“ok, ini semuanya udah sanggup ya, jadi aku dan kita semua enggak
mau denger kata males” kataku dan semuanya menyetujui itu.

Fajar telah menyingsing dan waktunya kami bangun dari tidur yang
nyaman. Kami melakukan tugas kami sesuai dengan kesepakatan. “seneng deh
kalo liat pada tanggung jawab sama tugas masing-masing” Fey yang
tersenyum manis di pagi hari.

“huuhhhhh, capek juga beres-beres rumah. Mana gede banget


rumahnya!!!” Vero yang bergumam dengan sedikit emosi. “kamu enggak
boleh gitu, kitakkan semua di sini saling timbal balik, kita bersih-bersih rumah
tapi ada yang masakin sama cuciin baju” kata Rasya sembari menyerahkan jus
jeruk.

“guys, kita harus belanja kebutuhan rumah nih, dan kayaknya


kedepannya kita butuh juga belanja bulanan” ujar Rendi. “ok sih kalo aku”
dan semuannyapun nampak setuju. “kami berangkat dulu ya, kalian udah list
kebutuhan kan? Kalo missal ada yang kurang nanti telepon aja” ujar Jay.
Kamipunn dengan kompak mennjawab “okay”.

Tak lama mereka kembali dari supermarket dan makan siangpun telah
siap. “guys ayo makan dulu, ntar sakit” teriak Jek dari arah dapur. Semunya
sudah berkumpul di meja makan, tetapi ada dua orang yang belumm datang.
“Fey sama Vero kemana?” tanyaku. “enggak tau, nanti juga kalau laper
kesini” ujar Jason yang acuh tak acuh karena sudah kelaparan.

Menjelang sore hari aku melihat bahwa halaman kami Nampak


rungkut dan hampa. “gimana kalo kita beberes taman? Biar enak gitu diliat”
ajakku. “ayuk aja sih” saut Jek. Kami akhirnya memutuskan untuk
membersihkan taman dan menghiasi dengan barang-barang seadanya. “bentar
deh si Jay kemana dah?” tanya Vero dengan tiba. Seperti yang ku katakana
Vero memang orang yang cuek tetapi ia juga memiliki hati yang lembut seperti
kapas.

“owhh, biasalah dia pingin banget buat cari duit tambahan lewat keahlian seni
dia” jawab Jason. Memang Jay sangat berorientasikan kepada uang dan tak
memperdulikan dimanna dia saat ini.

Malam telah menyelimuti kota London. Kami memutuskan untuk


makan malam bersama dengan menu yang lezat yaitu steak. Tidak bisa
dipungkiri kami sangat tidak memikirkan uang dan harga yang mahal pada
saat ini, karena duit yang berlimpah membuat kami semua angkuh.

“gimana udah siap belum semuanya besok ini kita bakalan sekolah”
tanya Rendi kepada kami semua. “ya siap engga siap sih” jawabku. “ia nih,
kamu jangan malu-maluin Jay belajar Bahasa Inggris yang bener lu” canda
Jek kepada Jay yang baru saja datang. “ahhhh, easy man, bisa lah gue”.
BAB V : Memulai Lingkungan Baru
Pagi mulai menyapa dan sinar matahari memasuki kamar kami tanpa
permisi. Semua sudah siap dan duduk di meja makan. “masak apa pagi ini?”
tanya Rasya yang memegangi perutnya tampak lapar. “ini khusus buat kamu
aku masak roti ganjel rel” gurau Jay kami di ruang makan tertawa lepas.

“kita naik bus kan berangkatnya, udah jam berapa ini? Ayuk
berangkat” Fey yang sudah panik karena takut hari pertamanya menjadi
kenangan yang buruk.

Waktu telah menunjukkan pukul dua siang. “enak juga ya sekolah di


sini, pulang enggak siang-siang heheheheh” gumam Jason. “gimana enggak
salah kan kita pegi kesini?” jawab Jek. “tapi gimanapun aku tetep kangen
sekolah di Indonesia” ucapan Fey membuat kami terkaget. “kenapa Fey, kalau
kita masih disana bisa-bisa kita udah dipenjara gara-gara si Tama” jawab yang
menyeringgai mengingat kejadian hari itu. “apasih ini malah sebut-sebut Tama
segala males gue denger namanya” Vero yang berjalan menuju halte dengan
cepat karena memang Vero sangat suka sekali pulang awal

Aku terbangun dari tidur siangku dan sudah disediakan makan malam.
Memang yang bertugas memasak sangat bekerja keras dalam hal ini.
“waaaaa……. Baunya enak sekali, makanan Indonesia lagi” ujar Isah yang
sedang menuruni tangga dengan terburu-buru. “iyaaa, ini edisi buat Fey yang
lagi kangen kampong halaman” kata Rendi. Fey hanya tersenyum dan berucap
terima kasih.

“guys, maaf banget tapi aku duluan mau ke kamar nih, ada beberapa
kerjaan yang harus aku selesaiin” kata Fey dengan posisi yang sudah berdiri
karena terburu-buru. Kami semua mengangguk “bentar deh, ini kemana lagi
si Jay enggak ada terus” tanya Rendi dengan penasaran. “yaaa biasalah, dari
sepulang sekolah tadi dia udah pergi ke China Town buat ngasih pertunjukkan
dan cari duit disana” jawab Isah yang tadi siang menerima pamitan dari Jay

Lagi dan lagi Jay memang gila uang. Ketika di Indonesiapun ia sudah
gemar mencari uang melalui bisni keluarganya sendiri. “pingin deh aku kayak
Jay, cari uang tambahan” Rasya yang nampak membayangkan akan banyak
mendapatkan uang. “udah enggak usah aneh-aneh, aku tau kamu orangnya
enggak konsisten Ras” kata Vero dan Rasyapun hanya tersenyum.

Keesokan harinya kami memulai sekolah kembali seperti biasa.


Memanglah sungguh sulit beradaptasi di negara baru yang notabene berbeda
bahasa dan budaya pertemanan. “halo, boleh kenalan engga?” aku yang
mendengar tersontak kaget “namaku Fakri, aku juga seangkatan sama kamu,
tapi beda kelas salam kenal ya” sembari ia mengacungkan tangannya dan
mengajak bersalaman “hai, aku Irene salam kenal juga deh” akupun membalas
jabatan tangannya. “ngomong-ngomong kamu tinggal dimana?” Fakri
bertanya dengan penuh rasa penasaran “owhh, aku tinggal di Bougenville
street” jawabku. “lohhh, kita tetanggan dong, aku Bougenville Street no 124,
kamu nomer berapa?” “deket juga rumah kita, aku di nomor 121” jawabku
“kalo gitu kapan yuk main bareng” “boleh banget sih, bareng temen-temenku”
jawabku dengan seringaian tawa.
BAB VI : Siapa dia?
Tibalah diakhir pecan di hari minggu. Tandanya rumah sudah perlu
dibersihkan, untuk membersihkan rumah di hari minggu kami memutuskan
untuk bersama-sama. Pertanyaan yang selalu ada dibenak orang lain mengapa
tidakk menyewa pembantu saja, kan punya banyak uang?. Alasan kami tidak
lain tidak bukan untuk menutupi rahasia kami ini rapat-rapat. Kami berusaha
untuk hidup disini mandiri dann tidak bergantung pada orang lain.

“vacuum cleanernya tiap lantai ada dua ya” ucap Rasya sembari
menyuruh kami untuk memulai pekerjaan. Semuannya tampak mengerjakkan
pekerjaan ini dengan senang hati dan tanpa beban sedikitpun, karena Jek telah
menjanjikan ayam gooreng krispi merek terkenal beserta es krim oreo favorit
kami semua.

Aaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkk!!!!!!! Suara jeritan kami dengar dari


lantai satu. Kami bergegas berlali ke arah lantai satu. “ada apa, kok teriak”
ujarku dengan panik. “iniiiiii, aku enggak kuat ngomongnya” Isah yang sudah
tampak lemas. “gilaaaa!! Siapa yang udah nulis kayak gini” tanya Rendi
dengan penuh emosi. Kamipun segera melihat apa yang ada di dalam kotak
itu. Dalamnya tertulis I will kill you Rene.

Untuk membicarakan masalah ini kami berkumpul di ruang tengah


lantai satu. Rendi sebagai pemimpin di rumah ini memulai pembicaraan “ok,
tanpa bertele-tele lagi siapa yang udah iseng nulis kayak gini?” aku pribadi
masih shock dengan apa yang baru saja terjadi, terpampang jelas namaku di
dalam kardus itu. Paling parahnya tulisan itu ditulis dengan darah.

“kalau emang niatnya iseng jangan berlebihan kayak gitu dong” kata
Vero dengan emosi. “kamu kan Jay yang ngelakui? Jadi orang isen banget sih”
tuduh Jason. “lahhhh, aku aja jarang di rumah bisa-bisanya kamu nuduh aku
kayak gitu” sangkal Jay. “jangan kayak gitulah Jas, kamu ini nuduh-nuduhin
orang, gimana kalo kami yang dituduh?” Fey yang menasehati dengan sabar.

“ya udah gini aja, ini kan cuma masalah iseng-iseng sepele kan, yang penting
enggak usah diulangin dan pake-pake namaku ya” ujarku

Setelah makan malam berakhir aku pergi ke teras lantai dua sendirian
dan meratapi belakang rumah kami yang berada dari ketinggian. “kenapa
Rene, masiih kepikiran yang tadi ya? Enggak usah takut itu pasti Cuma iseng-
isengan anak-anak sini atau bahkan emang orang yang tinggal disini dulu
namanya Irene” kata Fey yang berusaha menenangkanku. “iya mungkin Fey,
aku harap kayak gitu, aku jadi inget kata-katamu kalau kangen Indonesia,
mungkin sekarang aku lagi merasakannya” sembari Fey memelukku hangat.
Fey memanglah sahabat yang mengerti tentang kesulitanku saat ini.

Menjelang pagi kamipun melakukan aktivitas kami sehari-hari.


Memanglah benar bahwa tinggal bersama dengan pribadi yang berbeda-beda
bukannlah hal yang mudah. Selalu ada saja konflik hari lepas hari mulai dari
konflik kecil dan besar. Seperti pagi ini aku berselisih dengan Rasya karena
dia tidak meletakkan kembali barang-barang di dalam kulkas yang sudah
diatur. Jek melerai kami dan masalahpun selesai.

Setiap pagi kami memang selalu sarapan bersama di ruang makan.


“gimana ya, kenapa aku kepikiran soal terror kemarin??? Kalo missal aku juga
kena terror gimana?” Jay yang Nampak dari rautnya pun ketakutan. “halah,
inikan masih pagi kok kamu udah ngomongin itu sih” Isah yang menanggappi
perkataan Jay dengan tidak senang. “iya bener tu Isah orang masih pagi juga”
Fey yang Nampak setujupun menanggapi pembicaraan mereka, sedangkan
yang lainnya sedang bersiap-siap untuk menuju ke sekolah
Tiga puluh menit kemudian kami sampai di sekolah. “haiiiiiiii!!” teriak
seseorang yang suaranya Nampak tak asing. Ternyata itu adalah Fakri. Fakri
memperkenalkan diri kepada kami karena kemarin Fakri hanya berkenalan
denganku saja.

“namaku Fakri aku seangkatan dengan kalian, tapi hanya beda kelas?”.
Kamipun memperkenalkan diri kami masing-masing. “wahhhhh, seneng deh
bisa ketemu orang Indonesia di sini”.
BAB VII : Alasan Pindah
Hari terus berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah dua minggu kami
tinggal di London. Hari ini adalah hari minggu, menandakan bahwa kami
harus melakukan pembersihan rumah secara bersama-sama.

“udah jadi beli barang buat bersih-bersih di supermarket kan Jek?”


tanya Vero memastikan. “owhhh, udah aku taruh di gudang itu”. “ok, aku aja
yang ngambil” ujar Fey. Memang tidak seharusnya Fey mengambil barang-
barang itu sendiri, tetapi Fey Nampak memaksa dan ia sangat ingin sekali
mengambil barang-barang itu.

Kami membersihkan rumah dari pagi hingga tak terasa matahari sudah
tenggelam. Tidak heran karena rumah kami yang besar dan tanpa pembantu.
“kenapa sih kita enggak cari pembantu atau tukang kebunlah minimal” wajar
jika Vero berbicara seperti itu karena dia mendapat bagian utama untuk
membersihkan rumah. “kamu gila ya, kalo kita nyewa pembantu atau apalah
itu, bisa kebongkar semuanya” jawab Rendi dengan nada sedikit meninggi.
“ya sorry nih aku capek banget ngurusin nih rumah”.

“udah enggak usah rebut, kan kita juga udah dapet tugas masing-
masing” Rasya yang mencoba melerai mereka.

Krukkkk!!!!!krukkk!!!!!!

Suara perut Jay sudah terdengar, kami memang sedari tadi hanya
bersantai di ruang TV untuk menikmati film yang kami pilih sembari
memakan camilan. “gimana kalo kita pesen makanan fast food aja lagian kita
semua udah capekkan???? Itung-itung untuk menutup minggu ini. Semua
tentu saja setuju siapa yang tidak mau.
Empat puluh lima menit kemudia makanan yang kami pesan sampai.
Kami menikmati makanan itu sembari menonton film serta berbincang-
bincang.

Ting!!!!Tong!!!!!!!!

“ada yang pesen makanan lagi emang?” tanyaku bingung

“engga sih, udah aku bukain aja” Jason yang bergegas berlari menuju
pintu utama

“halo, maaf menganggu nih, aku mau kirim kue ini, barangkali kalian
suka”dan rupanya itu adalah Fakri. “ahhhh iyaaa, makasih banget yaaa, ayo
masuk aja” Jason yang ramah mempersilahkan fakri masuk ke rumah kami.

Kami seisi rumah sontak terkaget akan kedatangan Fakri. “hallo semua
maaf ya aku ganggu, ini aku mau kasih kue ini, semoga kalian suka yaa”
Terlihat dari geraknya ia Nampak ingin pulang karena merasa menganggu,

“ehhh kamu, udah sini gabung aja sama kita, itung-itung perkenalan
juga” ajak Jay yang sedang mengunyah ayamnya dengan lahap. Kamipun
menyamut Fakri dengan hangat. “ngomong-ngomong kok kamu bisa kesini?”
tanya Rendi. Sebenarnya aku sudah tau Fakri adalah tetangga kami dann aku
memberikan alamat kami. Tapi aku takut apabila aku mengakuinya mereka
akkan marah kepadaku.

“aku memang tinggal disini, rumahku hanya selisih tiga rumah dengan
kalian”. Sungguh aku sangat takut apabila Fakri berkata aku yang memberikan
alamat rumahnya. “aku juga tadi lihat Vero sedang ada di halaman, jadi aku
coba ketuk aja” jawab Fakri dengan penuh senyuman.

Sebetulnya tidaklah masuk akal. Karena bagaimana Fakri bisa yakin


dan tahu sehingga ia membuatkan kami kue sebagai hadia kepindahan kami.
Sampai dimana pertanyaan yang kami takutkan. “kenapa kalian bisa
pindah kesini?”. Rendi mengatakkan alasan“karena memang beasiswa dari
sekolah” dan diwaktu yang bersamaan Vero mengatakkan “kami hanya ingin”.
Kami sangat bingung dan takut. “gini, jadi ini adalah beasiswa sesuai apa yang
kami inginkan” Fey mencoba untuk meluruskan. Fakripun menanggapi
denggan anggukkan.

Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam yang berarti Fakri


harus pulang dan kami harus beristirahat untuk kami pergi ke sekolah besok.
“aku pulang ya, byeee” fakri yang melambaikan tangannya. Akupun
mengerjar Fakri yang berjalan keluar dengan alibi ingin menemaninya saja.

“thanks ya” fakri yang Nampak kebingunan mengapa aku


mengucapkan terima kasih. “buat apa? Kue? Santai aja kali”

“itu juga, tapi ada satu hal lagi”

“ada apa? Rene”

“makasih, buat enggak ngomong kalau kamu tau rumah kami di sini dari aku”

“ahhhh itu, santai ajaa, tapi emang kenapa kalau aku tau alamat rumah kalian
dari kamu?”

“enggak papa, Ri udah pulang gihhh, udah malem, bye”

Aku masuk ke dalam rumah. Kami mengurungkan niat kami untuk


beristirahat karena kunjungan Fakri ke rumah. “sekarang kita harus apa, Fakri
udah tau rumah kita dan dia tau kalau kita hidup tanpa orang tua disini” tanya
Jek yang panik.

“cepat atau lembat orang-orang bakal pada tau kan?” Vero Nampak pasrah.

“ya emang sih, tapikan engga buat sekarang”ucap Rendi


“apa iya kita pindah rumah aja?” aku memberikan saran dan juga disertai rasa
takut bila merek tahu Fakri mengetahui alamat rumah ini dari aku.

Kami terkejut ketika tiba-tiba melihat Fey terkejut.

“ada apa Fey???” tanya Isah

“sekarang kalia buka link deh yang aku share di grup”

Kamipun segera membuka grup. Seperti dugaan kami bahwa berita mengenai
sekolah kami akhirnya tersorot sampai ke luar negeri. Hingga saat ini pihak
berwajib tidak diketahui siapa dalang dari semua ini. Aku terfikir bagaimana
jika Fakri mengetahui berita ini dan bertanya kepada kami.

Benar saja Fakri mengirim pesan kepadaku dan bertanya mengenai


kejadian yang menimpa di sekolah kami. Aku bingung bagaimana cara
menjawabnya. “aku enggak tau soal itu, karena waktu itu kami sibuk
mengurus kepindahan kami kesini” menurutku itu adalah jawaban yang aman
untuk menjawab rasa penasaran Fakri.

Akupun tertidur hingga pagi menjelang. Arkkkkkkkkkkk!!!!!!! Semua


orang yang ada di rumah itu sontak terkejut.

“ada apa Rene???” tanya semua orang

Aku langsung menunjukkan apa yang telah aku temukan. Kotak yang
berisikan bangkai burung mati dengan darah yang mengalir berada di depan
pintukku. “ok, sekarang kita bersihin ini nanti kita bicara waktu pulang
sekolah, yang tidak hadir berarti kita anggap dia menghindari.”
BAB VIII : Siapa Lagi???
Aku tak habis-habisnya memikirkan apa yang telah terjadi di rumah
kami. Terutama apa yang baru saja aku temukan tepat di depan kamarku. “ini
es krim” Fakri yang menyodorkan satu buah es krim vanilla.

“kenapa kayak kosong gitu pikiranmu?”

“emmm, enggak papa aku Cuma lagi homesick aja”

“owhhh, biasa sih, semoga cepet sembuh dehhh” ujarnya dengan penuh
senyuman..

Waktunya pulang sekolah dan kami melakukan rutinitas kami


sepulang sekolah. Sampai waktu makan malam tiba

“ok, kita mulai aja pembahasan tadi pagi, jadi siapa lagi yang jail?” tanya
Rendi dengan sedikit keras.

“siapa coba yang pagi-pagi bangt udah bangun, aku yakin dia pasti orang yang
udah terlatih?” sanggah Isah.

“jangan-jangan kamu lagi Jay?? Kamu kan yang udah pergi-pergi” tuduh
Rasya kepada Jay.

“ngaco kamu, mana ada aku, aku aja fokus kerja”

Ini bukannlah pembahasan yang main-main menurutku ini sudah


mengancam nyawa kami satu rumah. “aku enggak tau ini siapa, tapi ini udah
membahayakan orang serumah loh” Fey juga tampak panik. Aku tidak bisa
berkata apa-apa makanpun tak minat hari ini.

“ya, kita lihat aja deh” Vero terlihat sangat santai


“ver, kamu ya??? Kamu dari kemarin yang paling santai kayak enggak
ada beban” tuduh Rendi kepada Vero. Jarang sekali Vero pasrah dan tidak
melawan tuduhan Rendi kepadanya. Rasya yang takut Vero marah mencoba
menenangkan terlebih dahulu, tetapi nyatanya Vero tidak marah.

“inget ya, ini jangan sampai ke sebara ke orang luar rumah ini, bisa
mampus kita” ujar Rendi yang sangat menjaga rahasia. “Ren, sorry banget,
tapi bukan kamu kan? Soalnya dari kemarin kamu yang selalu coba-coba
untuk menutupi semua ini” kata Isah dengan hati-hati

“enggak papa Sah, kalau kamu beranggapan ke aku seperti itu, tapi nyatanya
aku memang enggak nglakuin itu”.

Kami berunding sampai dititik dimana Vero mengeluarkan amarahnya


“aku tau siapa yang busuk disini, tapi ini bukan waktu yang tepat, camkan itu”.
Jek yang juga mencoba untuk menenangkan Vero tidak berhasil. Tiba-tiba
celotehan Jason yang tidak masuk akal keluar “gimana kalau kita lapor
polisi?”

“apa? Polisi? Bisa-bisa kita semua ditangkep kali” jawab Jekk

“ehhh iya juga yaa, ya udah berarti emang harus kita selesaiin dengan kepala
dingin”

“tumben jas, kamu bener” celoteh Jay dengan penuh gurau.

Sampai waktu menunjukkan pukul sepuluh malam kami belum


menemukan titik terang. Memang pepatah mengatakkan tidak ada maling
teriak maling itu benar. Tetapi kami disini sudah mulai menuduh satu sama
lain. Yang aku takutkan adalahh bagaimana jika kita berselisih dan tidak bisa
bersama?
Maka dari itu, aku sedari tadi hanya bungkam agar tidak menyulut
amarah siapapun. Sulit rasanya untuk mengontrol emosi ditambah lagi aku
yang biasa sendiri di rumah sekarang tinggal bersama dan dihadapi masalah
yang bertubi-tubi seperti ini. Aku kira masalah yang kemarin sudahlah selesai.

Dititik seperti ini rasanya aku ingin pulang dan bertemu orang tuaku
untuk menceritakan sesungguhnya apa yang terjadi. Perasaan marah, malu,
kesal, merasa bersalah menjadi satu sekarang. Kami semua disini menjadi
hilang arah. “kalau kita Cuma berdebat-debat kayak gini dari tadi masalah juga
enggak akan selesai, mending sekarang kita pikirkan dengan kepala dingin
langkah tepa tapa yang harus kita ambil kedepannya, ini juga udah malam
yukk istirahat aja” ajak Fey yang mencoba menenangkan kami semua.
BAB VIII : Mengapung
Tak terasa sudah masuk ke akhir pekan. Selama lima hari kemarin
kami sangat sibuk akan urusan kami masing-masing. Karena mulai minggu ini
kamu sudah aktiv di kegiatan ekstrakulikuler sekolah. Kami akhirnya Nampak
bisa beradaptasi walaupun aslinya kami rindu kampong halaman.

“besok weekend nih emang kita engga mau liburan gitu?” ajak Rasya
yang nampaknya sudah bosan di rumah. “boleh juga idenya, mumpung ini
masih jumat jadi kita bisa rencanain mau liburan kemana” Vero yang juga
sangat antusias menyetujui ajakan Rasya.

“sorry guys, aku enggak bisa ikut deh kalo sabtu minggu ini, aku ada
kerjaan nih di China Town” Jay memanglah orang yang gigih dan gila uang.
Setiap ada waktu luang dia selalu mencari uang.

“its okay, bisa lain kali kan” jawab Fey.

Tanpa berlama-lama kami langsung memantapkan bahwa kami akan


city tour di kota London. Banyak sekali destinasi yang akan kita kunjungi.

Rasanya memang aneh bahwa kami meninggalkan masalah kami yang


belum selesai dan menutupnya dengan liburan. Tetapi hitung-hitung untuk
mendinginkan kepala.
“wahhhh kalo mau ke London Eye, haru malem ini, biar tambah kesan kota
Londonnya” ujarku yang sangat bersemangat.

Kami memutuskan berangkat dari rumah pukul tujuh pagi agar tidak
terjebak macet. “gimana barang-barang dan jajanan amankan??? Jangan
sampai ada yang tertinggal” ingat Isah.
Mau bagaimanapun juga kamu bersyukur karena kami masih bisa berlibur.
Dari rumah menuju London memakan waktu hamper empat jam. Selama di
jalan kami tampak riang dan kadang mengantuk. Ada hikmahnya kami pergi
ke London yaitu mempererat kekeluargaan kami.

Setelah empat jam perjalanan kami lalui sampailah kami di hotel yang
telah kami pesan. Kamarnya yang elegan dan mewah serta makanan yang
disajikan bukanlah makanan murah. Kami menempati kamar kami masing-
masing satu orang menempati satu kamar. Uang bukanlah yang besar bagi
kami saat ini.

Benar sesuai saranku malm itu kami menghabiskan malam disekitaran


London eye. Banyak sekali turis-turis yang datang sehingga sangat ramai.
“laper nihhh, makan yuk” ajak Vero. Kami yang sudah lapar tentunya sangat
setuju dengan Vero.

Kami memutuskan untuk berhenti di resto bintang lima yaitu coneor’s


kitchen tempat itu menjual seluruh masakan khas Italia. Kami memesan
beberapa pizza dan pasta kesukaan kami semua. “kapan-kapan harus balik
kesini lagi sama Jay sih” ujar Jason yang sedikit sedih. Memang Jason dan Jay
sering berantem tetapi ketika dijauhkan mereka Nampak rindu satu sama lain.

Kami menghabiskan banyak waktu di siang hari dengan berkelilingi di


Kota London ini. Waktu menunjukkan pukul 12.00 dan kami sudah sampai di
London Bridge. London bridge yang kami kira hanya sebuah jembatan biasa
ternyata bukan sembarang jembatan, di samping jalan jembatan itu terdapat
lintasan pejalan kaki yang dapat kami lewati. Kami memutuskan untuk
berjalan di atas jembatan itu sembali menikmati es krim yang kami beli di
restoran khusus es krim.
Berjalan-jalan santai di sepanjang jembatan London yang terkenal itu.
Tak pernah terbayangkan bahwa aku akan bersama teman-temanku melewati
jembatan ini. Namun semua kesenangan itu berubah ketika.

“astagaa!!!!!!!!” jerit Jek ketika itu.

“ada apa ada apa” kamipun ikut panic.

“hahhhhh, ada mayat mengambang!!!!” teriak rendi.

“sttttttttt, diam nanti kalo kita yang nemuin kita akan ditanya-tanyai” ujar
Rasya.

“guys guys, kalian sadar engga? Kalo itukan mayatnya Tama” celetuk Fey
yang di luar dugaan.

Kamipun mengamati mayat yang mengambang di atas sungai itu. Benar saja
bahwa itu adalah mayat Tama.

“bagaimana bisa Tama sampai disini itu enggak masuk akal” ujarku.
Tetapi akhirnya kami meninggalkan mayat Tama dan membiarkannya
mengampung. Kami masih ingin mencari aman saja, karena apabila kami
menyelamatkannya hidup kamipun terancam.

Malam mulai tiba dan kamipun berada di hotel saja setelah kejadian
tadi. Setelah makanan malam kami memutuskan untuk kumpul bersama. “ayo
guys kita kumpul di kamarku untuk membicarakan hal tadi” ajak Isah.

“langsung saja ke point pembahasannya ya” seperti biasa Rendi yang


selalu memulai pembicaraannya.

“aku masih enggak percaya kalau ini terjadi, mayat Tama bisa sampai disini”
aku yang memulai pembicaraan.
“kalau dipikir-pikir ini semua bisa dihubungkan dengan kejadian di rumah
kita” Vero yang ikut berbicara dengan spontan.

“kok kamu bisa mikir kayak gitu Ver? Jangan-jangan kamu lagi yang
ngelakuin semua ini?” Fey yang biasanya sabar dan bijak tiba-tiba berkata
seperti itu. Kami semua terkejut dengan apa yang diucapkan Fey.

“eh Fey, asal kamu tau ya, aku tau kebusukanmu cuma aku masih menunggu
waktu yang tepat”

“kalau memang aku, kenapa kamu enggak ngomong sekarang”.

Suasana semakin memanas mereka beradu mulut sampai


“udah!!!!!!!!!, kalo kalian beradu mulut seperti itu semuanya tidak akan
selesai, malah tambah meperkeruh suasana” aku juga membalas dengan nada
yang tinggi. “iya udah deh, stop dulu kita lanjut saja besok malam ini malah
menjadi semua tersulut emosi dan tidak ada jalan keluar” Jek yang melerai
kami semua. Kami memutuskan untuk beristirahat dan kembali ke kamar
masing-masing karena besok masih terdapat rangkaian tur yang akan kami
jalani.

Pagi telah menjelang, kami bersiap-siap untuk pergi ke destinasi wisata


terkahir sebelum kami pulang menuju ke rumah dan kembali melakukan
aktivitas. St. James’s Park adalah destinasi terakhir kami, rencana kami di
sana akan melakukan piknik di taman dengan menikmati makanan ringan
sembari menikmati suasana taman yang sesungguhnnya.

“wahhhhhhhhhh, akhirnya kita sampai di taman ini enak banget yang


tempatnya” Jason yang sangat menyukai taman dan menikmatinya. “iyanih,
cuacanya juga pas” ujar Isah.
“kalian berdua jangan diem-dieman gitu dong bikin vibesnya jadi enggak enak
nihh” Isah yang mencoba mencairkan suasana. “iya dehhh” jawab mereka
berdua.

Kami mulai menyeduh mie instan yang kami bawa dan membuka
beberapa camilan yang telah kami bawa dari supermarket tadi. “bau apa ini
yaa? Enggak enak banget kayak bau bangkai” ujar Fey sambil menutup
hidungnya.

“lahhh iya ya, ini bau apa sih?” aku yang juga mulai menyadari. Semuanya
pun mulai mencium bau yang sama.

“bentar-bentar aku cari dulu sumbernya” Rendi yang berdiri dan mencari
sumber baunya.

“guys, sini-sini buruan” Rendi yang tampak panik dan tidak biasa memanggil
kami.

Benar saja ada mayat lagi dan lagi, sesosok perempuan dan setelah
kami balik badannya kami mengenalinya bahwa itu adalah Lea. Lea teman
sekolah kami yang sudah terkena virus zombie. “ini harus kita apain mayatnya
coba, bisa-bisanya juga dia ada di sini” ujarku dengan penuh penasaran dan
tidak tau apa yang harus aku lakukan. Tanpa aba-aba Rasya langsung
menendang mayatnya ke sungai. “kamu ini ngawur banget, gimana kalo sidik
kamu ketawan sama polisi” ujarku panik,

Kami memutuskan untuk segera pulang dan menghapus segala jejak-


jejak yang kami buat. “yok guys, buruan beres-beres ya” ujar Rendi. Kamipun
segera bergegas pergi dari pusat Kota London dan pulang menuju ke rumah.
Kami menaiki mobil kami sendiri tetapi rasanya di dalam mobil semua tampak
canggung dan tidak seperti biasanya.
“apa yang bakal kita lakuin setelah ini???” tanya Jek

“yang pasti kita harus cari siapa pelakunya, karena itu sumbernya” jawabku
tanpa semangat.

“aku percaya kalo pelakunya diantara kita sih” Vero yang tiba-tiba menyeletuk

“tapi, sebenernya kalo dipikir-pikir memang iya pelakunya diantara kita,


karena yang mengerti keberadaan kita kan ya Cuma kita” Fey yang langsung
menanggapi.
BAB IX : Whats Next?
Lima jam perjalanan kami tempuh dengan bergantian menyetir
disepanjang jalan. Kejadian yang baru menimpa kami itu membuat energi
kami juga terkuras. Akhirnya sampai di rumah juga. Betapa terkejutnya aku
yang pertama memasuki rumah.

“guys!!!!!!!! Liat ini ada yang berantakin ruma kita” teriakku yang tentu saja
mengundang teman-temanku.

“ini udah enggak beres sih, sekarang kita cek seisi rumah, pastiin kalo aman
dan kita langsung istirahat dulu aja ya” perintah Rendi yang mengarahkan
kami

Di saat seperti ini aku sangat ingin pulang ke rumah dan memilih untuk
berkumpul dengan keluarga, tetapi apa boleh buat. Aku termenung duduk di
atas kasurku sembari menonton youtube. Tiba-tiba Tokkkk!!!!! Tokkk!!!
Tok!!!!!!!!!!! “iya sebentar” sautku. Akupun langsung bergegas membukakan
pintu.

“ada apa ni Sya, Ver” tanyaku keheranan.

“boleh kami masuk enggak?” ujar Rasya.

“iya boleh”

“jadi gini, aku ingin menyampaikan apa yang harus kusampaikan, maaf
menganggu waktu istirahatmu” ujar Vero

“iya, masalah terror ini pelakunya ada diantara kita semua, tapi entah kalo
kami sebut pelakunya apa orang lain akan percaya?” tanya Rasya
“gini Sya, Ver, aku pribadi masih abu-abu soal itu, enggak ada barang bukti
yang menunjukkan itu semua siapa yang ngelakuin” ujarku.

“dan mungkin kalo kalian liat orang itu sedang melakukannya, cari dan
ambilah barang bukti terkuat”

Hari telah berganti, dan tentu saja ini adalah hari senin yang berarti
kami harus berangkat ke sekolah. “guys ayok sarapan” seperti biasa Jek selalu
menyiapkan kami sarapan. Suasana di meja makan Nampak sangat canggung
dan hening, sampai akhirnya kami memutuskan berangkat dan sampai di
sekolah.

“Irene!!!!!!!” suara yang tidak asing ditelingaku.

“haiii Fakri” jawabku

“kamu kemarin kemana aja? Rumahmu sepi banget padahalkan aku pengen
main bareng”

“owhh, weekend kemarin aku pergi sih semua orang ruamh, kami liburan di
pusat kota London”

“asikkk banget, kapan-kapan aku ikut dongg”

“iya deh pasti”

“ohya Fakri, kemarin kamu liat ada orang aneh ke rumahku enggak?”

“hahhhh, orang anehh?? Enggak tu, emangnya ada apa?”

“owalah yaudah deh Kri kalo enggak ada berarti rumah aman kan”

“iya amannn kok”

Tak terasa waktu sudah menunjukkan untuk pulang sekolah. Kami


pulang tepat waktu dan segera makan siang. Sembari makan siang kami
melihat Tv bersama. Tak disangka-sangka berita penemuan dua mayat
kemarin tersiarkan di televise.

“nahhh kan bener, mayatnya ditemuin” ujar Isah.

“ya iiyalah, orang di tempat umu gitu” ujar Jason yang santai.

“kalo dipikir-pikir berani juga dia bermain-main di tempat publik seperti itu”
tawaku sinis.

Saat ini kami berkumpul lagi di ruang santai untuk membicarakan


perihal terror ini.

“bukannya aku ingin menuduh, tapi kenapa dari kemarin kamu nampak santai
aja ya Ver?” ujar Fey dengan nada yang lembut tetapi menusuk.

“aku saat ini tidak mau membantah dan aku akan tetap pada pendirianku,
mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya”

“bukti?” tanya Rendi

“ya bukti aku dan Vero sudah menemukan titik terang tapi kami enggak akan
nyebut dulu karena itu tidak akan menjadi jalan keluar untuk saat ini” Nampak
sekali bahwa Rasya dan Vero bekerja sama dengan keras Dalam hal ini.

Kami memulai hari kami seeperti biasanya. Yang tak biasa ialah Fey
dan Vero yang semakin perang dingin hari lepas hari. “ver, udahlah jangan
diem-dieman terus” ujarku.

“kok Cuma aku aja sih yang disuruh menyudahi, dia juga dong” Vero yang
tampak enggan menyebut nama Fey.
Kamipun berangkat ke sekolah. Seperti biasa aku yang sedang di
cafeteria bersama Fakri “kamu tau enggak sih, ada temuan mayat lho di St.
James Park, dan yang lebih kaget lagi itu mayatnya orang Indonesia”

“ohhh iya, hmmmm tapi ak engga tau sih kelanjutannya gimana” jawabku
dengan lesu. Karena jujur aku tidak bisa mengatakan banyak menganai
kejadian itu takut salah bicara dan teman-temanku memarahiku.

“eh bentar-bentar, katanya kamu kemarin ke sanna ya?”

“hahh, oiya tapi aku enggak liat mayat itu kok bahkan enggak ada baunya, kita
Cuma piknik biasa” jawabku dengan gugup.

“kamu kenapasih hari ini keliatan lesu, lagi sakit ya?” tanya Fakri yang
melihatku beda dari hari-hari sebelumnya.

Jujur saja bahwa aku sangat kepikiran mengenai kejadian yang sedang
kami alami. Diriku berpikir bahwa pasti ada dari salah satu diantara kami yang
melakukan terror itu. Tapi atas alasan apa??? Kami datang ke sini juga dengan
kesukarelaan bersama.

Siang hari sepulang sekolah kami langsung pulang ke rumah kami.


Disana Nampak tak seperti biasanya. Biasanya kami makan dipenuhi dengan
senda gurau dan tawa. Ditambah personil kami bisa dibilang hilling satu
karena Jay saat ini sangat sering pergi ke China Town untuk mencari uang
disana.

Suasana hari lepas hari semakin tidak mengenakan karena semuanya


menjadi curiga satu dengan yang lainnya.
Bab X : Kapan ini akan berakhir?
Pagi hari yang cerah kami tentu saja melakukan rutinitas kami, yaitu
berangkat ke sekolah sepeti biasa. Entah mengapa suasana rumah menjadi
lebih mencair saat ini.

“ayok guys berangkat, busanya lima menit lagi sampai” ajak Rendi dengan
memberikan kode menggunakan tangannya.

Sekolah telah usai dan kami pulang ke rumah. Aku memasuki kamarku
dan aku terkejut dan sontak berteriak aaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!.

“ada apa Ren, ada apa” semuannya langsung menuju ke kamarku.

“guys, liat deh ini dikacaku, ada tulisan kayak gini” sambil aku menunjuk kea
rah kaca yang sudah diitulisi ‘kamu sumber masalahnya’ dengan darah entah
darah siapa.

“aku rasa ini sudah semakin parah, apa yang harus kita lakukan?” tanya Isah.

Kamipun memutuskan untuk membersihkan kacaku dan turun ke


ruang bersantai.

“kalau sudah seperti ini mari kita membuat pernyataan diri saja” ajak Rendi

“iya setuju” ujarku dan yang lain.

“dimulai dari Irene saja” tunjuk Rasya

“oke, intinya aku bukannlah yang melakukan dan aku tidak mau menujuk
siapa-siapa toh juga kamarku yang dijadikan tempat terrornya, itu GILAAA”
ujarku dengan sedikit emosi.

“tapi bisa aja kan kalo kamu yang melakukannya” tuduh Vero dengan
seenaknya.
“ya memang bisa tapi nyatanya itu bukannlah aku dan kamu Vero aku harap
kamu mengerti, karena kamu yang mengatakan sendiri bahwa kamu sudah tau
mengenai ini semua” jawabku yang mencoba menahan emosi.

Selanjutnya giliran Rendi yang berkata “aku, akan berusaha sejujur


mungkin, aku tidak masalah bila kalian menuduhku tapi tolong ada dasar dan
buktinya kalian menuduhku”

“ok, kenapa kamu keliatan takut mengenai keberadaan kami yang akan
diketahu oleh orang lain?” tanyaku

“ya itu juga demi kebaikan kalian kan, apa kalian mau kita ditangkap dan
dipenjarakan?”

Tentu saja itu adalah mimpi buruk yang sama sekali tidak kami inginkan.

Semuanya memberikan pernyataan dan yang terakhir ditutup oleh Fey


yang tentu masih perang dingin dengan Vero. “gini, apapun tuduhan kalian
aku akan terima asalkan itu tidak asal-asalan”.

“udahlah Fey Fey enggak usah sok membenarkan diri” ujar Vero

“Ver, jangan-jangan kamu lagi yang ngelakuin?” ujar Jason tiba-tiba.

“jangan sembarangan kamu, kalo memang tuduhanku benar selama ini lihat
saja nanti” senyum tipis yang Vero berikan membuat kami semua panik. Entah
panik takut ketahuan ataukah nanti aka nada sesuatu yang dilakukan dengan
lebih kejam dan diluar nalar.

Kami berdiskusi hingga larut malam dan Rasyapun mengatakan.


“siapapun kalian tolong jangan main-main sama nyawa kami” dan kami
semuapun Nampak mengangguk-angguk tanpa terkecuali.
Kami memutuskan untuk segera tidur karena besok masih hari sekolah
kami. Sejujurnya aku sendiri takut mengenai terror ini apabila mungkin saja
terror ini kelewatann batas dan apa yang tidak kami inginkan terjadi.

Keesokan harinya aku pergi ke sekolah dan bertemu dengan teman-


temanku. Kami mengikuti pelajaran seperti biasa. Aku memutuskan untuk
pergi ke toilet karena aku terus menerus melamun dan berniatan untuk
mencuci mukaku saja dan segera kembali.

“keliatannya kamu semakin lesu hari-hari belakangan ini” entah dari mana
munculnya Fakri itu.

“ehhhh, kagettt kamu tiba-tiba muncul”

“jadi gimana pertanyaaku yang diawal tadi?” tanya Fakri sekali lagi.

“ya memang kondisiku sedang tidak baik-baik saja” jawabku dengan kepala
yang menunduk.

“kalau dipikir-pikir apa hubunganmu dengan penemuan mayat-mayat itu,


semenjak mayat itu ditemukan kamu menjadi murung apa kamu teman
dekatnya?”

Gawat!!!!! Dalam hatiku, pertanyaan dari Fakri yang diluar ekspektasiku.


Bagaimana jika teman-temanku mengetahui hal ini terutama Rendi.

“udahlah engga usah ngomongin itu lagian aku juga enggak ada hubungan
apa-apa sama kejadian itu” jawabku.

“oke lah kalo gitu, kamu balik lagi aja deh ke kelas”

“byee” aku melambaikan tanganku sembari kembali ke kelas.


BAB XI : Pengkhianat?
Hari ini sangat terik sekali suasana di sini dingin tetapi matahari sangat
terik. Fakri mengajakku untuk pergi bersantai ke sebuah kafe sebentar. Kami
juga akan belajar bersama dan mengerjakkan tugas-tugas kami. Akupun
berpamitan kepada teman-temanku bahwa aku akan pergi sebentar dengan
Fakri.

Aku dan Fakri mengendarai mobil yang dibawa Fakri seperti biasanya.
Setengah jam kami sampai di kafe yang kami tuju.

“mau pesen apa?” tanya Fakri

“aku mau caffe latte aja sama French fries”

Fakri yang langsung memesankan pesanan kami dan kami segera duduk
bangku yang nyaman untuk mengerjakan tugas kami. Entah mengapa aku
merasa ketakutan apabila Fakri menanyai hal-hal yang menyangkut rahasia
kami selama ini.

“Irene, sekali lagi aku tanya apa kamu benar-benar engga ada hubunganya?
Karena aku tau dia satu sekolah dengan kamu dan teman-temanmu itu”
pertanyaan Fakri itu seketika membuat aku membeku dan bingung harus
menjawab apa.

Aku masih dengan tatapan kosongku dan kujawab “ya, memang aku
satu sekolah tetapi tidak ada kaitannya denganku”. “lalu mengapa mereka bisa
sampai ke negeri orang aku tau apa yang terjadi di sekolah lamamu Rene” aku
semakin terkerjut dan Fakri menyuruhku untuk menenangkan diriku sendiri.
“kayaknya aku mau pulang aja deh” aku yang tiba-tiba saja berdiri dari. Fakri
menawari aku untuk mengantarku pulang tapi tanpa sepatah kata apapun aku
pulang terlebih dahulu.

Aku pulang menaiki bus kota, melihat jalanan keluar dengan melamun
rasanya seperti menjernihkan pikiran sebentar sebelum aku pulang ke rumah.

“darimana aja kamu?”tanya salah satu dari mereka.

“kamu enggak bocorin kejadian di rumah sekarang kan?” kata Rendi.

“hhahhhh?? Apa maksudmu nanya kayak gitu, aku Cuma ngerjain tugas sama
belajar santai kok” jawabku.

“sudahlah lain kali enggak usah pergi pergi sama orang asing lagi!!! Bikin
kepikiran aja” Fey yang mendadak berkata seperti itu.

Ternyata mereka cemas apabila aku membocorkan apa yang sedang


terjadi sekarang ini, karena itu mereka menatap dan menghujamku dengan
pertanyaan sinis. Aku naik ke kamarku. Kamarku dan Vero memang satu
lantai, dan Veropun yang baru mau masuk kamar memanggilku dengan nada
berbisik.

“aku mau ngobrol sebentar bisa enggak?”

“iya gimana?” kamipun duduk diruangan atas.

“aku engga mau maksa kamu buat percaya sama aku, tapi mau enggak kalo
sekali kali kita ngecek kamar Fey” ajak Vero yang membuatku bingung.

“aku sebenarnya mencoba untuk percaya kepada kalian semua, dan aku juga
enggak mau mengganggu privasi satupun dari kalian jadi menurutku buat
masuk diem-diem ke kamar Fey aku kurang setuju”

“terus kamu mau gimana coba? Mau mati kamu!!!!!!!!!!”


“ehhh bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu, aku enggak bermaksud
menyakiti hati kalian semua!!!!”

“niatku baik ya buat nyelamatin kamu dan sampai kapanpun akan terus aku
buka kebeneran ini”

Mendengar suara kegaduhan yang lumayan kencang itu Rasya


menhampiri kami. “udah-udahhh” Rasya yang menarik Vero agar duduk
tenang. Karena kami cekcok sampa-sampai kami berdiri.

“sorry banget rene, tapi dalam hal ini aku ngebela Vero soalnya aku emang
ngelihat semuanya” ujar Rasya.

“coba lihat kalo kayak gini kita masih engga dipercaya coba Sya? Padahal
apasih untungnya juga di kita?” ujar Vero.

“coba deh Sya, kamu besok kumpulin bukti-bukti” bujukku kepada Rasya.

Akhirnya kami bertiga berpisah dan memasukki kamar kami masing-


masing. Rasya dan Vero nampaknya pergi keluar dari rumah. Entahlah
mengapa aku seperti tidak bisa menemukkan siapa dalang dari semua ini dan
aku rasanya tidak berhak mencurigai siapapun.

Aku yang memulai hari seperti biasanya, bangun tidur membersihkan


diri dann sarapan lalu bergegas ke sekolah. “Jek, kamu enggak sarapan??
Ayolah kita udah mau telat nih” ajakku kepada Jek. “iya, iyaaa tapi kok Cuma
aku aja yang ditawarin Vero juga dong”. Akupun langsung termenung diam
dan duduk lalu fokus sarapan. Vero juga Nampak membuang muka dan
melanjutkkan sarapannya.

“kalian berdua kenapasih enggak biasanya kayak gini, biasanya juga


becandaan terus” tanya Jek penasaran.
“susah deh, dia yang mulai duluan Jek, emang orang enggak tau diuntung”
ujar Vero.

“Ver, apaansih pagi-pagi udah ngatain orang, kamu bikin semua mood semua
orang jadi rusak” jawabku.

“apasih udah deh enggak akan ada jalan keluarnya kalo isinya Cuma emosi”
ujar Jason yang mencoba melerai.

Kamipun sudah sampai di sekolah dan waktu istirahatpun tiba.


Biasanya kami berpencar ketika waktu istirahat dimulai. Tetapi hari ini aku
meminta Isah untuk menemaniku. Jujur saja aku menghindari Fakri.

“Isah, temenin kantin yukkk” ajakku.

“tumben banget ajak-ajak enggak sama Fakri nih” ledek Isah kepadaku.

“udah ayokkk”

Benar saja di cafeteria memang ada Fakri dan entah mengapa ia tetap
mendatangiku. “halo, lama enggak ketemu ya” lambaian tangan Fakri
kepadaku. Aku hanya tersenyum masam mengingat kata-kata yang diucapkan
teman-temanku dan juga pertanyaan yang dilontarkan Fakri kepadaku.
Bahkan Fakri berani bertanya kepada Isah mengenai kondisiku.

“Isah memang sedang apa sih, kok Irene keliatan murung banget akhi-akhir
ini”

“mmmmm kayaknya dia kangen rumah, dah ya Kri aku pergi dulu sama Irene”
kamipun langsung bergegas pergi dari cafeteria. Karena aku sudah mengode
dengan menginjak kaki Isah walaupun itu menyakitkan.
Bel pulang telah berbunyi dan kamipun berlomba untuk pulanh ke
rumah. “hahhhh laper banget pengen makan ayam geprek deh” ujar Jason
kepada Jek.

“iya juga ya, kangen ayam geprek sekolah, boleh juga tu buat ide makan
malem kita” Jek yang langsung bergegas menuju dapur.

Waktu sudah menujukkan pukul enam sore berarti kami harus


berkumpul di meja makan dan segera untuk makan malam. “ini kenapa Jay
enggak pernah pulang sih apa dia baik-baik aja disana?” ujar Fey yang
membuka topik obrolan.

“iya nih Jas, kamu enggak dapet kabarkkah dari dia? Sampe-sampe dia
berhenti sekolah gini” jawabku.

“jangan-jangan Jay lagi pelakunya” ujar Fey tiba-tiba.

“Fey, Fey sejujurnya aku udah capek buat berdebat sama kamu tapi aku mau
bertaruh kalau sampe Jay bukan penerornya” Vero yang sedari tadi diam
membuka suara.

“udah guys yokkk, jangan banyak berdebat ini waktunya makan” ujar Isah.

Kamipun segera bergegas membereskan meja makan yang sudah kami


gunakan. Entah bagaimana ketika aku menarik kursiku aku menemukan
fotoku jatuh dari kursi dan bertulis ‘pengkhianat’ dengan mukaku yang sudah
dicabik-cabik didalam foto itu.

“sekarang gini ya Rene, terserah kamu mau percaya aku atau enggak, tapi
pelaku yang sebenarnya adalah pelaku yang paling terlihat alim dan memang
dia tidak mengeluarkan warnanya.
Kamipun kembali duduk di meja makan untuk menyelesaikan duduk
permasalahan. “ini kalau mau dicari siapa yang ngelakuin diantara kita juga
engga akan ada yang mau mengaku” ujar Rendi.

“jadi saranku mending berhenti aja, karena ini kelewatan batas” sambung
Rendi.

“kayak gini masih mau nuduh Jay, kamu Fey” ujar Jason yang ternyata tidak
terima bahwa Jay dituduh. Jason adalah orang yang tidak banyak bicara dan
bisa dibilang dia jarang menunjukkan ‘warnanya’ sehingga ucapan Jay itu
sangat mengagetkan kami semua.

“iya maaf ya Jas, aku sering salah sangka, kedepannya aku bakal lebih hati-
hati lagi deh” ujar Fey.

Tanpa kusangka-sangka Vero benar-benar menyampaikan bahwa ia


ingin menggeledah semua kamar kami.

“udah mending kita geledah aja kamar kita masing-masing, kalian juga boleh
kok geledah kamarku!!” ujar Vero.

Kami yang mendengar ucapan itu semua kaget dan tidak habis pikir tentang
apa yang ada dipikiran Vero.

Dan sesuai dugaanku semua tidak setuju mengenai apa yang Vero usulkan.
Ada yang beranggapan bahwa itu menganggu privasi ada yang menganggap
Vero curang, dan bisa saja orang yang sudah tau kamarnya akan segera
geledah maka menyembunyikan barang buktinya. Setelah Vero berpikir
memanglah benar ya.

Kami semua memutuskan untuk kembali melanajutkan aktivitas kami


masing-masing.

“maaf Rene aku boleh biacara sebentar?” tanya Vero kepadaku.


“udah deh Ver, kalo mau ngajak rebut enggak usah, aku udah capek sama
semua ini” jawabku dengan sedikit menggerutu.

“enggak, aku Cuma mau minta maaf, tapi aku bermaksud baik sama kamu”
ujar Vero

“iya Ver, udah yaa, bagus banget kalau kamu udah sadar gini, kan kalau pake
kepala dingin gini enak” ujarku.
BAB XII : Tidak Ada Kata Tenang
Tidak ada yang istimewa hari ini sudah lewat 1 bulan semenjak
kejadian terror terakgir yang kami alami. Tak terasa sudah satu tahun kami di
sini. Tahun depan adalah tahun terakhir kami di SMA.

“guys, tumben anteng-anteng banget, enggak ada terror-teror lagi” ujar Jason.

“sttttt, diem deh biasanya kalo diomongin gitu bakalan kejadian beneran” Isah
yang berkata dengan sedikit panik.

“jangan-jangan kamu pelakunya hahahahaha” ujar Jay dengan candaan.

Rumah kami menjadi sepi dari hari terakhir kejadian. Aku paham
mungkin kami sudah tidak lagi percaya satu dengan yang lainnya. Yang ada
di dalam pikiran kami hanyalah keadaan saat ini yang sudah tenang. Tetapi
setelah kupikir kembali seperti tidak biasanya terror ini berhenti.

“ada yang mau ikut pergi ke supermarket ga?” ajak Fey

“aku mau deh, ada yang mau aku beli” akupun memutuskan untuk ikut pergi
berbelanja.

Aku dan Fey berbelanja sesuai dengan apa titipan teman-teman


serumah. Camilan, minuman, dan bahan-bahan lain sudah kami beli dan kami
segera kembali ke rumah, karena cuaca yang sudah semakinn dingin.

Kringgggggg!!!!!!!!kringg!!!!! nada dering hpku berbunyi. “hallo, ada


apa??”

“hahhhh, masa sih bisa kirim fotonya” “aku akan segera pulang ke rumah”.
Ternyata telfon itu dari Jek. Fey menanyaiku karena aku Nampak panik dan
tidak biasa.
“udah nanti aja di rumah, kalo di sini enggak aman” akupun menunjukkan foto
yang dikirim Jek. Foto itu berisikann pisau yang tertancap di kasurku dengan
lumuran darah yang sudah tampak meresap.

Aku dan Fey sudah sampe rumah dan segera kami membuka pintu.
Semua tampak panik

“baru kemarin aku bilang kalo tumben enggak ada terror, ternyata malah
kayak gini” ujarku.

“kapan kamu mau bilang yang sesungguhnya Ver?” tanya Rendi.

“ok aku akan bilang, tapi kalian enggak boleh menyangkal” ujar Vero

“iya deh kita dengerin dulu, siapa tau Vero emang ada bukti” ujar Jek.

“jadi sebenarnya aku melihat siapa yang menaruh bangkai burung itu” tiba-
tiba saja Fey mencegah Vero dan seperti memberikan kode.

“Gimana sih !!!!!!!!! katanya enggak akkan dipotong tapi dipotong” ujar Vero
dengan sedikit marah.

“Ok, ok lanjutin” ujar Fey.

“Iya intinya, waktu aku baru mau menutup pintu kamar aku melihatmu Fey”
dengan nada penekanan Vero mengatakannya.

Kami semua sangat terkaget-kaget atas pernyataan yang dilontarkan


Vero. Memang kemarin Vero sudah mulai menuduh tetapi kali ini berbeda
mdengan biasanya, karena apa yang dikatakannya benar-benar berdasar
dengan apa yang ia lihat.

“Sudah tidak heran sih kalo kamu bakal menuduhku,” ujar Fey.
“Ok, kita liat beberapa hari ke depan, kalo aku salah aku pertaruhkan
nyawaku,” ujar Vero.

“Ehhh, jangan sembarangan kamu kalo ngomong,” ujarku.

Hari yang sudah semakin gelap, seperti biasanya kami berkumpul


untuk makan malam dan berbincang sebentar. “Makan apa nih?” tanya Isah.

“Hari ini masak kepiting soka dan steak kambing,” ucap Rendi.

“Wuihhhh ada torpedo bacemnya ga tuh?” tanya Rasya.

“Wahhh kambingnya satanic ga tuh??” ucap Jay yang tiba-tiba muncul di


tengah pembicaraan kami.

“Lohh, darimana kamu? Lama enggak keliatan” ujar Isah.

“Iya nihh, cari duit mulu tu, padahal kita ada banyak duit,” ujarku.

“Ya ada baiknya tambah-tambah tabungan”

Waktu makan malampun berakhir setelah kami bergurau cukup lama.


“Nahh gini lo, suasana makan malamnya kan cair,” ujar Jason.

Malam mulai larut dan kami melanjutkan aktivitas kami masing-masing. Ada
yang lanjut makan, belajar, dan melakukann hobi kami masing-masing. Tetapi
tidak denganku aku memilih untuk melamun sembari memandangi
pemandangan diluar sana.

Aku melamun dan tiba-tiba waktu menunjukkan jam sepuluh malam.


Aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi setelah lamanya melamun,
untuk membersihkan diri sebelum diri. Ketika memasuki kamar mandiku aku
mual dan kulihat di dalam bathtubhku sudah bersimbah darah dengan
potongan tangan manusia. Segera aku memanggil semua teman-temanku.
Semua orang berkumpul di kamarku tanpa terkecuali bau yang
menyengat membuat kami menutup hidung. “Sekarang kita harus apakan
tangan ini?” tanyaku kepada semuanya. Karena jujur ini adalah bukti kuat atas
kasus kami. “Udah kita kubur aja di halaman belakang amanlah pasti” ujar
Jordan tanpa pikir panjang.

“Kalo saranku mending bakar aja, soalnya kalo dikubur nanti ada hewan yang
membau terus digali dan dicuri bisa gawat kita,” ujar Jek.

“bener sih dibakar, tapi apa orang-orang enggak curiga kalo kita ngebakar
sesuatu, apalagi ini di London,” ujar Rasya.

Akhirnya kami memutuskan untuk mengubur tangan itu dengan peti


yang sudah dikunci di halaman belakang rumah.
BAB XIII : Kembali Lagi
Akibat kejadian kemarin suasana rumah yang sudah mencari kembali
menengang. “Huhhhh, suasana jadi suram lagi,” ujar Jay. Hari ini juga
merupakan jadwal untuk kembali bekerja. “Ya udah guys, akum au berangkat
kerja dulu ya,” Jay yang pergi sembari melambaikan tangan.

Kami melakukan rutinitas seperti biasa bangun tidur, sekolah, dan


pulang sekolah. Sudah lama aku tidak pernah bertemu dengan Fakri dan dia
sudah tidak masuk sekolah selama seminggu ini. Aku sedikit merasa bersalah
apabila dia merasa terganggu denganku.

“Irene, apa kabar?” tiba-tiba saja apa yang aku pikirkan itu tidak benar, Fakri
hari ini masuk sekolah dan masih menyapaku seperti biasa.

“Kemana aja kamu, lama banget enggak keliatan?” tanyaku dengan penuh
penasaran.

“ehmmm, aku kemarin sakit dan Cuma di rumah aja kok”

“Owhhh, tau gitu kemarin aku jenguk kamu,” ujarku.

“ga masalah, kan sekarang aku udah sembuh”

Tetapi sepertinya Fakri tidaklah benar-benar sakit, ia seperti menutupi


sesuatu dariku. Mungkin saja aku harus berhati-hati dengannya. Kali ini
sepertinya aku harus menuruti apa perkataan teman-temanku.

Setelah pulang sekolah dan hari mulai larut kami berkumpul di ruang
Tv. “Guys, ternyata Fakri sakit, dan kita enggak jenguk padahal kan
tetanggaan” ujarku dengan sedikit senyum.
“Hahhhh??? Sakit, aku kemarin liat dia pergi ke supermarket dan seperti di
caffe,” ujar Jordan.

“pa iya Jor, salah orang kali kamu,” tanyaku yang tampak tak yakin dengan
perkataan Jordan.

“Tuh kan Rene aku udah bilang apa, jangan gampang percaya sama orang baru
repot kan jadinya!!” Rendi yang mmengatakannya dengan sedikit nada tinggi.

“Percaya gimana sih, apaan sih aku aja enggak ngomongin apa-apa sama dia”
ujarku yang ikut tersulur emosi.

“tapi gara-gara kamu kenal dia, dia jadi tau kalau kita tinggal disini
sendiri!!!!!” Fey yang tidak biasanya marah menjadi marah kepadaku.

“kok jadi pada nyalahin aku sih, aku bener-bener enggak cerita apa-apa ke
Fakri” ujarku.

Aku memutuskan untuk naik saja ke kamarku dan mencoba untuk


menenangkan diriku yang masih tersulut emosi. Awalnya memang aku sudah
menyangka jika Fakri sedikit membohongi tetapi tidak sejauh ini, bahkan
Jordanpun sampai melihat.

Keesokan harinya aku pergi ke sekolah seperti biasa ketika waktu


istirahat tiba aku pergi ke cafeteria. Tidak heran lagi bahwa Fakri
menghampiriku. Aku memang tampak acuh tak acuh kepada Fakri, sampai
dimana ia bertanya “Kenapa Rene, kamu keliatannya marah gitu sama aku”.
Aku yang sudah tidak bisa menahannya langsung bertanya kepada Fakri “Aku
tau kalo kamu membohongiku masalah sakit kemarin” ujarku dengan menatap
matanya.
Fakri tampak terkejut dengan pernyataan yang telah aku lontarkan.
“Tau darimana kamu?” tanya Fakri kepadaku. “Aku tau dari Jordan kalo
selama kamu sakit kemarin kamu pergi-pergi kemana saja”

“Baiklah aku akan mengatakan yang sejujurnya,” ujar Fakri.

“Jadi, semua ini aku lakukan karena rasa penasaranku yang mendalam,
sepertinya ada yang tidak beres di rumahmu dan itu membuatmu tak tenang,”
ujar Fakri.

“Kenapa kamu peduli sekali dengan hal itu?” tanyaku dengan penuh rasa
penasaran.

“Karena aku memikirkanmu,” ujarnya.

Aku mulai tergoyah, apakah aku harus menceritakan semuanya


kepadanya atau tidak. Tetapi aku memiliki satu pertanyaan “Jadi, apa yang
kamu temukan selama kemarin itu?”

“Aku melihat, dari jendela kamarmu ada yang menggunakan jubah hitam,
laki-laki dan setelahnya aku melihat dia berbicara dengan Fey di depan rumah
kalian,” dengan pernyataan Fakri aku terkejut. Aku berpikir apa aku harus
meminta bantuannya dalam hal ini?

Aku pulang ke rumah, dan orang yang kuberi tau pertama adalah Vero.
“Ver, akum au ngomong sebentar boleh enggak,” aku yang melambaikan
tanga dan menyuruh Vero masuk ke kamarku. “Gini jadi aku udah tanya Fakri,
tentang apa yang sebenarnya terjadi, ternyata dia sedang memantau kita, dan
dia menemui orang berjubah hitam yang masuk ke kamarku dengan perawaka
laki-laki dan orang itu Nampak berbicara dengan Fey di depan rumah” aku
yang berbicara tanpa henti.
“Ok, ok tenangin diri dulu, kita harus main hati-hati karena enggak bakal
semua orang langsung percaya sama kita,” ujar Vero.

“Ya terus kita harus gimana?” tanyaku dengan penuh kebingungan.

“Memang mengenai Fey aku memang sudah menembak dia sebagai pelaku
tapi masalah siapa laki-lakinya aku masih benar-benar tidak ada petunjuk,”
ujar Vero.

Pikiranku mengatakan haruslah aku mempertemukan Fakri dan Vero


serta Rasya. “Kira-kira gimana kalo kita ketemuan sama Fakri, tapi kita harus
diam-diam,” ujarku. “Mau diam-diam gimana? Kan kita setiap hari bersama
bagaimana bisa?” ujar Vero

Kamipun memutuskan untuk bertemu dengan Fakri di cafeteria. “Ya


udah ayok, kapan kita ketemu Fakri” ujar Rasya.

“Tapi bentar deh, kalo ketemu tapi jangan di Cafetaria bakalan ketawan sama
orang-orang,” ujarku.

“Oiya juga ya, janjian aja di kafe mana gitu, sepulang sekolah,” ujar Vero.

Hari ini aku pergi ke sekolah dan langsung menemui Fakri. Aku
mengajak Fakri untuk bertemu dengan Rasya dan Vero, reaksinya sangatlah
tidak terduga. Fakri juga takut akan menemui Rasya dan Vero karena mereka
jarang berkomunikasi. Tetapi kami memutuskan untuk bertemu di kafe dekat
sekolah dengan sembunyi-sembunyi

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Kami memutuskan untuk diam-


diam pergi ke kafe yang sudah kami tentukan. “Ayo guys, buruan biara enggak
curiga kita perginya pisah aja,” ujar Vero. Setelah dua puluh menit berjalan
kami sampai di kafe yang kami tuju. “Jadi gimana nih” ujar Vero. “Ya gini ya,
jelas aku udah penasaran dan merasa ada yang aneh sama kalian dari awal”
ujar Fakri.

“Dan aku merasa semakin aneh pada sifat Irene akhir-akhir ini,” sambungnya.

“Ok, terus gimana?” tanya Rasya.

“Dan yang paling terakhir aku melihat ada seseorang di kamar Irene dan aku
percaya itu seperti penyusup karena menggunakan pakaian hitam dan
tertutup” Fakri yang memberikan pernyataan.

“Dan aku melihat setelah itu ia berbicara di depan rumah dengan Fey,”
perkataan Fakri itu membuat kami terkejut.

Selama hampir lima menit kami berpikir, apa yang harus kita lakukan.
“ya kalo gini udah jelas sih siapa pelakunya” ujar Vero. Memanglah sekarang
kita hanya berusaha meyakinkan teman-teman yang lain. Serta mencari tahu
siapa laki-laki itu. Sudah tiga jam kami berunding di kafe itu. Kami
memutuskan untuk masih mencari banyak bukti.
BAB XIV : Ternyata
Hari-hari kami lewati bersama. Semakin hari rumah kami
semakin tenang dan tidak ada terror lagi. Tak terasa juga sudah dua tahun kami
tinggal di London itu tandanya kami sudah mau melaksanakan ujian terakhir
kami. Sebentar lagi kami akan lulus dan melanjutkan ke perguruan tinggi
pilihan kami masing-masing

Pagi hari yang cerah kami menikmati udara yang segar. Hari
ini juga merupakan akhir pekan sehingga ini waktunya kami membereskan
rumah dan melakukan pekerjaan sesuai dengan kewajiban kami masing.

“Gimana, tanemannya udah disiram?” tanya Vero seperti biasa yang


memimpin bebersih rumah.

“Udah, kurang tanaman belakang,” jawab Jek.

Jason yang pulang dari minimarket dekat rumah kami dengan


membawakan berbagai macam makanan ringan dan minuman membuat kami
semua sumringah, karena kami cukup lelah membersihkan rumah ini sendiri.

“Enggak kerasa minggu depan kita udah ujian kelulusan ya,” celetuk Fey tiba-
tiba.

“Iya nih Fey pasti bakal kangen masa SMA enggak sih?” ujar Jordan.

Kami lalu bercerita tentang masa SMA kami di Indonesia.


Kami sangat menghindari topik masa lalu kami mengenai SMA. Karena itu
hal yang sensitif bagi kami. Rasanya senang bersendau gurau dengan bercerita
mengenai kami di masa lalu.
Ketika SMA di Indonesia dulu, kami bahkan tidak dekat satu
sama lain. Siapa yang menyangka ternyata kami menjalani kehidupan
petualangan yang bercampur aduk rasanya.

“Guyss, keluar yuk beli kebutuhan rumah dan berjalan-jalan sebentar,” ajak
Rendi.

Semuannyapun menyetujui ajakan Rendi itu. Tetapi aku dan Fey memutuskan
untuk tinggal di rumah saja karena kelelahan.

“Aku di rumah aja deh, capek nihhh,” ujarku. Dan Feypun mengikutiku untuk
tetap tinggal bersama di rumah. Sebenarnya Vero sudah memberikan kode
kepadaku bahwa aku harus ikut tetpi entah mengapa aku sangat enggan untuk
ikut.

Setelah semua pergi aku menuju ke dapur untuk membuat


makanan yang akan aku santap dengan Fey, yaitu sedikit sosis dan beberapa
makanan lainnya. Aku memasak cukup lama karena dasarnya aku memanglah
tidak pandai memasak.

“Hehhh hehh hehhh,” aku terkaget dan aku langsung berbalik badan ternyata
itu suara Jay yang pulang tiba-tiba. Yang membuatku semakin kaget adalah
Fey yang membawa pisau tajam segera menusukku.

Aku sempat terdiam dan kosong tatapanku. Apa yang baru


saja Fey lakukan.

“Tenang Rene, aku akan bilang dan membelamu, semua akan baik-baik saja,
aku juga udah mengabari ke teman-teman buat cepetan pulang,” ujar Jay yang
berusaha menenangkan aku.
Setelah kurang lebih tigapuluh menit mereka pulang. Posisi
saat ini Fey sudah duduk di sofa dengan hanya diam dan tampak tidak
berkedip.

“sekarang semua sudah jelas Fey!!” ujar Rendi dengan nada tinggi.

“Gini saja, coba tolong kamu ceritakan yang sebenarnya” ujar Vero.

“ Ya aku juga sudah siap meneceritaknnya,” jawab Fey dengan tangisannya.

Fey mulai menceritakan kejadiannya dari awal hingga Fey


mencoba menusukku. “ya aku awalnya kecewa, mengapa kalian memasukkan
Tama ke dalam kandang itu,” ujar Fey dengan tangisan mengalir dipipinya.
Dan ternyata perlakuan terror Fey ini tidaklah dilakukan sendiri, melainkan
dibantu oleh seseorang yang bernama Orlan.

“Orlannn???!! Jangan bilang Orlan kelas sebelah itu,” ujar Rasya

“Iyaa Orlan itu” jawab Fey mengakui.

“Gilaaaa ini diluar dugaan, kamu bisa ceritain enggak gimana kejadianya?”
ujar Jek.

“Iya, jadi gini aku itu memang dari awalnya sudah bekerja sama dengan Tama,
tetapi kesempatan untuk memberi tahu Tama mengenai rancangan kalian tidak
sempat dan kalian lebih dulu melakukan rencana kalian,” Fey yang memberi
pernyataan secara gamblang.

Kami berkumpul di ruang tengah sampai larut malampun


kami tidak peduli, karena cerita Fey yang cukup panjang. “Fey, apa kamu
sekarang menyesal dengan perbuatanmu itu, dan mengapa aku yang engkau
serang?” aku bertanya dengan masih dengan persaan sangat sangat terkejut.
“Ya tentu aku akan menyesal, dan mengapa kamu itulah yang diperintahkan
oleh yang menyuruhku,” Fey yang memberikan pernyataan seperti itu
membuat kami bertanya-tanya.

Siapakah yang sebenarnya memerintah dan memimpin semua


perbuatan ini.

“Pasti kalian bertanya tanya, yang memerintaku adalah Hifzan,” sebenarnya


itu sudah sesuai dengan sikap Hifzan. Tetapi kami tidaklah menyangka
tentang apa tindakan yang dilakukan mereka.

Tiba-tiba Jay menyeletuk “Kenapa sih kalian engga pasang CCTV atau apa
gitu, daripada nyusahin” sebenarnya memang betul apa yang diucapkan Jay

Sekarang kami sedang berusaha untuk mencoba memaafkan


Fey dan berusaha memahami apa yang ia perbuat. “Aku minta maaf guys, atas
semua yang telah aku lakukan dan aku siap jika harus pergi dari rumah ini,”
ujar Fey dengan air mata yang menderas.

Kami akhirnya memaafkan Fey dan mencoba memberi ruang


untuk Fey menjadi lebih baik. Kami juga memutuskan untuk Fey tetap tinggal
di rumah kami bersama tanpa terkecuali. Fakripun juga mengerti akan apa
yang telah kami hadapi kemarin.
BIOGRAFI
Halo namaku Naomi Shifra
Agustiana yang biasa dipanggil Naomi,
aku lahir di Yogyakarta 23 Agustus
2005. Aku gadis berdarah Jawa yang
lahir dan besar juga di Yogyakarta. Saat
ini aku bersekolah di SMAN 1 Kasihan
mengambil jurusan IPS. Ketika menulis
novel ini aku sedang duduk di kelas XII

Dalam aku menulis novel bergenre fantasi ini merupakan caraku untuk
keluar dari zona nyaman, karena ia sebenarnya hanya menuyukai hal-hal yang
bersifat realistis. Bahkan aku sendiri tidak suka membaca novel yang bergenre
fantasi.

Tetapi terima kasih kepada siapapun yang sudah mau membaca


novelku karena ini juga merupakan novel pertama yang aku buat sendiri dan
dengan imanjinasiku bersama teman-teman. Aku berharap kiranya pembaca
bisa terhibur dengan cerita yang sudah aku tulis di dalam novelku.
Di sekolah Irene yang terjadi kejadian menyeramkan
dengan adanya berkompetisi melawan zombie. Hanya
beberapa orang saja yang terpilih dan pergi ke London
untuk menjadikan mimpi mereka nyata

Tetapi perjalanan di London tidaklah mulus dan


muncullah terror yang silih bergantian berdatangan.
Mereka bersembilan juga telah bersusah payah menjaga
rahasia dan datanglah orang baru yang bernama Fakri.

Keadaan semakin hancur dan diantara mereka ada


seorang peneneror yang mengancam nyawa Irene. Entah
karena salah apa. Akankah Irene mati nantinya? Dan
siapakah penerornya diantara kami?

Anda mungkin juga menyukai