Di dalam menulis novel ini, saya sadar bahwa saya tidak akan bisa
menyelesaikannya tanpa ada bantuan dari berbagai pihak yang telah
menyumbangkan energi dan pikirannya di dalam penyusunan novel sehingga
memiliki alur seperti sekarang ini.
Sebagai menusia kami sadar bahwa novel yang saya buat masih belum
pantas jika disebut sebagai sebuah karya yang sempurna. Saya sadar tulisan
saya masih banyak memiliki kesalahan, baik dari tata bahasa maupun teknik
penulisan itu sendiri. Maka saya meminta adanya masukan yang membangun
agar saya semakin termovitasi untuk menjadi lebih baik dan lebih
memperbaiki kualitas novel saya selanjutnya.
Penulis
BAB I : 5 MILIAR
Aku memulai hariku seperti biasanya, hari selasa bagiku hari yang
menyenangkan. Banyak pelajaran yang aku sukai hari itu. Jam demi jam kami
lalui bersama hingga kami memasuki istirahat ke dua pukul jam 12.05. Pada
jam itu kelas sepi karena waktunya istirahat dan beribadah. Ketika ketua
kelasku kembali ke kelas, terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan. Tidak
ada angin tidak ada hujan, hal tak terduga uang sebesar 5 miliar ada diatas
meja guru “haa???? Uang siapa ini” ujar Romi ketua kelas. Satu persatu
temanku masuk ke kelas.
Romi menyampaikan apa yang telah terjadi. “apa kalian ada yang
bawa uang sebanyak ini ke sekolah?” tanya Romi. “enggak lah, orang gilak
kali!!!” ujar Satya. Semua tampak kebingungan. Tidak ada yang berani
menyentuh uang itu. Sampai akhirnya kami sekelas memutuskan untuk
membagi uang itu, namun tiba-tiba saja temanku sekelas Tama berkata “biar
lebih seru, kita buat jadi kompetisi aja buat dapet uangnya”
Esok harinya semua nampak seperti biasa, suasana kelas pagi yang
masih sepi karena kebanyakan teman-teman berangkat sekolah mendekati bel
masuk sekolah. Uang 5 miliar yang kami dapatpun dibawa oleh si bendahara
kelas Jek dan Vano. “mana katanya mau ada kompetisi, Cuma omong doang
tu si Tama” Isa berbicara dengan lantang. “eh kamu Isa, jangan sembarangan
ya, kompetisi ini engga main-main, jadi aku persiapkan dengan matang” Tama
pun yang mendengar lalu menjawab seperti itu.
Kami sekelas sudah mulai lupa apa yang dikatakan Tama. Bepikir
keras kami dibuatnya dengan tanpa aba-aba apapun mengenai kompetisi yang
akan Tama buat. Memang Tama adalah temanku yang nekat dalam hal
apapun. Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi, aku, Vero, Fey, Isa, Jek
berkumpul dikantin sembari menunggu hujan reda. Dari kejauhan nampak
Rendi dan Rasya mendatangi kami. “eh guys, ikut nimbrung ya” ujar Rasya.
“iya santai aja” jawab Vero. “btw, kalia emang pada ga penasaran kompetisi
apaan yang mau diadain tu sama si Tama” tanya Rendi dengan sedikit emosi.
“kalo aku sih udah nggak mau tau sama dia, aku juga udah terlanjur ga suka
wkwkkwkwk” ujar Jek dengan nada santai. “tapi apa kita enggak mau bikin
kompetisi apa gitu kek? Orang kayak Tama gitu kita ikutin?” tanya Isah
“misalpun mau buat, emang mau buat apa coba?” tanya Fey. “ya apa kek, pake
undian misalnya” ujarku. Hujanpun mereda kami memutuskan untuk pulang
sebelum hujan kembali deras dan membasahi tubuh kami.
“oke, kita tunggu sampe sekolah ini sepi” perintah Tama. “kenapa
nunggu sepi sih, lama tau aku ngantuk nih, nggak tau aja orang pulang sekolah
ngantuk!” jawab Vero dengan menahan kantuknya. Kami menunggu sejam
lamanya untuk bisa memulai kompetisi yang kami tidak ketahui apa ini. Tanpa
angina dan hujan tama menyebutkan apa yang akan kita mainkan untuk
mendapatkan uang 5 miliar itu. “ok, karena ini uangnya ada 5M aku pengen
pemenangnya ada 10 orang, dan 10 orang ini nantinya akan pergi ke eropa
selamanya menetap disana istilahnya for good lah”. “gilak! Enggak bisalah
udah enggak usah aja adain kompetisi ini!” ujarku. “bentar-bentar emang apa
kompetisinya” tanya Jek. “kalian semu setuju enggak sih? Missal enggak
setujupun enggak jadi masalah, orang uangnya ada di aku hahahahha” ujar
Tama dengan tawa yang jahat.
Jek dan Vano kaget mendengar penyataan Tama. Tak hanya Jek dan
Vano, kami sekelas tercengan kaget dan bingung dibuatnya. “bisa-bisanya
kamu dapet uang itu!” seruku dengan penuh amarah. “ya bisalah, Tama gitu
lho”.
Saat ini kami sudah putus asa dan ingin kembali pulang. Entah
bagaimana pintu kelas dan semua akses keluar telah dikunci oleh Tama
bahkan kami diminta untuk mengumpulkan HP. “ok, karena sekarang
semuanya udah aku anggap setuju, kita masuk ke permainannya”.
“game kali ini adalah mati/bertahan” ujar Tama. “gila! Kamu ini apa-
apaan sih” Rasya menjawab dengan penuh amarah. Dorrrrrrrrrr!!!!!!!! Satu
tembakkan dilepaskan Tama. “ini tembakan peringatan ya, kalo sampai ada
yang coba melawan atau melarikan diri, jangan harap kalian keluar dari sini
hidup”ujar Tama dengan tawa jahatnya. Semuapun tertunduk dan terdiam
hanya bisa mengikuti perintah Tama. Kami tidak melawan maupun
memberontak, karena semuannya akan dikorbankan disini. Selama dua jam
Tama menyekap kami di ruang kelas tanpa mengatakan satu patah kata apapun
dari mulutnya itu. Sungguh bukan ini yang aku dan teman-temanku mau
Tapi, apaboleh buat semua sudah terlanjur, kamu semua terkena tipu
muslihat Tama yang sangat-sangat licik itu. Entah apa yang ada dipikirannya
sehingga setega itu kepada kami teman-temannya
BAB II : KOMPETISI DIMULAI
Setelah dua jam lamanya, akhirnya Tama membuka suaranya. Bagi
kami saat ini sangat membenci sungguh-sungguh kepada Tama. “langsung aja,
tanpa bertele-tele, jadi aku bakalan suntikin cairan zombie ini ke salah satu
dari kalian”. “apa-apaan zombie!” Karlo yang sudah menahan tangisnya.
Dorrrrrrrr!! Suara tembakan itu benar adanya dan kepala Karlo sudah
berlumuran darah.
“tutup mata kalian!” gertak Tama sekali lagi. Kami pun menutup
mata. Tak lama sekitar 20 detik kemudian teman kami yang tidak beruntung
Anton terkena suntikan itu. Pintu kelas akhirnya dibuka, dan disinilah
pertandingan sebenarnya dimulai.
Aku, Fey, dan Vero bersembunyi bersama berlari kearah XII MIPA 6.
Sedangkan Isa dan Jek bersembunyi dibalik ruang bimbinga konseling teman-
temanku sudah berpencar. Aku menyaksikan betapa mengerikannya teman-
temanku yang tidak beruntung terkena virus zombie itu.
Akhirnya Jason, Mario, dan aku menjadi 1 tim. Vero, Fey, Rasya 1
tim. Rendi, Jek, Jay, Isa menjadi 1 tim. Akhirnya Tamapun memberikan
peringatan kepada kami bahwa waktu bermain tinggal 1 jam. Satu persatu
kami berkumpul di belakang ruang bimbingan konseling.
“gimana ini, kita masih 11 orang sama Tama bodoh itu!” ucap Vero
dengan penuh amarah. “dia udah jahat kayak gitu sama kita, kita juga jahat aja
sama dia?” kata Jason. “hah?? Gimana-gimana aku engak ngerti maksudmu
itu” Jay tampak kebingungan. “hmm, aku tau maksumu jas, jadi kita bikin
scenario lagi buat jebak tu Tama jadi mati dehhh” kataku.
“gini-gini ini cara emang licik, tapi Tama licik banget sih. Nanti kamu
masukin sepatumu aja Jas ke kandang zombie itu, terus kita minta buat Tama
buka kandangnya as you know kalo Jason sesayang itu sama sepatunya”
scenario dari Rasya. “boleh juga tuh, tapi harus ada yang sembunyi satu” kata
Jek dengan penuh pertimbangan.
“sekarang mana duitnya Tam, awas aja kalo kamu bohong” Vero yang
bertanya dengan penih amarah. “tenang Ver, nih catet ya, uangnya ada di bank
Permai Asri, dengan pin tanggal hari ini 200323. Puas kalian semua” ujar
Tama dengan lantang.
“sttt stt, Jason sepatumu yang satu lagi hilang!” terika Jay kaget, yang
sebenarnya itu adalah jebakan untuk Tama. “oiya, Tama boleh anterin aku ke
kandang enggak ya? Sepatu kesayanganku yang langka itu kayaknya di sana,
masak aku pergi ke Eropa enggak pake sepatu itu heheheh” ujar Jason dengan
penuh candaan. “iya sana, anterin dulu” kata Rendi. “oke, ayo ikut aku Jas,
kita ambil sepatumu” ajak Tama.
Kami bingung apa yang selanjutnya kami lakukan. Karena uang itu
yang jumlahnya miliaran, dan zombie ini harus kita apakan. “ok, sekarang gini
kita cepat-cepat kabur ke rumah masing, berpamitan lalu kita berkumpul di
lapangan Madukismo” perintah Rendi.
Aku menatap ke arah luar jendela dalam hatiku berkata “apa memang
ini adalah jalan terbaik untuk kita? Meninggalkan sanak saudara”. Isah
tampaknya sadar akan lamunanku “kenapa Ren, ngelamun mulu kamu
kepikiran apa?”. Aku terkaget karena Isah mengajakku bicara ditengah
lamunanku. “ya biasalah, orang kalau mau pergi jauh gini nih heheheeh”.
Pemberitahuan kereta berbunyi menyatakan bahwa sebentar lagi kami
akan tiba di bandara. “guys, cek semua barang-barang jangan sampe ada yang
ketinggalan” ingat Jek. Tak terduga cuaca buruk melanda, terpaksa pesawat
yang kami naiki ditunda sementara sekitar 2 jam. Waktu luang itu kamu
gunakan bersantai dan beristirahat. “kira-kira nanti aku di sana bisa kerja
sambilan enggak ya?” tanya Jay keheranan. “hahahahahahaha buat apa kerja,
udah sekolah aja kan duit kita juga udah banyak” saut Jason dengan tawanya.
“ya biarin aja enggak sih kalo emang Jay pengen kerja” kata Fey. “jangan lupa
bagi hasil lah Jay jangan ceraki wkwkwkwk” Vero dengan candaannya.
Pesawat sudah take-off dan saat ini kami berada di ketinggian ribuan
kaki. “wahh, senang banget akhirnya setelah sekian lama aku ingin naik
pesawat kesampaian” kata Jay dengan gembiranya. Tak sengaja Fey
mendengar perkataann Jay “ya, perlu diperjelasih kita ini senang di atas
penderitaan orang-orang yang udah berubah jadi zombie”. “buat apasih kamu
ngomong kayak gitu? Enggak perlu kan? Emang ini kan udah takdir” jawab
Rendi yang sedikit berdebat dengan Fey.
Kami mendapat kesempatan untuk transit di Jepang. Betapa senangnya
kami terutama Jek dan Rasya karena mereka berdua mempunyai impian untuk
belajar ke negeri sakura ini. “huhhhhh, andai saja enggak ada kompetisi yang
Tama adain, aku pasti udah persiapan berangkat ke Jepang” “iya bener banget,
tapi mungkin ini udah jalan terbaik enggak sih, malah kita bisa pergi ke benua
lain” Jek dan Rasya berbincang-bincang mengenai ambisi lamanya.
“yuk guys, ini kita udah mau berangkat lagi, siapa yang belum di sini?”
aku yang mengingatkan teman-teman untuk segera. “ehhh bentar-bentar ini
Fey sama Jason kemana sih?” tanya Rendi. “halo, fey cepet ya, kita udah di
depan gate nih” tanpa banyak bicara Vero langsung menelfon Fey. Vero
memang orang yang sedikit judes tapi hatinya lembut.
Tak terasa sudah dua jam setengah perjalanan kami lalui. “guys, ada yang mau
tuker engga? Aku ngantuk nih” keluh Rendi. “ya aku aja deh, aku juga tidur
terus” jawabku.
Wushhhh! Suara truk yang menyalipku dari kiri secara tidak aturan.
Aku otomatis terkaget karenanya. “gilakkk tu truk!!! Mau kita mati apa ya!”
sentakku dengan penuh emosi. “udah-udah yang penting kita semua masih
aman, fokus aja sama apa yang di depan” ujar Fey dengan penuh sabar. Fey
memanglah orang yang penyabar dalamm situasi apapun.
Tak terasa perjalanan sudah mau selesai, kami sudah akan sampai di
rumah kami. “bentar deh, kita belum makan berat, gimana kalo kita mampir
dulu di restoran deket sini” ajak Jek dengan penuh semangat. Karena kami
memang sangat lapar dan hanya memakan makanan ringan saja.
“sini aja nih food court gitu, jadi enggak cuma satu makanan aja” Isah
yang menunjukkan ponselnya. “ok, buka maps ya” ujarku.
Selesai sudah kami memilih kamar. Di lantai 2 ada aku, Vkhero, Jek,
Jason, dan Rasya, sedangkan di lantai 3 ada Fey, Jay, Rendi, Isah. Malampun
mulai datang, kami memutuskan untuk membeli makanan pesan antar cepat
saji.
“ok, ini semuanya udah sanggup ya, jadi aku dan kita semua enggak
mau denger kata males” kataku dan semuanya menyetujui itu.
Fajar telah menyingsing dan waktunya kami bangun dari tidur yang
nyaman. Kami melakukan tugas kami sesuai dengan kesepakatan. “seneng deh
kalo liat pada tanggung jawab sama tugas masing-masing” Fey yang
tersenyum manis di pagi hari.
Tak lama mereka kembali dari supermarket dan makan siangpun telah
siap. “guys ayo makan dulu, ntar sakit” teriak Jek dari arah dapur. Semunya
sudah berkumpul di meja makan, tetapi ada dua orang yang belumm datang.
“Fey sama Vero kemana?” tanyaku. “enggak tau, nanti juga kalau laper
kesini” ujar Jason yang acuh tak acuh karena sudah kelaparan.
“owhh, biasalah dia pingin banget buat cari duit tambahan lewat keahlian seni
dia” jawab Jason. Memang Jay sangat berorientasikan kepada uang dan tak
memperdulikan dimanna dia saat ini.
“gimana udah siap belum semuanya besok ini kita bakalan sekolah”
tanya Rendi kepada kami semua. “ya siap engga siap sih” jawabku. “ia nih,
kamu jangan malu-maluin Jay belajar Bahasa Inggris yang bener lu” canda
Jek kepada Jay yang baru saja datang. “ahhhh, easy man, bisa lah gue”.
BAB V : Memulai Lingkungan Baru
Pagi mulai menyapa dan sinar matahari memasuki kamar kami tanpa
permisi. Semua sudah siap dan duduk di meja makan. “masak apa pagi ini?”
tanya Rasya yang memegangi perutnya tampak lapar. “ini khusus buat kamu
aku masak roti ganjel rel” gurau Jay kami di ruang makan tertawa lepas.
“kita naik bus kan berangkatnya, udah jam berapa ini? Ayuk
berangkat” Fey yang sudah panik karena takut hari pertamanya menjadi
kenangan yang buruk.
Aku terbangun dari tidur siangku dan sudah disediakan makan malam.
Memang yang bertugas memasak sangat bekerja keras dalam hal ini.
“waaaaa……. Baunya enak sekali, makanan Indonesia lagi” ujar Isah yang
sedang menuruni tangga dengan terburu-buru. “iyaaa, ini edisi buat Fey yang
lagi kangen kampong halaman” kata Rendi. Fey hanya tersenyum dan berucap
terima kasih.
“guys, maaf banget tapi aku duluan mau ke kamar nih, ada beberapa
kerjaan yang harus aku selesaiin” kata Fey dengan posisi yang sudah berdiri
karena terburu-buru. Kami semua mengangguk “bentar deh, ini kemana lagi
si Jay enggak ada terus” tanya Rendi dengan penasaran. “yaaa biasalah, dari
sepulang sekolah tadi dia udah pergi ke China Town buat ngasih pertunjukkan
dan cari duit disana” jawab Isah yang tadi siang menerima pamitan dari Jay
Lagi dan lagi Jay memang gila uang. Ketika di Indonesiapun ia sudah
gemar mencari uang melalui bisni keluarganya sendiri. “pingin deh aku kayak
Jay, cari uang tambahan” Rasya yang nampak membayangkan akan banyak
mendapatkan uang. “udah enggak usah aneh-aneh, aku tau kamu orangnya
enggak konsisten Ras” kata Vero dan Rasyapun hanya tersenyum.
“vacuum cleanernya tiap lantai ada dua ya” ucap Rasya sembari
menyuruh kami untuk memulai pekerjaan. Semuannya tampak mengerjakkan
pekerjaan ini dengan senang hati dan tanpa beban sedikitpun, karena Jek telah
menjanjikan ayam gooreng krispi merek terkenal beserta es krim oreo favorit
kami semua.
“kalau emang niatnya iseng jangan berlebihan kayak gitu dong” kata
Vero dengan emosi. “kamu kan Jay yang ngelakui? Jadi orang isen banget sih”
tuduh Jason. “lahhhh, aku aja jarang di rumah bisa-bisanya kamu nuduh aku
kayak gitu” sangkal Jay. “jangan kayak gitulah Jas, kamu ini nuduh-nuduhin
orang, gimana kalo kami yang dituduh?” Fey yang menasehati dengan sabar.
“ya udah gini aja, ini kan cuma masalah iseng-iseng sepele kan, yang penting
enggak usah diulangin dan pake-pake namaku ya” ujarku
Setelah makan malam berakhir aku pergi ke teras lantai dua sendirian
dan meratapi belakang rumah kami yang berada dari ketinggian. “kenapa
Rene, masiih kepikiran yang tadi ya? Enggak usah takut itu pasti Cuma iseng-
isengan anak-anak sini atau bahkan emang orang yang tinggal disini dulu
namanya Irene” kata Fey yang berusaha menenangkanku. “iya mungkin Fey,
aku harap kayak gitu, aku jadi inget kata-katamu kalau kangen Indonesia,
mungkin sekarang aku lagi merasakannya” sembari Fey memelukku hangat.
Fey memanglah sahabat yang mengerti tentang kesulitanku saat ini.
“namaku Fakri aku seangkatan dengan kalian, tapi hanya beda kelas?”.
Kamipun memperkenalkan diri kami masing-masing. “wahhhhh, seneng deh
bisa ketemu orang Indonesia di sini”.
BAB VII : Alasan Pindah
Hari terus berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah dua minggu kami
tinggal di London. Hari ini adalah hari minggu, menandakan bahwa kami
harus melakukan pembersihan rumah secara bersama-sama.
Kami membersihkan rumah dari pagi hingga tak terasa matahari sudah
tenggelam. Tidak heran karena rumah kami yang besar dan tanpa pembantu.
“kenapa sih kita enggak cari pembantu atau tukang kebunlah minimal” wajar
jika Vero berbicara seperti itu karena dia mendapat bagian utama untuk
membersihkan rumah. “kamu gila ya, kalo kita nyewa pembantu atau apalah
itu, bisa kebongkar semuanya” jawab Rendi dengan nada sedikit meninggi.
“ya sorry nih aku capek banget ngurusin nih rumah”.
“udah enggak usah rebut, kan kita juga udah dapet tugas masing-
masing” Rasya yang mencoba melerai mereka.
Krukkkk!!!!!krukkk!!!!!!
Suara perut Jay sudah terdengar, kami memang sedari tadi hanya
bersantai di ruang TV untuk menikmati film yang kami pilih sembari
memakan camilan. “gimana kalo kita pesen makanan fast food aja lagian kita
semua udah capekkan???? Itung-itung untuk menutup minggu ini. Semua
tentu saja setuju siapa yang tidak mau.
Empat puluh lima menit kemudia makanan yang kami pesan sampai.
Kami menikmati makanan itu sembari menonton film serta berbincang-
bincang.
Ting!!!!Tong!!!!!!!!
“engga sih, udah aku bukain aja” Jason yang bergegas berlari menuju
pintu utama
“halo, maaf menganggu nih, aku mau kirim kue ini, barangkali kalian
suka”dan rupanya itu adalah Fakri. “ahhhh iyaaa, makasih banget yaaa, ayo
masuk aja” Jason yang ramah mempersilahkan fakri masuk ke rumah kami.
Kami seisi rumah sontak terkaget akan kedatangan Fakri. “hallo semua
maaf ya aku ganggu, ini aku mau kasih kue ini, semoga kalian suka yaa”
Terlihat dari geraknya ia Nampak ingin pulang karena merasa menganggu,
“ehhh kamu, udah sini gabung aja sama kita, itung-itung perkenalan
juga” ajak Jay yang sedang mengunyah ayamnya dengan lahap. Kamipun
menyamut Fakri dengan hangat. “ngomong-ngomong kok kamu bisa kesini?”
tanya Rendi. Sebenarnya aku sudah tau Fakri adalah tetangga kami dann aku
memberikan alamat kami. Tapi aku takut apabila aku mengakuinya mereka
akkan marah kepadaku.
“aku memang tinggal disini, rumahku hanya selisih tiga rumah dengan
kalian”. Sungguh aku sangat takut apabila Fakri berkata aku yang memberikan
alamat rumahnya. “aku juga tadi lihat Vero sedang ada di halaman, jadi aku
coba ketuk aja” jawab Fakri dengan penuh senyuman.
“makasih, buat enggak ngomong kalau kamu tau rumah kami di sini dari aku”
“ahhhh itu, santai ajaa, tapi emang kenapa kalau aku tau alamat rumah kalian
dari kamu?”
“cepat atau lembat orang-orang bakal pada tau kan?” Vero Nampak pasrah.
Kamipun segera membuka grup. Seperti dugaan kami bahwa berita mengenai
sekolah kami akhirnya tersorot sampai ke luar negeri. Hingga saat ini pihak
berwajib tidak diketahui siapa dalang dari semua ini. Aku terfikir bagaimana
jika Fakri mengetahui berita ini dan bertanya kepada kami.
Aku langsung menunjukkan apa yang telah aku temukan. Kotak yang
berisikan bangkai burung mati dengan darah yang mengalir berada di depan
pintukku. “ok, sekarang kita bersihin ini nanti kita bicara waktu pulang
sekolah, yang tidak hadir berarti kita anggap dia menghindari.”
BAB VIII : Siapa Lagi???
Aku tak habis-habisnya memikirkan apa yang telah terjadi di rumah
kami. Terutama apa yang baru saja aku temukan tepat di depan kamarku. “ini
es krim” Fakri yang menyodorkan satu buah es krim vanilla.
“owhhh, biasa sih, semoga cepet sembuh dehhh” ujarnya dengan penuh
senyuman..
“ok, kita mulai aja pembahasan tadi pagi, jadi siapa lagi yang jail?” tanya
Rendi dengan sedikit keras.
“siapa coba yang pagi-pagi bangt udah bangun, aku yakin dia pasti orang yang
udah terlatih?” sanggah Isah.
“jangan-jangan kamu lagi Jay?? Kamu kan yang udah pergi-pergi” tuduh
Rasya kepada Jay.
“inget ya, ini jangan sampai ke sebara ke orang luar rumah ini, bisa
mampus kita” ujar Rendi yang sangat menjaga rahasia. “Ren, sorry banget,
tapi bukan kamu kan? Soalnya dari kemarin kamu yang selalu coba-coba
untuk menutupi semua ini” kata Isah dengan hati-hati
“enggak papa Sah, kalau kamu beranggapan ke aku seperti itu, tapi nyatanya
aku memang enggak nglakuin itu”.
“ehhh iya juga yaa, ya udah berarti emang harus kita selesaiin dengan kepala
dingin”
Dititik seperti ini rasanya aku ingin pulang dan bertemu orang tuaku
untuk menceritakan sesungguhnya apa yang terjadi. Perasaan marah, malu,
kesal, merasa bersalah menjadi satu sekarang. Kami semua disini menjadi
hilang arah. “kalau kita Cuma berdebat-debat kayak gini dari tadi masalah juga
enggak akan selesai, mending sekarang kita pikirkan dengan kepala dingin
langkah tepa tapa yang harus kita ambil kedepannya, ini juga udah malam
yukk istirahat aja” ajak Fey yang mencoba menenangkan kami semua.
BAB VIII : Mengapung
Tak terasa sudah masuk ke akhir pekan. Selama lima hari kemarin
kami sangat sibuk akan urusan kami masing-masing. Karena mulai minggu ini
kamu sudah aktiv di kegiatan ekstrakulikuler sekolah. Kami akhirnya Nampak
bisa beradaptasi walaupun aslinya kami rindu kampong halaman.
“besok weekend nih emang kita engga mau liburan gitu?” ajak Rasya
yang nampaknya sudah bosan di rumah. “boleh juga idenya, mumpung ini
masih jumat jadi kita bisa rencanain mau liburan kemana” Vero yang juga
sangat antusias menyetujui ajakan Rasya.
“sorry guys, aku enggak bisa ikut deh kalo sabtu minggu ini, aku ada
kerjaan nih di China Town” Jay memanglah orang yang gigih dan gila uang.
Setiap ada waktu luang dia selalu mencari uang.
Kami memutuskan berangkat dari rumah pukul tujuh pagi agar tidak
terjebak macet. “gimana barang-barang dan jajanan amankan??? Jangan
sampai ada yang tertinggal” ingat Isah.
Mau bagaimanapun juga kamu bersyukur karena kami masih bisa berlibur.
Dari rumah menuju London memakan waktu hamper empat jam. Selama di
jalan kami tampak riang dan kadang mengantuk. Ada hikmahnya kami pergi
ke London yaitu mempererat kekeluargaan kami.
Setelah empat jam perjalanan kami lalui sampailah kami di hotel yang
telah kami pesan. Kamarnya yang elegan dan mewah serta makanan yang
disajikan bukanlah makanan murah. Kami menempati kamar kami masing-
masing satu orang menempati satu kamar. Uang bukanlah yang besar bagi
kami saat ini.
“sttttttttt, diam nanti kalo kita yang nemuin kita akan ditanya-tanyai” ujar
Rasya.
“guys guys, kalian sadar engga? Kalo itukan mayatnya Tama” celetuk Fey
yang di luar dugaan.
Kamipun mengamati mayat yang mengambang di atas sungai itu. Benar saja
bahwa itu adalah mayat Tama.
“bagaimana bisa Tama sampai disini itu enggak masuk akal” ujarku.
Tetapi akhirnya kami meninggalkan mayat Tama dan membiarkannya
mengampung. Kami masih ingin mencari aman saja, karena apabila kami
menyelamatkannya hidup kamipun terancam.
Malam mulai tiba dan kamipun berada di hotel saja setelah kejadian
tadi. Setelah makanan malam kami memutuskan untuk kumpul bersama. “ayo
guys kita kumpul di kamarku untuk membicarakan hal tadi” ajak Isah.
“aku masih enggak percaya kalau ini terjadi, mayat Tama bisa sampai disini”
aku yang memulai pembicaraan.
“kalau dipikir-pikir ini semua bisa dihubungkan dengan kejadian di rumah
kita” Vero yang ikut berbicara dengan spontan.
“kok kamu bisa mikir kayak gitu Ver? Jangan-jangan kamu lagi yang
ngelakuin semua ini?” Fey yang biasanya sabar dan bijak tiba-tiba berkata
seperti itu. Kami semua terkejut dengan apa yang diucapkan Fey.
“eh Fey, asal kamu tau ya, aku tau kebusukanmu cuma aku masih menunggu
waktu yang tepat”
Kami mulai menyeduh mie instan yang kami bawa dan membuka
beberapa camilan yang telah kami bawa dari supermarket tadi. “bau apa ini
yaa? Enggak enak banget kayak bau bangkai” ujar Fey sambil menutup
hidungnya.
“lahhh iya ya, ini bau apa sih?” aku yang juga mulai menyadari. Semuanya
pun mulai mencium bau yang sama.
“bentar-bentar aku cari dulu sumbernya” Rendi yang berdiri dan mencari
sumber baunya.
“guys, sini-sini buruan” Rendi yang tampak panik dan tidak biasa memanggil
kami.
Benar saja ada mayat lagi dan lagi, sesosok perempuan dan setelah
kami balik badannya kami mengenalinya bahwa itu adalah Lea. Lea teman
sekolah kami yang sudah terkena virus zombie. “ini harus kita apain mayatnya
coba, bisa-bisanya juga dia ada di sini” ujarku dengan penuh penasaran dan
tidak tau apa yang harus aku lakukan. Tanpa aba-aba Rasya langsung
menendang mayatnya ke sungai. “kamu ini ngawur banget, gimana kalo sidik
kamu ketawan sama polisi” ujarku panik,
“yang pasti kita harus cari siapa pelakunya, karena itu sumbernya” jawabku
tanpa semangat.
“aku percaya kalo pelakunya diantara kita sih” Vero yang tiba-tiba menyeletuk
“guys!!!!!!!! Liat ini ada yang berantakin ruma kita” teriakku yang tentu saja
mengundang teman-temanku.
“ini udah enggak beres sih, sekarang kita cek seisi rumah, pastiin kalo aman
dan kita langsung istirahat dulu aja ya” perintah Rendi yang mengarahkan
kami
Di saat seperti ini aku sangat ingin pulang ke rumah dan memilih untuk
berkumpul dengan keluarga, tetapi apa boleh buat. Aku termenung duduk di
atas kasurku sembari menonton youtube. Tiba-tiba Tokkkk!!!!! Tokkk!!!
Tok!!!!!!!!!!! “iya sebentar” sautku. Akupun langsung bergegas membukakan
pintu.
“iya boleh”
“jadi gini, aku ingin menyampaikan apa yang harus kusampaikan, maaf
menganggu waktu istirahatmu” ujar Vero
“iya, masalah terror ini pelakunya ada diantara kita semua, tapi entah kalo
kami sebut pelakunya apa orang lain akan percaya?” tanya Rasya
“gini Sya, Ver, aku pribadi masih abu-abu soal itu, enggak ada barang bukti
yang menunjukkan itu semua siapa yang ngelakuin” ujarku.
“dan mungkin kalo kalian liat orang itu sedang melakukannya, cari dan
ambilah barang bukti terkuat”
Hari telah berganti, dan tentu saja ini adalah hari senin yang berarti
kami harus berangkat ke sekolah. “guys ayok sarapan” seperti biasa Jek selalu
menyiapkan kami sarapan. Suasana di meja makan Nampak sangat canggung
dan hening, sampai akhirnya kami memutuskan berangkat dan sampai di
sekolah.
“kamu kemarin kemana aja? Rumahmu sepi banget padahalkan aku pengen
main bareng”
“owhh, weekend kemarin aku pergi sih semua orang ruamh, kami liburan di
pusat kota London”
“ohya Fakri, kemarin kamu liat ada orang aneh ke rumahku enggak?”
“owalah yaudah deh Kri kalo enggak ada berarti rumah aman kan”
“ya iiyalah, orang di tempat umu gitu” ujar Jason yang santai.
“kalo dipikir-pikir berani juga dia bermain-main di tempat publik seperti itu”
tawaku sinis.
“bukannya aku ingin menuduh, tapi kenapa dari kemarin kamu nampak santai
aja ya Ver?” ujar Fey dengan nada yang lembut tetapi menusuk.
“aku saat ini tidak mau membantah dan aku akan tetap pada pendirianku,
mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya”
“ya bukti aku dan Vero sudah menemukan titik terang tapi kami enggak akan
nyebut dulu karena itu tidak akan menjadi jalan keluar untuk saat ini” Nampak
sekali bahwa Rasya dan Vero bekerja sama dengan keras Dalam hal ini.
Kami memulai hari kami seeperti biasanya. Yang tak biasa ialah Fey
dan Vero yang semakin perang dingin hari lepas hari. “ver, udahlah jangan
diem-dieman terus” ujarku.
“kok Cuma aku aja sih yang disuruh menyudahi, dia juga dong” Vero yang
tampak enggan menyebut nama Fey.
Kamipun berangkat ke sekolah. Seperti biasa aku yang sedang di
cafeteria bersama Fakri “kamu tau enggak sih, ada temuan mayat lho di St.
James Park, dan yang lebih kaget lagi itu mayatnya orang Indonesia”
“ohhh iya, hmmmm tapi ak engga tau sih kelanjutannya gimana” jawabku
dengan lesu. Karena jujur aku tidak bisa mengatakan banyak menganai
kejadian itu takut salah bicara dan teman-temanku memarahiku.
“hahh, oiya tapi aku enggak liat mayat itu kok bahkan enggak ada baunya, kita
Cuma piknik biasa” jawabku dengan gugup.
“kamu kenapasih hari ini keliatan lesu, lagi sakit ya?” tanya Fakri yang
melihatku beda dari hari-hari sebelumnya.
Jujur saja bahwa aku sangat kepikiran mengenai kejadian yang sedang
kami alami. Diriku berpikir bahwa pasti ada dari salah satu diantara kami yang
melakukan terror itu. Tapi atas alasan apa??? Kami datang ke sini juga dengan
kesukarelaan bersama.
“ayok guys berangkat, busanya lima menit lagi sampai” ajak Rendi dengan
memberikan kode menggunakan tangannya.
Sekolah telah usai dan kami pulang ke rumah. Aku memasuki kamarku
dan aku terkejut dan sontak berteriak aaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!.
“guys, liat deh ini dikacaku, ada tulisan kayak gini” sambil aku menunjuk kea
rah kaca yang sudah diitulisi ‘kamu sumber masalahnya’ dengan darah entah
darah siapa.
“aku rasa ini sudah semakin parah, apa yang harus kita lakukan?” tanya Isah.
“kalau sudah seperti ini mari kita membuat pernyataan diri saja” ajak Rendi
“oke, intinya aku bukannlah yang melakukan dan aku tidak mau menujuk
siapa-siapa toh juga kamarku yang dijadikan tempat terrornya, itu GILAAA”
ujarku dengan sedikit emosi.
“tapi bisa aja kan kalo kamu yang melakukannya” tuduh Vero dengan
seenaknya.
“ya memang bisa tapi nyatanya itu bukannlah aku dan kamu Vero aku harap
kamu mengerti, karena kamu yang mengatakan sendiri bahwa kamu sudah tau
mengenai ini semua” jawabku yang mencoba menahan emosi.
“ok, kenapa kamu keliatan takut mengenai keberadaan kami yang akan
diketahu oleh orang lain?” tanyaku
“ya itu juga demi kebaikan kalian kan, apa kalian mau kita ditangkap dan
dipenjarakan?”
Tentu saja itu adalah mimpi buruk yang sama sekali tidak kami inginkan.
“udahlah Fey Fey enggak usah sok membenarkan diri” ujar Vero
“jangan sembarangan kamu, kalo memang tuduhanku benar selama ini lihat
saja nanti” senyum tipis yang Vero berikan membuat kami semua panik. Entah
panik takut ketahuan ataukah nanti aka nada sesuatu yang dilakukan dengan
lebih kejam dan diluar nalar.
“keliatannya kamu semakin lesu hari-hari belakangan ini” entah dari mana
munculnya Fakri itu.
“jadi gimana pertanyaaku yang diawal tadi?” tanya Fakri sekali lagi.
“ya memang kondisiku sedang tidak baik-baik saja” jawabku dengan kepala
yang menunduk.
“udahlah engga usah ngomongin itu lagian aku juga enggak ada hubungan
apa-apa sama kejadian itu” jawabku.
“oke lah kalo gitu, kamu balik lagi aja deh ke kelas”
Aku dan Fakri mengendarai mobil yang dibawa Fakri seperti biasanya.
Setengah jam kami sampai di kafe yang kami tuju.
Fakri yang langsung memesankan pesanan kami dan kami segera duduk
bangku yang nyaman untuk mengerjakan tugas kami. Entah mengapa aku
merasa ketakutan apabila Fakri menanyai hal-hal yang menyangkut rahasia
kami selama ini.
“Irene, sekali lagi aku tanya apa kamu benar-benar engga ada hubunganya?
Karena aku tau dia satu sekolah dengan kamu dan teman-temanmu itu”
pertanyaan Fakri itu seketika membuat aku membeku dan bingung harus
menjawab apa.
Aku masih dengan tatapan kosongku dan kujawab “ya, memang aku
satu sekolah tetapi tidak ada kaitannya denganku”. “lalu mengapa mereka bisa
sampai ke negeri orang aku tau apa yang terjadi di sekolah lamamu Rene” aku
semakin terkerjut dan Fakri menyuruhku untuk menenangkan diriku sendiri.
“kayaknya aku mau pulang aja deh” aku yang tiba-tiba saja berdiri dari. Fakri
menawari aku untuk mengantarku pulang tapi tanpa sepatah kata apapun aku
pulang terlebih dahulu.
Aku pulang menaiki bus kota, melihat jalanan keluar dengan melamun
rasanya seperti menjernihkan pikiran sebentar sebelum aku pulang ke rumah.
“hhahhhh?? Apa maksudmu nanya kayak gitu, aku Cuma ngerjain tugas sama
belajar santai kok” jawabku.
“sudahlah lain kali enggak usah pergi pergi sama orang asing lagi!!! Bikin
kepikiran aja” Fey yang mendadak berkata seperti itu.
“aku engga mau maksa kamu buat percaya sama aku, tapi mau enggak kalo
sekali kali kita ngecek kamar Fey” ajak Vero yang membuatku bingung.
“aku sebenarnya mencoba untuk percaya kepada kalian semua, dan aku juga
enggak mau mengganggu privasi satupun dari kalian jadi menurutku buat
masuk diem-diem ke kamar Fey aku kurang setuju”
“niatku baik ya buat nyelamatin kamu dan sampai kapanpun akan terus aku
buka kebeneran ini”
“sorry banget rene, tapi dalam hal ini aku ngebela Vero soalnya aku emang
ngelihat semuanya” ujar Rasya.
“coba lihat kalo kayak gini kita masih engga dipercaya coba Sya? Padahal
apasih untungnya juga di kita?” ujar Vero.
“coba deh Sya, kamu besok kumpulin bukti-bukti” bujukku kepada Rasya.
“Ver, apaansih pagi-pagi udah ngatain orang, kamu bikin semua mood semua
orang jadi rusak” jawabku.
“apasih udah deh enggak akan ada jalan keluarnya kalo isinya Cuma emosi”
ujar Jason yang mencoba melerai.
“tumben banget ajak-ajak enggak sama Fakri nih” ledek Isah kepadaku.
“udah ayokkk”
Benar saja di cafeteria memang ada Fakri dan entah mengapa ia tetap
mendatangiku. “halo, lama enggak ketemu ya” lambaian tangan Fakri
kepadaku. Aku hanya tersenyum masam mengingat kata-kata yang diucapkan
teman-temanku dan juga pertanyaan yang dilontarkan Fakri kepadaku.
Bahkan Fakri berani bertanya kepada Isah mengenai kondisiku.
“Isah memang sedang apa sih, kok Irene keliatan murung banget akhi-akhir
ini”
“mmmmm kayaknya dia kangen rumah, dah ya Kri aku pergi dulu sama Irene”
kamipun langsung bergegas pergi dari cafeteria. Karena aku sudah mengode
dengan menginjak kaki Isah walaupun itu menyakitkan.
Bel pulang telah berbunyi dan kamipun berlomba untuk pulanh ke
rumah. “hahhhh laper banget pengen makan ayam geprek deh” ujar Jason
kepada Jek.
“iya juga ya, kangen ayam geprek sekolah, boleh juga tu buat ide makan
malem kita” Jek yang langsung bergegas menuju dapur.
“iya nih Jas, kamu enggak dapet kabarkkah dari dia? Sampe-sampe dia
berhenti sekolah gini” jawabku.
“Fey, Fey sejujurnya aku udah capek buat berdebat sama kamu tapi aku mau
bertaruh kalau sampe Jay bukan penerornya” Vero yang sedari tadi diam
membuka suara.
“udah guys yokkk, jangan banyak berdebat ini waktunya makan” ujar Isah.
“sekarang gini ya Rene, terserah kamu mau percaya aku atau enggak, tapi
pelaku yang sebenarnya adalah pelaku yang paling terlihat alim dan memang
dia tidak mengeluarkan warnanya.
Kamipun kembali duduk di meja makan untuk menyelesaikan duduk
permasalahan. “ini kalau mau dicari siapa yang ngelakuin diantara kita juga
engga akan ada yang mau mengaku” ujar Rendi.
“jadi saranku mending berhenti aja, karena ini kelewatan batas” sambung
Rendi.
“kayak gini masih mau nuduh Jay, kamu Fey” ujar Jason yang ternyata tidak
terima bahwa Jay dituduh. Jason adalah orang yang tidak banyak bicara dan
bisa dibilang dia jarang menunjukkan ‘warnanya’ sehingga ucapan Jay itu
sangat mengagetkan kami semua.
“iya maaf ya Jas, aku sering salah sangka, kedepannya aku bakal lebih hati-
hati lagi deh” ujar Fey.
“udah mending kita geledah aja kamar kita masing-masing, kalian juga boleh
kok geledah kamarku!!” ujar Vero.
Kami yang mendengar ucapan itu semua kaget dan tidak habis pikir tentang
apa yang ada dipikiran Vero.
Dan sesuai dugaanku semua tidak setuju mengenai apa yang Vero usulkan.
Ada yang beranggapan bahwa itu menganggu privasi ada yang menganggap
Vero curang, dan bisa saja orang yang sudah tau kamarnya akan segera
geledah maka menyembunyikan barang buktinya. Setelah Vero berpikir
memanglah benar ya.
“enggak, aku Cuma mau minta maaf, tapi aku bermaksud baik sama kamu”
ujar Vero
“iya Ver, udah yaa, bagus banget kalau kamu udah sadar gini, kan kalau pake
kepala dingin gini enak” ujarku.
BAB XII : Tidak Ada Kata Tenang
Tidak ada yang istimewa hari ini sudah lewat 1 bulan semenjak
kejadian terror terakgir yang kami alami. Tak terasa sudah satu tahun kami di
sini. Tahun depan adalah tahun terakhir kami di SMA.
“guys, tumben anteng-anteng banget, enggak ada terror-teror lagi” ujar Jason.
“sttttt, diem deh biasanya kalo diomongin gitu bakalan kejadian beneran” Isah
yang berkata dengan sedikit panik.
Rumah kami menjadi sepi dari hari terakhir kejadian. Aku paham
mungkin kami sudah tidak lagi percaya satu dengan yang lainnya. Yang ada
di dalam pikiran kami hanyalah keadaan saat ini yang sudah tenang. Tetapi
setelah kupikir kembali seperti tidak biasanya terror ini berhenti.
“aku mau deh, ada yang mau aku beli” akupun memutuskan untuk ikut pergi
berbelanja.
“hahhhh, masa sih bisa kirim fotonya” “aku akan segera pulang ke rumah”.
Ternyata telfon itu dari Jek. Fey menanyaiku karena aku Nampak panik dan
tidak biasa.
“udah nanti aja di rumah, kalo di sini enggak aman” akupun menunjukkan foto
yang dikirim Jek. Foto itu berisikann pisau yang tertancap di kasurku dengan
lumuran darah yang sudah tampak meresap.
Aku dan Fey sudah sampe rumah dan segera kami membuka pintu.
Semua tampak panik
“baru kemarin aku bilang kalo tumben enggak ada terror, ternyata malah
kayak gini” ujarku.
“ok aku akan bilang, tapi kalian enggak boleh menyangkal” ujar Vero
“iya deh kita dengerin dulu, siapa tau Vero emang ada bukti” ujar Jek.
“jadi sebenarnya aku melihat siapa yang menaruh bangkai burung itu” tiba-
tiba saja Fey mencegah Vero dan seperti memberikan kode.
“Gimana sih !!!!!!!!! katanya enggak akkan dipotong tapi dipotong” ujar Vero
dengan sedikit marah.
“Iya intinya, waktu aku baru mau menutup pintu kamar aku melihatmu Fey”
dengan nada penekanan Vero mengatakannya.
“Sudah tidak heran sih kalo kamu bakal menuduhku,” ujar Fey.
“Ok, kita liat beberapa hari ke depan, kalo aku salah aku pertaruhkan
nyawaku,” ujar Vero.
“Hari ini masak kepiting soka dan steak kambing,” ucap Rendi.
“Iya nihh, cari duit mulu tu, padahal kita ada banyak duit,” ujarku.
Malam mulai larut dan kami melanjutkan aktivitas kami masing-masing. Ada
yang lanjut makan, belajar, dan melakukann hobi kami masing-masing. Tetapi
tidak denganku aku memilih untuk melamun sembari memandangi
pemandangan diluar sana.
“Kalo saranku mending bakar aja, soalnya kalo dikubur nanti ada hewan yang
membau terus digali dan dicuri bisa gawat kita,” ujar Jek.
“bener sih dibakar, tapi apa orang-orang enggak curiga kalo kita ngebakar
sesuatu, apalagi ini di London,” ujar Rasya.
“Irene, apa kabar?” tiba-tiba saja apa yang aku pikirkan itu tidak benar, Fakri
hari ini masuk sekolah dan masih menyapaku seperti biasa.
“Kemana aja kamu, lama banget enggak keliatan?” tanyaku dengan penuh
penasaran.
Setelah pulang sekolah dan hari mulai larut kami berkumpul di ruang
Tv. “Guys, ternyata Fakri sakit, dan kita enggak jenguk padahal kan
tetanggaan” ujarku dengan sedikit senyum.
“Hahhhh??? Sakit, aku kemarin liat dia pergi ke supermarket dan seperti di
caffe,” ujar Jordan.
“pa iya Jor, salah orang kali kamu,” tanyaku yang tampak tak yakin dengan
perkataan Jordan.
“Tuh kan Rene aku udah bilang apa, jangan gampang percaya sama orang baru
repot kan jadinya!!” Rendi yang mmengatakannya dengan sedikit nada tinggi.
“Percaya gimana sih, apaan sih aku aja enggak ngomongin apa-apa sama dia”
ujarku yang ikut tersulur emosi.
“tapi gara-gara kamu kenal dia, dia jadi tau kalau kita tinggal disini
sendiri!!!!!” Fey yang tidak biasanya marah menjadi marah kepadaku.
“kok jadi pada nyalahin aku sih, aku bener-bener enggak cerita apa-apa ke
Fakri” ujarku.
“Jadi, semua ini aku lakukan karena rasa penasaranku yang mendalam,
sepertinya ada yang tidak beres di rumahmu dan itu membuatmu tak tenang,”
ujar Fakri.
“Kenapa kamu peduli sekali dengan hal itu?” tanyaku dengan penuh rasa
penasaran.
“Aku melihat, dari jendela kamarmu ada yang menggunakan jubah hitam,
laki-laki dan setelahnya aku melihat dia berbicara dengan Fey di depan rumah
kalian,” dengan pernyataan Fakri aku terkejut. Aku berpikir apa aku harus
meminta bantuannya dalam hal ini?
Aku pulang ke rumah, dan orang yang kuberi tau pertama adalah Vero.
“Ver, akum au ngomong sebentar boleh enggak,” aku yang melambaikan
tanga dan menyuruh Vero masuk ke kamarku. “Gini jadi aku udah tanya Fakri,
tentang apa yang sebenarnya terjadi, ternyata dia sedang memantau kita, dan
dia menemui orang berjubah hitam yang masuk ke kamarku dengan perawaka
laki-laki dan orang itu Nampak berbicara dengan Fey di depan rumah” aku
yang berbicara tanpa henti.
“Ok, ok tenangin diri dulu, kita harus main hati-hati karena enggak bakal
semua orang langsung percaya sama kita,” ujar Vero.
“Memang mengenai Fey aku memang sudah menembak dia sebagai pelaku
tapi masalah siapa laki-lakinya aku masih benar-benar tidak ada petunjuk,”
ujar Vero.
“Tapi bentar deh, kalo ketemu tapi jangan di Cafetaria bakalan ketawan sama
orang-orang,” ujarku.
“Oiya juga ya, janjian aja di kafe mana gitu, sepulang sekolah,” ujar Vero.
Hari ini aku pergi ke sekolah dan langsung menemui Fakri. Aku
mengajak Fakri untuk bertemu dengan Rasya dan Vero, reaksinya sangatlah
tidak terduga. Fakri juga takut akan menemui Rasya dan Vero karena mereka
jarang berkomunikasi. Tetapi kami memutuskan untuk bertemu di kafe dekat
sekolah dengan sembunyi-sembunyi
“Dan aku merasa semakin aneh pada sifat Irene akhir-akhir ini,” sambungnya.
“Dan yang paling terakhir aku melihat ada seseorang di kamar Irene dan aku
percaya itu seperti penyusup karena menggunakan pakaian hitam dan
tertutup” Fakri yang memberikan pernyataan.
“Dan aku melihat setelah itu ia berbicara di depan rumah dengan Fey,”
perkataan Fakri itu membuat kami terkejut.
Selama hampir lima menit kami berpikir, apa yang harus kita lakukan.
“ya kalo gini udah jelas sih siapa pelakunya” ujar Vero. Memanglah sekarang
kita hanya berusaha meyakinkan teman-teman yang lain. Serta mencari tahu
siapa laki-laki itu. Sudah tiga jam kami berunding di kafe itu. Kami
memutuskan untuk masih mencari banyak bukti.
BAB XIV : Ternyata
Hari-hari kami lewati bersama. Semakin hari rumah kami
semakin tenang dan tidak ada terror lagi. Tak terasa juga sudah dua tahun kami
tinggal di London itu tandanya kami sudah mau melaksanakan ujian terakhir
kami. Sebentar lagi kami akan lulus dan melanjutkan ke perguruan tinggi
pilihan kami masing-masing
Pagi hari yang cerah kami menikmati udara yang segar. Hari
ini juga merupakan akhir pekan sehingga ini waktunya kami membereskan
rumah dan melakukan pekerjaan sesuai dengan kewajiban kami masing.
“Enggak kerasa minggu depan kita udah ujian kelulusan ya,” celetuk Fey tiba-
tiba.
“Iya nih Fey pasti bakal kangen masa SMA enggak sih?” ujar Jordan.
“Guyss, keluar yuk beli kebutuhan rumah dan berjalan-jalan sebentar,” ajak
Rendi.
Semuannyapun menyetujui ajakan Rendi itu. Tetapi aku dan Fey memutuskan
untuk tinggal di rumah saja karena kelelahan.
“Aku di rumah aja deh, capek nihhh,” ujarku. Dan Feypun mengikutiku untuk
tetap tinggal bersama di rumah. Sebenarnya Vero sudah memberikan kode
kepadaku bahwa aku harus ikut tetpi entah mengapa aku sangat enggan untuk
ikut.
“Hehhh hehh hehhh,” aku terkaget dan aku langsung berbalik badan ternyata
itu suara Jay yang pulang tiba-tiba. Yang membuatku semakin kaget adalah
Fey yang membawa pisau tajam segera menusukku.
“Tenang Rene, aku akan bilang dan membelamu, semua akan baik-baik saja,
aku juga udah mengabari ke teman-teman buat cepetan pulang,” ujar Jay yang
berusaha menenangkan aku.
Setelah kurang lebih tigapuluh menit mereka pulang. Posisi
saat ini Fey sudah duduk di sofa dengan hanya diam dan tampak tidak
berkedip.
“sekarang semua sudah jelas Fey!!” ujar Rendi dengan nada tinggi.
“Gini saja, coba tolong kamu ceritakan yang sebenarnya” ujar Vero.
“Gilaaaa ini diluar dugaan, kamu bisa ceritain enggak gimana kejadianya?”
ujar Jek.
“Iya, jadi gini aku itu memang dari awalnya sudah bekerja sama dengan Tama,
tetapi kesempatan untuk memberi tahu Tama mengenai rancangan kalian tidak
sempat dan kalian lebih dulu melakukan rencana kalian,” Fey yang memberi
pernyataan secara gamblang.
Tiba-tiba Jay menyeletuk “Kenapa sih kalian engga pasang CCTV atau apa
gitu, daripada nyusahin” sebenarnya memang betul apa yang diucapkan Jay
Dalam aku menulis novel bergenre fantasi ini merupakan caraku untuk
keluar dari zona nyaman, karena ia sebenarnya hanya menuyukai hal-hal yang
bersifat realistis. Bahkan aku sendiri tidak suka membaca novel yang bergenre
fantasi.