Anda di halaman 1dari 9

Nama :Dias Nur Bawa Laksana

Nim :1806040028

Mata kuliah :Fiqh Muamalah Kontomporer

Ujian Tengah Semester

1)

Menurut bahasa, “Fiqih” berasal dari kata “faqiha yafqahu-faqihan” yang berarti mengerti atau
paham.Paham yang dimaksudkan adalah upaya aqilah dalam memahami ajaran-ajaran Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Fiqih dalam bahasa arab mengetahui sesuatu dengan mengerti (al-‘ilm bisyai’I ma’a al-fahm).
Ibnu Al-Qayim mengatakan bahwa fiqih lebih khusus dari pada paham, yakni pemahaman
mendalam terhadap berbagai isyarat Al-Quran, secara tekstual maupun kontekstual. Tentu saja,
secara logika, pemahaman akan diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat
tekstual, sedangkan pemahaman dapat dilakukan secara tekstual maupun kontekstual. Hasil dari
pemahaman terhadap teks-teks ajaran islam disusun secara sistematis agar mudah diamalkan.
Oleh karena itu, ilmu fiqih merupakan ilmu yang mempelajari ajran islam yang disebut dengan
syariat yang bersifat amaliah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang sistemati. Rasyid
Ridha mengatakan pula bahwa dalam Al-Qur’an banyak ditemukan kata-kata fiqih yang artinya
adalah paham yang mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat, yang dengan fiqih itu,
seseorang ‘alim menjadi ahli hikmah (filosof), pengamal yang memiliki sikap yang teguh.Kata
fiqih dan tafaqquh berarti “pemahaman yang dalam”, keduanya sering digunakan dalam Al-
Quran dan Hadits. Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah: 122. Rasulullah SAW. telah
memerintahkan beberapa di antara para sahabat untuk memahami secara mendalam (tafaqquh)
atau telah memilih mereka sebagai ahli fiqih atau fuqaha (bentuk jamak dari faqih).

Secara terminologi Al-Quran dan sunnah, Fiqih adalah pengetahuan yang luas dan mendalam
mengenai perintah-perintah dan realitas Islam dan tidak memeiliki relevansi khusus dengan
bagian ilmu tertentu. Akan tetapi, dalam terminology ulama, istilah fiqih secara khusus
diterapkan pada pemahaman yang mendalam atas hukum-hukum Islam.
arti fiqih secara terminology ada beberapa pendapat yang mendefenisikannya :Al- Imam
Muhammad Abu Zahro’, mendefenisikan fiqih dengan :

“fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ amaliyah dari dalil-dalilnya yang
terperinci”

1.Abdul Hamid Hakim mendefenisikan dengan :“Ilmu yang berkaitan dengan hokum-hukum
syara’ yang hokum-hukum itu didapatkan dengan cara berijtihad”

2.Imam Abu Hanifah mendefenisikan :“Ilmu yang menerangkan perihal hak-hak dan
kewajiban.”

3.lama-ulama Syafi’iyah menerangkan :“fiqih adalah ilmu yang menerangkan segala hokum
syara’ yang berkaitan dengan amaliyah orang mukhalaf yang dininstibathkan dari dalil-dalil yang
terperinci.”

4.Menurut Abdul Wahab Khallaf, Fiqih Adalah :

“Ia adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hokum-hukum syara’ amaliyah, yang hukum-
hukum itu didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci dan ia merupakan kumpulan hukum-hukum
syara’amaliyah yang akan diambil faedahnya dari dalil-dalil yang terperinci”.Dengan berbagai
defenisi tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa arti “Fiqih” itu adalah ilmu mengenai
pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan amaliyah orang mukallaf, baik
amaliyah anggota badan maupun amaliyah hati, hukum-hukum syara’ itu didapatkan berdasarkan
dan ditetapkan berdasarkan dalil-dalil tertentu (Al-Qur’an dan al- Hadis) dengan cara ijtihad.

Fiqih bersifat Dinamis

Fiqih menurut bahasa berarti paham (al-fahmu).Dan fiqih menurut istilah ahli Ushul adalah
mengetahui hukum-hukum Agama dengan jalan ijtihad. Kata dinamis dalam kamus populer
berarti senantiasa bergerak, berkegiatan, selalu berubah.Dalam perkembangannya fiqih saat ini
merujuk pada lima madzhab. Empat madzhab diantaranya yaitu Madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i
dan Hambali yang dijadikan rujukan kaum sunni dan yang terakhir Ja’far, menjadi rujukan kaum
syiah.Fiqih para imam madzhab merupakan hasil produk pemikiran serta pemahaman masing-
masing imam terhadap hukum-hukum Agama yang disumberkan pada Al-Quran dan hadist.
Pemahaman para imam madzhab dalam menentukan suatu hukum sedikit banyak telah
dipengaruhi situasi dan kondisi masyarakat setempat pada saat itu. Itu dibuktikan dengan adanya
perbedaan hasil penetapan hukum oleh imam satu dengan yang lain terhadap perkara yang sama.
Bahkan salah satu imam madzhab berbeda dalam menetapkan hukum suatu perkara di dua
tempat yang berbeda.Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Syafi’i yang kemudian hasil
pemahamannya itu dikenal dengan qaul qodim dan qaul jadid.Pengaruh kontekstual dalam
penetapan hukum merupakan hal yang wajar bahkan konteks menjadi rujukan penting dalam
pertimbangan para imam madzhab dalam menetapkan hukum.Kendati bagaimanapun, perbedaan
yang terjadi di kalangan imam madzhab —dalam menetapkan hukum—masih dalam wilayah
furu’ dari Agama.Oleh karena itu, fiqih bersifat dinamis menyesuaikan konteks yang ada.

2)

muamalah adalah Menurut fiqhi, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang
memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual
beli, pinjam meminjam, sewa menyewa dan kerjasama dagang.

Kritik Praktek Muamalah

Menurut saya praktik muamalah pada masa kini belum sesuai contohnya Dalam praktek jual beli
pada masyarakat adalah salah satu praktek jual beli gharar, dan hal ini sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat itu sendiri, baik kehidupan sosial kemasyarakatan maupun kehidupan
ekonomi.yang terjadi pada masa kini contohnya penjualan buah yang belum Nampak
kebaikannya ataupun yang belum matang, sedangkan perselisihan dikalangan para ulama tentang
menjual buah pada tangkainya terdiri dari dua hal, yaitu:menjual buah di tangkainya tanpa
menyertaikan tangkainya, dan menjual buah ditangkai bersamaan dengan bijinya.dan contoh
lainya menjual buah yang belum matang tapi sudah dibeli ini merupakan praktek yang salah
karna belum jelas apakah buah itu sudah matang apa belum dan kejadian ini hanya akan
menimbulkan masalah dikarenakan tidak aja kejealasan apakah yang akan terjadi kedepanya

Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan tata cara jual beli yang
sah menurut agama islam. Dan kita juga harus memperhatikan riba yang terkandung didalam hal
jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang mengharamkan riba dalam islam.
3)fiqih (hukum) merupakan bagian dari unsur ajaran islam sebagai pedoman hidup bagi manusia
terutama dalam melaksanakan tugas kekhalifannya di muka bumi. Fiqh islam cenderung
berbicara tentang aspek eksoteris keagamaan yang bersifat legal-formal, berhubungan dengan
boleh atau tidaknya sesuatu pelaksanaan amaliah, aatau dengan kata lain sesuatu yang diakitkan
dengan konteks halal-haram dalam agama. yang selalu menjadi persoalan dalam proses
sosialiasasi fiqh ( hukum islam) bukan yang menyanngkut tentang eksistensi hukum tersebut,
tetapi yang sering menjadi ajang perdebatan di kalangan ulama adalah dalam hal relevansi
maupun aktualiasasi hokum itu sendiri, terutama bila dikaitkan dengan tempat (lokal) maupun
zaman (temporal). Akibat dari madernisasi dan kemajuan zaman, muncullah masalah-masalah
baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi sehingga perlu ditetapkan hukumnya, maka dari itu
ada pemikiran mengenai fiqh kontemporer.

3)
MAKALAH FIQIH KONTEMPORER BAYI TABUNG DAN HUKUM NASABNYA
Ilmu dan teknologi dibidang kedokteran mengalami perkembangan yang sangat pesat.Salah satu
hasil dibidang ini adalah dengan telah ditemukannya cara-cara baru dalam memproduksi
manusia yang dalam istilah kedokteran disebut dengan fertifisasiin vitro atau lebih popular
dengan istilah bayi tabung.Dimana mereka mengawinkan sperma dan ovum diluar rahim dalam
sebuah tabung yang dipersiapkan lebih dulu untuk itu.Setelah terjadi pembuahan, barulah
ditempelkan ke dalam Rahim wanita yang dipersiapkan sebelumnya. Dengan proses seperti ini
akan menghasilkan bayi sebagaimana yang diperoleh dengan cara yang alami. Kemajuan ilmu
dan teknologi kedokteran dalam hal memproses kelahiran bayi tabung dengan cara asimilasi
buatan, dari satu sisi dapat dipandang sebagai suatu keberhasilan untuk mengatasi kesuilitan bagi
pasangan suami isteri yang telah lama mengharapkan keturunan. Tetapi dari sisi lain, program
bayi tabung tersebut diatas, telah banyak menimbulkan permasalahan di bidang hukum,
khususnya bagi umat Islam. Permasalahan-permasalahan yang pantas ditampilkan antara lain
mengenai bagaimana status hubungan nasab bayi tabung tersebut.
Definisi bayi tabung
Bayi tabung adalah istilah awamnya sedangkan dalam kamus kedokteran dikenal dengan istilah “
artificial insemination” atau inseminasi (pembuahan) buatan. Pengertian san macamnya cukup
beragam, dan istilah GIFT (Gamete Intrafallopin Transfer),
IVF (In Vitro Fertilization), ZIFT (Zygot Intrafallopin Transfer), ICSI ( Intracytoplasmic Sperm
Injection
bayi tabung adalah merupakan Individu (bayi) yang di dalam kejadiannya, proses pembuatannya
terjadi diluar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata lain bayi yang di dalam proses
kejadiannya itu ditempuh dengan cara Inseminasi buatan, yaitu suatu cara memasukkan sperma
ke dalam kelamin wanita tanpa melalui senggama.
Dalam bahasa Arab, Inseminasi buatan disebut dengan Istilah At-Taiqihus-Sina'i.Proses Bayi
tabung adalah sperma dan ovum yang telah dipertemukan dalam sebuah tabung, dimana setelah
terjadi pembuahan, kemudian disarangkan ke dalam rahim wanita, sehingga sampai pada saatnya
lahirlah bayi tersebut.
Jenis-Jenis Bayi tabung.
Apabila ditinjau dari segi sperma,dan ovum serta tempat embrio ditransplantasikan, maka bayi
tabung mempunyai beberapa jenis yaitu
1.Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian
embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri.
2. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, lalu embrionya
ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogatemother).
3. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovumnya berasal dari donor, lalu
embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri atau sebaliknya.
Hukum bayi tabung dan hubungan nasabnya
1. Hukum bayi tabung dengan jenis yang pertama
Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian
embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri yaitu, sebagai berikut[4];
a. Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang Inseminasi
Buatan/Bayi Tabung, tertanggai 26 November 1990 menyebutkan bahwa: Bayi tabung menurut
proses dengan sperma dan ovum dari suami-isteri yangmenurut Hukum Islam, adalah Mubah,
dengan syarat:
1) Teknis mengambil semen (sperma) dengan cara yang tidak bertentangan dengan Syari'at
Islam.
2) Penempatan zygota seyogyanya dilakukan oleh dokter wanita.
3) Resiplen adalah Isteri sendiri.
4)Status anak dari bayi tabung PLTSI-RRI (sperma dan ovum dari suami-isteri yang sah,
resiplen isteri sendiri yang mempunyai ovum itu adalah anak sah dari suami-lsteri yang
bersangkutan.
b. Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas
Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama
NU terkait masalah bayi tabung[5]:
1)Apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan
mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah
hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih
besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang
meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
2) Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan
dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’,” papar ulama NU dalam fatwa itu.
Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari
Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan
beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat
atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
3)Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk
muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi
mubah (boleh).
Hukum bayi tabung jenis ke dua
Bayi tabung yangmenggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, lalu embrionya
ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogatemother)
Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di
kalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Hal ini antara lain disebabkan karena
hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Dalam
masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini, ada dua kelompok yang memiliki
perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan serta kelompok yang
menolak atau mengharamkan. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
a. Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu :
1) Menurut Syaikh Mahmud Syaltut
Adapun, jika inseminasi itu dari sperma laki-laki lain yang tidak terikat akad perkawinan dengan
wanita – dan barangkali ini yang banyak di bicarakan orang mengenai inseminasi- maka
sesungguhnya tidak dapat di ragukan lagi, hal itu akan mendorong manusia ketaraf kehidupan
hewan dan tumbuh-tumbuhan dan mengeluarkannya dari harkat kemanusiaan, yaitu harkat
kemasyarakatan yang luhur yang dipertautkan dalam jalinan perkawinan yang telah disebar
luaskan. Dan bilamana inseminasi buatan untuk manusia itu bukan dari sperma suami, maka hal
seperti ini sttusnya tidak dapat diragukan lagi adalah suatu perbuatan yang sangat buruk sekali
dan suatu kejahatan yang lebih munkar dari memungut anak[7]
2) Pendapat Munas Alim Ulama’ (NU) Di Sukorejo Situbondo Tahun 1983
Tidak sah dan haram hukumnya menyewakan rahim bagi suami istri yang cukup subur dan sehat
menghendaki seorang anak. Namun kondisi rahim sang istri tidak cukup siap untuk mengandung
seorang bayi. Selain hadis di atas para ulama’ peserta munas berdasarkan hadis Nabi yang
terdapat pada Tafsir Ibnu Katsir Juz 3/32

‫وقال ابوبكر بن ابي ال ّدنيا ح ّدثنا ع ّمار بن نصر ح ّدثنا بقيّة عن ابي بكر بن ابي مري َم‬
ِّ َّ‫عن الهثيم بن مالك الط‬
ٍ ‫ا من ذن‬nn‫ م‬: ‫لّم‬nn‫ه وس‬nn‫ائي عن النّب ّي صلى هللا علي‬
‫رك‬nn‫د الش‬nn‫ب بع‬
‫رحم اليح ّل له‬
ٍ ‫اعظ ُم من نطفة وضعها رجل فى‬.
Rasulullah bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di bandingkan seseorang
yang menaruh spermanya di rahim wanita yang tidak halal baginya”
Jika terdapat kasus semacam itu, peserta munas berpendapat bahwa, dalam hal nasab, kewalian
dan hadlanah tidak bisa dinisbatkan kepada pemilik sperma menurut Imam Ibnu Hajar, karena
masuknya tidak muhtaram. Yang dimahsud dengan sperma yang muhtaram adalah hanya ketika
keluarnya saja, sebagaimana yang dianut oleh Imam Ramli, walaupun menjadi tidak terhormat
ketika masuk (ke vagina orang lain).
3) Ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak
membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya. Menurutnya, para ahli fiqih dan para
pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau
salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka
mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan
sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi
tabungSelanjutnya, Qaradhawi menulis, jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui
maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitupula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel
telur milik sang istri, tapi rahimnya milik wanita lain, inipun tidak diperbolehkan.
Ketidakbolehan ini, menurut Qaradhawi, dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah
pertanyaan membingungkan, “Siapakah sang ibu bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang
membawa karakteristik keturunan, ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena
hamil dan melahirkan?” Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri.
Demikian Qaradhawi menjelaskan. Lebih jauh Qaradhawi menulis:“Bahkan, jika wanita tersebut
adalah istri lain dari suaminya sendiri, maka ini tidak diperbolehkan juga. Pasalnya, dengan
cara ini, tidak diketahui siapakah sebenarnya dari kedua istri ini yang merupakan ibu dari bayi
akan dilahirkan kelak. Juga, kepada siapakah nasab (keturunan) sang bayi akan disandarkan,
pemilik sel telur atau si pemilik rahim?
Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada
yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan saya lebih
condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita yang
mengandung dan melahirkannya. Makna lahiriah dari ayat Al-Qur’an, sejalan dengan pendapat
ini, yaitu dalam firman Allah swt, yaitu : ‘Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka.’(al-Mujaadilah: 2)”
Menurut undang-undang di indonesia

dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 menyebutkan: "anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah" (UU No. 1 tahun 1974 pasal 42).

Maka secara status anak tersebut menyamai anak zina karena lahir dari rahim wanita yang tidak
menjadi pasangan sah. Dan akhirnya semua perkara diatas hukumnya haram.

    Hukum bayi tabung jenis ke tiga


inseminasi buatan yang dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan
dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah
dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-
dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan
donor ialah:
a. Firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan
Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia.Dalam hal ini
inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar
dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.

b.    Hadits Nabi Saw


Hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu
Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia
dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan
atau air secara umum, seperti dalam At-Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma
seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
c.    Kaidah Hukum Fiqih
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari sperma dan
ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul
mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat) harus
didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.

Anda mungkin juga menyukai