HALAL DI INDONESIA
Lathifah Aini, Muhammad Ashabul Zicky
Magister Ekonomi Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
lathifah.aini05@gmail.com / ashabulzicky1998@gmail.com
ABSTRAK
A. Latar Belakang
Wisata halal lambat laun menjadi tren yang memiliki potensi dan peluang
untuk dikembangkan terutama di Indonesia. Peluang pengembangan pariwisata
halal di Indonesia ini tentunya sangat besar mengingat Indonesia merupakan
negara dengan 229 juta jiwa masyarakat yang memeluk agama Islam yang
menjadikan Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbanyak di
dunia tahun 2022 (Fajri, 2022). Selain itu, peluang Indonesia dalam
mengembangkan wisata halal juga didukung oleh Global Muslim Travel Index
(GMTI) yang memberikan peringkat ke-2 kepada Indonesia sebagai negara dengan
wisata halal terbaik di dunia tahun 2022 (Mastercard & CrescentRating, 2022).
Pengakuan dunia internasional tersebut tentu menjadi prestasi bagi wisata halal di
Indonesia. Namun, Indonesia masih perlu melakukan banyak perbaikan dan
pengembangan untuk menggali potensi pariwisata halal kedepannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
adalah:
1. Bagaimana peluang dan tantangan dalam pengembangan wisata halal di
Indonesia?
2. Bagaimana solusi dalam menghadapi tantangan dalam pengembangan wisata
halal di Indonesia?
C. Kerangka Teoritis
1. Wisata halal
Wisata halal merupakan salah satu bentuk wisata yang berbasis
budaya dengan mengutamakan nilai-nilai dan norma syariah islam sebagai
pondasi utama. Pada saat ini siklus industri pariwisata yang masil dalam
fase penembangan, tentunya membutuhkan gagasan yang lebih mutahir dan
internalisasi pemahaman secara menyeluruh terhadap integrasi nilai-nilai
islam pada seluruh tahapan kegiatan pariwisata (Widagdyo, 2015). Wisata
halal tentunya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan wisatawan yang
berhubungan dengan hukum syariah dan segala persyaratannya (Azzam at
all (2019) . Wisata halal adalah konsep keseimbangan hidup, tidak hanya
bertujuan untuk mencapai kesenangan ketika berwisata, tetapi wisata juga
sebagai jembatan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
(Sriviboone, S., & Komolsevin, 2018) mengatakan bahwa wisata halal
adalah manajemen wisata yang mematuhi aturan agama untuk menanggapi
kebutuhan umat islam yang mencakup layanan yang ditawarkan dari negara
asal ke tujuan misalnya seperti hotel, transportasi, restoran, tempat rekresasi
dan hiburan yang sesuai dengan prinsip islam.
2. Ruang lingkup wisata halal
a. Objek, tujuan, dan target
Tujuan dan sasaran antara periwisata konvensional , wisata religi
dan wisata halal menunjukan perbandingan jenis wisata mengacu pada
segala sesuatu di daerah pariwisata sebagai faktor penarik wisatawan
mengunjungi objek wisata halal secara umum lebih kompleks
dibandingkan dengan wisata konvensional dan wisata religi. Wisata
konvensional dicirikan oleh alam, budaya, sejarah dan kuliner di tempat
wisata religi yang utama adalah tempat ibadah dan peninggalan sejarah.
Wisata syariah dapat merangkum semua atraksi Ini adalah objek yang
menarik wisatawan. Wisata halal lebih fleksibel dari segi objek daya
tarik wisata.
Wisata halal memiliki tujuan meningkatkan spiritualitas dengan cara
mengihubur. Wisatawan yang menginjungi masjid bisa menikmati
keindahan dan kemegahan bagungan sekaligus sebagai media
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Wawasan pemandu wisata
Tour Guide atau pemandu wisata memiliki peran penting karena
kemampuannya mempengaruhi wisatawan untuk mengunjungi suatu
objek wisata agar wisatawan tertarik untuk berkunjung kembali ke
wisata tersebut. Keunggukan dan keistimewaan dalam berkomunikasi
dengan baik dan memberikan informasi yang akurat membuat para
wisatawan merasakan kenyamanan saat berwisata. Oleh karena iru
pemandu wisatadiperlukan keahlian dalam berbahasa verbal yang baik.
Kepuasan wisatawan adalah perbandingan antara jasa yang diberikan
dan keinginan atau kebutuhan wisatawan. Jika tidak sesuai dengan
keinginan maka wisatawan cenderung merasa tidak puas, sebaliknya
jika memenuhi keinginan atau lebih wisatawan akan puas dan senang.
Keterampilan pemandu wisata memegang kunci kepuasan wisatawan
agar merasa nyaman dan aman.
c. Fasilitas Ibadah
Pendit (2003) membagi fasilitas objek wisata dalam dua jenis,
sebagai berikut:
1) Fasilitas primer, sebagai objek wisata berfungsi sebagai daya tarik
utama wisata.
2) Fasilitas penunjang, sebagai bangunan selain fasilitas primer yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama berwisata.
Fasilitas penunjang kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
-. Fasilitas sekunder yaitu bangunan yang bukan merupakan daya
tarik utama wisata akan tetapi digunakan untuk memenuhi
kebutuhan utama wisatawan seperti penginapan, rumah makan dan
toko cinderamata;
- Fasilitas kondisional yaitu bangunan yang digunakan oleh
wisatawan maupun warga setempat seperti masjid, toilet umum dan
tempat parkir.
Masjid sebagai sarana ibadah berfungsi sebagai fasilitas penunjang
dan sifatnya tentatif, artinya hanya dibutuhkan sesuai dengan kondisi
atau keinginan pengunjung saja. Masjid tidak termasuk paket hiburan
dan bukan bagian inti dari objek wisata yang dikembangkan sedangkan
pada wisata halal, masjid yang sesuai dengan standar menjadi bagian
yang menyatu dengan objek wisata itu sendiri. Pengelola memosisikan
masjid sebagai fasilitas primer dengan tata letak harus berada pada zona
inti kawasan wisata. Pandangan wisatawan akan tertuju pada masjid
sebagai objek utama.
d. Kuliner
Kuliner adalah hal yang sangat penting dalam industri pariwsata. Yang
mana kuliner berperan mempermudah wisatawan yang berkunjung
dalam memenuhi kebutuhan makan dan minuman (Febrianti, 2017).
Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 28 Tahun 2015 tentang Standar
Usaha Pusat Penjualan Makanan mengarahkan dalam 3 aspek penting
dalam meningkatkan mutu penyelenggaraan usaha makanan yaitu aspek
produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pusat penjualan makanan.
Indonesia berpedoman pada strandarisasi kehalalan makanan dan
minuman. Menurut Fatwa Halal MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Standarisasi Fatwa Halal dengan Ketentuan sebagai berikut:
1) Tidak diperbolehkan mengonsumsi dan menggunakan nama
dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada
kekufuran dan kecurangan.
2) Tidak diperbolehkan mengonsumsi dan menggunakan nama
dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada
nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan
khamar, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak
mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso,
bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao.
3) Tidak diperbolehkan mengonsumsi dan menggunakan bahan
campuran bagi komponen makanan/minuman yang menimbulkan
rasa/aroma (flavour) benda-benda atau binatang yang diharamkan,
seperti mi instan rasa babi.
4) Tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan/minuman yang
menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan.
e. Relasi dengan Masyarakat
Hubungan antara wisatawan dan masyarakat sebagai pelaku pariwisata
dalam wisata konvensional dan pariwisata halal saling melengkapi.
Disediakan oleh wisatawan obyek wisata dan daya tariknya di kalangan
wisatawan membutuhkan segala sesuatu yang tersedia di tempat wisata.
hubungan terpengaruh mekanisme pasar, wisatawan membayar dengan
jumlah tertentu uang untuk menikmati objek yang ada. Berbeda dengan
wisata halal relasi antara supply dan demand diwujudkan dengan sistem
syariah. Selain itu, juga terbentuk relasi yang terintegrasi berati tidak
ada kekhususan untuk wisatawan. Mereka akan mendapatkan pelayanan
yang sama ketika berwisata. Pengelolaan destinasi wisata yang
dilakukan oleh masyarakat harus sesuai dengan prinsip syariah antara
lain kepemilikan, pertumbuhan yang seimbang, keadilan dan bekerja
sama dengan kebaikan (BI., 2018).
f. Agenda Perjalanan
Agenda perjalanan wisata halal yang berlangsung dengan
memperhatikan waktu, artinya agenda/daftar yang disusun tidak
bertentang dengan prinsip-prinsip syariah. Misalnya jadwal menikmati
objek wisata bertepatan dengan waktu salat Jumat atau agenda
perjalanan untuk pendakian ekowisata dibuka pada bulan Ramadan.
Durasi berwisata harus disesuaikan dengan kebutuhan sehingga
perjalanan wisata tidak berlangsung sia-sia atau hanya sekedar
membuang-buang waktu, sehingga hakikat wisata halal tidak tercapai.
D. Tinjauan Literasi
1. Wisata Halal: Perkembangan, Peluang, dan Tantangan oleh: Eka
Dewi Satriana, dan Hayyun Durrotul Faridah.
9. Wisata Halal Trend Baru Industri Pariwisata Korea Selatan oleh May
F. A , Ayu A., Aulia N., Fani A , A. F. Hidayatullah
Restoran
Halal
Halal Urf
Lifestyle Halal
Daerah
Wisata Halal
Wisata
Hotel
religi
syariah
a) Access
Akses dalam Model ACES ini meliputi kemudahan akses udara yang
meliputi pilihan rute penerbangan domestik dan internasional serta pilihan
maskapai yang tersedia, ketersediaan akses kereta api serta jenis layanan kereta
api yang ditawarkan dan rute yang tersedia baik dalam kota maupun antar
kota/provinsi, kemudian ketersedian akses laut atau pelabuhan/perairan, lalu
infrastruktur yang ada di destinasi seperti kualitas jalan, ketersediaan
penerangan jalan, fasilitas pendukung lainnya seperti cctv, dll. Komponen-
komponen ini dinilai sebagai kemudahan aksesibilitas dari destinasi melalui
beberapa pilihan mode transportasi agar dapat memenuhi kebutuhan wisatawan
untuk sampai di destinasi.
b) Communication
c) Environment
Pada aspek lingkungan, model ACES dari IMTI ini lebih berfokus pada
kedatangan wisatawan mancanegara dan domestik Muslim. Apabila wisatawan
Muslim cenderung banyak, maka wisatawan Muslim lain akan cenderung lebih
nyaman berada di destinasi. Cakupan ketersediaan Wi-Fi (jumlah titik Wi-Fi)
baik yang dapat diakses secara gratis maupun berbayar dan kecepatan koneksi
internet. Akses Wi-Fi atau internet menjadi penting bagi pengembangan wisata
halal dan pariwisata secara umum karena sangat diperlukan wisatawan.
Terutama di tempat-tempat umum untuk mendukung perjalanan wisatawan
dalam proses pencarian informasi dan reservasi daring baik untuk atraksi
maupun akomodasi dan transportasi, bahkan hingga proses pembagian
pengalaman berwisata melalui berbagai platform baik aplikasi maupun
website. Hal berikutnya adalah komitmen dari destinasi tersebut dalam
pelaksanaan/ penyelenggaraan pariwisata ramah Muslim melalui kebijakan
yang dikeluarkan daerah yang akan menunjukkan seberapa penting dan
bagaimana prioritas daerah terhadap pengembangan pariwisata ramah Muslim.
d) Services
Wisata halal sendiri merupakan bentuk wisata yang dilandasi oleh prinsip
syariah. oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu dipenuhi oleh destinasi
wisata untuk menjadi wisata halal. Fatwa DSN-MUI Nomor: 18/DSN-
MUI/X/2016 tentang Penyelanggaran Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah
telah menentukan penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah
dengan mengatur:
Masyarakat juga enggan atau tidak mau mengurus sertifikat halal untuk
produk yang ditawarkan baik dari UMKM maupun perusahaan atau pengusaha
besar seperti Hotel Syariah, Supermarket Syariah, Rumah sakit Syariah dan
lainnya yang padahal ini sangat memberikan dampak positif bagi perusahaan
dan juga Negara Indonesia. Lebel halal ini bukan hanya memfokuskan pada
pengusaha muslim tetapi bagi seluruh pengusaha agar mendukung program
yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengembangan wisata halal di
Indonesia.
Pengembangan SDM ini juga memberikan dampak yang sangat baik dalam
segi pelayanan, sehingga pelayanan yang diberikan kepada para turis atau
wisatawan akan lebih baik, Kendala SDM ini harus selalu dikembangankan dan
menjadi masalah di Indonesia. Sumber daya manusia di Indonesia banyak
mengalami tantangan baik dalam mengelola tempat wisata dan juga
mengoptimalkan pekerjaan yang diberikan karena kurangnya ilmu dan
pengalaman yang ada pada SDM di Indonesia.
Smart Tourims ini adalah suatu konsep yang harus dipenuhi dari beberapa
hal seperti, informativness, accessibility, interactivity, dan personalization.
Maka dari itu pengembangan wisata halal di Indonesia dapat diterapkan sebagai
berikut:
1. Aceh
2. Riau dan Kepulauan Riau
3. Sumatera Barat
4. Jakarta
5. Jawa Barat
6. Jawa Tengah
7. Yogyakarta
8. Jawa Timur
9. Sulawesi Selatan
10. Nusa Tenggara Barat (Lombok)
Azzam, M. S., Abdullah, M. A., & Razak, D. B. (2019). Halal Tourism Definition
Justification and Scope towards Sustainable Development. International
Journal of Business, Economics and Law, 21–31.
BI. (2018). Nilai Nilai dan Prinsip Dasar Ekonomi Syariah (D. E. dan K. Syariah
(ed.)).
Musfiroh, A., Mugiyati, M., & Iman, A. K. N. (2021). Strategies to Improve Halal
Tourism in Indonesia During The Pandemic Covid-19. Jurnal Ilmiah Ekonomi
Islam, 7(2), 1048–1052. https://doi.org/10.29040/jiei.v7i2.2533
Satriana, E. D., & Faridah, H. D. (2018). Halal Tourism: Development, Chance and
Challenge. Journal of Halal Product and Research, 1(2), 32.
https://doi.org/10.20473/jhpr.vol.1-issue.2.32-43
Slamet, Abdullah, I., & Laila, N. Q. (2022). The contestation of the meaning of
halal tourism. Heliyon, 8(3), e09098.
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e09098
Subarkah, A. R., Junita Budi Rachman, & Akim. (2020). Destination Branding
Indonesia Sebagai Destinasi Wisata Halal. Jurnal Kepariwisataan: Destinasi,
Hospitalitas dan Perjalanan, 4(2), 84–97. https://doi.org/10.34013/jk.v4i2.53
Surwandono, S., Nursita, R. D., Diana, R., & Meiliyana, A. (2020). Polemik
Kebijakan Wisata Halal di Indonesia serta Tinjauannya dalam Maqashid
Syariah. Tsaqafah, 16(1), 91. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v16i1.3594
Wijaya, T., Nurbayah, S., Zahro, F., & Ningsih, F. (2021). Pariwisata Halal di
Indonesia: Kajian terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI). TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan
Humaniora, 2(3), 284–294. https://doi.org/10.33650/trilogi.v2i3.3078