Anda di halaman 1dari 2

Belajar Bermakna melalui Budaya Positif

Penulis :
Anny Rahmawati, S.Pd
Guru Kelas SDN 2 Senenan Tahuan Jepara

Pendidikan dan pengajaran dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah cara dalam
memerdekakan murid untuk belajar. Sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD),
pendidikan dan pengajaran saat ini dituntut untuk dapat membekali murid dalam menghadapi
kebutuhan hidup dan tantangan global. Diharapkan seorang pendidik dapat menuntun murid
tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga mendidik karakter yang di butuhkan murid
untuk mempersiapkan diri sebagai manusia dan masyarakat antara lain sikap gotong royong,
berpikir kritis, beriman, berkebhinekaan global, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak
mulia, dan mandiri.

Ada bentuk kontrol pendidik yang menjadi kebutuhan dasar. Guru perlu meninjau kembali
penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif, apakah
berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Hal itulah yang
diterapkan di SDN 2 Senenan khususnya kelas II dalam mewujudkan budaya positif pada proses
belajar mengajar. Dalam budaya kita disiplin dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan
seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Ki Hajar Dewantara menyatakan di
mana ada kemerdekaan, di situlah harus ada disiplin yang kuat. Untuk mencapai kemerdekaan
atau dalam konteks pendidikan syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Yakni
disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika tidak memiliki motivasi internal, kita
memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal.

Adapun definisi “merdeka” menurut Ki Hajar adalah mardika iku jarwanya, nora mung lepasing
pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya tidak hanya terlepas
dari perintah tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri). Pemikiran Ki Hajar ini sejalan
dengan pandangan Diane Gossen (2001). Diane menyatakan untuk menjadi seorang murid, atau
pengikut, seseorang harus paham alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran
tertentu. Sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Dengan
kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri. Dan bagaimana
menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.

Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau
memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan
keyakinannya, daripada sekadar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian.
Mereka perlu mendengarkan dan mendalami suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan
peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu. Pembentukan
keyakinan kelas dapat digunakan untuk mengatasi solusi kedisiplinan yaitu dapat dilakukan
dengan membuat pernyataan-pernyataan universal dalam bentuk positif, dibuat tidak terlalu
banyak. Sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas dan dapat diterapkan di
lingkungan tersebut. Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline
(1998) mengemukakan guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang
kelas dengan lima posisi kontrol yaitu penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman,
monitor (pemantau) dan manajer. Penghukum yang menggunakan hukuman fisik maupun verbal
dapat membuat murid tertekan lebih mendalam dan menimbulkan sikap negatif pada murid.
Sedangkan posisi manajer dimana murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan
bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang akhirnya dapat menciptakan
lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

Untuk menciptakan murid memperbaiki kesalahan sehingga bisa kembali pada kedisiplinan
dengan karakter yang lebih baik diperlukan restitusi (Gossen, 2004). Restitusi adalah proses
kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid
berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus
memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi membantu murid memiliki tujuan,
disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya adalah menjadi
orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui restitusi, ketika
murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk
membuat evaluasi internal memperbaiki kesalahan. Dan mendapatkan kembali harga dirinya.
Sehingga dengan penerapan tersebut proses belajar mengajar akan semakin bermakna.

Anda mungkin juga menyukai