Anda di halaman 1dari 5

PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK POSITIF PADA MURID

Dalam membawa perubahan paradigma baru ke dalam sebuah organisasi yang telah
menjalankan semua kegiatan dengan paradigma lama, bukanlah pekerjaan sederhana. Meskipun
sebagai seorang guru penggerak telah dibekali dengan berbagai kompetensi dan insight baru dalam
mengelola sebuah sistem pendidikan, akan tetapi muncul banyak perasaan bimbang, sedih dan
khawatir dalam diri ketika mengingat ada tanggung jawab yang ia miliki. Guru penggerak juga
perlu membina hubungan manusia (human relations) yang baik dengan seluruh elemen yang ada
dilingkungan sekolahnya. Untuk itu, guru penggerak perlu untuk merangsang berbagai elemen di
lingkungan sekolahnya untuk melakukan perubahan (transformasi) dengan kesadaran dan rasa
menyenangkan bukan dengan paksaan. Pentingnya membangun komunikasi yang baik dalam
mewujudkan tujuan (visi) sekolah akan membantu seorang guru penggerak dalam menghadapi
tantangan (threats) dan kelemahan (weakness). Perubahan paradigma atau pegerseran cara
pandang secara konkret bisa diibaratkan ketika seseorang yang ingin merubah posisi atau
menggeser sebuah objek dari titik A ke titik B, objek tidak akan bergeser apabila tidak ada gaya
atau energi yang menggerakkannya. Besar kecilnya energi akan berbanding lurus dengan
perpindahan (pergeseran) objek tersebut. Akan tetapi besar kecilnya energi bukanlah satu-satunya
faktor yang mempengaruhi pergeseran tersebut. Bentuk dan ukuran objek, koefisien gesek
permukaan objek dan lantai yang bisa dianalogikan sebagai paradigma seperti apa yang akan
diimplemetasikan, iklim sekolah, kebijakan sekolah, dukungan dari pemegang kebijakan internal,
dan tingkat kompetensi sosial emosional individu maupun budaya positif organisasi, akan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan guru penggerak dalam mewujudkan visinya. Untuk itu, guru
penggerak harus memiliki 4 kompetensi seorang pemimpin dalam menggerakkan seluruh elemen
di lingkungan sekolahnya, yaitu: mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran,
memimpin manajemen sekolah, serta memimpin pengembangan sekolah.
Dari pengalaman saya, dalam mengembangkan diri dan orang lain pasti ditemukan
individu-individu yang bertindak dan berfikir irrasional atau terkadang unpredictable. Menyikapi
situasi seperti ini, guru penggerak perlu menkondisikan hubungan yang simpatik dan empatik
terhadap individu dengan kompetensi sosial emosional yang masih rendah agar mereka menyadari
sendiri akan tindakan irrasional yang mereka lakukan justru merugikan mereka sendiri. Selain itu,
seorang guru penggerak juga harus siap dengan statement-statement yang kontradiktif terhadap
paradigma atau program yang ia bangun. Hal ini penting menurut saya karena seseorang harus
peka dan cepat membaca situasi terhadap kelemahan dan kekuatan yang ia miliki dengan
melakukan pengamatan lingkungan (environmental scanning) di sekelilingnya maupun yang ada
dalam dirinya. Seorang guru penggerak harus bisa meramu perbedaan-perbedaan itu menjadi
sebuah semangat ko-kreasi yang justru menjadi gagasan-gagasan yang lebih diversif dan difrensif,
dimana masing-masing individu memiliki tanggung jawab terhadap ide dan gagasannya. Dalam
hal ini, akan menjadi efektif bila seorang guru penggerak mengimplementasikan teori kontrol atau
teori pilihan, dimana dalam konsepnya setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, realitas
(kebutuhan) yang berbeda, tujuan berbeda. Menurut Dr. William Glasser pada Teori Kontrol
(1984), bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan. Sejalan dengan William Glasser, Diane
Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini
seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari
dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Dengan motivasi-motivasi intrinsik
guru penggerak bersedia meluangkan waktu dan tenaganya untuk melakukan coaching terkait
beberapa rekan yang bermasalah dalam pembelajaran maupun secara sosial emosional dalam
konteks lingkungan pembelajaran. Misalnya ketika saya melakukan aksi nyata tentang supervisi
berbasis coaching pada rekan, saya harus memahami terlebih dahulu, ada 3 kompetensi coaching
untuk melakukan coaching pada rekan saya, yaitu:
1. Kehadiran penuh (presence).
Dalam mengahadapi permasalahan yang dihadapi rekan, khususnya permasalahan
pembelajaran, seorang coach harus bisa hadir seutuhnya bersama rekan dengan
konsentrasi, semangat, empati, cermat dan responsif selama proses coaching berlangsung.
2. Mendengar aktif.
Mendengar aktif (menyimak) setiap rinci permasalahan yang dihadapi rekan dengan
berusaha untuk tidak melakukan 3 hal yang dapat menghambat terjalinnya hubungan yang
baik dengan sesama rekan. Yang pertama, berasumsi atau mempunyai anggapan tertentu
tentang sesuatu yang belum diketahui kebenarannya. Kedua, Melabel/Judgment, memberi
label/penilaian pada seseorang dalam situasi tertentu. Dan yang ketiga, Asosiasi yaitu
mengaitkan dengan pengalaman pribadi.
3. Membuat pertanyaan berbobot
Dari hasil menyimak semua permasalahan rekan dengan mengesampingkan semua emosi
pribadi, maka dengan mudah kita bisa menggali informasi bahkan menemukan solusi
melalui kompetensi yang ketiga yaitu mengajukan pertanyaan yang berkualitas (berbobot).

Akan tetapi beberapa poin penting tentang komunikasi efektif di atas tidaklah menjadi satu
standar yang kaku bagi setiap orang dalam menjalin hubungan baik terhadap individu lainnya.
Kemampuan untuk menjinakkan emosi ke arah yang positif (kecerdasan emosional) melalui nalar
dan logika akan berbeda pada setiap individu. Menurut Hude dalam kata pengantar (2006),
kecerdasan emosional sangat terkait dengan kecerdasan spritual. Perbedaannya hanya terletak pada
cara memperolehnya, kecerdasan emosional diperoleh seolah-olah masih dalam ruang lingkup diri
manusia (sub-conscious) sedangkan kecerdasan spritual sudah melibatkan unsur asing dari diri
manusia (supra-consciousnes). Tapi perlu untuk diketahui bersama, cerdas spritual dengan cerdas
beragama adalah dua hal yang berbeda. Spritual menyangkut tentang hal-hal yang sifatnya
universal lintas agama, suku, negara atau keyakinan tertentu. Orang-orang spritual akan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan universal dalam berprilaku. Nilai-nilai kebajikan adalah
sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu.
Nilai-nilai kebajikan universal tersebut adalah tujuan pendidikan nasional yang ingin
diwujudkan dalam diri setiap anak yang secara rinci dimanifestasikan kedalam Profil Pelajar
Pancasila, yaitu berakhlak mulia, berkebinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar
kritis, dan kreatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ki Hadjar Dewantara (Dasar-dasar
Pendidikan, 1936), menyampaikan bahwa:
“Maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya
baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat.”
Dari filosofi KHD ini, seorang guru penggerak sangat perlu mendalami nilai-nilai kebajikan
tersebut kedalam dirinya, sehingga prinsip among KHD dalam Trilogi Pendidikan yaitu Ing ngarso
sung tulodho (didepan menjadi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun
motivasi) dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan) akan mampu menciptakan
kepemimpinan pada murid (student agency). Student Agency sendiri merupakan Kemampuan
murid untuk mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, menyuarakan
opini, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan rasa ingin tahu, berpartisipasi dan
berkontribusi pada komunitas belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka kepada orang
lain, dan melakukan tindakan nyata sebagai hasil proses belajarnya. Tujuan besar yang ingin
dibangun dalam diri seorang murid ini tidak lain adalah konsep manusia merdeka KHD yaitu,
mereka tidak terperintah, mereka dapat menegakkan dirinya, tertib mengatur perikehidupannya,
sekaligus tertib mengatur perhubungan mereka dengan kemerdekaan orang lain. Untuk itu,
diperlukan program-program pengembangan potensi diri yang berpihak pada murid, dan seluruh
program-program yang desain haruslah berorientasi pada murid. Karena hasil karya seorang guru
bukanlah terletak pada piala, piagam, atau karya tulis ilmiahnya, melainkan pada keselamatan dan
kebahagiaan murid baik bagi dirinya maupun sebagai masyarakat.

Bagaimanakah pengelolaan program yang berdampak positif pada murid di era revolusi
industri 4.0 saat ini?

Dalam mengelola program yang berdampak positif pada murid maka 4 kompetensi
pemimpin harus ada dalam diri seorang guru penggerak. Yaitu, mengembangkan diri dan orang
lain, memimpin pembelajaran, memimpin manajemen sekolah, serta memimpin pengembangan
sekolah. Secara singkat konsep mengembangkan diri dan orang lain telah saya paparkan pada
pengalaman saya dalam menggerakkan orang lain, dimulai dari memperkenalkan perubahan
paradigma merdeka belajar, disiplin positif sampai kepada supervisi berbasis coaching. Lalu
apakah semua paradigma yang saya perkenalkan dalam komunitas di sekolah, baik terhadap rekan
guru maupun muird membawa dampak positif pada murid? Jawabannya bisa ya bisa tidak.
Berdasarkan hasil analisis secara klasikal, murid yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam
dirinya cenderung merasa bahwa sekolah dan belajar merupakan siksaan baginya. Perbedaan
kebutuhan murid yang dipolakan berdasarkan beberapa penyebab akan sangat membantu murid-
murid dalam eksistensi dirinya di dunia nyata. Dalam hal ini, pendidik sebagai orang dewasa yang
berasumsi bahwa murid tidak memiliki kapasitas mengatur dan memilih pembelajaran seperti apa
yang bisa memaksimalkan diri mereka, sering kita lakukan. Padahal dari pengalaman saya ketika
melaksanakan praktik baik pembelajaran berdifrensiasi, murid-murid sangat antusias dalam
pembelajarannya. Pemimpin pembelajaran perlu mengembangkan pembelajaran berdifrensisasi
dalam setiap proses pembelajaran di program-program intrakurikuler.
Selain itu pengelolaan program pembelajaran dalam menumbuh kembangkan Kompetensi
Sosial Emosional (KSE) murid akan penting untuk menciptakan well being murid. Sebab
berdasarkan pengalaman, murid dengan kesadaran diri yang rendah cenderung berperilaku negatif
karena belum bisa mengenali emosinya sendiri. Memberikan edukasi secara eksplisit dan implisit
tentang Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) pada murid bertujuan untuk menghantarkan murid
menuju keselamatan dan kebahagiaan baik bagi dirinay sendiri maupun bagi masyarakat.
Untuk itu, perlu startegi dalam pengelolaan program yang berdampak positif pada murid.
Salah satunya dengan mempertimbangkan 3 unsur berikut:
1. Suara (voice)
Voice (suara) adalah pandangan, perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui
partisipasi aktif mereka di kelas, sekolah, komunitas, dan sistem pendidikan mereka, yang
berkontribusi pada proses pengambilan keputusan dan secara kolektif mempengaruhi
hasilnya.
2. Pilihan (choice)
Pilihan (choice) adalah peluang yang diberikan kepada murid untuk memilih kesempatan-
kesempatan dalam ranah sosial, lingkungan, dan pembelajaran.
3. Kepemilikan (ownership) dalam setiap program.
Ownership (Kepemilikan) adalah rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan investasi
pribadi seseorang dalam proses belajar.

Selanjutnya, ada hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan bagi seorang pemimpin
pembelajaran dalam mengelola program-program sekolah. Yaitu meenyeimbangkan antara
program-program sekolah dengan tujuan (visi) awal. Tujuan dan sasaran dari perencanaan
darisemua program ini adalah murid, manusia yang memiliki pola kehidupan yang rumit dan
kompleks. Tujuan dan sasaran merupakan dua hal yang berbeda, tujuan (goals) dan sasaran
(objectives). Menurut Terry & Rue dalam Edison, dkk (2016:30), “sasaran (objectives) bersifat
agak lebih khusus (spesifik) dan berjangka lebih dekat dari pada goals”. Dengan adanya
pemahaman yang jelas tentang sasaran, tujuan dan misi maka program-program yang dirancang
akan mudah di petakan sesuai dengan skala prioritas visi sekolah. Lebih lanjut lagi, menurut
Edison dkk bahwa tujuan (goals) merupakan target dalam periode tertentu, dan pada umumnya
dikenal pada istilah tujuan jangkan panjang dan tujuan jangka pendek. Dalam hal ini tujuan sekolah
baik jangka pendek maupun panjang, terilustrasi pada visi sekolah. Disinilah seorang pemimpin
perlu menganlisis program-program yang akan dilaksnakan di lembaganya, agar setiap program
yang bersifat jangka pendek atau sasaran (abjectives) seharusnya berorientasi pada tujuan jangaka
panjang. Sehingga setiap program yang dijalankan dalam ekosistem sekolah menjadi selaras dan
progres pencapaian visi sekolah.
Dalam menjabarkan sasaran dalam program kerja atau tindakan, akan sangat penting bagi
seorang pemimpin untuk melakukan anlisis secara cerdas terkait Why, How dan Who. Pentingnya
alasan-alasan yang berorientasi pada murid akan semakin membuat sebuah program menjadi
prioritas utama dalam perencanaan Kegiatan anggran Sekolah (RKAS). Perhitungan dan anlisis
dalam kegiatan perlu dirincikan secara efektif dan efisen dengan mempertimbangkan siapa,
bagaimana pelaksanaan program tersebut dapat diimplementasikan. Analisis biaya yang digunakan
juga penting secara terperinci dari hal kecil sampai pada tindak lanjut dari program tersebut.
Dengan perincian dana program kegiatan per murid maka pemimpin bisa dengan mudah
mengambil keputusan dengan berbasis data (tanggung jawab) dan kebutuhan murid (etika) maka
pengalokasikan dana bisa terlaksana secara efektif dan efisien.

Referensi:
1. Emosi, M. Darwis Hude (2006)
2. Kepemimpinan kepala sekolah dalam organisasi pembelajar, Dr. Wahyudi (2012)
3. Manajemen Sumber Daya Manusia, Dr. Emron Edison dkk (2016)
4. Manajemen Kinerja, Prof. Dr. Wibowo, S.E., M.Phil (2016)
5. Modul 3.3 Program Guru Penggerak: Pengelolaan program yang berdampak positif pada
murid.

Anda mungkin juga menyukai