Anda di halaman 1dari 34

SUSUNAN ACARA

• Pengantar
• Doa
• Presentasi Materi
• Tanya Jawab
• Penutup ( Doa)
BUDAYA POSISIF

1. PARADIGMA PERUBAHAN
2. KONSEP DISIPLIN POSITIF
3. MOTIVASI PERILAKU MANUSIA
4. KEYAKINAN KELAS
5. KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
6. POSISI KONTROL
7. SEGITIGA RESTITUSI
1. PARADIGMA PERUBAHAN

Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan


lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu
berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan
bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah
bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita.
Pembahasan disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane
Gossen. Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane
Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri.
Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam
menghadap murid.
Lanjutan…..

Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk
meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:
Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu
jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun
tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini
karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu
bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid
tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki
tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
Lanjutan…..

 Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.


Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala
usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku
tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam
jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya
dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut
menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.
Lanjutan…..

 Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat


menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju
pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri
mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang
kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan
perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus
untuk menyampaikan pesan negatif.
Lanjutan…..

 Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.


Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung
jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun
yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan
berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang
dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif
untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan
terbentuk.
2. KONSEP DISIPLIN POSITIF

Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa
yang terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata
disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata
“disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh
berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi
hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak
digunakan sama sekali
Lanjutan…..

Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi


sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk
mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan
kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi
dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat
membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan,
sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga
mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana
menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang
kita hargai.
Lanjutan…..

Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka
mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam
hal ini Ki Hajar menyatakan;
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki
disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai
kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
3. MOTIVASI PERILAKU MANUSIA
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya
orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau
ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila
saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang
menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan
berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak
terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan
tindakan tersebut.
2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku
untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya
dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah
tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut
mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas
mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan
hadiah, pengakuan, atau imbalan.
Lanjutan…..

3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai


diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang
seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu
karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka
melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan
nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan
membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi
berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada
muridmurid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai
dirisendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki
motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka
panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau
hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan
karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka
hargai.
4. KEYAKINAN KELAS

Mengapa kita memiliki peraturan tentangpenggunaan helm


pada sa mengendarai kendaraan roda dua/motor?”
Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’.
Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan
tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?”
Mungkin jawaban Anda adalah “untuk kesehatan dan/atau
keselamatan”.
Lanjutan…..

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu
‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang
disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara,
bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih
memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik.
Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan
keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan.
Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan
mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya
mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka
harus berlaku begini atau begitu.
Lanjutan…..

Pembentukan Keyakinan Kelas:


• Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci
dan konkrit.
• Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
• Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
• Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat
dan dipahami oleh semua warga kelas.
• Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan
tersebut.
• Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan
keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
• Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu
5. KEBUTUHAN DASAR
MANUSIA

1. Kebutuhan Bertahan Hidup


2. Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)
3. Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)
4. Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)
5. Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)
Lanjutan…..

Semua orang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan


berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhannya dengan
cara yang positif, mereka akan mencoba mendapatkannya dengan cara yang
negatif. Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik mungkin
kebutuhannyaakan kekuasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu,
mungkin dia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan kekuasaannya,
dengan mencoba mengatur orang lain di lapangan bermain, atau bahkan
menyakiti mereka secara fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam
kegiatan yang memberi peluang murid tersebut membuat pencapaian yang
berarti.
Lanjutan…..

Semua orang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan


berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhannya dengan cara yang
positif, mereka akan mencoba mendapatkannya dengan cara yang negatif. Seorang
murid yang tidak begitu berhasil secara akademik mungkin kebutuhannyaakan
kekuasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan mencoba
untuk memenuhi kebutuhan kekuasaannya, dengan mencoba mengatur orang lain di
lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka secara fisik. Sebagai guru, kita
dapat melibatkannya dalam kegiatan yang memberi peluang murid tersebut membuat
pencapaian yang berarti. Seorang yang tidak merasa diterima oleh teman-temannya,
kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang tidak terpenuhi, oleh karena itu dia
mungkin akan memiliki satu teman dan memisahkan diri yang lain. Sebagai guru, kita
bisa membangun hubungan yang bisa membangun kepercayaan dan keintiman
dengan anak ini.
kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi
kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat
dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang
positif daripada cara yang negatif.
6. POSISI KONTROL

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline


(1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan
disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif,
apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan
mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr.
William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan
seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima
posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah,
Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima
posisi kontrol ini:
1.Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun
verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa
mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih
menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi
penghukum akan berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran
bisa berhasil, yaitu cara dia.
Contoh posisi kontrol sebagai Penghukum:

Adi yang terlambat hadir di sekolah


(Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk
menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat
waktu?”
Tanyakan kepada diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang
terlambat?
Akibat:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah
kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih
buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan
menggores kendaraan tersebut dengan paku
Lanjutan…..

2. Pembuat Orang Merasa Bersalah: Pada posisi ini biasanya guru akan
bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan
keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau
rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri
mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang
disayanginya
Contoh posisi kontrol sebagai Pembuat orang bersalah :

Adi yang terlambat hadir di sekolah


Pembuat orang lain merasa bersalah
(Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh:
merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat
lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa
sekali.”Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?
Akibat:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya.
Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan
orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena
emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid
dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya
walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa
meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Lanjutan…..

3.Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap
berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa
negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin
antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik
dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak
membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu
teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal
lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru
tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru
tersebut
Contoh posisi kontrol sebagai teman

Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid,
mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa
terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana.
Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Akibat:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif,
hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada
masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat
lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah
guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.
Lanjutan…..

4. Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi,


kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi
pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan
menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi
kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data
yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan
menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal
dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam
mengontrol murid.
Contoh Posisi Kontrol sebagai Pemantau

Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal): Guru: “Adi, tahukah kamu
jam berapa kita memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti apa yang harus
dilakukan bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan
tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus sudah di kelas untuk
menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Akibat:
Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu
peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi
marah atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu
dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru
tetap harus memonitor atau memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam
istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.
Lanjutan…..

Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat
sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid
mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat
menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah
memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan
demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi
tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita
menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita
perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang
manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis
kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain.
Lanjutan…..

Disini penekanan bukan


pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi
dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang
manajer akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita
membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer
bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid
tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
7. SEGITIGA RESTITUSI
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki
kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka,
dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)
Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk
mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang
seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus
memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996)
Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan
memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada
bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari
ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang
menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita
telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki
motivasi intrinsik.
Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan
cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang
apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka
dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban
tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai
dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang
menang
Ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan
program disiplin lainnya.

1. Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari


kesalahan
2. Restitusi memperbaiki hubungan
3. Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan
4. Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri
5. Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan
6. Restitusi diri adalah cara yang paling baik
7. Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan
8. Restitusi menguatkan
9. Restitusi fokus pada solusi
10. Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya
LANGKAH – LANGKAH SEGITIGA RESTITUSI

1. Menstabilkan Identitas/Stabilize the identity


Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak
dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang
yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian adalah anak yang
sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia,
maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin
ia menjadi proaktif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara
mengatakan kalimat-kalimat ini
• Tidak ada manusia yang sempurna
• Berbuat salah itu tidak apa-apa.
• Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
• Kita bisa menyelesaikan ini.
• Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu
ingin mencari solusi dari permasalahan ini.
• Kamu berhak merasa begitu.
• Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
LANJUTAN.............
.
2. Validasi Tindakan yang Salah/ Validate the Misbehavior
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi
kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang
mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling
efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki
maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti
akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir
proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka
sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu
mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut.
Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila
dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan
mereka.
• “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
• “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
• “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi
sesuatu yang penting buatmu”.
• “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan
sikap yang baru.
LANJUTAN.............
.

3. Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief


Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara
internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku
yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk
dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi
orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
• Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
• Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
• Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
• Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

Anda mungkin juga menyukai