Anda di halaman 1dari 3

PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorhagic

Fever (DHF) merupakan penyakit akibat infeksi virus Dengue yang masih

menjadi problem kesehatan masyarakat. Penyakit ini ditemukan hampir diseluruh

belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan subtropik baik sebagai

penyakit endemik maupun epidemik (Djunaedi, 2006).

Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006

(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan

kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%

(2007) (Sinto,2009). Pada bulan Januari 2005 sampai Oktober 2005 tercatat 50,19

kasus DBD di Indonesia, 701 diantaranya meninggal dunia. Kondisi DBD di

Indonesia saat ini memiliki tingkat kematian /CFR 1,4% dan angka kerja IR 22.6

per 100.000 penduduk. Pada bulan Januari hingga Februari 2007, di seluruh

Indonesia terdapat 15.005 kasus dan menyebabkan 252 orang meninggal dunia

(Suryo,2007).

Patogenesis utama yang menyebabkan kematian pada hampir seluruh

pasien DBD adalah renjatan karena perembesan plasma (Soedarmo, 2005).

Berdasarkan hal tersebut, maka penanganan yang tepat dan seawal mungkin

terhadap penderita prarenjatan dan renjatan, merupakan faktor penting yang

menentukan hasil perawatan penderita (Soegijanto, 2006).

Berangkat dari argumentasi di atas maka penilaian yang akurat terhadap

risiko renjatan, merupakan kunci penting menuju penatalaksanaan yang adekuat,

mencegah renjatan dan perdarahan lanjut. Diagnosis yang tepat sedini mungkin,

1
2

serta penilaian yang akurat terhadap stadium dan kondisi penderita sangat

menentukan prognosis akhir penderita. Semakin berat penyakit yang diderita,

risiko kematian yang dihadapi makin besar (Hapsari, 2006).

WHO telah memberikan kriteria diagnosis penderita DBD baik secara

klinis maupun laboratorium. Parameter laboratorium yang dijadikan acuan adalah

kadar trombosit dan hematokrit. Kadar hematokrit dan trombosit merupakan salah

satu parameter untuk menilai kondisi penderita DBD dan sebagai acuan dalam

penatalaksanaannya (WHO,2001).

Kadar hematokrit tidak saja untuk menilai kondisi faktual penderita awal

dengan derajat klinis DBD menurut kriteria WHO, namun juga untuk

memperkirakan (faktor prediktor) risiko terburuk yang akan dihadapi pasien,

sehingga dapat segera diambil langkah-langkah penanggulangan dan pencegahan

dini. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perembesan plasma merupakan

faktor penyebab awal dari hipovolemia yang mencetuskan renjatan pada kasus

DBD. Dan telah dibuktikan bahwa perembesan plasma telah terjadi sejak awal

demam sebelum terjadinya renjatan (Hassan dan Alatas, 2005).

Salah satu patogenesis DBD adalah adanya peran immunopatologis

dimana virus dengue mengaktifkan mediator-mediator proinflamasi yang berakhir

pada meningkatnya permeabilitas kapiler maupun peningkatan apoptosis

trombosit (Suhendro, 2006). Adanya proses immunopatologis ini membuat

beberapa peneliti mencoba memberikan kortikosteroid sebagai terapi tambahn

pada pasien DBD (Panpanich, 2007). Namun penggunaan steroid pada penderita

DBD sampai saat ini masih merupakan kontroversi dan dibutuhkan penelitian
3

lebih lanjut untuk membuktikan rasionalitas pemakaian steroid tersebut.

(Panpanich, 2007).

Berdasarkan pada latar belakang diatas, penggunaan kortikosteroid pada

pasien DBD masih menimbulkan kontroversi membuat peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai uji banding pemberian terapi tambahan steroid

dan terapi konservatif dalam perubahan hemokonsentrasi pada penderita DBD.

Anda mungkin juga menyukai