Anda di halaman 1dari 1

KONFLIK ETNIS TIONGHOA DAN PRIBUMI DI

SURAKARTA (1972-1998)
Pada tahun 1970-an, Surakarta merupakan salah satu tempat tujuan
orang-orang China bermigrasi, kemudian ada sebagian dari mereka yang tinggal
dan menetap hingga saat ini. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya
ketegangan hubungan antara China (etnis Tionghoa) dengan masyarakat
Surakarta dan sekitar.

Saat itu Kota Surakarta yang menjadi pusat terjadinya konflik diantara
keduanya merupakan kota yang terkenal dengan sikap masyarakatnya yang
lemah lembut, sopan santun, serta lebih mengedepankan keharmonisan.
Masyarakat Surakarta dalam menjalin interaksi sosial terkadang timbul berbagai
masalah yang menyebabkan kerusuhan, karena sikap lemah lembutnya yang
agresif.

Dalam realitas sosial orang-orang Tionghoa di Surakarta senantiasa


mendapatkan stigma dan citra jelek, padahal realitas kultural orang-orang
Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan budaya Jawa.
Sebenarnya, konflik etnis Tionghoa dengan pribumi di Surakarta ini sudah
terjadi sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1742-an yang dikenal
dengan “Bedah Kartasura”.

Saat itu konflik ini terjadi di Kartasura sebagai pusat Mataram yang
menjadi pusat otoritas. Dari sifat permusuhan antar etnis ini pada akhirnya yang
terlihat adalah konflik antara China (etnis Tionghoa) versus Pribumi. Saat itu
pada masyarakat pribumi timbul kecemburuan ekonomi pada masa orba (orde
baru) karena perekonomian (dalam skala nasional & skala lokal) ialah wilayah
Surakarta yang mayoritas masih didominasi oleh mereka pengusaha-pengusaha
Tionghoa. Di bawah pemerintahan Orde Baru, ketegangan antara orang Cina
dengan penduduk pribumi terus tumbuh sebagai akibat dari meluasnya jarak
antara yang kaya dan yang miskin dalam negara serta upah rendah yang
diberikan kepada pejabat birokrasi, militer dan polisi.

Sumber: kompasiana.com

Anda mungkin juga menyukai