Anda di halaman 1dari 3

Jumat 22 Mei 2020, 12:10 WIB

Berjemur, Solusi Polemik Kenaikan Iuran BPJS


Rosita Y Suwardi Wibawa, Peneliti di Kinarya Anak Bangsa, Environmental Enthusiast, Pecinta Alam
Hayati & Bumi Lestari | Opini

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/315240/berjemur-solusi-polemik-kenaikan-iuran-bpjs

MAHKAMAH Agung telah membatalkan Kenaikan Iuran BPJS dalam Perpres No 75/2019. Namun,
dengan Perpres No 64/2020 Presiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Kebijakan ini dinilai tidak berempati terhadap kondisi rakyat, selain dianggap sebagai cacat yuridis
dan bertentangan dengan Pasal 2 UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan
Pasal 2 Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Untuk tahun anggaran 2020 negara telah menyiapkan dana BPJS Kesehatan Rp48 triliun, namun di
awal tahun gara-gara pandemi Covid-19 dan pembatalan kenaikan iuran BPJS, malah kemudian
menjadi Rp75 triliun. Angka ini akan terus bertambah jika semakin banyak warga Indonesia yang
menderita penyakit berat. Solusi apa yang dapat ditempuh pemerintah saat ini?Inilah momentum
pengaturan kegiatan berjemur bagi warga negara. Hal tersebut sebagai salah satu solusi dan bisa jadi
merupakan pilihan intervensi pemerintah yang doable dalam kondisi rakyat sedang prihatin
pandemi. Minimal pemerintah perlu menahan diri mengeluarkan kebijakan menaikkan iuran BPJS
setelah pencabutan PSBB.

Mengapa kegiatan sepele macam berjemur di bawah sinar matahari menjadi urgen diatur negara?
Sejak pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) melanda berbagai negara, anjuran berjemur
matahari kerap muncul sebagai pengingat agar tubuh tidak terkena kanker dan penyakit autoimun.
Penyakit-penyakit mematikan itu bisa muncul akibat terjadinya defisiensi vitamin D dari sinar
matahari. Kecepatan penularan covid-19 antar manusia ini membuat warga dunia panik.

Otoritas pemerintahan di berbagai dunia pun kewalahan menangani virus yang penyebarannya
sudah tembus di angka 3 juta jiwa. Jumlah kasus positif terus bertambah. Begitu pula dengan jumlah
kematian. Belum lagi ancaman resesi ekonomi dunia yang diprediksi bakal lebih parah dari the Great
Depression 1930. Manfaat segera Di tengah semua tekanan itu, manusia sebagai entitas yang
mempunyai insting mempertahankan diri mencoba bertahan hidup di tengah-tengah pandemi.
Dalam sekejap, berjemur menjadi gerakan masif di dunia.

Berbagai penelitian mengingatkan pentingnya vitamin D dan sinar matahari untuk imunitas tubuh.
Manusia pun berlomba-lomba agar tidak masuk dalam daftar angka kematian akibat covid-19.
Mengapa berjemur? Peran vitamin D dalam kesehatan manusia ternyata tidak sekadar sebagai agen
pembangun tulang dan gigi, seperti yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Berbagai riset
menunjukkan peran vitamin D yang signifikan dalam memerangi pandemi covid-19 dan penyakit
berat lainnya.

Baru-baru ini artikel review yang dimuat dalam jurnal sains MDPI Switzerland oleh William B Grant,
Henry Lahore dan tim, memaparkan bukti vitamin D dapat mengurangi risiko influenza, infeksi covid-
19, dan risiko kematian akibat virus itu. Pun Martin Hewison pada artikelnya berjudul An Update on
Vitamin D and Human Immunity, memaparkan secara khusus vitamin D yang diproduksi secara
endogen oleh sinar matahari. Di bawah kulit manusia ada 7-dehydrocholesterol yang akan disintesa
sinar ultraviolet matahari menjadi pre vitamin D3. Melalui satu proses lagi pre vitamin D3 akan
diubah menjadi vitamin D3. Vitamin D3 ini kemudian diolah oleh hati dan ginjal secara kimiawi
menjadi vitamin D aktif yang diperlukan tubuh. Vitamin D aktif ini diedarkan darah ke sel-sel tubuh
manusia, termasuk organ tubuh dan berfungsi sebagai imunomodulator.

Imunomodulator adalah zat yang dapat memodulasi (mengubah atau mempengaruhi) sistem imun
tubuh menjadi normal. Zat ini berperan menguatkan sistem imun tubuh atau menekan reaksi sistem
imun yang berlebihan. Sayangnya, banyak orang tidak memahami fungsi vitamin D sebagai
imunomodulator dan lebih berfokus pada pengaruh vitamin D terhadap kesehatan tulang dan gigi.
Orang juga tidak sadar asupan vitamin D paling banyak justru berasal dari sinar matahari, 90% dari
kebutuhan manusia, dan hanya 10% yang bisa dipenuhi oleh makanan.

Dalam buku Power of Vitamin D, Sarfraz Zaidi, MD spesialis endocrinology, diabetes dan
metabolisme di Amerika Serikat mengatakan, sebagian besar orang di dunia tidak sepenuhnya
paham tentang kekuatan vitamin D. Sarfraz bahkan menyebutkan saat ini dunia mengalami pandemi
kekurangan vitamin D. Hal ini disebabkan gaya hidup modern dan konsepsi yang salah tentang
vitamin D. Indonesia sebenarnya sangat diuntungkan sebagai negara di garis khatulistiwa.

Negeri ini tentu mendapat paparan sinar matahari yang lebih banyak dibandingkan negara-negara
yang berada di belahan utara maupun selatan khatulistiwa. Beberapa peneliti, seperti Indah K Murni,
Dian C Sulistyoningrum, dan Vicka Oktaria pada 2016 mengungkapkan vitamin D dapat diperoleh
secara optimal dari matahari di negara yang paparan sinar matahari memadai. Disebutkan pula
bahwa belahan bumi pada lintang yang jauh dari tropis mengalami kesulitan untuk mencapai skor
vitamin D yang dianggap memadai untuk kesehatan. Regulasi berjemur Peran vitamin D sebagai
imunitas tubuh untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan penyakit berat lainnya tidak diragukan
lagi, terlihat dari berbagai penelitian tersebut.

Namun hingga sekarang otoritas pemerintah Indonesia masih belum mengambil kebijakan yang
diperlukan terkait pemenuhan vitamin D dari sinar matahari tersebut. Belum adanya kebijakan
terkait vitamin D ini bisa ditengarai dengan tidak adanya kesadaran dan perhatian mengenai
pentingnya Vitamin D untuk kesehatan warga. Indonesia juga belum mengeluarkan regulasi yang
mengatur hal dasar pemenuhan vitamin D dalam kegiatan warganya. Merebaknya pandemi Covid-19
seharusnya menjadi pijakan bagi pemerintah untuk segera membuat kebijakan regulasi kesehatan
guna memantau indikator ketercukupan vitamin D dalam tubuh.

Hal paling mendasar adalah dengan memasukkan instrumen pengecekan skor vitamin D dalam
formulir cek darah umum di laboratorium. Skor vitamin D harus dianggap sama pentingnya dengan
skor hemoglobin, leukosit, dan trombosit.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/315240/berjemur-solusi-polemik-kenaikan-iuran-bpjs

Dari skor itu akan diketahui angka kecukupan vitamin D pada pasien saat mereka datang ke dokter
dan mengeluhkan penyakitnya, bahkan sebelum si pasien sakit. Pemeriksaan skor vitamin D
mendesak dilakukan terkait dengan fakta-fakta hasil riset yang membuktikan vitamin D merupakan
agen penting imunomodulator yang bisa membantu pencegahan suatu penyakit.

Pengecekan skor vitamin D ini juga harus disertai dengan konsistensi menjalankan gerakan berjemur
secara nasional. Dalam kurikulum pendidikan, pemerintah hendaknya memasukkan satu slot waktu
berjemur untuk seluruh anak didik mulai tingkat taman kanak-kanak atau pre-nursery sampai ke level
pendidikan tertinggi di Indonesia. Langkah ini perlu diambil karena, seperti diungkap Sarfraz, gaya
hidup menjadi salah satu pemicu defisiensi vitamin D.
Di pagi hari, anak-anak didik kita diwajibkan masuk ke kelas di mana pada saat itu matahari sedang
memancarkan sinar ultraviolet yang dibutuhkan untuk mensintesa zat di bawah kulit manusia
menjadi vitamin D. Menurut Sarfraz, sinar matahari UV-B yang berperan dalam sintesa vitamin D
dalam kulit. Saat ini Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memiliki data
indeks ultraviolet (UV Index) yang ada di seluruh kawasan Indonesia, terkait dengan waktu
perjalanan matahari di khatulistiwa. UV Index ini berskala 1 sampai dengan di atas 11 yang
menunjukkan tingkat risiko paparan sinar ultraviolet matahari. Semakin tinggi angka indeks, semakin
berbahaya.

Perlu informasi mengenai jenis sinar ultraviolet apakah UV-A, UV-B ataukah UV-C, dan kapan saja
waktunya. Langkah-langkah strategis perlu segera dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak, bisa
dipastikan warga Indonesia akan banyak mengalami defisiensi vitamin D. Anak-anak sebagai aset
masa depan bangsa justru akan menjadi generasi yang mudah sakit.

Tidak hanya rentan penyakit covid-19, tetapi juga penyakit berat lainnya. Kegiatan berjemur sebagai
upaya pencegahan penyakit berat tentu akan sangat membantu pemerintah menghemat anggaran
belanja di sektor kesehatan masyarakat. Negara tidak perlu lagi mengeluarkan angka fantastis untuk
membayar klaim asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/315240/berjemur-solusi-polemik-kenaikan-iuran-bpjs

Anda mungkin juga menyukai