DH-Etikandan Undang-Undang
PENDAHULUAN
DH-Etikandan Undang-Undang
Latar Belakang
• Upaya kesehatan adalah suatu kegiatan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
• Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan
di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang
bermutu.
• Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan
farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari
paradigma lama drug oriented ke paradigma baru patient
oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan
kefarmasian).
DH-Etikandan Undang-Undang
• Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang
terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan
menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan
dengan kesehatan.
• kenyataannya sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum
melakukan kegiatan pelayanan farmasi seperti yang
diharapkan, mengingat beberapa kendala.
• Akibat kondisi ini maka pelayanan farmasi rumah sakit masih
bersifat konvensional yang hanya berorientasi pada produk
yaitu sebatas penyediaan dan pendistribusian.
DH-Etikandan Undang-Undang
Rumusan Masalah
DH-Etikandan Undang-Undang
Tujuan
• Mengetahui etika farmasis dalam farmasi
Rumah Sakit di Indonesia dalam berkolaborasi
dengan praktisi kesehatan lain.
DH-Etikandan Undang-Undang
DH-Etikandan Undang-Undang
DH-Etikandan Undang-Undang
S
R Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh
F apoteker rumah sakit yang memenuhi syarat.
I
n
n i
a a
t
Menjamin praktik profesional yang bermutu tinggi melalui
l penetapan dan pemeliharaan standar etika profesional,
a
i a pendidikan dan pencapaian, dan melalui peningkatan
g r kesejahteraan ekonomi.
e a
k t
n Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan
n a
a pertukaran informasi antara para apoteker rumah sakit,
u
j
anggota profesi, dan spesialis yang serumpun.
u
T Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit untuk:
a. Secara efektif mengelola suatu pelayanan farmasi yang terorganisasi
b. Mengembangkan dan memberikan pelayanan klinik
c. Melakukan dan berpartisipasi dalam penelitian klinik dan farmasi dan
dalam program edukasi untuk praktisi kesehatan, penderita, mahasiswa, dan
masyarakat
DH-Etikandan Undang-Undang
DH-Etikandan Undang-Undang
Sering menyerahkan
tugas yang harus
dilakukannya kepada
perawat
Keengganan Farmasis
untuk memberikan
Tidak rutin
informasi mengenai
mengunjungi pasien
obat kepada praktisi
rawat inap
kesehatan lain dan
pasien.
Kasus
Pelayanan
Farmasi
DH-Etikandan Undang-Undang
1.Professional
recognition
Professional 2. exploration
awareness. and trial.
Menurut
McDonough
dan Doucette
(2001)
4. commitment
to the 3. professional
collaborative relationship
working expansion.
relationship.
DH-Etikandan Undang-Undang
Tahap awal
Professional awareness
• Pada tahap ini dimana masing-masing profesi saling
mengenal dan mengetahui.
• Hubungannya masih “alamiah”, hanya sebatas farmasis
menerima resep dari dokter, kemudian dispensing.
Farmasis mengontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas
yang terkait dengan resep (dosis, nama obat, dsb), dan
menjawab pertanyaan tentang infomasi obat. Tidak ada
diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil
optimal kepada pasien.
• Mestinya Farmasis tidak boleh puas hanya dengan tahap
tersebut, walau dianggap lebih aman secara profesional.
Farmasis perlu meningkatkan peranannya untuk
mencapai pada tahap 1.
DH-Etikandan Undang-Undang
Tahap pertama
Professional recognition.
• Pada awalnya, usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan
dokter-Farmasis cenderung unilateral, dengan Farmasis yang harus memulai.
• Farmasis perlu berusaha untuk membuat dokter menjadi paham tentang apa-
apa yang bisa “disumbangkan” Farmasis terhadap pelayanan pasien, misalnya
menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi obat yang up to date,
memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien, dsb. Dari situ
dokter akan dapat membangun dasar kepercayaan dan menumbuhkan
komitmen terhadap hubungan kerjasama dengan Farmasis.
• Pada stage ini, komunikasi sering merupakan tantangan tersendiri. Jangan
sampai terjadi miskomunikasi bahwa seolah-olah Farmasi akan
“mengintervensi” wewenang dokter dalam memilih obat atau akan menjadi
“polisi” yang akan mengawasi pengobatan oleh dokter. Justru perlu ditekankan
bahwa Farmasis adalah mitra yang akan membantu dokter sesuai dengan
kewenangannya, demi tercapainya pengobatan pasien yang optimal. Pada
tahap ini dapat dirumuskan mengenai bentuk kerjasama, bagaimana cara
komunikasinya, bagaimana protokolnya, dan dibuat suatu kesepakatan.
DH-Etikandan Undang-Undang
Tahap kedua
Exploration and trial
• Pada tahap ini partisipan (dokter dan Farmasis) akan menguji
kekompakan, harapan, kepercayaan dan komitmen mereka terhadap
hubungan kerjasama. Dokter mungkin akan memutuskan untuk merujuk
pasien ke farmasis untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya
penyesuaian dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi kompetensi
Farmasis untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup bermanfaat dan
dapat dilanjutkan. Sebaliknya Apoteker juga dapat menilai apakah dokter
tersebut dapat diajak bekerja sama yang positif.
• Pada fase ini, jika harapan dokter terhadap Farmasis terpenuhi, dokter
akan memberikan kepercayaan kepada Farmasis untuk meneruskan
kerjasama untuk bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik pada
pasien. Sebaliknya jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi
dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan
berakhir. Jika dokter dan Farmasis telah melihat dan mendapatkan
manfaat kerjasama mereka dari tahap exploration and trial, maka mereka
dapat meningkatkan dan memperluas kerjasama profesional tersebut dan
sampai ke tahap 3.
DH-Etikandan Undang-Undang
Tahap ketiga:
professional relationship expansion.
• Pada stage ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan
norma/aturan yang disepakati, penilaian performance,
dan resolusi konflik.
• Pada fase ini the exchange efforts masih belum seimbang,
dengan Farmasis perlu secara kontinyu mengkomunikasikan
mengenai manfaat bagi pasien yang mendapat pelayanan
farmasi yang tepat. Jika performance Farmasis sesuai
dengan ekspektasi dokter, dokter dan Farmasis secara
pelan-pelan akan memantapkan lingkup dan kedalaman
saling ketergantungan (interdependence) mereka.
Tujuannya adalah memelihara atau meningkatkan kualitas
pertukaran sehingga hubungan profesional dapat terus
dikembangkan
DH-Etikandan Undang-Undang
Tahap keempat:
commitment to the collaborative working
relationship.
• Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah
melihat bahwa dengan adanya kerjasama dengan Farmasis resiko
praktek pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai tambah
yang diperoleh dari kepuasan pasien.
• Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika usaha dan keinginan
bekerjasama dari masing-masing pihak relatif sama. Dokter akan
mengandalkan pengetahuan dan keahlian Farmasis mengenai obat-
obatan, sementara Farmasis akan bersandar pada informasi klinis
yang diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage
terapi pasien.
• Pada tahap ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan
masalah pasien, masalah-masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus
dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan
yang lain. Selain itu adanya komitmen kerjasama ini perlu
diinformasikan kepada tenaga kesehatan yang lain sehingga mereka
dapat turut terlibat di dalamnya.
DH-Etikandan Undang-Undang
DH-Etikandan Undang-Undang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004
• Pelayanan informasi
• obat merupakan kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh apoteker untuk memberikan
informasi secara akurat, tidak bias dan terkini
kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya dan pasien.
DH-Etikandan Undang-Undang
Kesimpulan
• Seorang farmasis di Farmasi Rumah Sakit
harus mengikuti Kode Etik Apoteker.
• Mengamalkan professional awareness,
professional recognition, exploration and
trial, professional relationship expansion,
commitment to the collaborative working
relationship.
DH-Etikandan Undang-Undang