Anda di halaman 1dari 4

Akhlak Sosial

Bagaimana pun, tasawuf yang dipraktekkan masa kini harus memperhatikan masalah
kemanusiaan dalam kehidupan sosial yang merupakan bagian dari keberagamaan para sufi.
Tujuan yang dapat dicapai tetap sama yaitu ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Tetapi
kemudian dikembangkan bukan hanya untuk individu, melainkan juga dalam bentuk kesalehan
sosial.
Profil pengamalan tasawuf sosial ini tidak semata-mata berakhir pada kesalehan
individual, melainkan berupaya untuk membangun kesalehan sosial bagi masyarakat
disekitarnya. Mereka tidak hanya memburu syurga bagi dirinya sendiri dalam keterasingan, tapi
juga membangun surga untuk orang banyak dalam kehidupan sosial.
Kita tahu bahwa, dalam pengamalan tasawuf terdapat dua model, yaitu; Pertama, tasawuf
yang berorientasi pada perubahan individu atau perubahan internal (internal shift). Di sini,
individu berusaha untuk membenahi jiwa dan batin. Tasawuf merupakan gerakan dan proses
merubah dan menata hati, sehingga dalam diri dan perilaku individu berubah dari berakhlak
buruk menjadi berakhlak baik.
Kedua, pada tahap berikutnya perubahan individu ditransformasikan pada aspek sosial,
mulai dari lingkungan terdekat, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Gerakan tasawuf tidak
hanya berkutat (sibuk) pada ritual yang bersifat vertikal, namun maju pada garda depan sebagai
ritual sosial.
Tasawuf membawa visi dan misi transformasi sosial, dimana tasawuf harus mampu
menjadi solusi alternatif pemecahan problem-problem sosial untuk menuju era sosial baru. Krisis
yang menerpa negeri ini, bukan saja sebatas pada krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial
dan seterusnya. Tetapi, berpangkal dan berujung pada krisis akhlak dan spiritual.
Jika dirunut, krisis tersebut adalah buah dari krisis spiritual keagamaan. Pentingnya
esoterisme (pengharapan) dalam Islam yakni tasawuf tak bisa dipungkiri. Konsepsi al-Qur’an
bahwa dunia ini riil, bukan maya. Beberapa ayat menegaskan agar manusia beriman kepada
Allah, hari akhir dan amal shaleh. Hal itu merupakan isyarat sekaligus formulasi yang
menyatukan dimensi spiritual, yang mengarah pada realitas transedental dan aktivitas kongkrit
dalam sejarah.
Dengan demikian manusia tidak hanya telah kehilangan wawasan spiritualnya dalam
memahami kekuatan-kekuatan alam, melainkan juga tidak mengembangkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern dengan mengindahkan nilai-nilai akhlak dan spiritual yang
bersumber kepada keutuhan dan keseimbangan yang mencerminkan keagungan, keindahan dan
kesempurnaan.
Tuhan yang tidak mengehendaki apapun kecuali kebaikan dan kebajikan bagi
makhluknya. Jika manusia dalam hatinya selalu dipenuhi dengan nafsu duniawi, selalu
menjadikan teknologi modern sebagai sesuatu yang paling berharga.
Agar dapat menerima cahaya Tuhan, manusia harus menghilangkan akhlak buruk
terhadap penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan mengarahkan yang
dikuasainya kepada hal-hal yang konstruktif terhadap kehidupan manusia. Namun, yang
diperlukan adalah sikap istiqamah pada setiap masa dan mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di
zaman modern ini, karena kemodernan bercirikan perubahan. Istiqamah di sini bukan berarti
statis, melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis.
Dapat dikiaskan dengan kendaraan mobil; semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin
mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka, disebut mobil itu memiliki stabilitas
atau istiqamah. Mobil disebut stabil bukanlah pada waktu dia berhenti, tapi justru ketika dia
melaju dengan cepat.
Tanggung jawab tasawuf akhlãki bukanlah dengan melarikan diri dari kehidupan dunia
nyata, sebagaimana ditujukan oleh sementara orang yang kurang setuju terhadap tasawuf. Akan
tetapi, ia adalah suatu usaha yang mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru,
yang akan membentengi diri saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba
materialistik. Berusaha, merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga timbul kemampuan
menghadapi beragam problem tersebut dengan sikap optimis.
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam tasawuf akhlaki tersebut, antara lain; Pertama,
tasawuf akhlaki merupakan basis yang bersifat fitra pada setiap manusia. Tasawuf merupakan
potensi Ilahiyah yang ada dalam diri manusia yang berfungsi diantaranya untuk mendesain corak
peradaban dunia. Karena itu, tak heran jika tasawuf dapat mewarnai segala aktivitasnya baik
yang berdimensi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Kedua, tasawuf akhlaki bisa berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol, agar
dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasi yang mengarah pada dekadensi akhlak
(penurunan akhlak), kemanusiaan dan keislaman.
Dengan demikian, tasawuf akan mengantarkan manusia pada tercapainya “supreme
akhlakity” (keunggulan akhlak). Sehingga bisa mencapai insan kamil, mencontoh tokoh sufi
ideal dan terbesar dalam sejarah Islam, yakni Nabi Muhammad Saw, karena beliaulah suri
teladan terbaik bagi seluruh umat manusia, sebagaimana ditegaskan Allah Swt. dalam surah Al-
Ahzab:
‫ لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َرسُوْ ِل هّٰللا ِ اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ْن َكانَ يَرْ جُواهّٰللا َ َو ْاليَوْ َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْيرًا‬
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab (33): 21).
Dari ayat tersebut, telah jelas bahwa suri teladan yang baik adalah Rasulullah saw, tetapi
banyak manusia tidak mau mencontoh kepadanya, dapat dilihat pada era globalisasi dewasa ini,
akhlak manusia semakin memburuk karena krisis keteladanan. Selain dari itu, faktor lingkungan
dan kondisi bangsa Indonesia yang sedang dikuasai oleh elite politik yang kurang Islami dan
pengaruh globalisasi serta teknologi, sehingga segala aktifitas manusia mengalami pergeseran
nilai.
Hal tersebut sangat berdampak negatif terhadap masyarakat dan peserta didik dari segala
perilaku kehidupannya. Selanjutnya, keteladanan dari Rasulullah saw., adalah faktor penentu
dalam perbaikan dan pembentukan akhlak mulia terhadap peserta didik. Kemudian tingkah laku
seorang guru, harus merupakan realisasi dari apa yang diucapkan dan apa dianjurkannya untuk
dilakukan, itulah pribadi guru yang diharapkan sebagai guru teladan.
Pribadi guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan,
terutama dalam pendidikan akhlak, yang sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta
didik. Ini dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka meniru-niru,
termasuk peserta didik suka meniru pribadi gurunya dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh
karena itu, akhlak mulia dari orang tua dan guru sangat dibutuhkan terhadap peserta didik dalam
proses pembentukan kepribadiannya.
Pada era globalisasi dewasa ini banyak permasalahan dan hiruk pikuk kehidupan bangsa
yang diwarnai oleh berbagai penyimpangan dari hakikat kehidupan manusia. Misalnya, korupsi
merebak dimana-mana serta melibatkan berbagai orang dan beberapa lembaga.
Maka, tasawuf akhlaki dipandang sebagai alternatif (solusi) dari berbagai permasalahan
tersebut. Sebab permasalahan sudah jelas yakni hati (qalb) manusia sedang kotor dan sakit akibat
pengaruh globalisasi dan teknologi.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai banyak keinginan yang tak terhingga. Adanya
keinginan hidup yang mendorong manusia melakukan berbagai tindakan dalam rangka
pemenuhan keinginan tersebut. Banyaknya keinginan manusia sehingga di era globalisasi
dewasa ini, suka meniru-niru apa yang ada di hadapannya. Selain dari itu, pengaruh siaran
televisi, internet, HP, dan beberapa alat-alat teknologi lainnya, kesemuanya itu adalah salah satu
tantangan dalam tasawuf akhlaki. Wallahu a’lam bisshawaab.

*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang


Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Anda mungkin juga menyukai