Anda di halaman 1dari 12

PENGALAMAN SELF TRANSENDEN PADA PENGAMAL THORIQOH

QADARIYYAH WA NAQSYABANDIYAH DI PONDOK PESANTREN SAPU JAGAT

KENCONG PARE

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.

Psi)

Oleh:

NAILIL MUNA SALSABILA

9.334.429.18

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) KEDIRI

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan di bidang teknologi pada zaman modern ini telah membawa manusia ke

dalam dua sisi, yaitu bisa memberi nilai tambah (positif), tapi pada sisi lain dapat mengurangi

(negative). Efek positifnya tentu saja akan meningkatkan keragaman budaya melalui

penyediaan informasi yang menyeluruh sehingga memberikan orang kesempatan untuk

mengembangkan kecakapan-kecakapan baru dan meningkatkan produksi. Sedangkan efek

negatifnya kemajuan teknologi akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara

mental dan keyakinan agama belum siap.1

Hal tersebut di atas adalah permasalahan masyarakat modern yang obsesi

keduniaannya tampak lebih dominan ketimbang spiritual. Kemajuan teknologi sains dan

segala hal yang bersifat duniawi jarang disertai dengan nilai spiritual. Karena kemajuan

teknologi sains dan segala hal yang bersifat dunia itu biasanya dikaitkan dengan teori-teori

ilmiah, bahwasanya teori-teori ilmiah berdasarkan pengamatan dan penemuan yang

dilakukan oleh seorang peneliti.

Menurut Sayyed Hossein Nasr, seorang ilmuwan kenamaan dari Iran, berpangan

bahwa manusia modern dengan kemajuan teknologi dan pengetahuannya telah tercebur ke

dalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan materi semata namun tidak mampu menjawab

1
Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24
problem kehidupan yang sedang dihadapinya. Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidaklah

bisa hanya bertumpu pada materi melainkan pada dimensi spiritual. Jika hal tersebut tidak

diimbangi akibatnya jiwa pun menjadi kering, dan hampa. Semua itu adalah pengaruh dari

gaya kebarat-baratan, yang manusia-manusianya mencoba hidup dengan alam yang kasat

mata.

Penekanan manusia modern yang sangat kuat pada rasio, mengakibatkan munculnya

pemahaman keagamaan yang serba-legal formal, bahkan teknis, serta dangkal. Pemahaman

seperti itu hanya akan memperoleh separo kebenaran tanpa dilengkapi dengan pendekatan

qalb (hati nurani). Sementara, hati merupakan pangkal petunjuk kebajikan. Karena itu,

dimensi ini yang banyak ditekuni para sufi dalam mengembangkan kepribadian manusia

dalam masyarakat. Kaum sufi adalah kelompok yang peduli dengan persoalan hakikat karena

itu sangat peduli dalam menangani hati manusia sebagai sumber ilmu hakikat. Kaum sufi

tidak pernah puas dengan bentuk-bentuk lahiriah sebelum memperoleh hakikat batiniah.

Memang membentuk kesadaran nurani bukan perkara mudah, disitulah diperlukan kesabaran,

disertai penggunaan bahasa dan tutur kata yang sesuai dengan keadaan manusianya.

Pada umumnya manusia mempunyai kehidupan yang diwarnai dengan berbagai

keraguan, ketidakpastian, kecemasan (enxaity), bahkan kesia-siaan (pain) yang terus menerus

sehingga menjadi manusia yang terasing dari masyarakatnya, dan bahkan dirinya sendiri,

ketika telah kehilangan kepecayaan dan harga diri. Bagi orang yang beriman dan beramal

saleh, mereka tidak akan mengalami kecemasan dan ketakutan karena mereka telah

menyerahkan hidupnya pada Allah SWT. Mereka itu selalu mendapatkan nur (cahaya),

hidayah (petunjuk), dan inayah (pertolongan) dari Allah sehingga menjadi yang mulia di sisi

Allah dan di hadapan manusia yang lain, dan mereka itu memiliki berbagai keistimewaan.
Sengsara apa pun seorang Mukmin masih mempunyai harapan terhadap rahmat Allah, baik

di dunia maupun di akhirat nanti. Dengan kepercayaan itu, kehidupan seorang Mukmin selalu

optimis dan selalu punya harapan.

Dengan adanya raja’ (harapan) itu, seorang Mukmin akan selalu berusaha

meningkatkan kesalehan mereka, sebagai upaya taqarrub (menekatkan diri) pada Tuhan.

Bagaimana derajat manusia itu ditingkatkan dalam tasawuf tecermin dalam maqamat (level)

serta ahwal (kondisi) yang ada. Maqamat dalam tasawuf, seperti taubat, wara’, zuhud,

shabar, tawakkal, ridla, dan syukur, merupakan proses dan tahapan manusia dalam

menempuh jalan menuju Tuhan. Dari tahap itu, kemudian seorang sufi mencapai ahwal

(kondisi spiritual) tertentu. Ahwal ditempuh, mulai dari proses takhalli, yaitu mengosongkan

diri atau membersihkan diri nafsu syaithaniyah, nafsu bahimiyah, dan sebagainya sehingga

benar-benar menjadi orang yang wara’ dan zuhud.2

Self Transendence adalah melampui diri terhadap masalah untuk memenuhi

kebutuhan pada tingkat tujuan hidup, yaitu individu mengembangkan seperangkat nilai

keikatan diri (self commitment), melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah guna

mencapai makna dan tujuan hidupnya. Dengan melibatkan diri dalam fenomena-fenomena

kegiatan yang membangkitkan spirit dalam cinta dan pekerjaan, seseorang memilih sikap

yang benar, melampui dirinya sendiri menghadapi disf

ungsi dan pola perilaku yang salah. Kegiatan tersebut mengurangi gejala dengan

membenamkan diri dalam pekerjaan, sehingga seseorang tidak hanya mengatasi kondisi

eksternal tetapi juga kondisi dalam dirinya sendiri untuk mencapai tujuan hidup. Tujuan

2
Dr. H. Syamsun Ni’am, M.Ag, Wasiat Tarekat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 14
hidup mencerminkan pribadi setiap individu yang mempunyai harkat dan martabat untuk

penghargaan atas dirinya.

Self transenden sebagai inti dari keberadaan manusia. Melalui transendensi diri

seseorang melampui dirinya untuk focus pada makna dan nilai. Frankl (2010:2,3)

menjelaskan bahwa transendensi diri efektif, karena seseorang memanfaatkan sumber daya

batinnya, khususnya kemampuaannya untuk melampui diri. Dengan transendensi diri,

seseorang dapat menjangkau keluar, dan benar-benar mencapai dunia, menghadapi makhluk

lain untuk memenuhi dan menemukan makna. Makna dalam situasi ini memberi isyarat

seseorang keluar dari masalah. Situasi ini dilihat sebagai tantangan dan undangan untuk

mengubah penderitaan manusia menjadi prestasi manusia. Dengan demikian, transendensi

diri adalah sumber daya batin yang memperdayakan kapasitas kehendak seseorang untuk

makna.3

Ajaran dalam tasawuf dalam salah satu proses di atas ialah memberikan solusi bagi

kita untuk menghadapi tentang bagaimana mengelola hati agar menjadi baik, terutama dalam

aspek batini, semisal ikhlas dalam beribadah, tawakkal, tawadhu’, tasamuh, dan sabar dan

lain sebagainnya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.4 Usaha mendekatkan diri

kepada Allah SWT. Sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak

ibadah. Usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, merupakan hakikat Ath-Thoriqoh yang

sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan

diri kepada Allah SWT, sedangkan Ath-Thoriqoh adalah cara dan jalan yang ditempuh

seseorang dalam usahannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

3
Jacob Engel, Self Transendence, hal. 52
4
Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf…. hal. 5
Di era modern ini perkembangan gaya barat mulai meluas, mulai dari perkotaan

sudah merambah kepedesaan. Korupsi, manipulasi, pergaulan seks bebas, perselingkuhan,

memutuskan jalinan social, dan sederet tindakan amoral lainnya seolah sudah menjadi yang

ma’ruf, karena telah dilakukan banyak orang. Mereka seolah lupa atau pura-pura lupa bahwa

hal itu tidak akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. Kehidupan metrialistik yang

mengarah pada pola hidup hedonistic seolah telah menggelamkan sebagian orang dari

mengingat kematian. Kemudian orang tidak lagi menggunakan pesan-pesan Allah dan Rasul-

Nya.

Seperti yang terjadi di Wilayah desa Kencong Pare Kediri. Masyarakatnya masih

banyak yang mementingkangkan keduniaannya, yang cenderung mengarah ke dekadensi

moral yang gejalanya seperti Dulunya suka minum-minuman arak, Memarahi anaknya

sampai anaknya kabur dan tidak mau kembali ke rumah pedagang sayur yang meninggalkan

jualannya demi ingin mengikuti ibadah thoriqoh ini, malah seiring berjalannya waktu bisa

menjabat sebagai juragan sayur tsb. Akibat negatifnya mulai terasa dalam kehidupan. Maka

At-Thoriqoh ini mulai mendapatkan perhatian dan dituntut perannya untuk terlibat secara

aktif untuk mengatasi masalah tersebut, dan mengajak umat Islam untuk membersihkan diri

dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Maka perlu adannya pembinaan akhlak pada masyarakatnya seperti pembinaan

akhlak melalui Thoriqoh Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah. Namun hanya sebagian

masyarakat mengikuti kegiatan At-Thoriqoh ini, tetapi diharapkan sebagian masyarakat bisa

memiliki akhlak yang luhur, tidak saja kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia dan

seluruh makhluknya. Juga dalam ajarannya At-Thoriqoh Al Qadariyyah wa

Naqsyabandiyyah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bisa merasakan hakikat
Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna.

Lebih mendekatkan diri pada Allah. Semua pekerjaan dilakukan atas ibadah.

Beberapa alasan inilah yang menjadikan penulis merasa tertarik untuk melakukan

sebuah penelitian tentang peran Thoriqoh Qadariyah Naqsabandiyyah (TQN) di Pondok

Pesantren Sapu Jagat Kencong Pare, terutama dalam hal Perubahan diri dari yang buruk

menjadi baik, dan yang baik menjadi yang lebih baik untuk mengamalkan ajaran-ajarannya di

kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan demikian penulis memberi judul pada penelitian ini

yaitu “Pengalaman Self Transenden Pengamal Thoriqoh Qadariyyah Wa

Naqsyabandiyyah di Pondok Pesantren Kencong Pare”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, fokus rumusan masalah peneliti diantaranya adalah:

1. Bagaimana Pengalaman Spiritual Jamaah dalam Mengikuti TQN?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana fokus masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini diantaranya adalah:

1. Untuk mengetahui pengalaman spiritual Jamaah dalam mengikuti TQN

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis

Kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah dapat menambah wawasan serta

pendalaman terhadap ilmu pengetahuan di bidang psikologi yang berkaitan dengan

makna perubahan diri.

2. Kegunaan praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat meningkatkan

pemahaman jamaah dan masyarakat pondok pesantren guna untuk mengetahui dan
meningkatkan perubahan diri untuk bisa memposisikan sebagai transenden sebagai

sumber kekuatan dan pencerahan untuk mencapai tujuan hidup.

a. Bagi Lembaga dan Instansi

Diharapkan dengan hasil penelitian ini mampu menjadi sumber informasi dan

menambah kepustakaaan baik bagi IAIN Kediri maupun bagi Pondok Pesantren Sapu

Jagat Kencong.

b. Bagi Jamaah Pondok Pesantren Kencong

Diharapkan dengan hasil penelitian ini mampu menjadi sumber informasi dan

menjadi pertimbangan dalam usahannya untuk mendekatkan diri kepada Allah

E. Penegasan Istilah

1. Thoriqoh Qodiriyah Nagsyabandiyah

Menurut Sri Mulyati di dalam bukunya Mengenal dan memahami thoriqoh-

thoriqoh muktabarrah di Indonesia menjelaskan bahwa Thoriqoh Qodiriyah

Nawsyabandiyah atau mudah dikenali dengan (TQN) merupakan gabungan antara

thoriqoh Qodiriyah dan Naqsyabandiyah. Dua Thoriqoh ini adalah ulama Indonesia asli,

yaitu Syekh Akhmad Khatib Sambas (1802-1872). Nama beliau terkenal dengan sebutan

nama Sambas, sebuah kota di sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat5.

Thoriqoh Qadiriyah berasal dari Syeikh Abd Qadir Al-Jailani. Ia adalah seorang

ulama besar sunni yang bermadzhab Hambali, lahir pada tahun 470 H/1077 M di Jilan

wilayah Iraq sekarang dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H/1166 M. sementara

itu Thoriqh Naqsyabandiyah yang dipadukan dengan Thoriqoh Qodiriyah juga sering

disebut dengan Thoriqoh Khawajakiyah. Penanaman Naqsyabandiyah dinisbahkan

5
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarrah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), hal.
253.
kepada seorang sufi bernama Muhammad Ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi al

Bukhari al Naqsabandi6.

Berdasarkan beberapa teori yang telah mendefinisikan TQN (Thoriqoh Qadiriyah

Naqsyabandiyah), penulis berpendapat bahwa TQN merupakan dua Thoriqoh yang

digabung dalam satu bentuk ajaran, penggabungan dua inti ajaran Thoriqoh tersebut

dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu

saling melengkapi.

2. Self Transenden

Kuntowijoyo7 memaknai transendental dengan dengan mendasarkan keimanan

kepada Allah (Ali Imron : 110) dengan mengenalkan ilmu profetik, berupa humanisasi

(ta’muruna bil ma’ruf), liberasi (tanhauna anil munkar) dan transendensi (tu’minuna

billah). Dalam hal ini, unsur transendensi harus menjadi dasar unsur yang lain dalam

pengembangan ilmu dan peradaban manusia. Metode pengembangan ilmu dan agama

menurut Kuntowijoyo disebut dengan istilah profetik mendasarkan pada Al-Quran dan

Sunnah merupakan basis utama dari keseluruan pengembangan Ilmu pengetahuan.

AlQuran dan Sunnah dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan

profetik, baik ilmu kealaman (ayat Kauniyah) sebagai basis hukum-hukum alam,

humaniora (Ayat Nafsiyah) sebagai basis makna, nilai dan kesadaran maupun ketuhanan

(Ayat Qauliyah) sebagai basis hukum-hukum Tuhan.

Dalam hal ini Islam dan hukum Islam merupakan upaya yang sistematisaasi

konsep dasar dari nilai nilai syariah tentang fondasi kehidupan dimana orientasinya untuk

mewujudkan hakikat kehidupan dalam beragama dan berhukum melalui maqoshid

6
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani, 1992), hal. 319
7
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masdjid, Mizan, Bandung, 2001, hal 364.
alsyariah. Islam sebagai ad-dien telah memberikan dasar bagi umat muslim melalui Al23

Konsep Dasar Filosofis Pemikiran Ibnu Arabi, Jurnal Tajdid, Volume XI No. 2, 2012. 24

Lukman Hakim, Madzab Tasawuf Saling Bertemu, Republika, 22 Maret 2015, hal 16. 25

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masdjid, Mizan, Bandung, 2001, hal 364. 26 Kunto wijoyo,

Islam sebagai Ilmu : Epistimoogi, Metodologi dan Etika, Teraju (PT Mizan Publika),

Jakarta, 2004, hal 27. Quran dan Sunnah. Keduanya berisi pedoman dan peunjuk berupa

nilai nilai kehidupan, termasuk penerapannya dalam dunia ilmu pengetahuan dan

kehidupan sehari hari8.

F. Telaah Pustaka

Telaah pustaka merupakan penjelasan dari beberapa judul beserta isi dari

penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya dengan tema yang serupa dan bertujuan

sebagai referensi serta pembanding untuk sebuah penelitian yang akan dilakukan.

Beberapa telaah pustaka yang terkait adalah sebagai berikut :

1. Skripsi oleh Alviatus Zahro Jurusan Tasawuf Psikoterapi IAIN Tulungagung dengan

judul “Makna Ketenangan Jiwa pada Lansia Setelah mengamalkan Ajaran Thoriqoh

Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah” Menyimpulkan bahwa lansia mmengikuti kegiatan

Thoriqoh adalah untuk tholabul ilmi dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dengan mengamalkan ajaran Ath-Thoriqoh Al Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah para

lansia dapat meningkatkan kualitas hidup dan ketenangan dalam jiwa dalam

menghadapi semua problematika kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Perbedaan pada penelitian diatas dengan peneliti yang akan dilakukan yakni

pada pembahasan. Pembahasan yang digunakan yakni pembahasan tentang

8
Absori, Af Azhari, MM Basri, dan F. Muin, Transformation of Maqashid Al-Syariah (An Overview of The
Devolepment of Islamic Law In Indonesia), Jurnal Al-Ihkam, Jurnal Hukum dan Pranata Sosial, 2016, Vol 11, No 1,
hlm. 1-18.
ketenangan jiwa mengikuti kegiatan Ath-Thoriqoh, sedangkan pada penelitian yang

akan dilakukan peneliti membahas tentang pengalaman self transenden mengikuti

kegiatan thoriqoh.

2. Skripsi oleh Siti Nur Fadhilah dengan judul “Peran Ath-Thoriqoh Al-Qodariyyah

wannaqsyabandiyah “Al-ustmaniyyah” dalam Membina Akhlak Jama’ah di

Kelurahan Ngebleng Panggul Trenggalek. Peneliti menggunakan metode penelitian

kulitatif dengan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber

data dengan pertimbangan tertentu. Metode yang digunakan peneliti untuk

memperoleh data tentang kegiatan jama’ah Ath-Thoriqoh yang sedang melakukan

kususi atau dzikir. Amalan yang digunakan, gerak-gerik para jama’ah, sedangkan

pada peneliti yang akan dilakukan peneliti membahas tentang pengalaman

mendekatkan diri kepada Allah SWT.

3. Buku oleh Sri Mulyati dengan judul “Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah

Naqsyabandiyah dengan referensi Utama Suralaya”. Hasil disertasi yang diterbitkan

tahun 2010 ini menekankan tentang perkembangan sejarah dan intelektual dari

Tarekat Qadiriyah naqsyabandiyah (TQN), kemajuan tarekat ini di dalam dan diluar

pulau jawa serta meneliti tentang aktivitas dan kehidupan syeh Sambas. Fokusnya

kemudian menjelaskan transmisi doktrin-doktrin TQN oleh murid-murid syeh

Sambas terutama ‘Abd Karim banten, dan penyebaran tarekat berangsur-angsur di

seluruh kepulauan yang mengakibatkan pembentukan cabang yang memelihara

keberadaa-keberadaan yang terpisah tetapi pada makna yang luas ajaran-ajarannya

tetap sama9. Persamaan dengan peneliti yang penulis lakukan

9
Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Dengan Referensi Utama Suryalaya, (Jakarta:
KENCANA, 2010), hal. Viii
adalah sama-sama meneliti tentang Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, hanya saja

terdapat perbedaan yang signifikan antara penelitian ini dengan yang penulis

lakukan. Jika peneliti focus kajiaannya adalah tentang sejarah perkembangan TQN

sedangkan penulis adalah pengalaman dalam mengikuti kegiatan TQN.

Anda mungkin juga menyukai