Anda di halaman 1dari 7

MENGHIDUPKAN SPIRITUALITAS PADA REMAJA DI ERA MODERN DENGAN

NEO-SUFISME

Na’ilah Imtitsal Lathifah (933424319)

Prodi Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah

Institut Agama Islam Negeri Kediri

nailahimtitsall@gmail.com

Abstract

In life, humans need spirituality to restore and maintain faith, establish a good relationship with
God, and achieve a more meaningful life. In psychology, spirituality means the formation of an
individual's personality qualities to lead him to maturity away from moral and religious issues and away
from worldliness. The method used in this research is qualitative by means of observation and
interviews with teenagers. Currently is the modern era which is an era of life that is built on the basis
of an attitude of life that is related to today's life. Current conditions have taken humans far from their
God. The problem formulation in the research includes the characteristics and development of Sufism
in adolescents. These findings can provide a deeper understanding of neo-Sufism in adolescents. By
involving neo-Sufism in the modern era, humans can get closer to their relationship with God. The
conclusions of this research can provide an explanation regarding the development of neo-Sufism in
the modern era.

Keywords: Spirituality, Modern Era, Neo-Sufism.

ABSTRAK:

Dalam kehidupan, manusia membutuhkan spiritualitas untuk mengembalikan dan


mempertahankan keyakinan, menjalin hubungan baik dengan Tuhan, serta mencapai kehidupan yang
lebih bermakna. Dalam psikologis spiritualitas berarti pembentukan kualitas kepribadian individu untuk
menuntun menuju kematangan dirinya dari isu-isu moral dan agama serta jauh dari sifat keduniawian.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif dengan cara observasi dan wawancara
dengan remaja. Saat ini merupakan era modern yang mana merupakan era kehidupan yang dibangun
atas dasar sikap hidup yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Kondisi kekinian telah
membawa manusia jauh dengan Tuhannya. Rumusan masalah pada penelitian mencakup ciri
karakteristik dan perkembangan sufisme pada remaja. Temuan ini dapat memberikan pemahaman lebih
mendalam mengenai neo-sufisme pada remaja. Dengan melibatkan neo-sufisme pada era modern dapat
mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhannya. Kesimpulan pada penelitian ini dapat memberikan
penjelasan mengenai perkembangan neo-sufisme di era modern.

Kata Kunci: Spiritualitas, Era Modern, Neo-Sufisme.


PENDAHULUAN

Untuk melihat secara akademik “Menghidupkan Spiritualitas Pada Remaja di Era Modern
dengan Neo-Sufisme”, penelitian ini akan lebih difokuskan pada fenomena akademik daripada
fenomena empirik. Fenomena akademik yang relevan dapat berupa banyak remaja yang lebih
memikirkan kebahagiaan duniawi dibandingkan dengan kebahagiaan ukhrawinya. Sebagai contoh,
penelitian dapat memperinci beragam pendapat dari berbagai remaja yang memiliki pengalaman
hubungan antara spiritualnya dengan Tuhan. Selain itu, pada penelitian ini akan menghadirkan
perspektif-perspektif baru dari pandangan para remaja. Dengan berdasarkan pada analisis literatur,
pandangan ahli, dan perkembangan sufisme di era modern, artikel ini dapat memberikan gambaran yang
lebih mendalam dan akademis terhadap tingkat spiritualitas remaja di era modern.

Penelitian ini bertujuan untuk mendalami dan menghidupkan spiritualitas remaja di era modern
dengan neo-sufisme dengan fokus utamanya adalah mengobservasi dan mewawancarai para remaja
yang dipilih untuk menjadi subjek dari penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif
deskriptif dengan melibatkan analisis literatur, pendapat para ahli, dan teori yang terkait untuk
menyusun kerangka konseptual yang kuat. Tujuan utama pada penelitian ini adalah untuk memberikan
pandangan lain yang lebih mendalam dan lebih terperinci dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
Dengan melihat fenomena akademik pada remaja dapat memberikan wawasan lebih luas mengenai
kedekatannya dengan Tuhannya.

Rumusan masalah pada artikel ini, sebagai berikut: 1) Bagaimana remaja mengetahui
perkembangan tasawuf di era modern? 2) Bagaimana cara mengaplikasikan ajaran neo-sufisme di
kehidupan saat ini? 3) Bagaimana cara menghidupkan spiritualitas pada remaja di era modern dengan
neo-sufisme?. Penelitian ini akan memberikan wawasan yang lebih luas untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari rumusan masalah tersebut.

PEMBAHASAN

1. Spiritualitas

Spiritualitas merupakan kata yang berasal dari kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari
kata lain spiritus yang berarti bernafas. Oleh karena itu, spiritual bisa diartikan sebagai roh dan nafas
yang berfungsi sebagai energi kehidupan dan membuat seseorang menjadi hidup. Menurut Aziz (2011)
spiritualitas berkorelasi positif dengan tingginya tingkat kebahagiaan, semakin tinggi tingkat
spiritualitas maka semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya. Spiritualitas berperan dalam mengatasi
masalah yang berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan remaja. Pola perilaku spiritual pada
remaja bukanlah sesuatu yang diperoleh secara tiba-tiba melainkan hasil dari bagaimana remaja tersebut
dibesarkan dalam keluarganya.
Menurut Dotson & Hyatt (2005) orang tua memegang peranan dominan dalam mempengaruhi
pola perilaku anak-anak. Oleh karena itu peran orang tua sangatlah penting dalam mengendalikan
perilaku remaja, antara lain melalui pola komunikasi dan modelling (pemberian contoh dan teladan).
Hubungan antara keluarga dengan spiritual dapat dijelaskan dalam perspektif teori belajar sosial.
Konsep utama teori ini menyatakan bahwa proses belajar dapat terjadi dengan mengamati. Karena itu
proses belajar remaja akan terjadi dengan cara memperhatikan model dari orangtuanya. Menurut Feist
(2009) perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling atau peniruan yang merupakan
reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis.

2. Era Modern

Saat ini merupakan era modern yang mana merupakan era kehidupan yang dibangun atas dasar
sikap hidup yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Kondisi kekinian telah membawa manusia
jauh dengan Tuhannya. Manusia saat ini lebih mementingkan kebahagiaan duniawi yang sementara
daripada kebahagiaan ukhrawi yanag kekal. Era modern akan selalu berkaitan dengan kehidupan masa
lampau. Dalam kehidupan masa lampau, agama islam mengajarkan ilmu cara menyucikan jiwa,
menjernihkan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan abadi yang
dinamakan sebagai sufisme atau tasawuf. Tasawuf dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan
manusia untuk memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada agama dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah.

3. Neo-Sufisme

Neo-sufisme adalah sufisme yang telah diperbarui. Neo-sufisme dapat diartikan sebagai
upaya penegasan kembali nilai-nilai islam yang utuh, yakni kehidupan yang berkeseimbangan
dalam segala aspek kehidupan dan dalam segi ekspresi kemanusiaan. Neo-Sufisme pertama kali
dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni Fazlur Rohman dalam bukunya “Islam”.
Menurut Fazlur Rahman, perintis apa yang ia sebut sebagai neo-sufisme, adalah Ibn Taimiyah yang
kemudian diteruskan oleh muridnya Ibn Qoyyim, yaitu tipe tasawuf yang terintregasi dengan
syariah. Apabila benar demikian, maka muatan dari yang disebut neo-sufisme itu sudah sejak abad
delapan hijriyah, tetapi kenapa baru abad dua puluh ini diangkat sebagai neo-sufisme?
Kebangkitan kembali sufisme di dunia islam dengan sebutan neo-sufisme, nampaknya
tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap
kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernisme.
Modernisme dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya
orang kembali ke agama. Karena, salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi
kehidupan.
Pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat
ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan atau di-reform
dengan prinsip-prinsip islam ortodhoks. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada
rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat
individual dan “hampir” tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyrakatan. Oleh karena itu,
karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”, tokoh atau kelompok yang paling
berperan dalam reformasi sufisme ini, juga yang paling bertanggungjawab dalam kristalisasi
kebangkitan neo-sufisme menurut Fazlur Rahman adalah kelompok ahl al hadits.
Tujuan neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman sesuai
dengan prinsip-prinsip akidah islam, dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya
dengan kehidupan ukhrawi. Konsekuensi dari sikap keberagaman ini adalah terintegrasikannya
nilai kehidupan duniawidengan nilai kehidupan ukhrawi, atau kehidupan yang terresterial dengan
kehidupan yang kosmologis.
METODE PENELITIAN

Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan cara
mengumpulkan dan mengolah data sehingga dapat menghasilkan data dengan tujuan dan kegunaan
tertentu. Menurut Sugiyono (2012), metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dapat dideskripsikan, dibuktikan, dikembangkan dan ditemukan pengetahuan, teori,
untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam kehidupan manusia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana penelitian ini akan menekankan pada
observasi dan wawancara terhadap remaja dengan fokus untuk menghidupkan spiritualitas di era
modern dengan neo-sufisme. Objek penelitian dan data primer didapatkan pada wawancara yang
dilakukan oleh peneliti terhadap remaja yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di salah satu
tempat warung kopi. Sedangkan untuk data sekunder didapatkan melalui literatur dan teori neo-sufisme
di era modern yang relevan. Sumber data yang dipilih berdasarkan pengalaman para remaja yang merasa
jauh dengan Tuhannya. Dengan kombinasi penelusuran dan wawancara, penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan dan mendekatkan lagi hubungan antara remaja yang mencari kebahagiaan duniawi
dibandingkan kebahagiaan ukhrawi dengan Tuhannya.

Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan metode observasi dan wawancara.
Menurut Sugiyono (2016), wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data jika peneliti ingin
melakukan studi pendahuluan untuk menentukan permasalahan yang harus diteliti, serta juga apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Sedangkan observasi menurut
Sugiyono (2020), adalah kondisi dimana dilakukannya pengamatan secara langsung oleh peneliti agar
lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial sehingga dapat diperoleh
pandangan yang holistik (menyeluruh). Wawancara menggunakan pertanyaan terstruktur untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai spiritualitas pada remaja di era modern
dengan neo-sufisme. Salah satu contoh pertanyaan yang diajukan kepada remaja yaitu “Bagaimana
kedekatan Anda dengan Tuhan pada saat ini yang mana era modern lebih mementingkan kebehagiaan
duniawi dibandingkan dengan kebehagiaan ukhrawi?”. Pertanyaan terstruktur tersebut bertujuan untuk
mendapatkan wawasan langsung dari narasumber mengenai kedekatannya dengan Tuhan.

Analisis data, pengujian data, dan penyajian data pada penelitian ini menggunakan kualitatif
deskriptif untuk memastikan keabsahan validitas hasil penelitian. Menurut Sugiyono (2008), penelitian
kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang
biasanya digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai
instrumen kunci. Dapat disimpulkan bahwa kualitatif deskriptif digunakan untuk menggambarkan
secara utuh dan mendalam mengenai kejadian berbagai fenomena yang diteliti.

HASIL DAN TEMUAN DATA

Temuan penelitian yang pertama secara deskriptif menunjukkan bahwa terdapat remaja yang
berproses untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan cara menghafal al-quran beserta artinya.
Melalui observasi dan wawancara, remaja tersebut merasa kehidupannya dipenuhi dengan berbagai
kebahagiaan dan banyak keinginan yang sudah terwujud. Terdapat salah satu hadis yang artinya
“Barangsiapa yang belajar Al-Qur’an, lalu berusaha menghafalkannya dan dia bisa hafal, niscaya Allah
akan memasukannya ke dalam surga dan Allah akan menerima permohonan syafaat yang diajukannya
kepada seuluh orang keluarganya, yang semuanya telah diputuskan masuk ke dalam neraka.”. Menurut
Darmadi (2018), Al-Quran mengandung ajaran-ajaran agama, etika, dan moral yang memainkan peran
kunci dalam pengembangan kecerdasan spiritual individu Muslim. Konteks temuan mengindikasikan
bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan lebih cepat melalui menghafal al-quran beserta artinya.

Temuan penelitian yang kedua secara deskriptif menunjukkan bahwa selain mendekatkan diri
sendiri kepada Tuhan, salah satu remaja menggunakan cara bersosialisasi dengan lingkungan yang juga
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Melalui observasi dan wawancara, remaja tersebut lebih nyaman
dan kehidupannya lebih tertata dan bermaksa saat menghadiri sebuah majelis bersama dengan teman-
temannya. Konteks temuan mengindikasi bahwa mendekatkan diri sendiri kepada Tuhan selain
menghafalkan al-quran adalah dengan cara bersosialisasi dengan lingkungan yang baik dan sehat.

Temuan penelitian yang ketiga secara deskriptif menunjukkan bahwa mendekatkan diri dengan
Tuhan dapat melalui peran keluarga. Melalui observasi dan wawancara, salah satu remaja menyebutkan
bahwa peran keluarga sangat penting dan berdampak baik pada spiritualitas seorang anak. Peran
keluarga dapat memberikan pengarahan dan pembinaan dalam hidup anak. Konteks temuan
mengindikasi bahwa kecerdasan spiritual anak bisa didapatkan melalui hubungannya dengan keluarga.
Menurut Zakiah Darajat bahwa orang tua harus memberikan contoh dalam hidupnya (anak), misalnya
biasa beribadah sholat, dan berdoa kepada Tuhan, di samping mengajak anak untuk meneladani sikap
tersebut.
KESIMPULAN

Kebangkitan kembali sufisme di dunia islam dengan sebutan neo-sufisme, nampaknya tidak
bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap
kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernisme. Modernisme
dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya orang kembali ke
agama. Karena, salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan. Tujuan neo-
sufisme adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah
islam, dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi.

Pada penelitian ini mengungkapkan temuan terpenting dalam menghidupkan spiritualitas pada
remaja di era modern dengan neo-sufisme dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah dengan mengajak banyak remaja untuk hadir di acara majelis dan acara yang
dapat menambah wawasan mengenai spiritual dalam diri.

REFERENSI

Bonyadone, Ivone dan Herianto Sande., 2012, Membangun Spiritual Remaja Masa Kini
Berdasarkan Amsal 22:6,

Mawardi, Amirah., 2023, Membaca Al-Quran dan Kecerdasan Spiritual: Sebuah Studi Pada
Santri Pondok Pesantren Khairul Ummah Kabupaten Bantaeng, 14.

Mangestu, Retno dan Rahmat Aziz., 2017, Pengembangan Spiritualitas Remaja: Mengapa
Remaja Laki-Laki Lebih Memerlukan Dukungan Keluarga Dalam Pengembangan Spiritualitas, 14.

Rumadani Sagala, 2018, Pendidikan Spiritual Keagamaan (Dalam Teori dan Praktik), SUKA-
Press, Yogyakarta.

Prasetyo, agus., 2016, Aspek Spiritualitas Sebagai Elemen Penting Dalam Kesehatan, 9.

Rahmawati, 2014, Tarekat dan Perkembangannya, 7

Shiyamu Marunung, dkk., 2015, Jurnal Ilmiah Al-Hadi, Fakultas Agama Islam Universitas
Pembangunan Panca Budi Medan, Medan.

Anda mungkin juga menyukai