Makalah Inovasi Matematika Kelompok 2
Makalah Inovasi Matematika Kelompok 2
MAKALAH
INOVASI PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SD
(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran Matematika SD)
Dosen Pengampu Ibu Prof Dr. Isti Hidayah, M.Pd.
Disusun oleh :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun judul dari makalah ini adalah “Kajian Inovasi Pembelajaran Matematika SD”.
Makalah ini disusun untuk memenuh isalah satu tugas mata kuliah Pembelajaran
Matematika SD.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dosen Prof Dr. Isti Hidayah, M. Pd.
selaku pengampu mata kuliah Inovasi Pembelajaran Matematika SD yang telah
membimbing dalam mata kuliah ini. Terimakasih tak terhingga penulis sampaikan
kepada pihak yang turut membantu dan member dukungan hingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Besar harapan penulis, makalah ini dapat memberi kontribusi untuk semua
pihak,terutama kepada para pembaca sehingga dapat memberikan manfaat dalam
aplikasi dilapangan. Makalah ini juga dapat digunakan sebagai menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembacanya.
Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak
kekurangan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
semua pihak atau pembaca yang budiman untuk kesempurnaan makalah yang akan
datang.
(Kelompok 2)
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Teori-teori pembelajaran apa saja yang mendukung inovasi pembelajaran
matematika di SD?
2. Bagaimana keterkaitan implementasi pembelajaran di SD dengan teori tersebut?
3. Jelaskan salah satu contoh inovasi pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam
pembelajaran matematika di SD!
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui teori-teori pembelajaran matematika di SD.
2. Mengetahui penerapan teori belajar dalam inovasi pembelajaran matematika di
SD.
3. Memberikan salah satu contoh inovasi pembelajaran yang dapat dikembangkan
dalam pembelajaran matematika di SD.
BAB II
PEMBAHASAN
Siswa belajar di luar kelas dengan menggunakan alat bola warna warni. Ada
dua kelompok/regu siswa masing-masing beranggota 5 siswa yang akan
bertanding dalam permainan bola. Aturan permainan sebagai berikut: disediakan
30 bola ( 10 merah, 10 biru, 10 kuning) yang disebar di lapangan. Masing-masing
regu memasukkan bola dengan skor positif ke keranjang masing-masing, bola
dengan skor negatif dimasukkan ke keranjang lawan. Bola tidak boleh dibawa lari,
harus dilemparkan/dioperkan ke anggota regu. Regu yang melakukan pelanggaran
akan diumumkan banyak pelangarannya di akhir game. skor dihitung setelah
game selesai.
•Tahap Enaktif
Pada tahap enaktif, siswa dua regu bertanding memperebutkan bola untuk
dimasukkan ke keranjangnya (secara aktif menggunakan benda konkret untuk
menghitung skor yang akan diperoleh)
• Game-1
Pada game ini masing –masing bola skornya sama yaitu 1 (Penjumlahan
bilangan positif)
• Game -2
Pada game ini masing – masing bola skornya merah=3, biru=2, kuning=1
(penjumlahan, perkalian bilangan positif)
• Game -3
Pada game ini masing –masing bola merah=3, biru=1, kuning= – 2
(penjumlahan dan perkalian bilangan positif dan negatif)
• Tahap Ikonik
Dalam tahap ini digunakan gambar bola (bukan benda kongkret/ perlahan-
lahan dibawa ke abstrak) untuk menyajikan permasalahan. Guru menggunakan
CD plano untuk menampilkan permasalahan dalam bentuk gambar.
Regu A dan regu B bertanding dan hasilnya sebagai berikut:
• Aturan skor
1 Bola merah =3
2 Bola biru =1
3 Bola kuning =–2
• Dalam suatu game regu A mendapatkan bola :
6 Bola merah
4 Bola biru
7 Bola kuning
Regu B mendapatkan bola :
4 Bola merah
6 Bola biru
3 Bola kuning
Berapakah skor masing-masing? Siapakah pemenangnya?
• Tahap Simbolik
Pada tahap simbolik disajikan permasalahan kontekstual dimana sudah tidak
ada gambar lagi.
• Masalah:
Dalam suatu pertandingan memasukkan bola ke keranjang masing-masing
regu, diperoleh : Regu A mendapatkan 12 bola merah, 8 bola biru dan 14 bola kuning,
Regu B mendapatkan 9 bola merah, 10 bola biru dan 6 bola kuning. Jika skor 1
merah=3, 1 biru=1, 1 kuning= -4, berapaka skor yang diperoleh masing-masing regu?
Siapa pemenangnya?
Pada contoh desain pembelajaran di atas, pembelajaran diawali dengan
kegiatan enaktif yaitu memanipulasi langsung dengan benda konkret, perlahan-lahan
dibawa ke semi konkret yaitu dengan menggunakan gambar bola (tahap ikonik),
setelah dilewati dua tahap akhirnya siswa menyelesaikan masalah soal cerita (tahap
simbolik) pada tahap simbolik siswa sudah dapat menyimpulkan aturan perkalian dan
pemjumlahan bilangan positif maupun negatif.
Contohnya adalah siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu
segiempat, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu
sama panjang. Di samping itu, pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya
definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tingkat ini siswa juga sudah bisa memahami
hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada
tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah persegi
panjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegi panjang (Prabowo, 2011:
76-77).
Walaupun demikian, siswa pada tahap ini kemampuan berpikir secara
deduktifnya masih belum berkembang. Siswa SMP kelas menengah ke atas,
secara umum telah sampai pada tahap ini.
4. Tahap 3 (Deduksi)
Menurut Clements & Batista (Chairani, 2013: 23) tahap ini juga dikenal
dengan tahap deduksi formal. Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan
pengertianpengertian, definisi-definisi, aksioma- aksioma dan teorema-teorema
pada geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti
secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses
berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses
berpikir tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif karena
pengambilan kesimpulan, pembuktian teorema, dan lain-lain dilakukan secara
deduktif. Sebagai contoh, untuk membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut sebuah
sigitiga adalah 180 derajat secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan
prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-
memotong sudut-sudut segitiga, kemudian setelah itu ditunjukkan semua
sudutnya membentuk sebuah sudut lurus, namun belum tentu tepat. Seperti
diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat
dengan ukuran sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur
sudut-sudut dalam jajar genjang tersebut. Untuk itu, pembuktian secara deduktif
merupakan cara yang tepat dalam pembuktian dalam matematika (Prabowo,
2011: 77). Secara umum, tahap ini merupakan tahap yang dicapai oleh siswa
Sekolah Menengah Atas.
5. Tahap 4 (Rigor)
Pada tingkat ini anak sudah mulai memahami pentingnya ketepatan dari
prinsip dasar dalam suatu pembuktian. Tingkat berpikir ini sudah terkategori
kepada tingkat berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks (Safrina dkk., 2014: 11).
Pada tahap ini siwa sudah dapat memahami bahwa adanya ketepatan (presisi) dari
apa-apa yang mendasar itu penting (Ruseffendi, 1991: 163). Misalnya, ketepatan
aksioma yang menyebabkan terjadi geometri Euclid, seperti aksioma: memuat
berapa buah titik paling sedikit sebuah gais itu, bila ada dua buah titik berapa
buah garis bisa ditarik, bila ada toga buah titik berapa buah bidang dapat dibuat,
dan aksioma-aksioma lainnya yang menyebabkan sistem geometri Euclid itu
lengkap. Secara umum ini adalah tahapan mahasiswa jurusan matematika yang
mempelajari geometri sebagai cabang dari ilmu matematika (van de Walle, 2008:
154).
Menurut van Hiele (Prabowo, 2011: 77), semua anak mempelajari geometri
dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak
dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa
mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu
dengan siswa yang lain. Selain itu, menurut van Hiele, proses perkembangan dari
tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau
kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan
proses belajar yang dilalui siswa.
Keempat, siswa yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan
yang belum baik harus segera diperbaiki, dalam belajar.
Berdasarkan definisi di atas, maka satu buah manggis dapat dianggap sebagai
himpunan yang di dalamnya memuat anggota himpunan berupa isi dari buah manggis.
Adapun kelopak kulit buah manggis digunakan sebagai bagian dari tebakan awal.
Permainan dapat diawali dari guru mencontohkan proses permainan. Jika diambil satu
buah manggis dengan kelopak kulit sebanyak 5, kemudian diambil satu buah manggis
lagi dengan kelopak kulit sebanyak 5, maka siswa dapat diminta untuk menebak
berapa banyak isi buah manggis yang bisa dimakannya.
Kemudian siswa diminta menebak berapa banyak isi dari dua buah manggis
tersebut. Setelah siswa dapat menjumlahkan banyak kelopak kulit buah manggis,
selanjutnya siswa diminta membuktikan hasil perhitungannya dengan cara membuka
buah manggis dan membilang banyak isinya. Dengan membuktikan bahwa banyak isi
kedua buah manggis adalah 11, maka siswa dikatakan berhasil menebak hasil dari 6 +
5. Dari kedua proses di atas, siswa diminta mencermati bahwa hasil dari 5 + 6 sama
dengan 6 + 5 . Kemudian siswa diminta untuk mencoba contoh-contohyang lain.
Dengan diperolehnya hasil yang sama, siswa secara tidak langsung akan dapat
menyimpulkan suatu konsep a + b = b + a atau yang disebut sifat komutatif pada
penjumlahan. Jika permainan ini digunakan untuk memahamkan konsep perkalian,
maka sasarannya adalah siswa kelas 2 Sekolah Dasar. Konsep permainan didasarkan
pada definisi perkalian. Konsep perkalian secara umum didefinisikan sebagai
penjumlahan berganda/berulang dari a suku, yang masing-masing sukunya adalah b,
atau a x b = b + b + b + . . .+b. Jika a x b disebut sebagai c , sehingga , a x b = c,
maka a disebut sebagai “pengali”, b disebut sebagai “terkali” (bilangan yang
dikalikan), dan c disebut sebagai “hasil kali”, contohnya sebagai berikut.
Konsep perkalian yang dapat ditunjukkan ke siswa adalah 56 yang artinya
6 6 6 6 6 . Siswa dapat menghitung terlebih dahulu hasil dari 56,
kemudian mencocokan dengan isi buahnya.
Proses berikutnya, tiap kelompok diminta berhadapan. Kelompok pertama
memberikan tebakan pada kelompok kedua, dan seterusnya. Misalnya kelompok
pertama mengambil 3 buah manggis dengan kelopak kulit sebanyak 7.
Kelompok kedua diminta menebak berapa banyak isi dari keseluruhan buah
manggis tersebut. Konsep perkalian yang dapat ditunjukkan ke siswa adalah 37
yang artinya 7 7 7 . Siswa dapat menghitung terlebih dahulu hasil dari 37,
kemudian mencocokan dengan isi buahnya.
Proses ini dapat dilanjutkan terus hingga siswa memahami konsep perkalian
atau hingga buah yang disediakan habis. Dengan memberi kesempatan pada siswa
membuat pertanyaan sendiri, guru sekaligus juga dapat membuat siswa berkreasi
dengan konsep perkalian tersebut. Selain konsep perkalian dasar itu sendiri, guru juga
dapat memahamkan konsep sifat komutatif perkalian pada siswa. Konsep sifat
komutatif yang harus dipahamkan pada siswa adalah hasil yang sama dari sifat
komutatif tersebut tetapi proses yang dilalui berbeda.
Misalnya diambil 5 buah manggis yang masing-masing memiliki kelopak kulit
sebanyak 6. Kemudian siswa diminta menebak berapa banyak isi dari keseluruhan
buah manggis tersebut. Setelah siswa dapat menentukan banyak keseluruhan kelopak
kulit buah manggis, siswa diminta membuktikan hasil perhitungannya dengan cara
membuka buah manggis dan membilang banyak isinya. Konsep yang ditunjukkan
dalam proses tersebut adalah 5 x 6 = 6+6+6+6+6 . Jika siswa dapat menunjukkan
bahwa hasilnya adalah 30, berarti siswa mendapatkan hasil yang benar.
Selanjutnya diambil 6 buah manggis dengan kelopak kulit sebanyak 5. Siswa
diminta menebak berapa banyak isi dari keseluruhan buah manggis tersebut.
Setelah siswa dapat menentukan banyak keseluruhan kelopak kulit buah manggis,
selanjutnya siswa diminta membuktikan hasil perhitungannya dengan cara membuka buah
manggis dan membilang banyak isinya. Konsep yang ditunjukkan dalam proses tersebut
adalah 6 x 5 = 5 + 5 + 5 + 5 + 5 + 5. Jika siswa dapat menunjukkan bahwa hasilnya adalah
30, berarti siswa mendapatkan hasil yang benar. Hasil dari kedua contoh di atas, dapat
digunakan guru untuk mengenalkan sifat komutatif pada perkalian. Hasil dari perkalian
tersebut adalah sama, tetapi proses untuk memperolehnya berbeda.
Permainan di atas dapat divariasi sesuai dengan keberadaan buah manggis. Kendala
yang dihadapi dalam permainan tebak- tebak buah manggis ini adalah tidak selalu diperoleh
buah manggis dengan banyak kelopak yang diinginkan. Secara umum buah manggis
memiliki isi antara 5–7.
BAB III
KESIMPULAN
Inovasi pembelajaran merupakan sesuatu yang penting dan harus dimiliki atau
dilakukan oleh guru. Hal ini disebabkan karena pembelajaran akan lebih hidup dan bermakna.
Kemauan guru untuk mencoba menemukan, menggali dan mencari berbagai terobosan,
pendekatan, metode dan strategi pembelajaran merupakan salah satu penunjang akan
munculnya berbagai inovasi-inovasi baru. Tanpa didukung kemauan dari guru untuk selalu
berinovasi dalam pembelajarannya, maka pembelajaran akan menjenuhkan bagi siswa. Di
samping itu, guru tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
Mengingat sangat pentingnya inovasi, maka inovasi menjadi sesuatu yang harus dicoba untuk
dilakukan oleh setiap guru. Berikut ini beberapa teori pembelajaran Matematika yang biasa
digunakan yaitu :
• Teori Belajar Bruner
• Teori Thorndike
dan lebih mencintai keanekaragaman hayati yang ada dilingkungannya, serta melestarikan
permainan-permainan sederhana yang ada di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Sasmita, H. I., Nasution, I. A., & Indarwatmi, M. (2013). Perbedaan penampilan buah
manggis (garcia mangostana l.) pasca iradiasi sinar gamma dalam berbagai dosis.
Dalam Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR-BATAN
Bandung diselenggarakan pada 4 Juli 2013. Bandung: FMIPA UNPAD.
Tandililing, E. (2013). Pengembangan pembelajaran matematika sekolah dengan pendekatan
etnomatematika berbasis budaya lokal sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika di sekolah. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika diselenggarakan pada 9 November 2013.
Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.