1. Pengembangan profesi guru pada aspek peningkatan kompetensi guru belum dilakukan secara menyeluruh terhadap empat kompetensi yang dipersyaratkan harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu: kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, dan kompetensi profesional(Mulyani, 2019). 2. Secara umum, factor pendukung madrasah adalah adanya kesadaran kolektif anggota Masyarakat tentang pentingnya menyiapkan generasi penerus yang cerdas, berakhlak mulia, dan terampil. Masyarakat kemudian bahu membahu mendirika lembaga Pendidikan di tengah-tengah keterbasan sumber daya yang dimilikinya termasuk sumber daya manusia (SDM) baik guru maupun tenaga kependidikan. Kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah untuk berkontribusi terhadap pembangunan generasi yang bermutu dan berakhlak mulia. 3. Implementasi merupakan kegiatan mengeksekusi perencanaan yang telah dibuat dalam RKM dan RKA termasuk kegiatan pengembangan kompetensi guru melalui pemberdayaan Kelompok Kerja Gurum (KKG), pemberdayaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), supervise akademik, Observasi Kelas, Supervisi Klinis, dan rapat tinjauan manajemen.
2. Kontektualisasi Dalam Pengembangan Profesi Guru dengan realitas sosial
Sejak dikeluarkannya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru memiliki tambahan status sebagai profesi, bukan sekedar pendidik. Dalam Pasal 1 (1) dijelaskan bahwa guru adalah pendidik yang professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevauasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah. Penambahan status sebagai profesi (semoga bukan penggantian istilah pendidik) jelas membawa implikasi secara ekonomis. Sebab, profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Oleh karena itu, seorang guru yang professional akan memperoleh pendapatan yang lebih jika dibanding dengan guru yang tidak professional. Meningkatnya keuntungan ekonomis sebagai profesi guru, keinginan masyarakat untuk menjadi guru tampak semakin besar. Bahkan, guru yang ada juga bertambah semangat mengejar tunjangan profesi guru, walau secara kualitatif tidak disertai dengan peningkatan tanggungjawab profesinya. Dalam perbincangan sederhana, ada beberapa kolega yang ahli di bidang penelitian profesi keguruan seperti Ismet Basuki, Rosminingsih, dan lainnya mengatakan bahwa tidak ada perbedaan kinerja yang signifikan antara guru yang telah memperoleh tunjangan profesi dengan mereka yang belum memperolehnya. Justru para guru yang telah memperoleh tunjangan profesi juga tidak mengalami peningkatan kinerja profesinya. Status profesi guru sejati menuntut peran sebagai teladan (panutan), ilmuwan, motivator, intelektual dan bersikap bijak (wisdom) bagi peserta didiknya. Tindakan dan ucapannya akan menjadi cerminan perilaku para peserta didiknya. Guru akan kesulitan menyuruh para siswanya berbuat baik, kalau dia sendiri perilakukanya tidak baik. Misalnya, guru yang suka berkata jorok, maka ia akan sulit melarang muridnya untuk tidak berkata jorok. Guru sulit melarang muridnya merokok, kalau ia sendiri merokok. Bagaimanapun, guru akan menjadi figur sentral bagi peserta didiknya dalam berperilaku. Memang ada paradok antara perbuatan yang baik dengan yang tidak baik. Perbuatan tidak baik, meskipun tidak perlu diteladankan akan mudah dilakukan. Namun, perbuatan yang baik, meskipun sudah diberi teladan belum tentu dilaksanakan. Guru juga harus mampu menjadi ilmuwan dan intelektual dalam arti sebagai sumber ilmu, sumber pengetahuan, dan memberikan pencerahan bagi peserta didiknya. Guru menjadi tempat bertanya bagi orang yang tidak tahu, dan menjadi obor bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Meskipun, tidak harus menjadikan dirinya superior yang menganggap bahwa gurulah yang paling benar. Sikap kaum ilmuwan dan intelektual adalah menghargai dan menghormmati perbedaan pendapat, dan menjunjung tinggi kebenaran atas dasar fakta dan logika yang sehat. Peran guru sebagai ilmuwan dan intelektual ini telah ada dalam pepatah Jawa. Yakni, guru itu digugu lan ditiru. Digugu berarti guru memiliki pengetahuan yang luas, sehingga bisa menjadi sumber informasi, dan penerang gelapnya alam pikiran. Ditiru, berarti guru memiliki moralitas dan integritas, sehingga perilakunya bisa dijadikan teladan. Guru yang berperan sebagai motivator bagi para peserta didiknya berarti guru mampu memberikan gambaran tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Rendahnya prestasi dari peserta didik juga tidak lepas dari rendahnya cita-cita mereka. Semisal, jangan salahkan peserta didik yang tidak mau belajar matematika, karena cita- citanya hanya ingin menjadi satpam. Bagi mereka tidak ada kaitannya antara matematika dengan satpam. Agar, bisa menjadi satpam tidak dibutuhkan prasyarat utama harus mendalami matematika. Cita-cita peserta didik semacam ini barangkali disebabkan kurangnya pemahaman mereka mengenai beragamnya jenis pekerjaan. Bahkan, mungkin didasarkan pada pemahaman mereka terhadap kondisi sosial dan kultural yang dialaminya. Pada kondisi inilah guru harus mampu menjadi motivator terhadap peserta didiknya, untuk membangun cita-citanya yang lebih tinggi dari orang tua ataupun masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, meningkatkan profesionalitas guru di dunia pendidikan adalah merubah konstruksi mereka tentang status dan peran yang harus dilakukannya. Mereka harus disadarkan mengenai apa yang seharusnya dilakukan sebagai konsekuensi dari status sebagai pendidik yang profesional. Mereka memang perlu harus diberi sanksi yang tegas, jika mereka tidak mengalami perubahan diri menjadi lebih baik. Sementara, bagi guru dalam jabatan yang sudah tersertifikasi, harus perlu dievaluasi secara berkala untuk merubah motivasi mereka dari orientasi materialisme ke orientasi idealisme sebagai sosok pendidik. Sedangkan, bagi guru prajabatan, seleksinya harus mengutamakan seberapa besar panggilan jiwanya untuk menjadi pendidik yang humanis, kritis, kreatif, dan altruistik. Setidaknya, ciri minimal panggilan jiwa pendidik yang demikian ini bisa ditunjukan dengan motivasi awal mereka menjadi guru saat hendak berkuliah di jurusan sarjana kependidikan pada perguruan tinggi.
3. Refleksi Pengembangan Profesi Guru dalam pembelajaran bermakna
Refleksi diri guru dalam kaitannya dengan upaya pengembangan profesionalismenya juga sejalan dengan penelitian-penelitian lain dalam konteks psikologi yang menunjukkan bahwa refleksi diri dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan diri manusia. Hal ini dikaitkan dengan upaya pengembangan kesadaran diri yang harus dipandang sebagai sesuatu yang menyenangkan, pengalaman yang berharga untuk menggali potensi dalam diri seseorang dan menggunakannya sebagai dasar dalam pengambilan suatu tindakan. Dengan hal ini, seorang guru tidak perlu terlalu mendalam larut dalam kesedihan atau keburukan masa lalunya dan dapat lebih terfokus pada upaya-upaya pengembangan dirinya. Tentu saja, hal ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi seorang pendidik yang tentu saja juga sangat memberikan pengaruh terhadap kehidupan siswa-siswanya. Jika seorang guru memiliki dan menunjukkan sifat-sifat positif dalam dirinya ketika berada di depan siswa, hal ini dapat memberikan transfer energi positif terhadap siswa siswanya (Korthagen & Vasalos,2005). Dengan adanya refleksi diri, seorang guru dapat belajar untuk mengaktifkan proses kesadaran keprofesionalan diri selama mereka mengajar, dan dengan cara ini dapat membuat kontak dengan siswa dalam proses pembelajarannya dengan baik. Kegiatan mengajar yang baik seyogyanya ditandai dengan adanya keseimbangan yang tepat dari aspek kesadaran dirinya sebagai orang profesional dan tuntutan-tuntutan profesonalisme seorang guru dalam berbagai hal baik akademis maupun nonakademis. Idealnya, program pengembangan profesi guru juga harus fokus pada potensi dan kebutuhan guru yang diawali dari adanya proses refleksi yang dilakukan oleh seorang guru dalam pengembangan profesi guru. Bagian ini sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam perancangan proses kegiatan pengembangan profesi guru Refleksi diri memiliki potensi untuk merangsang kesadaran diri emosional seseorang dengan cara yang lebih baik. Hal ini dapat membantu untuk membuatnya lebih alami memasukkan perasaan, emosi, kebutuhan, dan nilai-nilai dalam dirinya yang akan membantunya menjadi diri yang lebih baik. Keyakinan yang membatasi dalam banyak pendidik/guru tampaknya belum menjadi hal yang begitu perlu mendapat perhatian lebih bagi para peneliti pengembangan profesi guru. Hal ini dapat dilihat dari masih relatif sedikitnya referensi-referensi yang membahas secara khusus pentingnya refleksi diri bagi guru dalam pengembangan profesionalismenya. Secara lebih spesifik, keyakinan untuk memulai perubahan yang baik bagi pendidik/guru akan berdampak kepada peningkatan kompetensi diperlukan untuk memperdalam pengembangan profesional guru; tidak hanya kompetensi dipengaruhi oleh keyakinan orang, tetapi keyakinan bahwa mereka memiliki atau dapat mengembangkan kompetensi untuk memiliki dampak yang lebih besar bagi pengembangan profesionalisme mereka. Kegiatan refleksi diri merupakann kegiatan yang memberikan banyak manfaat dalam pengembangan profesi- onalisme guru (Bowman, 1989; Loughran, 2005; Korthagen & Vasalos, 2005; Avalos, 2011). Manfaat utama dari hal ini adalah membantu guru dalam memperoleh pe- mahaman yang lebih mendalam tentang diri, profesi dan bagaimana mereka dapat menjadi guru yang efektif, efisien, dan membuat siswa berhasil dalam belajar. Di samping itu, refleksi diri juga dapat mem- bantu guru untuk mengeskplorasi potensi-potensi yang ada dalam diri, memperbaiki kelemahan dan mencari solusi-solusi yang mereka butuhkan untuk pengembangan profesi mereka. Oleh karenanya, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian ini, refleksi diri memberikan kontribusi yang tinggi untuk membantu guru dalam upaya pengembangan profesionalismenya, dan dampak berikutnya tentu saja akan memkelas yang bermuara pada peningkatan kompetensi peserta didik Dua variabel penting dalam penelitian ini, yaitu refleksi diri guru dan upaya peningkatan profesionalismenya dikembangkan dari beberapa hal penting. Dalam penelitian ini, refleksi diri dilihat dari persepsi guru mengenai kompetensi atau knowledge based teacher yang meliputi tiga kategori, yaitu: (1) penguasaan konten/materi ajar (); (2) pengetahuan paedagogi (content knowledge paedagogical knowledge paedago-); dan (3) pengemasan materi/konten dalam pembelajaran (gical content knowledge). dan (3) pengemasan materi/ konten dalam pembelajaran (paedago- gical content knowledge). Refleksi diri dikembangkan dari bagaimana mereka mempersepsikan kemampuan diri mereka sendiri yang dikembangkan dari refleksi mereka terhadap pengetahuan paedagogik maupun substantif, pemahaman tentang karakteristik belajar yang ideal, bagai- mana mereka mempersepsikan diri dalam rencana pembelajaran, metode, media serta hasil belajar siswa. Secara lebih jelas komponen yang dikembangkan untuk mengetahui bagaimana guru melakukan refleksi diri mereka terhadap profesinya. Refleksi diri guru dalam kaitannya dengan upaya mereka untuk mengem- bangkan profesionalismenya sebagaimana tercantum dalam poin-poin di atas diarah- kan untuk mengetahui sejauh mana guru sebagai tenaga profesional melakukan ke- giatan-kegiatan atau rambu-rambu yang harus dilakukan oleh seorang guru yang profesional. Dengan hal tersebut, guru dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri, apakah mereka sudah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya atau belum. Dengannya guru akan dapat mengetahui kelemahan dan kelebihannya, dan nantinya akan mendorong diri mereka sendiri untuk bergerak melakukan perbaikan perbaikan kompetensinya. Jika kita bandingkan dengan guru yang tidak per- nah melakukan refleksi terhadap kemampuan profesionalnya, bisa jadi mereka ti- dak akan terdorong untuk melakukan upaya-upaya pengembangan profesionalisme mereka, mulai dari bagaimana mereka merencanakan pembelajaran, menyiapkan proses pembelajaran sampai nantinya melakukan evaluasi terhadap ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan.