Anda di halaman 1dari 169

ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN SYOK HEMORAGIK

POST OPERASI DEBULKING KANKER OVARIUM RESIDIF


DENGAN GAGAL NAFAS PADA NY. M DI RUANG ICU

KARYA TULIS ILMIAH NERS

Oleh :
Angela Verani Grace Worang
5.19.006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES TELOGOREJO SEMARANG
2020
ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN SYOK HEMORAGIK
POST OPERASI DEBULKING KANKER OVARIUM RESIDIF
DENGAN GAGAL NAFAS PADA NY. M DI RUANG ICU

KARYA TULIS ILMIAH NERS


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar profesi Ners

Oleh :
Angela Verani Grace Worang
5.19.006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES TELOGOREJO SEMARANG
2020

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah Ners ini diajukan oleh:

Nama : Angela Verani Grace Worang

NIM : 5.19.006

Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Judul Karya Tulis Ilmiah Ners : Analisis Asuhan Keperawatan Syok


Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker
Ovarium Residif Dengan Gagal Nafas Pada
Ny. M di Ruang ICU.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai

bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners pada

Program Studi Pendidikan Profesi Ners STIKES Telogorejo Semarang.

Semarang, Juli 2020

DEWAN PENGUJI

Penguji I : Ns. Bagus Ananta Tanudjiarso, M.Kep. (....................)

Penguji II : Ns. Arlies Zenitha Victoria, M.Kep (....................)

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Tulis Ilmiah Ners ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik

yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Angela Verani Grace Worang

Nim : 5.19.006

Tanda Tangan :

Tanggal : Juli 2019

iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik STIKES Telogorejo Semarang, saya yang bertanda tangan

di bawah ini:

Nama : Angela Verani Grace Worang

NIM : 5.19.006

Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Jenis Karya : Karya Tulis Ilmiah Ners

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

STIKES Telogorejo Semarang Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya tulis ilmiah ners saya yang berjudul Analisis Asuhan

Keperawatan Syok Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif

Dengan Gagal Nafas Pada Ny.M di Ruang ICU beserta perangkat yang ada (jika

diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif ini STIKES Telogorejo

Semarang berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk

pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa

meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Semarang, Juli 2020


Yang menyatakan

Angela Verani Grace Worang

v
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

STIKES TELOGOREJO SEMARANG

Penulisan, Juli 2020

Angela Verani Grace Worang

Analisis Asuhan Keperawatan Syok Hemoragik Post Operasi Debulking Dengan


Gagal Nafas Pada Ny.M di Ruang ICU.

xii + 123 halaman + 1 tabel + 4 lampiran

ABSTRAK

Syok hemoragik dapat disebabkan oleh hilangnya darah dalam jumlah banyak baik
perdarahan dalam maupun perdarahan luar dan dapat berujung pada kematian. Ada
berbagai macam penyebab perdarahan dimana salah satunya adalah tindakan
operatif. Tindakan operatif yang cukup berpotensi menyebabkan perdarahan salah
satunya adalah tindakan operasi debulking pada penyakit kanker. Kanker adalah
adanya pertumbuhan sel-sel pada jaringan tubuh yang tidak normal yang dapat
disebabkan adanya kondisi sel yang berproliferasi secara abnormal, sel tidak
berkembang secara normal dengan indikasi perubahan pada inti sel, dan
pertumbuhan berlebihan pada sel atau hyperplasia dimana harus dilakukan tindakan
operasi untuk mengambimassa abnormal tersebut agar tidak berkembang menjadi
lebih membahayakan. Pada kejadian syok hemoragik karena perdarahan ini dapat
mengakibatkan kegagalan nafas pada pasien karena kuantitas darah yang ada tidak
adekuat untuk transfer dan suplai oksigen. Tujuan dari pembuatan Karya tulis ilmiah
ini adalah untuk dapat melakukan asuhan keperawatan komprehensif pada pasien
Syok Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker Ovarium dengan Gagal Nafas.
Metodologi pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini menggunakan analisa deskriptif
dengan studi pemaparan kasus. Dari analisa hasil pengangkatan diagnosa
menggunakan Standar Keperawatan Diagnosa Indonesia didapatkan 6 diagnosa yaitu
Gangguan pertukaran gas, Perfusi perifer tidak efektif, Hipovolemia, Gangguan
integritas kulit, Resiko syok dan Resiko infeksi. Pengambilan Intervensi berdasarkan
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia dan Evaluasi yang didapatkan dari
intervensi yang dilakukan berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia.

Kata kunci : Syok Hemoragik, Kanker Ovarium, Gagal Nafas, Operasi


Debulking, ICU

Daftar Pustaka : 61 (2010-2020)

vi
NERS PROFESSIONAL EDUCATION STUDY PROGRAM

STIKES TELOGOREJO SEMARANG

Scientific Writing, July 2020

Angela Verani Grace Worang

Nursing Care Analysis of Postoperative Debulking Hemorrhagic Shock With


Respiratory Failure in Mrs.M in the ICU.

xii + 123 pages + 1 table + attachments

ABSTRACT

Hemorrhagic shock can be caused by the loss of large amounts of blood, both
internal and external and can lead to death. There are various causes of bleeding, one
of which is surgery. One of the operative measures that have the potential to cause
bleeding is debulking surgery for cancer. Cancer is the growth of cells in body
tissues that are not normal which can be caused by the condition of cells that
proliferate abnormally, cells do not develop normally with indications of changes in
the cell nucleus, and excessive growth in cells or hyperplasia where surgery must be
performed to recover mass. abnormal so as not to develop into more dangerous. In
the event of hemorrhagic shock due to bleeding this can result in respiratory failure
in the patient because the quantity of blood is inadequate for oxygen transfer and
supply. The purpose of making this scientific paper is to be able to provide
comprehensive nursing care for patients with Postoperative Debulking Hemorrhagic
Shock Ovarian Cancer with Respiratory Failure. The methodology for making
scientific papers uses descriptive analysis with case study studies. From the analysis
of the results of the appointment of diagnoses using the Indonesian Nursing
Diagnosis Standards, 6 diagnoses were obtained, namely impaired gas exchange,
ineffective peripheral perfusion, hypovolemia, impaired skin integrity, risk of shock
and risk of infection. Taking interventions based on Indonesian Nursing Intervention
Standards and evaluations obtained from interventions carried out based on
Indonesian Nursing Output Standards.

Keywords : Hemorrhagic Shock, Ovarian Cancer, Respiratory Failure,


Debulking Surgery, ICU

Bibliography : 61 (2010-2020)

vii
PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karuniaNya yang

selalu melimpah, sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ners yang

berjudul “Analisis Asuhan Keperawatan Syok Hemoragik Post Operasi Debulking

Kanker Ovarium Residif Dengan Gagal Nafas Pada Ny.M di Ruang ICU” dengan

lancar. Karya tulis ilmiah ners ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

ners. Peneliti menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ners ini dapat

terselesaikan berkat bantuan, doa serta dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada

kesempatan ini dengan segala kerendahan hati perkenanan peneliti untuk

menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Swanny Trikajanti W., M.Kes, Ph.D selaku Ketua STIKES Telogorejo

Semarang.

2. Ns. Ismonah, M.Kep, Sp.MB., selaku Pembantu Ketua 1 STIKES Telogorejo.

3. Ns. Sri Puguh Kristyawati, M.Kep., Sp.MB., selaku Ketua Program Studi S-1

Keperawatan.

4. Ns. Asti Nuraeni, M.Kep., Sp.Kom. selaku coordinator pendidikan profesi ners

5. Ns. Bagus Ananta Tanujiarso, M.Kep selaku pembimbing yang telah

memberikan arahan sehingga karya tulis ilmiah ners ini dapat terselesaikan

dengan lancar.

6. Ns. Arlies Zenita Victoria, M.Kep selaku panguji yang telah memberikan

bimbingan dan arahan sehingga karya tulis ilmiah ners ini dapat terselesaikan.

7. Kepada kedua orang tua, Papi (Jony Worang), Mami (Margarita) dan Adik

(Deangelo Revano W.) yang telah memberikan doa, kasih sayang, semangat dan

dukungan moral hingga karya tulis ilmiah ners ini dapat terselesaikan.

viii
8. Kepada nenek, kakek, om dan tante yang turut serta memberikan dukungan dan

motivasi serta memanjatkan doa untuk keberhasilan studi saya.

9. Sahabat-Sahabat saya Sonia Wahyu N., Meirul Chasanah., Dinda Kharisma A.,

Joshua Apriazico V., Cahyo Ade P., yang selalu memberikan semangat dan

penghiburan serta pencerahan dalam penyusunan dalam penyusunan karya tulis

ilmiah ners ini.

10. Teman-teman kelompok bimbingan Fifi, Arika, Agus dan Farida yang selalu

mendukung dan saling memberi semangat satu sama lain dalam penyusunan

karya tulis ilmiah ners ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh

karna itu kritik dan saran dari semua pihak penulih harapkan untuk karya tulis

ilmiah ners ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pada pembaca

Semarang, Juli 2019

Peneliti

ix
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................... v

ABSTRAK .............................................................................................................. vi

ABSTRACT .............................................................................................................. vii

PRAKATA .............................................................................................................. viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Tujuan ......................................................................................................... 5

C. Manfaat ....................................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar .............................................................................................. 7

B. Konsep Keperawatan .................................................................................. 36

BAB III TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian ................................................................................................... 82

B. Data Penunjang ........................................................................................... 86

C. Analisa Data dan Diagnosa ......................................................................... 88

D. Intervensi Keperawatan dan Rasional ......................................................... 89

E. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ................................................... 95

x
BAB IV PEMBAHASAN

A. Pengkajian IGD ........................................................................................... 98

B. Pengkajian ICU ........................................................................................... 108

C. Analisa Data dan Diagosa ........................................................................... 116

D. Intervensi Keperawatan ............................................................................... 120

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ..................................................................................................... 121

B. Saran ............................................................................................................ 123

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pathway Kanker Ovarium

Lampiran 2 : Lembar Terjemahan Bahasa Indonesia - Inggris

Lampiran 4 : Lembar Konsultasi

Lampiran 3 : Lampiran Kasus

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker adalah adanya pertumbuhan sel-sel pada jaringan tubuh yang tidak

normal yang dapat disebabkan adanya kondisi sel yang berproliferasi secara

abnormal (neoplasia), sel tidak berkembang secara normal dengan indikasi

perubahan pada inti sel (dysplasia), dan pertumbuhan berlebihan pada sel atau

hyperplasia (Ariani, 2015). Penyakit kanker ini tidak terkendali dan terus

membelah diri (Indah, 2010). Menurut Lubis (2019) kanker dapat menyerang

dan muncul akibat pertumbuhan tidak normal dari jaringan tubuh yang

kemudian berubah menjadi sel kanker. Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa kanker adalah pertumbuhan sel abnormal jaringan tubuh yang tidak

terkendali.

Prevalensi kanker ovarium di Indonesia mengalami peningkatan selama lima

tahun terakhir yaitu sebanyak 1,79 orang per 1000 penduduk dan

menempatkan Indonesia sebagai urutan ke-8 negara dengan kasus kanker

ovarium terbanyak di dunia (Riskesdas, 2018). Penelitian oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Indonesia tahun 2011

menyatakan bahwa tumor ovarium dan cervix uteri adalah jenis kanker yang

paling banyak muncul dibanding dengan kanker lainnya yaitu sebesar 19,3%

1
2

dari keseluruhan pasien dengan kanker yang diteliti (Data Litbangkes, 2011).

Sedangkan laporan Riset Kesehatan Dasar menyebutkan proporsi ca cervix

sebesar 62-70 % dari kanker ginekologi (Riskesdas, 2018). Selain itu angka

kematian dari kanker terhitung cukup tinggi yaitu sebesar 10,9% penderita

per tahunnya (Manafe, 2019). Dengan demikian terlihat bahwa kanker

ovarium merupakan jenis kanker atau tumor terbanyak di Indonesia dan dapat

menimbulkan kematian bagi penderitanya.

Penyebab kanker belum dapat diketahui dengan pasti namun terdapat

beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya kanker seperti

umur diatas 50 tahun, merokok, menjalani terapi penggantian hormon saat

menopause, genetik, menderita obesitas, pernah menjalani radioterapi, pernah

menderita endometrosis atau menderita syndrom Lych (Azizah, 2017).

Kanker ovarium ini juga dibagi menjadi kanker ovarium ganas dan kanker

jinak, dimana memiliki tanda gejala seta ciri-ciri yang berbeda (Gani, 2019).

Kanker ovarium yang cenderung bersifat ganas memiliki ciri-ciri timbul

secara infiltratif , residitif, metastasis (dapat menyebar ke bagian lain melalui

peredaran darah/ cairan getah bening), kehilangan polaritas (tidak ada

susunan yang teratur terhadap letak sel satu sama lain), dan mematikan,

sedangkan pada kanker ovarium jinak bersifat kebalikannya dan tumbuh

secara ekspansif (Arafah, 2017). Kanker ganas dengan sifat residitif atau

kanker yang bersifat kambuhan ini apabila tidak ditangani dengan baik akan

menyebabkan komplikasi ke berbagai macam penyakit (Evaningrum, 2010).

Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat dengan cara dilakukan

operasi pengangkatan sel kanker.


3

Tindakan operasi pada kanker ovarium ada 2 yaitu debulking dan

histerektomi total (Levani, 2018). Tindakan debulking ini hanya digunakan

untuk tujuan kuratif pada beberapa macam jenis kanker saja seperti kanker

ovarium dan beberapa jenis kanker otak (Florencia, 2016). Pada jenis kanker

ovarium dan kanker otak tidak dapat dilakukan pengangkatan secara total

karena dapat merusak jaringan di sekitarnya mengingat letak ovarium yang

cukup dekat dengan arteri peritoneal serta anatomi ovarium yang

mengandung stroma yang penuh dengan pembukuh darah. Tindakan

debulking bertujuan untuk menyisakan organ sehat di sekitarnya meski

memiliki kemungkinan besar ada sel kanker ganas yang tertinggal (Wilkins,

2011). Oleh karena itu setelah dilakukan operasi tetap diperlukan terapi

kemoterapi maupun radioterapi untuk menghilangkan sel kanker yang tersisa

(Wilkins, 2011).

Operasi yang dilakukan akan menimbulkan cedera fisik pada tubuh yang

disenagaja dari proses pembedahan (Padilla, 2013). Hal tersebut akan

meningkatkan resiko terjadinya perdarahan baik selama maupun setelah

operasi (Padilla, 2013). Perdarahan adalah kondisi keluarnya darah baik dari

dalam maupun luar tubuh yang menyebabkan penderita kehilangan sejumlah

besar darah dari dalam tubuh (Melia, 2016). Apabila perdarahan berlangsung

terus-menerus, dapat menyebabkan takipnea, penurunan GCS, diaforesis

bahkan menimbulkan syok (Levani, 2018).


4

Syok adalah kegagalan sirkulasi menyeluruh yang mengakibatkan perfusi

oksigen ke jaringan menjadi tidak adekuat dan terjadilah hipoksia jaringan

(Rosellina, 2019). Perdarahan termasuk salah satu penyebab dari syok

hipovolemik atau bisa disebut syok hemoragik (Bintang, 2016). Angka

kejadian syok hemoragik di dunia menjadi satu dan tergabung dalam angka

kejadian syok hipovolemik yaitu sebanyak 0,3 hingga 0,7 pasien per 1000

penduduk di dunia per tahun (World Health Organization, 2018). Akan tetapi

angka kejadian khusus perdarahan atau syok hemoragik tidak tercatat.

Menurut catatan NCBI di America Serikat terdapat 30.000 pasien dengan

syok hipovolemik (hemoragik maupun non-hemoragik) per tahunnya (NCBI,

2019). Sedangkan, di Indonesia tidak ditemukan data syok hipovolemik

maupun syok hemoragik. Akan tetapi epidemiologi berdasarkan Riset

Kesehatan Dasar (2018) penyebab terbanyak dari syok hemoragik adalah

adanya cedera fisik dimana presentase terjadinya cedera meningkat menjadi

9,2% pada tahun 2018.

Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh hilangnya cairan atau darah dalam

jumlah banyak (Contoh: diare, perdarahan, dll) pada beberapa kondisi seperti

perdarahan luar, perdarahan dalam dan berkurangnya cairan tubuh akibat

ekskresi cairan tubuh yang berlebihan lewat muntah, dll (Yosia, 2013).

Keadaan syok merupakan keadaan yang gawat karena dari terjadinya

hipoksia jarigan, nutrisi dan metabolisme sel menjadi terganggu (Naimah,

2016). Selain itu, komplikasi yang dapat ditimbulkan dari syok hemoragik

adalah kerusakan ginjal, kerusakan otak, serangan jantung, gagal nafas

bahkan hingga kematian (Naimah, 2016).


5

Berdasarkan latar belakang diatas mengenai syok hemoragik dan kanker

ovarium dapat disimpulkan bahwa kejadian syok hemoragik perlu diwaspadai

dan dilakukan penanganan, selain itu kanker ovarium juga memerlukan

penanganan yang tepat karena kanker ovarium ini merupakan penyakit ganas

yang mudah menyebar dengan cepat. Karena kejadian kanker ovarium ini

berdampak hingga menyebabkan pasien syok hemoragik, penulis tertarik

untuk menganalisa kasus asuhan keperawatan dalam karya tulis ilmiah

dengan judul ”Analisis Asuhan Keperawatan Syok Hemoragik Post Operasi

Debulking Kanker Ovarium Residif Dengan Gagal Nafas pada Ny. M. di

Ruang ICU”

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum :

Mampu melaksanakan analisis asuhan keperawatan Syok Hemoragik

Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif dengan Gagal Nafas

pada Ny. M di Ruang ICU.

2. Tujuan Khusus :

a. Menganalisa data pengkajian pasien dengan Syok Hemoragik Post

Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif dengan Gagal Nafas.

b. Menganalisa ketepatan diagnosa pada pasien dengan Syok Hemoragik

Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif dengan Gagal

Nafas.

c. Menganalisa intervensi keperawatan pasien dengan Syok Hemoragik

Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif dengan Gagal

Nafas.
6

d. Menganalisa implementasi yang dilakukan pada pasien dengan Syok

Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif dengan

Gagal Nafas.

e. Menganalisa evaluasi keperawatan yang telah dibuat pada kasus Syok

Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif dengan

Gagal Nafas.

C. Manfaat

1. Bagi Pelayanan Keperawatan

Diharapkan mampu memberikan masukan bagi layanan kesehatan rumah

sakit dalam meningkatkan pengobatan dan perawatan pada pasien dengan

kasus Syok Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif

dengan Gagal Nafas.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat dijadikan tambahan untuk meningkatkan pengetahuan

dan wawasan dalam melakukan praktik keperawatan tentang asuhan

keperawatan pada klien Syok Post Operasi Debulking Kanker Ovarium

Residif dengan Gagal Nafas.

3. Bagi Masyarakat

Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan meningkatkan pengetahuan masyarakat

tentang penyakit Syok Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker

Ovarium Residif dengan Gagal Nafas sehingga masyarakat dapat

berpartisipasi dalam mencegah dan menangani penyakit tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

1. Kanker Ovarium

a. Pengertian

Kanker ovarium merupakan tumor dengan histiogenesis yang

beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga (3) dermoblast (ektodermal,

endodermal, mesodermal) dengan sifat-sifat histiologis maupun

biologis yang beraneka ragam (Smeltzer & Bare, 2012). Terdapat

pada usia peri menopause kira-kira 60%, dalam masa reproduksi 30%

dan 10% terpadat pada usia yang jauh lebih muda. Tumor ini dapat

jinak (benigna), tidak jelas jinak tapi juga tidak jelas / pasti ganas

(borderline malignancy atau carcinoma of low – maligna potensial)

dan jelas ganas (true malignant) (Priyanto, 2017). Kanker ovarium

sebagian besar berbentuk kista berisi cairan maupun padat. Kanker

ovarium disebut sebagai silent killer. Karena ovarium terletak di

bagian dalam sehingga tidak mudah terdeteksi 70-80% kanker

ovarium baru ditemukan pada stadium lanjut dan telah menyebar

(metastasis) kemana-mana (Wiknjosastro, 2019)

7
8

b. Anatomi Fisiologi Ovari

Organ reproduksi wanita terdiri atas organ eksterna dan organ interna

(Rahmi, 2017). Organ interna berfungsi dalam kopulasi, sedangkan

organ interna berfungsi dalam ovulasi,sebagai tempat fertilisasi sel

telur dan perpindahan blastosis (Adorada, 2020). Ovarium merupakan

salah satu organ reproduksi wanita, serta sebagai tempat implantasi;

dapat dikatakan organ interna berfungsi untuk pertumbuhan dan

kelahiran janin (Rahmi, 2017).

Ovarium merupakan kelenjar berbentuk buah kenari terletak di kiri

dan kanan uterus, di bawah tuba uterine dan terikat di sebelah

belakang oleh ligamentum latum uterus (Rahmi, 2017). Setiap bulan

folikel berkembang dan sebuah ovum dilepaskan pada saat kira-kira

pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi (Faudila, 2016). Ovulasi

yaitu pematangan folikel graaf dan mengeluarkan ovum. Bila folikel

graaf sobek, maka terjadi penggumpalan darah pada ruang folikel

(Faudila, 2016).

Ovarium mempunyai 3 fumgsi, yaitu memproduksi ovum,

memproduksi hormon estrogen, dan memproduksi hormon

progesterone (Adorada, 2020). Ovarium disebut juga indung telur, di

dalam ovarium ini terdapat jaringan bulbus dan tubulus yang

menghasilkan telur atau bisa disebut dengan ovum (Irjayanti, 2020).

Ovarium ini hanya terdapat pada wanita, letaknya di dalam pelvis di

kiri kanan uterus, membentuk, mengembang serta melepaskan ovum


9

dan menimbulkan sifat-sifat kewanitaan, misalnya pelvis yang

membesar, timbulnya siklus menstruasi (Irjayanti, 2020). Bentuk

ovarium bulat telur beratnya 5-6 kg, bagian dalam ovarium disebut

medulla ovary di buat di jaringan ikat, jaringan yang banyak

mengandung kapiler darah dan serabut kapiler saraf, bagian luar

bernama korteks ovary terdiri dari folikel-folikel yaitu kantong-

kantong kecil yang berdinding epithelium dan berisi ovum (Nabila,

2015).

Kelenjar ovarika terdapat pada ovarium di samping kiri dan kanan

uterus, menghasilkan hormon estrogen dan progesterone (Muqsith,

2015). Hormon ini dapat mempengaruhi kerja dan mempengaruhi

sifat-sifat kewanitaan, misalnya panggul yang besar, panggul sempit

dan lain-lain (Muqsith, 2015). Apabila folikel de graaf sobek, maka

terjadi penggumpalan darah di dalam rongga folikel dan sel yang

berwarna kuning yang berasal dari dinding folikel masuk dalam

gumpalan itu dan membentuk korpus luteum tumbuh terus sampai

beberapa bulan menjadi besar (Faudila, 2016). Bila ovum tidak di

buahi maka korpus luteum bertahan hanya sampai 12-14 hari tepat

sebelum masa menstruasi berikutnya, korpus luteum menjadi atropi

(Rahmi, 2017).

Siklus menstruasi, perubahan yang terjadi di dalam ovarium dan

uterus dimana masa menstruasi berlangsung kira-kira 5 hari, selama

masa ini epithelium permukaan dinding uterus terlepas dan terjadi


10

sedikit perdarahan (Adorada, 2020). Masa setelah menstruasi adalah

masa perbaikan dan pertumbuhan yang berlangsung 9 hari ketika

selaput terlepas untuk diperbaharui, tahap ini dikendalikan olen

estrogen, sedangkan pengendalian estrogen dikendallikan oleh Folikel

Stimulating Hormon (FSH) terjadi pada hari ke-14, kemudian disusul

14 hari tahap sekretorik yang di kendalikan oleh progesterone (Rahmi,

2017).

c. Etiologi

Menurut Hidayat (2009) Ovarium terletak di kedalaman rongga

pelvis. Bila timbul kanker, biasanya tanpa gejala pada awalnya

sehingga sulit ditemukan, membuat diagnosis tertunda. Ketika lesi

berkembang dan timbul gejala, seringkali sudah bukan stadium dini.

Maka terdapat 60-70% pasien kanker ovarium saat didiagnosis sudah

terdapat metastasis di luar ovarium. Penyebab kanker ovarium hingga

kini belum jelas, tapi faktor lingkungan dan hormonal berperan

penting dalam patogenesisnya. Akan tetapi banyak teori yang

menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium, diantaranya:

1. Hipotesis incessant ovulation, Teori menyatakan bahwa terjadi

kerusakan pada sel-sel epitel ovarium untuk penyembuhan luka

pada saat terjadi ovulasi. Proses penyembuhan sel-sel epitel yang

terganggu dapat menimbulkan proses transformasi menjadi sel-sel

tumor.
11

2. Hipotesis androgen, Androgen mempunyai peran penting dalam

terbentuknya kanker ovarium. Hal ini didasarkan pada hasil

percobaan bahwa epitel ovarium mengandung reseptor androgen.

Dalam percobaan in-vitro, androgen dapat menstimulasi

pertumbuhan epitel ovarium normal dan sel-sel kanker ovarium.

d. Patofisiologi

Tumor ganas ovarium diperkirakan sekitar 15-25% dari semua tumor

ovarium. Dapat ditemukan pada semua golongan umur, tetapi lebih

sering pada usia 50 tahun ke atas, pada masa reproduksi kira-kira

separuh dari itu dan pada usia lebih muda jarang ditemukan. Faktor

predisposisi ialah tumor ovarium jinak. Pertumbuhan tumor diikuti

oleh infiltrasi, jaringan sekitar yang menyebabkan berbagai keluhan

samar-samar. Kecenderungan untuk melakukan implantasi dirongga

perut merupakan ciri khas suatu tumor ganas ovarium yang

menghasilkan asites (Brunner dan Suddarth, 2012).

Banyak tumor ovarium tidak menunjukkan tanda dan gejala, terutama

tumor ovarium kecil. Sebagian tanda dan gejala akibat dari

pertumbuhan, aktivitas hormonal dan komplikasi tumor-tumor

tersebut.

1. Akibat Pertumbuhan

Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan

pembesaran perut, tekanan terhadap alat sekitarnya, disebabkan

oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Selain gangguan


12

miksi, tekanan tumor dapat mengakibatkan konstipasi, edema,

tumor yang besar dapat mengakibatkan tidak nafsu makan dan

rasa sakit.

2. Akibat aktivitas hormonal

Pada umumnya tumor ovarium tidak menganggu pola haid kecuali

jika tumor itu sendiri mengeluarkan hormon.

3. Akibat Komplikasi

a. Perdarahan ke dalam kista : Perdarahan biasanya sedikit, kalau

tidak sekonyong-konyong dalam jumlah banyak akan terjadi

distensi dan menimbulkan nyeri perut.

b. Torsi : Torsi atau putaran tangkai menyebabkan tarikan

melalui ligamentum infundibulo pelvikum terhadap

peritonium parietal dan menimbulkan rasa sakit.

c. Infeksi pada tumor Infeksi pada tumor dapat terjadi bila di

dekat tumor ada tumor kuman patogen seperti appendicitis,

divertikalitis, atau salpingitis akut

d. Robekan dinding kista Robekan pada kista disertai hemoragi

yang timbul secara akut, maka perdarahan dapat sampai ke

rongga peritonium dan menimbulkan rasa nyeri terus menerus.

e. Perubahan keganasan

Dapat terjadi pada beberapa kista jinak, sehingga setelah

tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis

yang seksama terhadap kemungkinan perubahan keganasan

(Wiknjosastro,2019).
13

Tumor ganas merupakan kumpulan tumor dan histiogenesis

yang beraneka ragam, dapat berasal dari ketiga (3) dermoblast

(ektodermal, endodermal, mesodermal) dengan sifat

histiologis maupun biologis yang beraneka ragam, kira-kira

60% terdapat pada usia peri menopause 30% dalam masa

reproduksi dan 10% usia jauh lebih muda. Tumor ovarium

yang ganas, menyebar secara limfogen ke kelenjar para aorta,

medistinal dan supraclavikular. Untuk selanjutnya menyebar

ke alat-alat yang jauh terutama paru-paru, hati dan otak,

obstruksi usus dan ureter merupakan masalah yang sering

menyertai penderita tumor ganas ovarium (Harahap, 2013).

e. Manifestasi Klinis

Kanker ovarium tidak menimbulkan gejala pada waktu yang lama.

Gejala umumnya sangat bervariasi dan tidak spesifik (Astuti, 2016).

1. Stadium Awal

a) Gangguan haid

b) Konstipasi (pembesaran tumor ovarium menekan rectum)

c) Sering berkemih (tumor menekan vesika urinaria)

d) Nyeri spontan panggul (pembesaran ovarium)

e) Nyeri saat bersenggama (penekanan / peradangan daerah

panggul)

f) Melepaskan hormon yang menyebabkan pertumbuhan

berlebihan pada lapisan rahim, pembesaran payudara atau

peningkatan pertumbuhan rambut)


14

2. Stadium Lanjut

a) Asites

b) Penyebaran ke omentum (lemak perut)

c) Perut membuncit

d) Kembung dan mual

e) Gangguan nafsu makan

f) Gangguan BAB dan BAK

g) Sesak nafas, Dyspepsia

f. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Nasichah (2011) pemeriksaan diagostik yang dapat

dilakukan pada pasien dengan kanker ovarium adalah:

1. Pembedahan

Merupakan pilihan utama, luasnya prosedur pembedahan

ditentukan oleh insiden dan seringnya penyebaran ke sebelah yang

lain (bilateral) dan kecenderungan untuk menginvasi korpus uteri.

2. Biopsi

Dilakukan di beberapa tempat yaitu omentum, kelenjar getah

lambung, untuk mendukung pembedahan.

3. Second look Laparotomi

Untuk memastikan pemasantan secara radioterapi atau kemoterapi

lazim dilakukan laparotomi kedua bahkan sampai ketiga.


15

4. Kemoterapi

Merupakan salah satu terapi yang sudah diakui untuk penanganan

tumor ganas ovarium. Sejumlah obat sitestatika telah digunakan

termasuk agens alkylating seperti itu (cyclophasphamide,

chlorambucil) anti metabolic seperti : Mtx / metrotrex xate dan 5

fluorouracit / antibiotikal (admisin).

5. Penanganan lanjut

a) Sampai satu tahun setelah penanganan, setiap 2 bulan sekali

b) Sampai 3 bulan setelah penanganan, setiap 4 bulan

c) Sampai 5 tahun penanganan, setiap 6 bulan

d) Seterusnya tiap 1 tahun sekali

g. Komplikasi

Menurut Nasichah (2011) komplikasi yang dapat terjadi adalah:

1. Asites

Kanker ovarium dapat bermetastasis dengan invasi langsung ke

strukturstruktur yang berdekatan pada abdomen dan panggul dan

melalui penyebaran benih tumor melalui cairan peritoneal ke

rongga abdomen dan rongga panggul.

2. Efusi Pleura

Dari abdomen, cairan yang mengandung sel-sel ganas melalui

saluran limfe menuju pleura.


16

Komplikasi lain yang dapat disebabkan pengobatan menurut Nasichah

(2011) adalah :

1. Infertilitas adalah akibat dari pembedahan pada pasien menopause

2. Mual, muntah dan supresi sumsum tulang akibat kemoterapi.

Dapat juga muncul maaslah potensial ototoksik, nefroktoksik,

neurotoksis

3. Penyakit berulang yang tidak terkontrol dikaitkan dengan

obstruksi usus, asites fistula dan edema ekstremitas bawah.

2. Operasi Debulking

a. Pengertian

Debulking atau sitoreduksi merupakan suatu prosedur pembedahan

berupa pengurangan massa tumor pada pasien kanker ovarium yang

sudah mengalami metastasis ke organ atau jaringan lain. Tindakan

operasi ini dilakukan terhadap tumor primer maupun metastasisnya di

omentum, usus, dan peritoneum (Linda, 2016).

Menurut Rhaazi (2018) tindakan operasi debulking ini dapat

memperpanjang kelangsungan hidup pasien karena berbagai alasan

sebagai berikut :

1. Operasi akan mengangkat mayoritas sel tumor yang kemoresisten

2. Pengangkatan massa nekrotik akan meningkatkan transport obat

untuk sisa sel yang bervaskularisasi baik.

3. Sisa tumor yang melengket lebih cepat berkembang dan karena itu

lebih sensitif terhadap pemberian kemoterapi


17

4. Dapat mengurangi jumlah sel-sel maligna sehingga memerlukan

siklus kemoterapi yang lebih sedikit sehingga mengurangi

kemoresisten.

5. Pengangkatan tumor yang besar berpotensi memperbaiki sistem

imun tubuh pasien.

b. Klasifikasi Tindakan Operasi Debulking

1. Konvensional

Teknik ini adalah teknik yang biasa dilakukan, yaitu operasi yang

bertujuan untuk membuang massa tumor sebanyak mungkin

dengan menggunakan alat operasi yang lazim digunakan. Menurut

Rhaazi (2018) dengan operasi ini, keberhasilan dalam melakukan

tindakan reduksi pada tumor dibedakan menjadi 2 golongan yaitu:

a) Optimal debulking

Jika diameter sisa tumor setelah operasi kurang dari 2 cm.

b) Suboptimal debulking

Jika massa tumor sisa lebih dari 2 cm.

2. Modern

a) Argon Beam Coagulator

b) Cavitron Ultrasonic Surgical Aspirator (CUSA)

c) Teknik laser.
18

c. Prosedur Tindakan Debulking

Menurut American Cancer Society (2016) ada beberapa tahap dalam

melakukan tindakan debulking yaitu:

1. Eksplorasi

Abdomen dieksplorasi secara hati-hati dengan cepat untuk

menentukan apakah debulking optimal layak. Evaluasi

pembedahan secara minimal lebih baik digunakan untuk kondisi

debulking luas. Hal ini jika sudah yakin bahwa massa tumor lebih

besar dari 2 cm akan tertingal.

2. Omentektomi

Bila omentum telah dipenuhi oleh metastasis, omentektomi dapat

dilakukan terlebih daulu sebelum tumor di daerah perliv di

eksplorasi. Bila terjadi perlengketan dengan lien, terkadang dapat

pula dilakukan splenektimi.

3. Reseksi Tumor Pelvis

Setelah omentektomi, kemudian perlu dilakukan evaluasi pada

panggul. Dapat pula dilakukan histerektomi per-abdominal total

jika memungkinkan

4. Reseksi Kelenjar Getah Benig Retroperitoneal

Pada kasus dengan ukuran nodul tumor pada abdomen kurag dari

2 cm harus dilakukan biopsi node pelvis bilateral dan para-aorta.

Pada pasien dengan penyakit stadium IV dengan nodul tumor

perut minimal 2 cm, tindakan diseksi nodal tidak selalu

diperlukan.
19

5. Reseksi Organ-Organ lain

Untuk memperolah hasil yang optimal dala upaya pembedahan

sitoreduksi diperlukan beberapa prosedur tambahan lain seperti

splenektomi, reseksi diafragma, reseksi usus besar dan usus halus

dan lain sebagainya. Untuk tujuan enegakan diagnostik terkadang

juga sering dilakukan apendiktomi. Perlu dilakukan evaluasi

menyeluruh terhadap organ-orga lain di sekitar ovarium.

d. Tidakan Operasi Debulking Sekunder

Operasi debulking sekunder adalah tindakan pembedahan yang

dilakukan pada pasien setelah dilakukan kemoterapi, biasanya 2

sampai 3 siklus, dengan upaya untuk menghilangkan tumor yang

tersisa yang belum dapat hilang oleh kemoterapi (Santoso, 2017).

Tindakan ini memiliki beberapa syarat sebagai berikut :

1) Platinu sensitif

2) Memiiki interval panjang bebas penyakit yaitu selama 16 hingga

18 bulan

3) Situs kekambuhan yang lokal dan mampu menerima operasi lagi

secara lengkap

4) Tidak ada ascites

Dalam penelitian oleh Mulawardhana (2010) menyatakan bahwa

pasien dengan operasi debulking sekunder yang optimal (diameter

massa tumor kurang dari 1 cm) mampu bertahan hidup selama 16-60

bulan. Sedangkan, pasien dengan massa tumir lebih dari atau sama

dengan 1 cm dan mampu bertahan hidup selama 8 sampai 27 bulan.


20

3. Syok Hemoragik

a. Pengertian

Syok hemoragik adalah suatu kondisi dimana perfusi jaringan

menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran oksigen dan nutrisi

yang diperlukan sel. Ditingkat multiseluler syok lebih sulit untuk

dijelaskan karena tidak semua jaringan dan organ secara klinis

terganggu akibat kurangnya oksigen (Udeani, 2015).

b. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan klinis pasien syok hemoragik dapat segera langsung

berhubungan dengan penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan

perkiraan berat ringannya darah yang hilang bisa terlihat langsung.

Bisa dibedakan perdarahan pada pasien penyakit dalam dan pasien

trauma. Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya ditegakkan dan

ditangani secara bersamaan (Dewi, 2017).

Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital

tubuh, seperti: hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan

penurunan kesadaran. Kumpulan gejala tersebut bukanlah gejala

primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh.

Kumpulan gejala tkarena mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi

dengan usia dan penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien

syok yang tekanan darah dan nadinya dalam batas normal. Oleh

karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan dilepas

pakaiannya harus tetap dilakukan (Dewi, 2017).


21

Berikut pemeriksaan syok menurut Sebayang (2018):

a. Inspeksi Hidung, pharyinx dari kemungkinan adanya darah.

b. Auskultasi dan perkusi dada untuk mengevaluasi gejala

hemothorax. Dimana suara nafas akan turun, suara perkusi tumpul

diarea dekat perdarahan.

c. Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal :

distensi, nyeri palpitasi, dan perkusi tumpul. Periksa panggul

apakah ada ekimosis yang mengarah ke perdarahan

retroperitoneal. Kejadian yang sering dalam klinis adalah

pecahnya aneurysma aorta yang bisa menyebabkan syok tak

terdeteksi. Tanda klinis yang bisa mengarahkan kita adalah

terabanya masa abdomen yang berdenyut, pembesaran scrotum

karena terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan

ekstremitas bawah dan lemahnya denyut femoralis.

d. Lakukan pemeriksaan rectum. Bila ada darah segar curiga

hemoroid internal atau external. Pada kondisi sangat jarang curigai

perdarahan yang signifikan terutama pada pasien dengan

hipertensi portal.

e. Pasien dengan riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan

pelvis lengkap. Dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan

kemungkinan kehamilan ektopik.

f. Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk

pemeriksaan penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa

terjadi dan harus mendapat perhatian khusus, hati-hati perdarahan

bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti syok neurogenik.


22

g. Lakukan inspeksi awal dengan cepat untuk identifikasi hal yang

mengancam jiwa pasien.

h. Nilai jalan nafas, dengan menanyakan nama pasien. Bila artikulasi

baik, pasti jalan nafas bersih.

i. Periksa oral pharynx dari adanya darah dan benda asing lainnya.

j. Periksa daerah leher, adakah hematom atau deviasi trachea.

k. Auskultasi dan perkusi dada dari tanda pneumothorax atau

hemothorax.

l. Palapasi kekuatan dan frekuensi pulsa radialis and femoralis.

m. Periksa dengan cepat adanya perdarahan eksternal.

n. Periksa tanda neurologi dengan menyuruh pasien mengangkat

kedua tangan bergantian, refleks dorsal kaki dengan penekanan.

(ATLS) sangat menganjurkan pemeriksaan nerologi sederhana ini,

karena bisa menilai tingkat kesadaran pasien apakah pasien sadar

penuh, respon terhadap perintah, respon terhadap nyeri, atau tidak

ada respon sama sekali. (misal AVPU).

o. Jaga suhu pasien dengan baik, dengan selimut atau alat

penghangat luar lainnya.

p. Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai

ujung kaki, yang bisa mengarahkan kita terhadap kemungkinan

adanya luka.

q. Periksa adakah perdarahan dikulit kepala. Dan bila dijumpai

perdarahan aktif harus segera diatasi bahkan sebelum pemeriksaan

lainnya.

r. Periksa juga apakah ada darah di mulut dan pharynx.


23

s. Inspeksi dan Palpasi abdomen. Adanya distensi, nyeri saat palpasi

dan ekimosis mengindikasikan adanya perdarahan intra-

abdominal.

t. Palpasi kestabilan tulang pelvis, bila ada krepitus atau instability

indikasikan terjadinya fraktus pelvis dan ini bisa mengancam jiwa

karena perdarahan ke retroperitoneum.

u. Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitus saat

palpasi didekat fraktur. Semua fraktur tulang panjang harus segera

direposisi dan digips untuk mencegah perdarahan di sisi fraktur.

Terutama fraktur Femur karena bisa hilang darah dalam jumlah

banyak, sehingga harus segera diimobilisasi dan ditraksi.

v. Tes diagnostic lebih jauh perlu dilakukan untuk menyingkirkan

perdarahan yang mungkin terjadi di intratorakal, intra-

abdominal,atau retroperitoneal.

c. Manifestasi klinis

Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit

kering, pucat dan dengan diaphoresis. Pasien bingung, agitasi dan

tidak sadar. Pada fase awal nadi cepat dan dalam dibandingkan

denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas normal

karena kompensasi. Conjunctiva pucat, seperti anemia kronik

(Kurniawan, 2018).
24

4. Gagal Nafas

a. Pengertian

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk

mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon

dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah

ventilasi difusi atau perfusi (Martin, 2016). Gagal nafas terjadi

bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-

paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan

karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan

tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan

peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg

(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2012, hlm.114).

b. Klasifikasi

Klasifikasi gagal nafas berdasarkan analisa gas darah:

1. Gagal nafas hiperkapnea

Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu

menunjukkkan kadar PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu

PaCO2>50mmHg. Hal ini disebabkan karena kadar CO2

meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang tersisih di alveolar dan

PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya diperoleh

hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara

inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung

pada level dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi hiperkapnea

(Bakhtiar, 2016).
25

2. Gagal nafas hipoksemia

Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah

tetapi nilai PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut

yang membedakannya dengan gagal napas hiperkapneu, yang

masalah utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal napas

hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas

hiperkapneu (Bakhtiar, 2016).

Klasifikasi gagal nafas berdasarkan lama terjadinya menurut Hidayah

(2015):

1. Gagal nafas akut

Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang

ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang

mengancam jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas

akut timbul pada pasien yang keadaan parunya normal secara

struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul

(Hidayah, 2015).

2. Gagal nafas kronik

Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi

pada pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik

dan emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia

dan hiperkapneu yang memburuk secara bertahap (Hidayah,

2015).
26

Klasifikasi gagal nafas berdasarkan penyebab organ menurut Kartika

(2011):

1. Kardiak

Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan

peningkatan PaCO2 akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema

paru. Oedema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk

melakukan fungsinya sehingga terjadi peningkatan perpindahan

aliran dari vaskuler ke interstisial dan alveoli paru. Terdapat

beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong terjadinya

disfungsi miokard dan peningkatan left ventricel end diastolic

volume (LVEDV) dan left ventricel end diastolic pressure

(LVEDP) yang menyebabkan mekanisme backward-forward

failure. Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard :

a) Infark Miokard

b) Kardiomiopati

c) Miokarditis

2. Non kardiak

Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah

maupun di pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat

disebabkan oleh obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorak,

dan ARDS (Kartika, 2011, hlm. 127)


27

c. Etiologi

Menurut Syafria (2014) penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri

sendiri melainkan merupakan kombinasi dari beberapa keadaan,

dimana penyebab utamanya adalah :

1. Gangguan ventilasi

Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal

maupun ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi

kelainan pada saluran napas bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan,

dan daerah kapiler alveolar. Kelainan ekstrapulmonal disebabkan

oleh obstruksi akut maupun obstruksi kronik. Obstruksi akut

disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme

larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada trakhea.

Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik,

asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama yang

disertai dengan sepsis (Syafria, 2014).

2. Gangguan neuromuscular

Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis,

cedera spinal, fraktur servikal, keracunan obat seperti narkotik

atau sedatif, dan gangguan metabolik seperti alkalosis metabolik

kronik yang ditandai dengan depresi saraf pernapasan (Syafria,

2014).

3. Gangguan / depresi pusat pernafasan

Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi,

trauma, infark otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat.


28

4. Gangguan pada system saraf perifer, otot respiratori, dan dinding

dada

Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk

mempertahankan minute volume (mempengaruhi jumlah

karbondioksida), yang sering terjadi pada guillain bare syndrome,

distropi muskular, miastenia gravis, kiposkoliosis, dan obesitas

(Syafria, 2014).

5. Gangguan difusi alveoli kapiler

Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas

hipoksemia, seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak),

ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia, tumor

paru, aspirasi, perdarahan masif pulmonal.

(Mutaqin, 2012, hlm. 223-224)

d. Patofisiologi

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas

kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda

(Syafria, 2014). Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada

pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional

sebelum awitan penyakit timbul (Muttaqin, 2012). Sedangkan gagal

nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik

seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (Muttaqin,

2012). Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia

yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya


29

paru-paru kembali seperti semula. Pada gagal nafas kronik struktur

paru mengalami kerusakan yang ireversibel (Syafria, 2014).

Penyebab gagal nafas yang utama adalah ventilasi yang tidak adekuat

dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas (Fredianto, 2016). Pusat

pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang

otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera

kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan

hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan.

Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal (Fredianto, 2016).

Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan

tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek

yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik

opioid. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke

gagal nafas akut (Brunner & Suddarth, 2011, hlm. 124).

e. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang timbul pada Gagal Nafas menurut Mansioer

(2013) adalah sebagai berikut :

1) Accessory muscle di gunakan untuk bernapas ketika tubuh bekerja

lebih keras untuk menggerakkan udara

2) Kesulitan bernapas (dyspnea) karena kurangnya oksigen

3) Kesulitan bernapas ketika berbaring (orthopnea) karena

meningkatnya usaha pernapasan dalam posisi berbaring,


30

diafragma harus bekerja lebih keras, rongga dada posterior tidak

berkembang dengan baik

4) Lelah karena kerja napas dan kurangnya oksigen

5) Respirasi lebih dari 20 kali per menit (tachypnea) dalam upaya

mendapatkan lebih banyak udara dan oksigen ke dalam paru –

paru

6) Sianosis karena Hipoksemia

7) Mendesis (ronchi) karena inflamasi pada jalur udara

8) Suara napas lemah karena turunnya gerakan udara

9) Abnormal Pada pemeriksaan EKG

(Mansioer, 2013, hlm. 65)

f. Pemeriksaan Diagnostik

1) Aterial Blood gas :

a) Oksigen PaO2 turun <60 mmHg tanpa penyakit paru-paru

b) Karbondioksida (PaO2) naik >50 mmHg tanpa penyakit paru-

paru

c) Saturasi oksigen arterial (SaO2) <90 persen

d) pH <7.30 (asidosis pernafasan)

2) Oksimetri denyut menunjukan saturasi oksigen rendah

3) Jumlah WBC naik karena infeksi

(Smeltzer, 2011, hlm. 90)


31

g. Komplikasi

Adapun komplikasi akibat dari gagal nafas menurut Anggraeni (2019)

yaitu :

1) Paru

Emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan

ventilator (seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).

2) Jantung

Cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output, aritmia,

perikarditis dan infark miokard akut.

3) Gastrointestinal

Karena perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare dan

pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.

4) Polisitemia

Dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum tulang

memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit yang

usianya kurang dari normal

5) Ginjal

gagal ginjal akut dan ketidak normalan elektrolit asam basa.

h. Penatalaksanaan

1. Pemberian O2 yang adekuat dengan meningkatkan fraksi O2 akan

memperbaiki PaO2, sampai sekitar 60-80 mmHg cukup untuk

oksigenasi jaringan dan pecegahan hipertensi pulmonal akibat

hipoksemia yang terjadi. Pemberian FiO2<40% menggunakan

kanul nasal atau masker. Pemberian O2 yang berlebihan akan


32

memperberat keadaan hiperkapnia.Menurunkan kebutuhan oksigen

dengan memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi, sepsis

dll usahakan Hb sekitar 10-12g/dl (Sandra, 2015).

2. Dapat digunakan tekanan positif seperti CPAP, BiPAP, dan PEEP.

Perbaiki elektrolit, balance pH, barotrauma, infeksi dan komplikasi

iatrogenik. Ganguan pH dikoreksi pada hiperkapnia akut dengan

asidosis, perbaiki ventilasi alveolar dengan memberikan bantuan

ventilasi mekanis, memasang dan mempertahankan jalan nafas

yang adekuat, mengatasi bronkospasme dan mengontrol gagal

jantung, demam dan sepsis (Sandra, 2015).

3. Atasi atau cegah terjadinya atelektasis, overload cairan,

bronkospasme, sekret trakeobronkial yang meningkat, dan infeksi

(Anggraeni, 2019).

4. Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin (Alsagaff, 2014).

Kortikosteroid (Metilpretmisolon bisa digunakan bersamaan

dengan bronkodilator ketika terjadi bronkospasme dan inflamasi.

Ketika penggunaan IV kortikoteroid mempunyai reaksi onset

cepat. Kortikosteroid dengan inhalasi memerlukan 4-5 hari untuk

efek optimal terapy dan tidak digunakan untuk gagal napas akut.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan IV kortikosteroid,

Monitor tingkat kalium yang memperburuk hipokalemia yang

disebabkan diuretik. Penggunaan jangka panjang menyebabkan

insufisiensi adrenalin.

5. Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasme

(Hudak & Gallo, 2015)


33

5. Patofisiliogi

Pada klien dapat ditemukan bahwa ada beberapa faktor resiko yang dapat

menyebabkan timbulnya kanker ovarium contohnya mutasi gen yang

diwariskan, riwayat keluarga dengan kanker ovarium, terdiagnosis

menderita kanker jenis lain sebelumnya, bertambahnya usia, belum

pernah hamil sebelumnya maupun menggunakan alat kontrasepsi (Andari,

2014). Tumor dapat timbul menjadi tumor jinak maupun tumor ganas

(Andari, 2014).

Tumor ganas memiliki ciri-ciri timbul secara infiltratif yaitu tumbuh

bercabang-cabang masuk ke jaringan sehat sekitarnya seperti jari

kepiting, residitif yaitu kambuhan terutama disebabkan karena terdapat

sel tumor yang tertinggal dan tumbuh membesar di tempat yang sama,

metastasis dapat menyebar ke bagian lain melalui peredaran darah/ cairan

getah bening, kehilangan polaritas yaitu tidak ada susunan yang teratur

terhadap letak sel satu sama lain, dan mematikan (Prabanurwin, 2018).

Sedangkan pada tumor jinak bersifat kebalikannya dan tumbuh secara

ekspansif. Tumor residitif ini apabila tidak ditangani dengan baik akan

menyebabkan komplikasi ke berbagai macam penyakit (Prabanurwin,

2018).

Kanker ovarium terjadi karena adanya mutasi genetik pada sel-sel

ovarium yang menjadi abnormal, serta tumbuh cepat dan tidak terkontrol

(Rasjidi, 2019). Penyebab kanker belum dapat diketahui dengan pasti

namun terdapat beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan


34

terjadinya kanker seperti umur diatas 50 tahun, merokok, menjalani terapi

penggantian hormon saat menopause, genetik, menderita obesitas, pernah

menjalani radioterapi, pernah menderita endometrosis atau menderita

syndrom Lych (Musa, 2015). Kanker ovarium ini juga dibagi menjadi

kanker ovarium ganas dan kanker jinak, dimana memiliki tanda gejala

serta ciri-ciri yang berbeda (Musa, 2015). Kanker ovarium ini harus

dilakukan tindakan secara segera agar tidak terjadi komplikasi yang lebih

parah (Musa, 2015).

Tindakan operasi debulking merupakan tindakan operasi yang dilakukan

untuk mengurangi sebagian besar volume tumor tanpa niat eradikasi total

atau bisa disebut pengangkatan parsial (Silberman, 2012). Debulking

berbeda dengan cytoreduction dimana cytoreduction/ cytoreductive

surgery adalah pengurangan jumlah sel tumor yang bersifat kuratif

terutama pada pengangkatan sel tumor ganas (Hopkins, 2016). Debulking

ini hanya digunakan untuk tujuan kuratif pada beberapa macam jenis

kanker saja seperti kanker ovarium dan beberapa jenis kanker otak

(Hopkins, 2016). Hal ini disebabkan karena pada jenis kanker ini tidak

dapat dilakukan pengangkatan secara total dan menyisakan organ di

sekitar yang kemungkinan ada sel kanker ganas yang tertinggal oleh

karena itu setelah dilakukan operasi tetap diperlukan terapi kemoterapi

maupun radioterapi untuk menghilangkan sel kanker yang tersisa

(Silberman, 2012).
35

Tindakan debulking ini sangat beresiko terhadap perdarahan. Kehilangan

darah yang berlebihan baik eksternal maupun internal menyebabkan

volume darah yang berada di sistem vaskuler berkurang dan perfusi

jaringan pada sistem sirkulasi darah menurun yang kemudian

menyebabkan penurunan curah jantung. Bila terjadi penurunan curah

jantung maka baroreseptor pada arkus aorta dan atrium bereaksi dengan

meningkatkan frekuensi nadi, vasokonstriksi dan penurunan distribusi

aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pernafasan

dan ginjal. Padaperdarahan terjadi pula respon hormonal dimana

kortikotropin dan releasing hormone terstimulasi secara langsung dan

menyebabkan pelepasa glukokortikoid dan beta-endorphin. Setelah itu

kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopresin, menyebabkan retensi

air pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh kompleks juxtamedularis

sebagai respk dari penurunan MAP sehingga meningkatkan aldosteron

dan berujung pada reabsorbsi natrium dan air. Pada perdarahan akut

sering terjadi pula hiperglikemia karena glukagon dan growth hormone

meningkat dan terjadi glukoneogenesis dan glikohenesis. Peredaran

katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas insulin secara relatif

sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah (Hopkins, 2016).

Perdarahan termasuk salah satu penyebab dari syok hipovolemik atau bisa

disebut syok hemoragik. Syok hipovolemik adalah syok yang disebabkan

oleh hilangnya cairan atau darah dalam jumlah banyak (Contoh: diare,

perdarahan, dll) pada beberapa kondisi seperti perdarahan luar,

perdarahan dalam dan berkurangnya cairan tubuh akibat ekskresi cairan


36

tubuh yang berlebihan lewat muntah, dll (Manalu, 2017). Syok hemoragik

termasuk ke dalam syok hipovolemik, akan tetapi syok hipovolemik

belum tentu syok hemoragik, hal ini disebabkan karena syok hemoragik

hanya khusus pada syok yang disebabkan oleh perdarahan baik secara

eksternal maupun internal.

6. Pathway

Sumber : Hudak & Gallo, 2015; Mansioer Arif, 2013; Muttaqin, 2012;

Kartika, 2011; Brunner & Suddarth,2011.


37

Faktor Risiko: diit


tinggi lemak,
merokok, alkohol,
riwayat kanker,
nulipara, invertilitas

Peningkatan kadar
esterogen

Pertumbuhan sel-sel
abnormal di ovarium

Pembuluh darah
Kanker Ovarium Kemoterapi
menjadi rapuh
Merangsang
Tekanan pada Refleks regang Refleks pada
Nausea aktivator saraf
lambung pada lambung gastrointestinal
simpatis Rencana
Invasif Trauma Pembuluh Jumlah
Suplai nutrisi Sel darah Kehilangan Tindakan Perdaraha
Perut Perdarahan jaringan darah sulit darah
dan oksigen merah darah Pembedahan n berat
terasa pervaginam secara fisik dijahit menurun
berkurang menurun berlebih
penuh
Kurang Resiko
Jaringan Metastase Gangguan
Tidak nafsu Ketidakseimbangan Hipovolemia Pengetahuan perdarahan
kekurangan perfusi,
makan ventilasi dan
oksigen dan Gangguan takikardi,
perfusi Rongga
nutrisi Kerusakan kulit dan jaringan integritas sianosis
vaskuler Menekan Ansietas
limfa karena prosedur operasi kulit/
jaringan jaringan
Asupan Gangguan Obstruksi kelenjar sekitar
pertukaran gas limfa Pembuluh
makanan Ginjal darah
Menekan Virus, bakteri,
menurun
Gangguan syaraf dan kuman Resiko Resiko
mekanisme Penekanan masuk lewat infeksi Syok
Obstruksi
Gangguan regulasi jaringan paru luka terbuka
ureter Penekanan
proses cairan tubuh
difusi dan jaringan
Pelepasan
Defisit pertukaran otak Gangguan Merangsang
Blok pada Penurunan mediator
Nutrisi oksigen Energi yang Oedema pernafasan talamus
sfingter uretra kapasitas kimiawi
dalam sel dihasilkan kandung (Dispnea) Korteks Menimbulkan
jaringan kemih serebri persepsi nyeri
berkurang Retensi Penekanan
urin pembuluh
Perfusi Hipervolemia darah otak
Gangguan Kelelahan Penggunaan
perifer tidak Pola nafas tidak Nyeri
eliminasi otot otot bantu
efektif efektif kronis
urin pernafasan pernafasan
Kelemahan otot dan Resiko perfusi
keterbatasan gerak serebral tidak
efektif Bernafas Pemasangan Bersihan jalan
Penumpukan
spontan tidak intubasi/ nafas tidak
sputum
Intoleransi aktivitas adekuat ventilator efektif

Gangguan
ventilasi
spontan
38

B. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian

a. Primary Survey

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan

manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang

mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk

mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang

mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey

antara lain (Fulde, 2012) :

1) Airway maintenance dengan cervical spine protection

2) Breathing dan oxygenation

3) Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

4) Disability-pemeriksaan neurologis singkat

5) Exposure dengan kontrol lingkungan

Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey

bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan

langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah

sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan

tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah

dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan

sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan

mereka (American College of Surgeons, 2017).


39

Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh

tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik

adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian

intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui

pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).

Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain

(Emergency Nursing Association , 2017) :

1) Pengkajian Airway

Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa

responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk

memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien

yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka

(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan

bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi

selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,

leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh

obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner,

2016). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien

antara lain :

a) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara

atau bernafas dengan bebas?

b) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara

lain:
40

(1)Adanya snoring atau gurgling

(2)Stridor atau suara napas tidak normal

(3)Agitasi (hipoksia)

(4)Penggunaan otot bantu pernafasan/ paradoxal chest movement

(5)Sianosis

c) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian

atas dan potensial penyebab obstruksi :

(1)Muntahan

(2)Perdarahan

(3)Gigi lepas atau hilang

(4)Gigi palsu

(5)Trauma wajah

d) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien

terbuka.

e) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada

pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.

f) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas

pasien sesuai indikasi :

(1)Chin lift/jaw thrust

(2)Lakukan suction (jika tersedia)

(3)Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask

Airway

(4)Lakukan intubasi
41

2) Pengkajian Breathing (Pernafasan)

Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan

nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada

pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus

dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension

pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi

buatan (Wilkinson & Skinner, 2016).

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien

antara lain :

a) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan

oksigenasi pasien.

(1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada

tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury,

flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu

pernafasan.

(2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,

subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis

haemothorax dan pneumotoraks.

(3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.

b) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien

jika perlu.

c) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih

lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.

d) Penilaian kembali status mental pasien.

e) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan


42

f) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /

atau oksigenasi:

(1) Pemberian terapi oksigen

(2) Bag-Valve Masker

(3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi

penempatan yang benar), jika diindikasikan

(4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced

airway procedures

g) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya

dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

3) Pengkajian Circulation

Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan

oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum

pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,

takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan

capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan

adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup

aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung

mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.

Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:

tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan

anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi

melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik

(Wilkinson & Skinner, 2016).


43

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,

antara lain :

a) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.

b) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.

c) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan

pemberian penekanan secara langsung.

d) Palpasi nadi radial jika diperlukan:

(1) Menentukan ada atau tidaknya

(2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)

(3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)

(4) Regularity

e) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia

(capillary refill).

f) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

4) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities

Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU

a) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi

perintah yang diberikan

b) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang

tidak bisa dimengerti

c) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika

ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk

merespon)

d) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus

nyeri maupun stimulus verbal.


44

5) Expose, Examine dan Evaluate

Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika

pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-

line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan

pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam

melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya

selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai

dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,

kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang

mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera

dilakukan:

a) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien

b) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa

pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang

berpotensi tidak stabil atau kritis (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2012)

b. Secondary Assessment

Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan

secara head to toe, dari depan hingga belakang dan secondary survey

hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak

mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik (Emergency

Nurse Association, 2017).


45

1) Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat

pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.

Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan

sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.

(Emergency Nursing Association, 2017). Pengkajian riwayat pasien

secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan

dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang

terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat,

atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang

dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran

mengenai cedera yang mungkin diderita.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat

dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2017):

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,

plester, makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti

sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung,

dosis, atau penyalahgunaan obat

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti

penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya,

penggunaan obat-obatan herbal)


46

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,

dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode

menstruasi termasuk dalam komponen ini)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera

(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama)

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang

disesuaikan dengan kondisi pasien. Akronim PQRST digunakan untuk

mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :

a) Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang

membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya

lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri

itu membuat anda terbangun saat tidur?

b) Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah

seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram,

kolik, diremas?

c) Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana?

Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

d) Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10

dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat

e) Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau

lambat? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau

hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini

sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau

berbeda?
47

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan

tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas,

saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.

Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut

Emergency Nurses Association,(2017).

Komponen Nilai normal Keterangan


Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan rectal.
Untuk mengukur suhu inti menggunakan kateter
arteri pulmonal, kateter urin, esophageal probe,
atau monitor tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi penyakit, infeksi
dan injury.

Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais irama


jantung, frekuensi, kualitas dan kesamaan.

Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi,


auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak mampu mengucapkan
1 kalimat penuh.

Saturasi >95% Saturasi oksigen di monitor melalui oksimetri


oksigen nadi, dan hal ini penting bagi pasien dengan
gangguan respirasi, penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan di jari tangan atau
kaki.

Tekanan 120/80mmHg Tekanan darah mewakili dari gambaran


darah kontraktilitas jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan vaskuler perifer.
Tekanan sistolik menunjukkan cardiac output,
seberapa besar dan seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan diastolic menunjukkan
fungsi tahanan vaskuler perifer.

Berat badan Berat badan penting diketahui di UGD karena


berhubungan dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam pemberian
antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat badan.

Grafik 2.1 Nilai Normal Tanda Vital


Sumber : Emergency Nurses Association, 2017.
48

2. Pemeriksaan fisik

a) Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang

datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal

dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi

seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa,

kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta

adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2014).

b) Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan

kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa

mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan

mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan

skor GCS.

1) Mata :

Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor

atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil

mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata

(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis

atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,

subconjunctival perdarahan, serta diplopia


49

2) Hidung :

Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan

penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi

akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.

3) Telinga :

Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau

hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan

membrane timpani atau adanya hemotimpanum,

4) Mulut dan faring :

Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembaban,

dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah

tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa

ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati

adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi

adanya respon nyeri

c) Vertebra servikalis dan leher

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau

krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia

(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul

atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan

adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi

trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi

segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.

Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..


50

d) Toraks

1) Inspeksi :

Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk

adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,

bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan

expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan

ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi

dan irama denyut jantung (Lombardo, 2015)

2) Palpasi :

Seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema

subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

3) Perkusi :

Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

4) Auskultasi :

Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan

bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

e) Abdomen

Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma

tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi

abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda

tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus,

perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi

abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,

hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas


51

atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra

abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal

lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ

berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak

dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali.

Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila

diperlukan (Tim YAGD 118, 2018).

f) Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,

edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur

harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan

kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi,

adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter

ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya

darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina

dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada

tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus

dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan

yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun

jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Pasien

dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar

dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,

Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.

M.Djamil, 2016).
52

g) Ektremitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,

jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur

terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi

distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas

fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam

ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin

luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau

kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2018). Inspeksi pula adanya kemerahan,

edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,

atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa

adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung

berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.

Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.

Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai

fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak

stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan

sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan

oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat

dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian

lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam

keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan

muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan

punggung penderita.
53

h) Bagian punggung

Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,

memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada

saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118,

2018). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis,

ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra

periksa adanya deformitas.

i) Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat

kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.

Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian

GCS. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar

servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada

fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk

melakukan fiksasi terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga

penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Bila ada

trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat

kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra

cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis,

harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu

adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur

kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,

2016).
54

3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

Edisi I cetakan III disesuaikan dengan kondisi klien (PPNI, 2016) menurut

pathway dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif (hlm.18)

b. Gangguan pertukaran gas (hlm. 22)

c. Gangguan ventilasi spontan (hlm.24)

d. Pola nafas tidak efektif (hlm.26)

e. Perfusi perifer tidak efektif (hlm.37)

f. Resiko perdarahan (hlm.42)

g. Resiko perfusi serebral tidak efektif (hlm.51)

h. Defisit nutrisi (hlm.56)

i. Hipervolemia (hlm.62)

j. Hipovolemia (hlm.64)

k. Resiko Syok (hlm. 92)

l. Gangguan eliminasi urin (hlm.96)

m. Retensi urin (hlm.115)

n. Intoleransi aktivitas (hlm.128)

o. Nausea (hlm.170)

p. Nyeri akut (hlm.172)

q. Nyeri kronis (hlm.175)

r. Ansietas (hlm.180)

s. Gangguan integritas kulit/ jaringan (hlm.282)

t. Resiko infeksi (hlm.304)


55

4. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah rencana tindakan keperawatan yang tertuang

dalam buku Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI PPNI, 2018)

dan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI PPNI, 2018) sebagai

berikut:

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Bersihan jalan nafas meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm.18 )

1) Batuk efektif meningkat

2) Produksi sputum, mengi, wheesing, dispnea, ortopnea, sulit bicara,

sianosis, dan gelisah menurun

3) Frekuensi napas 12-20 kali/menit

4) Pola napas membaik

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018, hlm.)

1) Latihan Batuk Efektif (hlm.142)

Observasi :

a) Identifikasi kemampuan batuk

b) Monitor adanya retensi sputum

c) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas

d) Monitor input dan output cairan (mis. Karakteristik)

Terapeutik :

a) Atur posisi semi-Fowler atau Fowler

b) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien

c) Buang sekret pada tempat sputum


56

Edukasi:

a) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif

b) Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,

ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan

bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik.

c) Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali.

d) Anjurkan batuk dengan kuat

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu.

2) Manajemen jalan nafas (hlm.186)

Observasi :

a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas).

b) Monitor bunyi napas tambahan (misalnya gurgling, mengi,

wheezing, rokhi kering).

c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik :

a) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-

lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)

b) Posisikan semi-Fowler atau Fowler

c) Berikan minum hangat

d) Lakukan fisioterapi dada jika perlu

e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

g) Keluarkan sumbatan benda padat denganforsep McGill

h) Berikan oksigen, jika perlu


57

Edukasi:

a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,jika tidak kontraindikasi

b) Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,

jika perlu.

b. Gangguan pertukaran gas

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 94)

1) Tingkat kesadaran meningkat

2) Bunyi napas tambahan, pusing, penglihatan kabur, diaforesis,

gelisah dan nafas cuping hidung menurun

3) PCO2, PO2, takikardia, pH arteri membaik, sianosis membaik, pola

napas, dan warna kulit membaik

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Pemantauan Respirasi (hlm. 247)

Observasi :

a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas

b) Monitor pola napas seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,

Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biof, ataksisk).

c) Monitor kemampuan batuk efektif

d) Monitor adanya produksi sputum

e) Monitor adanya sumbatan jalan nafas

f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru


58

g) Auskultasi bunyi napas

h) Monitor saturasi oksigen

i) Monitor nilai AGD

j) Monitor x-ray thoraks

Terapeutik :

a) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

b) Dokumentasikan hasil pemantauan.

Edukasi:

a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

2) Terapi Oksigen (hlm. 430 )

Observasi :

a) Monitor kecepatan aliran oksigen, posisi alat terapi oksigen,

aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang

diberikan cukup, ekektifitas erapi oksigen (mis. oksimetri,

analisa gas darah), kemampuan melepaskan oksigen saat

makan, tanda-tanda hipoventilasi.

b) Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelektasis,

tingkat kecemasan akibat terapi oksigen dan integritas mukosa

hidung akibat pemasangan oksigen.

Terapeutik :

a) Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu

b) Pertahankan kepatenan jalan napas.

c) Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen, berikan oksigen.

d) Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi


59

Edukasi:

a) Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di

rumah

Kolaborasi:

a) Kolaborasi penentuan dosis pemberian oksigen

b) Kolaborasi pemberian oksigen saat aktivitas dan/atau tidur.

c. Gangguan ventilasi spontan

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Ventilasi spontan meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 150)

1) Volume tidal meningkat

2) Dispnea, penggunaan otot bantu nafas, dan gelisah menurun

3) PCO2 , PO2, dan takikardia membaik

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Dukungan ventilasi (hlm.49)

Observasi :

a) Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas, adanya efek

peruahan posisi terhadap status pernapasan.

b) Monitor status respirasi dan oksigenasi (mis.frekuensi dan

kedalaman napas, penggunaan otot bantu napas, bunyi napas

tambahan dan saturasi oksigen).

Terapeutik :

a) Pertahankan kepatenan jalan napas, gunakan bag valve mask.

b) Berikan posisi Fowler atau semi-Fowler, oksigenasi sesuai

kebutuhan (mis.nasal kanul, masker), dan jaga kenyamanan.


60

Edukasi:

a) Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam

b) Ajarkan mengubah posisi secara mandiri

c) Ajarkan teknik batuk efektif.

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemebrian bronkodilator, jika perlu.

2) Pemantauan Respirasi (hlm. 247)

Observasi :

a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas, pola

napas seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,

Cheyne-Stokes, Biof, ataksisk), kemampuan batuk efektif,

adanya produksi sputum, dan adanya sumbatan jalan nafas

b) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

c) Auskultasi bunyi napas

d) Monitor saturasi oksigen, nilai AGD, dan x-ray thoraks

Terapeutik :

a) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

b) Dokumentasikan hasil pemantauan.

Edukasi:

a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

d. Pola nafas tidak efektif

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Pola napas membaik dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 95)


61

1) Ventilasi semenit, kapasitas vital, diameter thoraks anterior-

posterior, tekanan ekspirasi, dan tekanan inspirasi meningkat.

2) Penggunaan otot bantu nafas, pemanjangan fase ekspirasi menurun,

ortopnea, pernapasan prsed-tip, dan pernafasan cuping hidung

menurun.

3) Kedalaman nafas dan ekskursi dada membaik

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen jalan nafas (hlm.186)

Observasi :

a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas).

b) Monitor bunyi napas tambahan (misalnya gurgling, mengi,

wheezing, rokhi kering).

c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik :

a) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-

lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)

b) Posisikan semi-Fowler atau Fowler

c) Berikan minum hangat

d) Lakukan fisioterapi dada jika perlu

e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

g) Keluarkan sumbatan benda padat denganforsep McGill

h) Berikan oksigen, jika perlu


62

Edukasi:

a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,jika tidak kontraindikasi

b) Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,

jika perlu.

2) Pemantauan Respirasi (hlm. 247)

Observasi :

a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas

b) Monitor pola napas seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,

Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biof, ataksisk).

c) Monitor kemampuan batuk efektif

d) Monitor adanya produksi sputum

e) Monitor adanya sumbatan jalan nafas

f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

g) Auskultasi bunyi napas

h) Monitor saturasi oksigen

i) Monitor nilai AGD

j) Monitor x-ray thoraks

Terapeutik :

a) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

b) Dokumentasikan hasil pemantauan.

Edukasi:

a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.


63

e. Perfusi perifer tidak efektif

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Perfusi perifer meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm.84)

1) Denyut nadi perifer, penyembuhan luka, dan sensasi meningkat.

2) Warna kulit pucat, edema perifer, nyeri ekstremitas, parastesia,

kelemahan otot, kram otot, bruit femoralis dan nekrosis menurun.

3) Pengisian kapiler, suhu akral dan turgor kulit membaik

4) Tekanan darah sistolik dan diastolik,tekanan arteri rata-rata

membaik

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Perawatan Sirkulasi (hlm. 345)

Observasi :

a) Periksa sirkulasi perifer (mis.nadi perifer, edema, pengisian

kapiler, warna, suhu, ankle brachial index).

b) Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (mis.diabetes,

perokok, orang tua, hipertensi dan kadar kolesterol tinggi)

c) Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada

ekstremitas.

Terapeutik :

a) Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area

keterbatasan perfusi,pengukuran tekanan darah pada

ekstremitasdengan keterbatasan perfusi, penekanan dan

pemasangan torniquet pada area yang cedera.

b) Lakukan pecegahan infeksi, perawatan kaki dan kuku, hidrasi.


64

Edukasi:

a) Anjurkan berhenti merokok, berolahraga rutin, mengecek air

mandi untuk menghindari kulit terbakar, menggunakan obat

penurun tekanan darah, antkoagulan dan penurun kolesterol.

b) Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur,

menghindari penggunaan obat penyekat beta, melakukan

perawatan kulit yang tepat (mis. melembabkan kulit kering

pada kaki), program rehabilitasi vaskular dan program diet

untuk memperbaiki sirkulasi (mis.rendah lemak jenuh).

c) Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan

(mis.rasa sakit yang tidak hilangsaat istirahat, luka tidak

sembuh dan hilangnya rasa).

2) Manajemen sensasi perifer (hlm. 218)

Observasi :

a) Identfikasi penyebab perubahan sensasi, penggunaan alat

pengikat, prostetis, sepatu dan pakaian.

b) Periksa perbedaan sensasi tajam atau tumpul, panas atau

dingin, kemampuan mengidentifikasi lokasi dan tekstur benda

c) Monitor terjadinya parestesia, jika perlu

d) Monitor perubahan kulit, dan adanya tromboflebitis dan

tromboemboli vena

Terapeutik :

a) Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya

(terlalu panas atau dingin).


65

Edukasi:

a) Anjurkan penggunaan termometer untuk menguji suhu air,

penggunaan sarung tangan termal saat memasak dan memakai

sepatu lembut dan bertumit rendah.

Kolaborasi:

a) Kolaborasi pemberian analgesik dan kortikostreoid, jika perlu.

f. Resiko perdarahan

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Tingkat perdarahan menurun dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 147)

1) Kelembaban membran mukos, kelembapan kulit dan kognitif

meningkat.

2) Hemoptisis, hematemesis, hematuria, perdarahan vagina, distensi

abdomen, perdarahan pasca operasi menurun

3) Hemoglobin, hematokrit, tekanan darah, denyut nadi apikal, dan

suhu tubuh membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Pencegahan perdarahan (hlm. 283)

Observasi :

a) Monitor tanda dan gejala perdarahan, nilai hematokrit atau

hemoglobin sebelum dan setelah kehilangan darah, tanda-tanda

vital ortostatik, dan monitor koagulasi (mis.protrombin time

(PT), partial thromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradasi

fibrin, dan/atau platelet.


66

Terapeutik :

a) Pertahankan bed rest selama perdarahan, batasi tindakan

invasif jika perlu.

b) Gunakan kasur dekubitus jika perlu

c) Hindari pengukurab suhu rektal.

Edukasi:

a) Jelaskan tanda dan gejala perdarahan

b) Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulansi,

meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi,

menghindari aspirin atau antikoagulan, meningkatkan asupan

makanan dan vitamin K, serta segera melapor jika terjadi

perdarahan.

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, pemberian

produk darah dan pemberian pelunak tinja, jika perlu

g. Resiko perfusi serebral tidak efektif

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Perfusi serebral meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 86)

1) Tingkat kesadaran dan kognitif meningkat

2) Tekanan intra kranial, sakit kepala, gelisah, kecemasan, agitasi, dan

demam menurun

3) Nilai rata-rata tekanan darah, kesadaran, tekanan darah sistolik,

tekanan darah diastolik, dan refleks saraf membaik.


67

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen peningkatan tekanan intrakranial (hlm. 205)

Observasi :

a) Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi, edema

serebral, gangguan metabolisme).

b) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. kenaikan tekanan

darah, tekanan nadi melebar, takikardia, pola napas ireguler,

kesadaran menurun), MAP, CVP, PAWP, PAP, ICP, CPP,

gelombang ICP, status pernapasan, intake dan output cairan,

dan cairan serebro-spinalis.

Terapeutik :

a) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang

tenang

b) Berikan posisi semi-Fowler

c) Hindari valsava maneuver, penggunaan PEEP yang tinggi, dan

pemberian cairan IV hipotonik berlebih.

d) Cegah terjadinya kejang

e) Atur ventilator agar PaCO2 optimal

f) Pertahankan suhu tubuh normal.

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian sedasi dan antikovulsan, diuretik

osmosis, dan pelunak tinja, jika perlu.

2) Pemantauan tekanan intrakranial (hlm.249)


68

h. Defisit nutrisi

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Status nutrisi membaik dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 121)

1) Porsi makanan yang dihabiskan, kekuatan otot pengunyah,

kekuatan otot menelan, serum albumin, verbalisasi keinginan

untuk meningkatkan nutrisi, pengetahuan tentang pilihan

makanan dan minuman yang sehat, pengetahuan tentang standar

asupan nutrisi yang tepat, penyaiapan dari penyimpanan makanan

dan minuman yang aman, serta sikap terhadap makanan dan

minuman sesuai dengan tujuan kesehatan meningkat.

2) Perasaan cepat kenyang, nyeri abdomen, sariawan, rambut rontok,

dan diare menurun.

3) Berat badan, Indeks Massa Tubuh (IMT), frekuensi makan, nafsu

makan, bisig usus, tebal lipatan kulit trisep dan membran mukosa

membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen nutrisi (hlm. 200)

Observasi :

a) Identifikasi status nutrisi, alergi dan intoleransi makanan,

makanan yang disukai, kebutuhan kalori dan jenis nutrien, dan

perlunya penggunaan selang nasogastrik.

b) Monitor asupan makanan, beraat badan dan hasil pemeriksaan

laboratorium.

Terapeutik :

a) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu


69

b) Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.piramida makanan)

c) Sajikan makanan secara menarik dna suhu yang sesuai

d) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi,

tinggi kalori dan tinggi protein.

e) Berikan suplemen makanan, jika perlu

f) Hentikan pemberia makanan melalui selang nasogastrik jika

asupan oral sudah dapat ditoleransi.

Edukasi:

a) Anjurkan posisi duduk, jika mampu

b) Anjurkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.pereda

nyeri, antiemetik), jika perlu

b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukanjumlah kalori

dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu.

2) Promosi berat badan (hlm. 358)

Observasi :

a) Identifikasi kemungkinan penyebab menurunnya BB.

b) Monitor adanya mual dan muntah, berat badan harian,

albumin, limfosit, dan elektrolit serum.

Terapeutik :

a) Berikan perawatan mulut sebelum pemberianmakan, jika perlu

b) Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien (mis.

makanan dengan tekstur halus, makanan yang diblender,


70

makanan cair yang diberikan melalui NGT atau gastrostomi,

total parenteral nutrition, sesuai indikasi).

c) Hidangkan makanan secara menarik

d) Berikan suplemen makanan, jika perlu

e) Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk peningkatan yang

dicapai.

Edukasi:

a) Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun tetap

terjangkau.

b) Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan

i. Hipervolemia

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Keseimbangan cairan meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 41)

1) Asupan cairan, keluaran urin, kelembaban membran mukosa dan

asupan makanan meningkat.

2) Edema, dehidrasi, asites dan konfusi menurun

3) Tekanan darah, denyut nadi radial, tekanan arteri rata-rata,

membran mukosa, mata cekung, turgor kulit, dan berat badan

membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen hipervolemia (hlm. 181)

Observasi :
71

a) Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis.ortopnea, dispnea,

edema, JVP/CVP meningkat, refleks hepatojugular positif,

suara nafas tambahan).

b) Periksa tanda dan gejala hipervolemia

c) Monitor status hemodinamik (mis. frekuensi jantung, tekanan

darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI), jika tersedia.

d) Monitor intake dan output cairan, tanda hemokonsentrasi

(mis.kadar natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urine), tanda

peningkatan osmotik plasma (mis. kadar protein dan albumin

meningkat), kecepatan infus secara ketat.

e) Monitor efek samping penggunaan diuretik

Terapeutik :

a) Timbang berat badan setiap hari pada waktuyang sama

b) Batasi asupan cairan dan garam

c) Tinggikan tempat tidur 30-40o

Edukasi:

a) Anjurkan melapor, haluaran urin <0,5mL/kg/jam dalam 6jam

b) Anjurkan melapor jika BB bertambah >1kg dalam sehari

c) Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran

cairan, dan cara membatasi cairan.

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian diuretik, penggantian kehilangan kalium

akibat diuretik, pemberian continuous renal replacement

therapy (CRRT), jika perlu.


72

2) Pemantauan cairan (hlm. 238)

Observasi :

a) Monitor frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, tekanan

darah, berat badan, waktu pengisian kapiler, elastisitas atau

turgor kulit, jumlah, warna, dan berat jenis urine, kadar

albumin dan protein total, hasil pemeriksaan serum (mis.

osmolaritas serum, hematokrit, natrium, kalium, BUN).

b) Monitor intake dan output cairan

c) Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. frekuensi nadi

meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan

nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa

kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, hasu,

lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun

dalam waktu singkat).

d) Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (mis.edema perifer,

edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks

hepatojugular positif, berat badan meningkat dalam waktu

singkat).

e) Indentifikasi faktir resiko ketidakseimbangan cairan

(mis.prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka

bakar, aferesis, obstruksi interstinal, peradangan pankreas,

penyakit ginjal dan kelenjar, dan disfungsi intestinal)

Terapeutik :

a) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien

b) Dokumentasikan hasil pemantauan


73

Edukasi:

a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

j. Hipovolemia

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Status cairan membaik dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 107)

1) Kekuatan nadi, turgor kulit, output urine dan pengisian vena

meningkat.

2) Ortopnea, dispnea, Edema anasarka, edema perifer

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen hipovolemia (hlm. 184)

Observasi :

a) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis.frekuensi nadi

meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan

nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa

kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus,

lemah).

b) Monitor intake dan output cairan

Terapeutik :

a) Hitung kebutuhan cairan

b) Berikn posisi modified Tredelenburg jika perlu

c) Berikan asupan cairan oral.


74

Edukasi:

a) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral

b) Anjurkan menghindari periubahan posisi mendadak

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonus (mis.NaCl, RL)

b) Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis, pemberian cairan

koloid dan pemberian produk darah

2) Manajemen syok hipovolemik (hlm. 222)

Observasi :

a) Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,

frekuensi napas, TD, MAP).

b) Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD), status cairan

(masukan dan haluatan, turgor kulit, CRT)

c) Periksa tingkat kesadaran dan respon pupil, seluruh permukaan

tubuh terhadap adanya DOTS (deformity, open yound,

tenderness, atau swelling)

Terapeutik :

a) Pertahankan jalan napas paten

b) Berikan oksigen untuk mempetahankan saturasi oksigen >94%

c) Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jiak perlu.

d) Lakukan penekanan langsung (direct pressure) pada perdarahan

eksternal.

e) Berikan posisi syok (Tredelenburg)

f) Pasang jalur IV berukuran besar (mis.nomor 14 adatu 16)

g) Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine


75

h) Pasang selang nasogastrik untuk dekompresi lambung

i) Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan

elektrolit.

Kolaborasi:

a) Kolaborasi pmberian infus cairan kristaloid 1-2L pada dewasa

b) Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 20mL/kgBB pada

anak

c) Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu.

k. Resiko Syok

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Tingkat syok meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm.148)

1) Kekuatan nadi, output urine, tingkat kesadaran dan saturasi oksigen

meningkat.

2) Akral dingin, pucat, haus, konfusi, letargi, asidosis menurun.

3) Mean arterial pressure, tekanan darah sistolik, tekanan darah

diastolik, tekanan nadi, pengisian kapiler, frekuensi nadi dan nafas

membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Pencegahan syok (hlm. 285)

Observasi :

a) Monitor status kardiopulmonal, status oksigenasi, status

cairan, tingkat kesadaran dan respon pupil.

b) Periksa riwayat alergi.


76

Terapeutik :

a) Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen

>95%, persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu.

b) Pasang jalur IV, katether urine untuk menilai produksi urine.

c) Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi.

Edukasi:

a) Jelaskan penyebab/faktor resiko syok, serta tanda dan gejala

awal syok.

b) Anjrkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala

awal syok, memperbanyak asupan cairan oral dan menghindari

alergen.

Kolaborasi :

a) Kolaborasi pemberian IV, transfusi darah dan antiinflamasi,

jika perlu.

2) Pemantauan cairan (hlm. 238)

Observasi :

a) Monitor frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, tekanan

darah, berat badan, waktu pengisian kapiler, elastisitas atau

turgor kulit, jumlah, warna, dan berat jenis urine, kadar

albumin dan protein total, hasil pemeriksaan serum (mis.

osmolaritas serum, hematokrit, natrium, kalium, BUN).

b) Monitor intake dan output cairan

c) Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. frekuensi nadi

meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan

nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa


77

kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, hasu,

lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun

dalam waktu singkat).

d) Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (mis.edema perifer,

edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks

hepatojugular positif, berat badan meningkat dalam waktu

singkat).

e) Indentifikasi faktir resiko ketidakseimbangan cairan

(mis.prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka

bakar, aferesis, obstruksi interstinal, peradangan pankreas,

penyakit ginjal dan kelenjar, dan disfungsi intestinal)

Terapeutik :

c) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien

d) Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi:

c) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

d) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

l. Gangguan eliminasi urin

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Eliminasi urine membaik dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 24)

1) Sensasi berkemih meningkat.

2) Desakan berkemih (urgensi), distensi kandung kemih, berkemih

tidak tuntas (hesistancy), volume residu urine, urine menetes


78

(dribbling), nokturia, mengompol, enuresis, disuria dan anuria

menurun.

3) Frekuensi BAK dan karakteristik urine membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Dukungan perawatan diri: BAK/BAB (hlm. 37)

Observasi :

a) Identifikasi kebiasaan BAB/BAK sesuai usia

b) Monitor integritas kulit pasien

Terapeutik :

a) Buka pakaian yang diperlukan untuk memudahkan eliminasi

b) Dukung penggunaan toilet/commode./pispot/urinal secara

konsisten.

c) Jaga privasi selama eliminasi

d) Ganti pakaian pasien setelah eliminasi, jika perlu

e) Bersihkan alat bantu BAB/BAK setelah digunakan.

f) Latih BAK/BAB seuai jadwal, jika perlu

g) Sediakan alat bantu (mis.kateter eksternal, urinal), jika perlu.

Edukasi:

a) Anjurkan BAK dan BAB secara rutin

b) Anjurkan ke kamar mandi/toilet jika perlu.

2) Manajemen eliminasi urin (hlm. 175)

m. Retensi urin

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Eliminasi urin membaik dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 24)


79

1) Sensasi berkemih meningkat.

2) Desakan berkemih (urgensi), distensi kandung kemih, berkemih

tidak tuntas (hesistancy), volume residu urine, urine menetes

(dribbling), nokturia, mengompol, enuresis, disuria dan anuria

menurun.

3) Frekuensi BAK dan karakteristik urine membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Kateterisasi urine (hlm. 129)

n. Intoleransi aktivitas

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm.149 )

1) Frekuensi nadi, saturasi oksigen, kemudahan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari, kecepatan berjalan, jarak berjalan, kekuatan

tubuh bagian atas, kekuatan tubuh bagian bawah dan toleransi

dalam menaiki tangga meningkat.

2) Keluhan lelah, dispnea saat aktivitas, dispnea setelah aktivitas,

perasaan lemah, aritmia saat aktivitas, aritmia setelah aktivitas dan

sianosis menurun.

3) Warna kulit, tekanan darah, frekuensi nafas dan EKG iskemia

membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen energi (hlm. 176)

2) Terapi aktivitas (hlm.415)


80

o. Nausea

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Tingkat nausea menurun dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 144)

1) Nafsu makan meningkat.

2) Keluhan mual, perasaan ingin muntah, perasaan asam di mulut,

sensasi panas, sensasi dingin, frekuensi menelan, diaforesis, dan

jumlah saliva menurun

3) Pucat, takikardia dan dilatasi pupil membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen mual (hlm. 197)

2) Manajemen muntah (hlm. 198)

p. Nyeri akut

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm.145)

1) Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat.

2) Keluhan nyeri, meringis, sikap protektif, gelisah, kesulitan tidur,

menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis, perasaan

depresi (tertekan), perasaan takut mengalami cedera berulang,

anoreksia, perineum terasa tertekan, uterus teraba membulat,

ketegangan otot, pupil dilatasi, muntah, dan mual menurun.

3) Frekuensi napas, pola napas, tekanan darah, proses berpikir, fokus,

fungsi berkemih, perilaku, nafsu makan dan pola tidur membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen Nyeri (hlm. 201)

2) Pemberian analgesik (hlm. 251)


81

q. Nyeri kronis

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm.145)

1) Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat.

2) Keluhan nyeri, meringis, sikap protektif, gelisah, kesulitan tidur,

menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis, perasaan

depresi (tertekan), perasaan takut mengalami cedera berulang,

anoreksia, perineum terasa tertekan, uterus teraba membulat,

ketegangan otot, pupil dilatasi, muntah, dan mual menurun.

3) Frekuensi napas, pola napas, tekanan darah, proses berpikir, fokus,

fungsi berkemih, perilaku, nafsu makan dan pola tidur membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen nyeri (hlm. 201)

2) Terapi relaksasi (hlm. 436)

3) Perawatan kenyamanan (hlm. 326)

r. Ansietas

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm. 132)

1) Verbalisasi kebingungan, verbalisasi khawatir akibat komplikasi

yang dihadapi, perilaku gelisah, perilaku tegang, keluhan pusing,

anoreksia, palpitasi, frekuensi pernapasan,frekuensi nadi, tekanan

darah, diaforesis, tremor, dan pucat menurun

2) Konsentrasi, pola tidur, perasaan keberdayaan, kontak mata, pola

berkemih dan orientasi membaik.


82

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Reduksi Ansietas (hlm. 387)

2) Terapi relaksasi (hlm. 436)

s. Gangguan integritas kulit/ jaringan

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Integritas kulit dan jaringan meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI,

hlm.33)

1) Elastisitas, hidrasi dan perfusi jaringan meningkat.

2) Kerusakan jaringan, kerusakan lapisan kulit, nyeri, perdarahan,

hematoma, pigmentasi abnormal, jaringan parut, nekrosis dan

abrasi korne menurun.

3) Suhu kulit, sensasi, tekstur dan pertumbuhan rambut membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Perawatan integritas kulit (hlm. 316)

2) Perawatan luka (hlm. 328 )

t. Resiko infeksi

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama .... x .... jam maka

Tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil: (SLKI, hlm.139 )

1) Kebersihan tangan, kebersihan badan dan nafsu makan meningkat.

2) Demam, kemerahan, nyeri, bengkak, vesikel, cairan berbau busuk,

sputum berwarna hijau, drainase purulen, piuria, periode malaise,

periode menggigil, letargi, dan gangguan kognitif menurun


83

3) Kadar sel darah putih, kultur darah, kultur urine, kultur sputum,

kultur area luka, dan kultur feses membaik.

Rencana keperawatan : (SIKI, 2018)

1) Manajemen imunisasi/vaksinasi (hlm. 184)

2) Pencegahan infeksi (hlm. 278 )


BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

Pasien bernama Ny. M berusia 52 tahun beragama Islam, saat ini bekerja sevagai

PNS. Ny.M sudah menikah akan tetapi tidak memiliki anak. Klien masuk ke

Rumah sakit pada tanggal 14 November 2017 dan dipindahkan ke ICU pada

tanggal 15 November 2017. Dilakukan pengkajian pada klien pada tanggal 16

November 2017. Klien masuk dengan diagnosa medis syok hemoragik post

operasi debulking kanker ovarium residif.

Keluhan utama klien sulit dikaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran

disertai dengan pemberian relaksan dan sedasi (Midazolam dan Atracurium).

Klien ditemani oleh suami klien yang berumur 65 tahun. Suami klien

mengatakan bahwa klien di rumah mengeluh perut sakit tidak tertahankan, mual,

sering buang air kecil, tidak nafsu makan dan lemas.

Pada riwayat kesehatan sekarang didapatkan data bahwa pasien masuk rumah

sakit pada tanggal 14 November 2017 dirawat di ruangan Alamanda dengan

diagnose Kanker Ovarium Residif post kemoterapi gemci dan di rencanakan

operasi debulking. Sebelum masuk ICU tanggal 15 November 2017 pasien

dilakukan operasi debulking kanker ovarium residif selama 7 jam. Pada saat

operasi ditemukan masa kistik dengan bagian padat permukaan berbenjol-benjol

ukuran 25x20x20 cm, ditutupi peritoneum vesica, jejunum, ileum dan

82
83

rectosigmoid. Pada saat operasi ditemukan masa carcinomatus lain yang melekat

pada aorta abdominalis dengan ukuran 15x10x10 cm tidak berhasil diangkat,

massa yang melekat pada teres hepatis dan lobus kiri hepar 10x10x10 cm

berhasil diangkat, dan massa yang melekat pada lien 10x10x10 cm ditinggalkan.

Perdarahan selama operasi sebanyak 5000 cc. Perdarahan dari tumor bed tidak

bisa diatasi dilakukan tindakan packing sebanyak 9 pack.

Pasien masuk ICU pukul 22.10, dengan kesadaran dalam pengaruh obat, TD

216/87 mmHg, MAP 130mmHg, HR 31x/menit, RR 15, Suhu 33,9 °C, saturasi

100%, akral dingin dan CRT > 3 detik. Terdapat luka operasi diabdomen

tertutup kasa ± 40 cm. Pada saat dilakukan pengkajian terhadap pasien tidak

dapat dilakukan pengkajian langsung karena kesadaran pasien dalam pengaruh

obat dari pemberian sedasi dan relaksan.

Riwayat kesehatan pasien dimulai pada tahun 1995 yaitu pasien didiagnosa kista

ovarium dan dilakukan operasi, dan pada tahun 2011 didiagnosa kanker ovarium

Tahun 2012 dilakukan operasi pengangkatan sel kanker dan dilanjutkan dengan

kemoterapi. Tahun 2015 dilakukan operasi kembali karena adanya penyebaran

sel kanker pada beberapa organ. Sebelum operasi terakhir (15/11) Pasien sudah

menyelesaikan kemoterapi gemci carboplatin 6 siklus. Di keluarga pasien tidak

ada riwayat penyakit kanker maupun penyakit keturunan seperti diabetes,

hipertensi dan jantung.

Keadaan umum pasien tampak sakit berat dengan kesadaran GCS tidak dapat

dinilai karena pasien dengan pemberian sedasi dan relaksan. Setelah dilakukan
84

pengukuran tanda-tanda vital pada pasien didapatkan data tekanan darah sistolik

pasien 140 – 165 mmHg dengan noradrenalin dengan tekanan diastolik 85 – 90

mmHg, MAP (Mean Arterial Pressure) sebesar 103 – 115 mmHg, denyut nadi

126 – 144 x/menit, respirasi 20 – 24 x/menit, suhu klien masih dalam batas

normal 36 – 37,5 ° C. Akan tetapi nilai CPOT pasien tidak dapat dikaji karena

penggunaan sedasi dan relaxan.

Pada pemeriksaan sistem tubuh didapatkan bahwa pemeriksaan sistem sensori

tidak dapat dikaji karena pasien sedang berada dibawah pengaruh relaksan. Pada

sistem integumen terdapat luka abdomen pada daerah abdomen horizontal 40 cm

tertutup perban dengan drainase produksi cairan bercampur darah kurang lebih

150 cc. tidak ada dekubitus, mukosa bibir tampak kering dan pecah – pecah, kulit

tampak pucat, teraba dingin. Tampak kebiruan pada tangan (bekas penusukan

pada arteri radialis).

Pasien terpasang ETT no 7 dengan kedalaman 20 cm, terdapat sekret pada daerah

mulut dan ETT, pengembangan dada keduanya simetris, tidak tampak

peningkatan WOB, suara paru perkusi resonan, suara napas vesikuler. Pasien

dibantu ventilator dengan Mode: Volume Control, FiO2: 100%, PEEP: 4 cmH2O,

Peak Pressure: 24 cmH2O, RR: 14 x/menit, I:E Rasio: 1:2 (Tinsp 1,0-1,5 detik),

Tidal Volume 350ml. ETT pada pasien terpasang dengan benar, tidak ada

kebocoran pada

Keadaan sistem kardiovaskuler klien yaitu CRT > 3 detik, SpO2 97%, akral

teraba dingin dan lembab, irama jantung regular,sinus takikardi pada bedsite
85

monitor, bunyi jantung S1 dan S2 (normal), bunyi jantung tambahan (-), murmur

(-),gallop (-), edema (-), iktus cordis terlihat denyutan di IC 5 midclavicularis

kiri, perkusi redup,

Pada sistem pencernaan klien tampak adanya distensi abdomen karena ada

packing (9), terdapat luka pos op horizontal sepanjang 40 cm, terpasang NGT,

bising usus (-). Terpasang drain post operasi daerah abdomen laparatomi

explorasi dengan produksi cairan dan darah 150 cc.

Pada sistem perkemihan klien terpasang kateter, tidak ada lesi genital, warna urin

kuning jernih. Urin output selama 1 jam 22 cc dengan BB 60 kg (0,33

cc/kgBB/jam). Sedangkan pada sistem neurologis klien masih belum dapat dikaji

lebih mendalam karena pasien dalam keadaan tersedasi dan relaksan.

Tidak ada kelainan pada sistem endokrin ditandai dengan gula darah klien dalam

batas normal. Selain itu, pada sistem neuromuskular tidak didapatkan adanya

tanda-tanda edema pada ekstremitas klien.

Pada pengkajian sistem reproduksi didapatkan data bahwa pasien pada tahun

1995 didiagnosa kista ovarium dan dilakukan operasi, dan pada tahun 2011

didiagnosa ca ovarium Tahun 2012 dilakukan operasi pengangkatan sel kanker

dan dilanjutkan dengan kemoterapi. Tahun 2015 dilakukan operasi kembali

karena adanya penyebaran sel kanker pada beberapa organ. Sebelum operasi

terakhir (15/11) Pasien sudah menyelesaikan kemoterapi gemci carboplatin 6

siklus
86

B. Data Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pengambilan data laboratorium pada

tanggal 16 November 2017 pukul 04.55 WIB meliputi pemeriksaan darah rutin

dan Indeks eritrosit. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil Hemoglobin

15,9 gr/dl (normal), Hematokrit 49,2% (meningkat), Leukosit 15.520/mm3

(meningkat), Trombosit 218.000/mm3(normal), dan Eritrosit 5,2 juta/ul (normal).

Pada pemeriksaan indeks eritrosit didapatkan data MCH 26,9 Pg (normal), MCHC

32,3% (normal), MCV 83,1 fL (normal) dan gula darah sewaktu 252 mg/dL

(meningkat).

Pada tanggal 16 November pukul 13.00 WIB dilakukan kembali pemeriksaan

AGD arteri, AGD vena dan darah rutin. Pada pemeriksaan AGD arteri didapatkan

data pH arteri 7,094 mmHg (menurun), pCO2 arteri 77,5 mmHg (meningkat),

pO2 arteri 171,6 mmHg (meningkat), HCO3 arteri 23,9 mmol/L (normal),

Balance equivalent arteri -6,2 mmol.L (menurun), Saturasi Oksigen arteri 99,2%

(normal) dan Laktat 2,5 mmol/L (normal).

Pada pemeriksaan AGD Vena didapatkan data pH Vena 7,106 mmHg (menurun),

pCO2 vena74 mmHg ( meningkat), pO2 vena 56,4 mmHg (menurun), HCO3 vena

26 mmol/L (normal), Balance equivalent vena – 6,3 mmol/L (menurun) dan

Saturasi oksigen vena 79,3% (menurun).

Pemeriksaan darah rutin ulang menunjukkan hasil Hemoglobin 12,7 gr/dl

(normal, Hematokrit 38% (normal), Leukosit 13.300/ mm3 (meningkat) dan

Trombosit 158.000/mm3 (normal).


87

Pasien belum dilakukan pemeriksaan X-Ray maupun pemeriksaan

echocardigraphy, akan tetapi telah dilakukan penjadwalan mengenai pemeriksaan

tersebut pada tanggal 16 November 2017. Telah dilakukan pula pemeriksaan

resiko jatuh dengan menggunakan intrumen pengkajian Morse Scale pada pasien

dan didapatkan nilai sebesar 50 yang berarti pasien memiliki resiko tinggi jatuh.

Pada pemeriksaan APACHE II Score (1x24 jam) didapatkan nilai 18 dalam 24

jam pertama. Penilaian SOFA Score menunjukan nilai 8 tanpa penilaian GCS

karena pasien tersedasi.

Penatalaksanaan medis yang telah dilakukan kepada klien adalah pemasangan

ventilator dengan mode SIMV Volume Control , Triger : 16, Volume

control:420, FiO2: 60, PEEP: 8, Peak Pressure : 17, RR: 24, dan I:E Rasio: 1:2.

Obat-batan yang telah diberikan dan diresepkan kepada pasien meliputi Fentanyl

30 mcg/jam dengan syringe pump, Midazolam 2mg/kgBB/Jam dengan syringe

pump, Atrucuronium 30mg/kgBB/jam dengan syringe pump, Omeprazole

2x40mg IV, Vit K 3x10 mg IV, Asam Traneksamat 3x500 mg IV, Ceftriaxone

1x2 gram IV, Inhalasi Nebulizer NaCl 0,9% 4x/hari, Infus loading RL (Tangan

kanan kiri dan jugular) @500 ml dan Gelofusin 500ml, dan ditambah dengan

Insulin bolus 8 unit. Pasien dianjurkan untuk berpuasa.


88

C. Analisa Data dan Diagnosa

Menurut data yang tertera diatas, dapat dimunculkan 3 diagnosa utama yaitu:

1. Diagnosa gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan efek sedasi dan

relaksan. Diagnosa ini diambil dengan mempertimbangkan data obyektif

berupa pasien dalam pengaruh sedasi dan relaksan, midazolam dan

Atrucuronium, perdarahan selama operasi sebanyak 5 liter, pasien dibantu

ventilator dengan Mode Ventilator SIMV Volume Control , Triger 16 ,

Volume control 420, FiO2 60%, PEEP 8, Peak Pressure 17, RR 24, I:E

Rasio: 1:2, hasil AGD pH 7,094, pCO2 171,6 , pO2 23,9, HCO3 77,5, BE -

6,2, SatO2 99,2 %, Laktat 2,5.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.

Diagnosa ini diambil dengan mempertimbangkan data obyektif berupa CRT

> 3 detik, kesadaran tidak bisa dikaji dalam pengaruh sedasi dan relaksan,

akral teraba dingin, dan lembap, takikardia HR 126 – 144 x/menit, Tekanan

Darah Sistolik 140 – 165 mmHg, Diastolik 85 – 90 mmHg, MAP 103 – 115

mmHg dengan noradrenalin , urin output selama 1 jam 22 cc dengan BB 60

kg (0,33 cc/kgBB/jam), perdarahan aktif terpasang 9 packing didalam

abdomen, lingkar abdomen 100 cm, terpasang drain post operasi daerah

abdomen laparatomi explorasi dengan produksi cairan dan darah 150 cc.

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan ejeksi ventrikel.

Diagnosa ini diambil dengan mempertimbangkan data obyektif berupa pasien

mengalami peningkatan HR ; 126-144 x/menit, tekanan Nadi melebar, CRT >

3 detik, akral dingin dan lembab, urin output selama 1 jam 22 cc dengan BB

60 kg (0,33 cc/kgBB/jam), hasil AGD pH 7,094, pCO2 171,6 , pO2 23,9,

HCO3 77,5, BE -6,2, SatO2 99,2 %, Laktat 2,5.


89

D. Intervensi Keperawatan dan Rasional

Intervensi keperawatan adalah rencana tindakan keperawatan yang akan

dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan tujuan agar masalah keperawatan

dapat teratasi. Intervensi keperawatan ini disusun sesuai dengan masing-masing

diagnosa yang ada. Berikut penjabaran intervensi keperawatan menurut SIKI :

1. Diagnosa Gangguan Ventilasi Spontan

Tujuan jangka panjang adalah gangguan ventilasi spontan teratasi. Tujuan

jangka pendeknya setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam,

gangguan ventilasi spotan teratasi dengan kriteria respon hemodinamik

pasien toleran terhadap setting ventilator, mampu batuk efektif, mampu

menelan dengan baik, Tidal Volume tercapai 6-8 cc/kgBB, RR : 12 –

24x/menit.

Intervensi yang dilakukan adalah :

a. Manajemen jalan nafas buatan

Perhatikan bundle care Head of Bed elevasi, interupsi sedasi, profilaksis

peptic ulcer, profilaksis DVT, Oral care dengan chlorhexidine 0,9%,

pertahankan kepatenan ETT (Cuff dan kedalaman), auskultasi suara napas

pada daerah dada, monitoring respirasidan status oksigenasi (AGD dan

elektrolit)

b. Ventilator mekanik

Monitor kondisi yang mengidentifikasikanketidaksinkronan pengaturan

ventilator, pastikan alarm ventilator hidup, set dan gunakan ventilator

sesuai dengan mode yang dibutuhkan klien, monitor volume ekspirasi dan

tekanan inpirasi, monitoring adanya demam dan nyeri, monitor adanya

aktivitas WOB dan tanda yang menyertainya (HR, RR<dan TD


90

meningkat, keringat, dan penurunan kesadaran), monitor efek ventilator

(deviasi trakea, infeksi, distensi abdomen, empisema subkutis), lakukan

SBT berkala selama 30-120 menit, dan nilai RSBI secara berkala.

Rasional pada intervensi ini adalah :

1. HOB 30o (jika tidak ada kontraindikasi) dan oral care menjadi

independent intervention perawat dalam pencegahan VAP. Mulut sebagai

gerbang utama masuknya infeksi ke saluran nafas bawah karena adanya

selang ETT.Ames (2011) menunjukkan bahwa pelaksanaan oral care

secara komprehensif dapat mengurangi kolonisasi bakteri mulut &

orofaring, menurunkan skor CPIS, dan kejadian VAP.

2. Kolaborasi pemberian peptic ulcer juga menjadi intervensi yang utama

karena kondisi fasting pada lambung dapat menyebabkan ulserasi GI.

Selain itu, adanya agen yang meningkatkan PH lambung dapat

meningkatkan pertumbuhan bakteri yang berpotensi besar terjadinya

refluks ke saluran nafas karena penurunan pertahanan airway (IHI, 2012).

3. Tekanan cuff normal dipertahankan 25-30 cmH2O atau 18-22 mmHg.

Tekanan yang terlalu besar dapat menyebabkan penekanan pada area

endotracheal yang bisa menyebabkan kerusakan jaringan, sedangkan

tekanan cuff yang terlalu kecil dapat menyebabkan aspirasi bakteri

(Lorente, 2012)

4. Sebagai evaluasi ledalaman ETT, karena apabalila ETT masuk pada satu

sisi akan berisiko terjadinya atelektasis pada paru yang tidak menerima

aliran udara
91

5. Analisa gas darah merupakan salahs atu indikatpr keberhasilan pengatran

ventilator. Selain itu, pengaturan ventilator dapat disesuaikan dengan

hasil AGD yang ada.

6. Pada pasien terpasang ventilator onitoring perlu sebagai dasar

sinkronisasi ventilator dengan pasien, sebagai evaluasi keberhasilan

capaiana mode ventilator yang diberikan

7. Alarm sebagai penanda respons pasien erhadap ventilator, terutama

apabila peak pressure mencapai >35 yang berisiko mengalami

barotrauma.

8. Volume inspirasi dan ekspirasi harus sesuai, monitoring perlu sebagai

upaya pencegahan adanya air traping yang dapat memperberat pernapasan

pasien

9. Pada pasien dengan ETT dan suctioning nyeri selalu terjadi dan demam

dapat sebagai indikator pertama adanya infeksi akibat penggunaan

ventilator.

2. Diagnosa Kekurangan Volume Cairan

Tujuan intervensi pada diagnosa ini adalah klien memperlihatkan

peningkatan curah jantung dengan kriteria hasil tanda-tanda vital dalam batas

normal HR 60 sampai 100 denyut per menit, tekanan sistolik lebih besar dari

atau sama dengan 90 mm Hg, tidak adanya orthostasis, output urin lebih besar

dari 30ml / jam, turgor kulit normal, curah jantung dalam batas normal,

perbaikan Kesadaran.
92

Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan ini

adalah monitor Tanda-tanda vital terutama tekanan darah dan Nadi, pantau

EKG secara kontinu, berikan oksigen sesuai dengan terapi, siapkan untuk

mengelola IUVD 1 sampai 2 L cairan IV sesuai pesanan. Gunakan larutan

kristaloid untuk keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat. Memulai

terapi IV. Mulai dua garis IV perifer yang lebih kecil dan besar.

Mempertahankan volume darah beredar cukup merupakan prioritas. Jumlah

cairan yang diinfuskan biasanya lebih penting daripada jenis cairan (kristaloid,

koloid, darah). Jumlah volume yang dapat diinfeksikan berbanding terbalik

dengan panjang kateter IV; Cara terbaik adalah menggunakan kateter

besar.Pertahankan klien hangat dan kering, pasang Infus dua jalur untuk

menjaga keadekuatan pemasukan cairan, awasi perdarahan sekunder akibat

operasi, antisipasi atau bersiap kembali ke operasi, kolaborasi tranfusi Berikan

produk darah (misalnya, sel darah merah yang dikemas, plasma beku segar,

trombosit) seperti yang ditentukan.

Rasional dari tindakan yang dilakukan dalam intervensi adalah untuk

mengetahui perubahan hemodinamik pasien yang berhubungan dengan

perdarahan yang terus terjadi, memantau Perubahan irama jantung, membantu

keadekuatan perfusi kejaringan, tanggapan klien terhadap pengobatan

bergantung pada tingkat kehilangan darah. Jika kehilangan darah ringan

(15%), respon yang diharapkan adalah kembalinya cepat ke BP normal. Jika

cairan infus diperlambat, klien tetap normotensif. Jika klien telah kehilangan

20% sampai 40% volume darah yang bersirkulasi atau mengalami pendarahan

yang tidak terkendali, bolus cairan dapat menghasilkan normotensi, namun


93

jika cairan diperlambat setelah bolus, BP akan memburuk. Perhatian yang

ekstrem ditunjukkan pada penggantian cairan pada klien yang lebih tua.

Terapi agresif dapat memicu disfungsi ventrikel kiri dan edema paru, penting

tercukupinya jumlah cairan normal, pembedahan mungkin satu-satunya

pilihan untuk memperbaiki masalah, transfusi klien dengan produk darah

mengganti kehilangan diintra sel.

3. Diagnosa Penurunan Curah Jantung

Tujuan intervensi adalah untuk mempertahankan curah jantung yang cukup,

dibuktikan dengan denyut perifer yang kuat, tekanan sistolik dalam baseline

20 mm Hg, HR 60 sampai 100 denyut per menit dengan ritme regular, urine

Ouput 30 ml / jam atau lebih, kulit hangat dan kering, dan tingkat kesadaran

normal.

Intervensi yang dapat dilakukan adalah kaji HR dan BP klien, termasuk pulse

perifer. Gunakan pemantauan intra-arterial langsung seperti yang

diperintahkan, kaji EKG klien untuk disritmia, kaji denyut pusat dan perifer,

menilai waktu mengisi kapiler. Kaji tingkat pernafasan, ritme dan suara napas

auskultasi. Karakteristik kejutan meliputi respirasi cepat dan dangkal dan

suara nafas adventif seperti retak dan desis, pantau saturasi oksigen dan gas

darah arteri, pantau tekanan vena sentral klien (CVP), tekanan diastolik arteri

pulmoner (PADP), tekanan baji kapiler paru, dan curah jantung / indeks

jantung, menilai adanya perubahan tingkat kesadaran, kaji keluaran urin, kaji

warna kulit, suhu, dan kelembaban. dingin, pucat, kulit keriput, berikan
94

pengganti elektrolit seperti yang ditentukan, jika memungkinkan, gunakan

cairan infus cairan hangat atau cepat, lakukan perawatan paliatif care.

Rasional dari intervensi yang dilakukan adalah sinus takikardia dan

peningkatan kadar arterial terlihat pada tahap awal untuk mempertahankan

curah jantung yang cukup. Hipotensi terjadi saat kondisi memburuk.

Vasokonstriksi dapat menyebabkan tekanan darah yang tidak dapat

diandalkan. Tekanan pulpa (sistolik minus diastolik) saat syok berkurang.

Disritmia jantung dapat terjadi dari keadaan perfusi rendah, asidosis, atau

hipoksia, dan juga akibat efek samping dari obat jantung yang digunakan

untuk mengatasi kondisi ini. Kencang/ lemah berhubungan dengan stroke

volume dan curah jantung. Isi kapiler lambat dan kadang tidak ada

menunjukkan tanda-tanda syok. Oksimetri pulse digunakan dalam mengukur

saturasi oksigen. Saturasi oksigen normal harus dipertahankan pada 90% atau

lebih tinggi. Seiring dengan perkembangan , metabolisme aerobik berhenti

dan asidosis laktat terjadi, menghasilkan peningkatan kadar karbon dioksida

dan penurunan pH, CVP memberikan informasi tentang pengisian tekanan

pada sisi kanan jantung; Tekanan diastolik arteri pulmonalis dan tekanan baji

kapiler paru mencerminkan volume cairan sisi kiri. Curah jantung

memberikan poin objektif untuk memandu terapi. Kegelisahan dan kecemasan

adalah tanda awal hipoksia serebral sementara kebingungan dan hilangnya

kesadaran terjadi pada tahap selanjutnya. Klien yang lebih tua sangat rentan

terhadap perfusi yang berkurang pada organ vital. Sistem ginjal

mengkompensasi BP rendah dengan menahan air. Oliguria adalah tanda klasik


95

perfusi ginjal yang tidak adekuat dari curah jantung yang berkurang.

Mengindikasikan akibat peningkatan kompensasi pada stimulasi sistem saraf

simpatik dan curah jantung rendah dan desaturasi. Ketidakseimbangan

elektrolit dapat menyebabkan disritmia atau keadaan patologis lainnya.

Berikan terapi penggantian cairan dan darah seperti yang ditentukan.

Mempertahankan volume darah beredar cukup merupakan prioritas. Pemanas

fluida menjaga suhu inti. Mentranfusikan darah dingin dikaitkan dengan

disritmia miokard dan hipotensi paradoks. Pada pasien dengan diagnose

kanker dan menjalani kemoterapi perlu dilkaukan paliatif care agar

memberikan akhir kehidupan yang berkualitas dan mempersiapkan keluarga

untuk kemungkinan terburuk.

E. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Implementasi dan evaluasikeperawatan dilakukan pada hari Kamis tanggal 16

November 2017 pukul 14.00- 21.00 WIB. Implementasi dibedakan pada

masing-masing diagnosa dan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Diagnosa I:

Implementasi yang dilakukan adalah memposisikan pasien Head of Bed

elevasi, 15°, mempertahankan ETT (Cuff dan kedalaman) dan melakukan

cek balon 30 mmHg, melakukan auskultasi pada daerah dada, melakukan

monitoring respirasidan status oksigenasi (AGD dan elektrolit), memonitor

ketidaksinkronan mode ventilator, memonitor volume

ekspirasidantekananinpirasi, memonitoring adanya demam dan nyeri.

Memonitor adanya aktivitas WOB dan tanda yang menyertainya (HR,

RR<dan TD meningkat, keringat, dan penurunan kesadaran)


96

Dari implementasi didapatkan ahasil evaluasi data subyektif negatif, data

obyektif menunjukkan mode Ventilator SIMV Volume Control , Triger 16,

Volume control 420, FiO2 60%, PEEP 8, Peak Pressure 17 RR; 10, I:E

Rasio: 1:2, auskultasi vesikuler pada kedua lapang paru, RR actual 25

SpO2 100%. Dapat disimpulkan bahwa masalah Teratasi Sebagian.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa intervensi dapat dilanjutkan

2. Diagnosa II:

Implementasi yang dilakukan adalah memonitor Tanda-tanda vital terutama

tekanan darah dan Nadi, memantau dan melakukan pergantian cairan IV

Nacl 0,9%, mengawasi perdarahan sekunder akibat operasi, urine output

selama 7 jam, rencana persiapan operasi pengangkatan packing tanggal 18

November, mempersiapkan tranfusi darah untuk pasien, klaborasi

pemberian Vit. K

Dari implementasi didapatkan hasil evaluasi data subjektif negatif, data

objektif tekanan darah 100/50 mmHg, Nadi 125 x/menit, urine ouput

selama shift 165 cc, drain 40 cc, RR actual 25 SpO2 100%, Akral dingin,

lembab, turgor kulit kering. Dapat disimpulkan bahwa masalah Belum

Teratasi oleh karena itu rencana tindak lanjutnya adalah intervensi

dilanjutkan.

3. Diagnosa III:

Implementasi yang dilakukan adalah memonitor HR dan BP , CVP,

mengkaji tingkat pernafasan, ritme dan suara napas auskultasi.


97

Karakteristik kejutan meliputi respirasi cepat dan dangkal dan suara nafas

adventif seperti retak dan desis. Memantau saturasi oksigen dan gas darah

arteri. Mengkaji tingkat kesadaran. Menghitung keluaran urin. Mengkaji

warna kulit, suhu, dan kelembaban. dingin, pucat, kulit keriput

Memberikan pengganti elektrolit seperti yang ditentukan Nacl 0,9%, dan

melakukan perawatan paliatif care.

Dari implementasi didapatkan hasil evaluasi yaitu data objektif berupa

tekanan darah 100/50 mmHg, Nadi 125 x/menit, urine ouput selama shift

165 cc, drain 40 cc, RR actual 25 SpO2 100%, akral dingin, lembab, turgor

kulit kering. Dapat disimpulkan bahwa masalah belum teratasi oleh karena

itu intervensi dilanjutkan.


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab IV, penulis melakukan pembahasan mengenai asuhan keperawatan

yang diangkat menjadi topik yaitu asuhan keperawatan syok hemoragik post

operasi debulking ca ovarium residif dengan gagal nafas pada Ny.M di ruang

ICU. Dalam pemberian asuhan keperawatan, penulis menggunakan proses

keperawatan secara runtut meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,

intervensi, implementasi dan evaluasi yang dilakukan.

A. Pengkajian

Pada data umum pengkajian ditemukan beberapa faktor resiko yang dapat

memicu timbulnya kanker pada pasien yaitu pasien berjenis kelamin wanita,

berusia 52 tahun, dan sudah menikah. Menurut Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia (Kemenkes RI, 2019) faktor resiko timbulnya kanker ovarium adalah

wanita berumur diatas 50 tahun dan jumlah kehamilan. Pada penelitian oleh

Syafitri, S (2011) didapatkan data bahwa kanker ovarium meyerang wanita yang

berumur terutama pada rentang usia 35-55 tahun dan didapatkan pula data

bahwa wanita yang menikah dan belum pernah hamil memiliki resiko 3 kali

lebih besar untuk terkena kanker ovarium dibanding dengan yang sudah hamil.

Beberapa faktor resiko kanker ovarium yaitu genetik, terapi kesuburan atau

melakukan terapi pengganti estrogen, memiliki sedikit atau tidak memiliki anak

dan wanita lanjut usia (Lisnawati, 2014). Hal ini didukung dengan data umum

98
99

yang didapat pada pasien yang menyatakan bahwa pasien tidak memiliki anak,

akan tetapi tidak dilakukan wawancara mendalam mengenai ada tidaknya terapi

kehamilan maupun KB.

Keluhan utama pada pasien sulit dikaji karena pasien mengalami penurunan

kesadaran disertai dengan pemberian relaksan dan sedasi Midazolam dan

Atracurium akan tetapi suami pasien mengatakan bahwa di rumah klien

mengeluh perut sakit tak tertahankan, mual, sering buang air kecil, tidak nafsu

makan dan lemas. Pada umumnya, kanker ovarium pada masa awal berkembang

cenderung tidak memiliki gejala, akan tetapi pada stadium lanjut biasanya

ditemukan keluhan sakit pada abdominal bagian bawah, disertai kembung, cepat

kenyang, sulit buang air besar, sering buang air kecil, lemas, dan sakit kepala

(Simamora, R.P.A., 2018). Menurut Yanti, D.A.M (2017) tanda gejala yang

paling penting yang muncul pada pasien dengan kanker ovarium adalah adanya

massa tumor di pelvis dan menstruasi berlebih atau perdarahan saat menopause.

Pada klien tidak diceritakan adanya tanda gejala tersebut, akan tetapi keluhan

utama klien sudah cukup sesuai dengan tanda gejala kanker ovarium secara

general.

Saat dikaji, klien tidak merespon dengan baik karena pengaruh sedasi.

Midazolam berpotensi memicu rasa kantuk dan berfungsi untuk membuat

pikiran dan tubuh menjadi rileks dan tidak sadarkan diri, obat ini bekerja dengan

cara memperlambat kerja otak dan sistem syaraf (Matana, M., 2015). Menurut

Nugroho, R.K., 2016) Midazolam atau propofol lazim diberikan pada pasien

yang menjalani operasi untuk menimbulkan efek relaksasi dan sebagai obat bius.
100

Selain itu sedasi yang diberikan pada ruang ICU biasanya dilanjutkan terutapa

pada pasien yang dipasang ventilator karena dapat membuat pasien lebih

nyaman, meskipun memiliki efek samping yaitu berpotensi untuk emperpanjang

durasi penggunaan ventilator mekanik dan length of stay (LOS) (Nugroho,

2016). Atratucium adalah obat relaksasi otot selama operasi, dan juga

merupakan obat yang digunakan untuk membantu intubasi endotrakeal, dimana

efeknya akan bertahan hingga satu jam setelah pemberian (Ritz, 2019). Efek

samping dari obat ini adalah tekanan rendah dan dapat terjadi kelumpuhan.

Karena mekanisme kerjanya menghambat sistem neuromuskular, kemungkinan

besar klien mengalami penurunan kesadaran (Ritz, 2019). Hal ini sesuai dengan

pengkajian yang dilakukan pada pasien dimana didapatkan pasien mengalami

penurunan kesadaran pada saat pengkajian.

Pemberian Midazolam dapat dikombinasikan dengan obat lain sesuai dengan

indikasinya. Pada jurnal internasional kanker oleh Sosin (2017) dinyatakan

bahwa pemberian sedasi pada pasien dengan ventilator lazimnya diberikan

kombinasi Midazolam dan Atracrurium dimana Atracrurium dinilai lebih efektif

daripada pemberian Rocuronium dan menimbulkan efek relaksasi pada otot

pernafasan sehingga diharapkan pasien merasa lebih nyaman saat dipasang

ventilasi mekanik. Pernyataan ini didukung dengan penelitian oleh Andiasrtuti,

(2017) yang mengatakan bahwa pemberian Midazolam dengan kombinasi

Atracurium lebih efektif dan dinilai meningkatkan kenyamanan pada pasien

dengan ventilator mekanik sebanyak 1,8 kali dibandingkan dengan pasien yang

diberikan Midazolam dosis tunggal. Dapat disimpulkan bahwa penanganan pada


101

pasien sudah cukup baik karena pasien diberikan terapi sedasi kombinasi

mengingat pasien sebelumnya menjalani operasi dan juga dipasang ventilator.

Pada riwayat kesehatan pasien didapatkan bahwa pasien sebelumnya sudah

pernah menjalankan tindakan kemoterapi gemci. Kemoterapi adalah kemoterapi

secara kimiawi yang menggunakan obat bernama gemcitabine yang bekerja

dengan cara memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker

(Setiawan, 2015). Obat gemtacibine diberikan secara intravena dan termasuk

pada golongan obat analog nukleosida yang bekerja dengan cara menghambat

asam nukleat replikasi DNA, menghambat pertumbuhan tumor dengan aksi

nukleosida yang dapat menimbulkan apoptosis atau kematian sel (Vina, 2018).

Menurut Vina (2018), gemtacibine dapat memblokade enzim yang mengubah

nukleotida cytosine menjadi derivatif deoxy sehingga sintesis DNA menjadi

terhambat karena nukleotida thymidine dibokade dan menjadi untaian DNA.

Efek samping yang dapat ditimbulkan pada pengobatan dengan gemtacibine

adalah timbulnya sindrom flu seperti demam, nyeri otot, sakit kepala, kelelahan,

mual dan muntah, nafsu makan menurun dan penurunan sel darah atau platelet

(Hendrawijaya, 2013).

Sebelum masuk ke ICU pada klien dilakukan operasi debulking. Operasi

debulking adalah suatu prosedur pembedahan berupa pengurangan massa tumor

pada pasien kanker ovarium yang sudah mengalami metastasis ke organ atau

jaringan lain. Tindakan operasi ini dilakukan terhadap tumor primer maupun

metastasisnya di omentum, usus, dan peritoneum (Linda, 2016). Tindakan

operasi debulking ini bertujuan untuk mengurangi massa tumor pada pasien

sebanyak-banyaknya tanpa menghilangkan sel yang sehat (Andrijono, 2011).


102

Menurut Rhaazi, (2018) tindakan operasi debulking banyak dilakukan pada

kanker ovarium dan kanker otak dan 95,8% pasien post operasi debulking

dilanjutkan dengan terapi radiasi maupun kemoterapi dengan tujuan untuk

mengurangi atau menghilangkan massa tumor yang tertinggal. Sebelum operasi

klien diusahakan sedang dalam kondisi yang paling prima jika memungkinkan.

Menurut European Organization for Research and Treatment of Cancer

(EORTC, 2017) pasien dengan penyakit abdominal ekstensif tidak efektif untuk

dilakukan debulking dan sebaiknya dipikirkan untuk memberikan terapi

neoadjuvan selama 2-4 siklus. Hal ini didukung dengan hasil penelitian oleh

Scarabelli, et al. (2018) yang menyatakan setelah 3 siklus pemberian terapi

neoadjuvan respon klinis pasien akan membaik dan memungkinkan untuk

dilakukan operasi debulking yang efektif dengan angka komplikasi yang cukup

rendah dibandingkan dengan yang tidak dilakukan terapi neoadjuvan maupun

yang hanya dilakukan 1-2 siklus saja.

Pada pasien ini tidak dilakukan pemberian terapi neoadjuvant dengan

mempertimbangkan kondisi pasien yang lemah. Implementasi operasi debulking

pada pasien tanpa dilakukannya pemberin terapi neoadjuvan dapat

meningkatkan komplikasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitan oleh Burghardt

(2014) yang menyatakan bahwa dengan kombinasi pemberian terapi

neoadjuvant dan terapi adjuvant dinilai lebih efektif dan pasien dengan penyakit

stadium lanjut memiliki survival yang lebih baik daripada pasien serupa yang

hanya menjalani terapi adjuvant atau neoadjuvant saja. Pernyataan yang

berlawanan muncul pada kasus pasien yang mengalami kekambuhan dimana

terapi neoadjuvant hanya memiliki sedikit dampak pada sel kanker, sehingga
103

disarankan untuk tidak melakukan pemberian terapi neoadjuvant karena dapat

memperburuk kondisi pasien pre operasi (Parazzini, et al., 2015).

Pada saat dilakukan operasi debulking, ditemukan massa kistik pada pasien.

Massa kistik adalah salah satu bentuk dari massa adneksa yang berarti adanya

pertumbuhan abnormal yang berkembang di dekat rahim dimana paling sering

timbul pada ovarium, tuba fallopi dan jaringan ikat (Vasilev, 2019). Massa

adneksa memiliki dua kategori menurut kepadatannya yaitu massa kistik yang

berisi cairan kental atau udara atau cairan nanah dan massa padat (Elisabeth,

2013). Massa kistik dengan bagian pada permukaan berbenjol-benjol ini

termasuk kedalam karakteristik karsinoma musinosum yang memiliki sifat

sangat invasif dan bisa disebut juga pasien terkena kanker ganas (Aditya, 2012).

Dapat disimpulkan bahwa massa yang ditemukan pada saat operasi debulking

pada pasien adalah massa yang ganas dan cukup membahayakan.

Ukuran massa yang ditemukan pada pasien adalah 25x20x20 cm dan berarti

ukuran kanker sudah besar dan kemungkunan besar sudah menyebar ke jaringan

sekitarnya. Hal ini didukung dengan data pada pasien yaitu ditemukan pula masa

carsinomatus lain yang melekat pada aorta abdominalis dengan ukuran

15x10x10 cm, massa yang melekat pada teres hepatis (ligamen yang

memisahkan lobus dextra hepar) dan lobus kiri hepar 10x10x10 cm dan masa

pada lien 10x10x10 cm. Klien sudah masuk ke dalam kanker stadium 4 karena

kanker sudah mengalami metastasis ke organ lain. Metastasis adalah penyebaran

sel kanker dari lokasi awal ke organ maupun tempat lain di dalam tubuh

(Kurniawan, 2016). Penelitian oleh Febriani (2018) menyatakan bahwa angka


104

kejadian metastasis pada jenis kanker musinosum (cairan dan berbenjol-benjol)

memiliki angka metastasis 0,92 kali lebih besar dibandingkan dengan karsinoma

duktal invasif, meskipun angka kejadian karsinoma duktal invasif 16,3% lebih

banyak terjadi dibandingkan karsinoma musinosum. Menurut Lubis (2019)

Kanker stadium 4 dapat juga disebut kanker metastasis. Metastasis adalah

kondisi ketika suatu penyakit, telah menyebar jauh dari jaringan awal terjadinya

penyakit tersebut (Lubis, 2019). Pada data ditemukan bahwa massa kanker pada

pasien sudah menyebar ke organ sekitarnya sehingga pasien dapat digolongkan

termasuk kanker stadium 4.

Lobus kiri hepar memilikiukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan lobus

kanan hepar dan memiliki dua segmen yaitu segmen medial dan segmen lateral

dan masing-masing memiliki pembuluh empedu. Lobus kiri hepar memiliki

fungsi yang sama dengan lobus kanan yaitu untuk metabolisme karbohidrat,

lemak, protein, vitamin membantu pembekuan darah, detoksifikasi, fagositosis

dan imunitas dan juga berpengaruh dalam fungsi hemodinamik terutama untuk

mempertahankan aliran darah (Hutomo, 2015). Pada pasien ditemukan bahwa

terdapat massa kistik pada lobus kiri hepar pasien dan hal tersebut dapat

mengganggu fungsi organ tersebut.

Massa yang tidak berhasil diangkat adalah massa pada aorta abdominalis. Massa

pada aorta abdominalis tidak berhasil diangkat karena lokasi massa yang

beresiko tinggi terhadap perdarahan. Aorta abdominalis adalah arteri terbesar di

cavitas abdominalis (rongga perut) yang bentuknya mencembung dan memiliki

posisi yang pararel terhadap vena cava inferior dan memiliki banyak cabang
105

pada bagian aorta dengan diameter yang semakin mengecil (Nurzali, 2017).

Aorta abdominalis berfungsi sebagai transit bagi darah dari jantung ke organ

disekitar abdomen dan karena jari-jarinya besar, arteri tidak banyak

menimbulkan resistensi terhadap aliran darah. Selain itu aorta abdominalis juga

berfungsi sebagai reservoir tekanan untuk menghasilkan gaya pendorong bagi

darah kerika jantung dalam keadaan relaksasi (Rifan, 2017). Patologi yang

timbul pada aorta sering mengakibatkan konsekuensi serius sehingga penting

bagi dokter untuk mengetahui pertimbangan fungsional, anatomis, bedah dan

klinis dari aorta ini disebabkan karena meskipun aorta dilindungi oleh 3 lapisan

tunica (adventitia, media, dan intima) seiring bertambahnya usia aorta menjadi

semakin rapuh dan rentan terjadi ruptur (Nasution, 2019).

Disisi lain, massa pada lien pasien lebih besar daripada ukuran lien itu sendiri .

Menurut Pai (2014) pada anatomi dan fisiologi lien, ukuran lien normal adalah

12x7x4 cm dan memiliki berat berkisar atara 75-100 gram. Dapat disimpulkan

massa ini dapat mengganggu kinerja lien. Lien memiliki fungsi untuk menyaring

sel-sel darah merah tua dan sel yang hampir mati, selain itu limpa menyimpan

trombosit yang biasanya membantu dalam pembekuan dan pembekuan darah

(Akram, 2013). Diharapkan dengan tidak diangkatnya organ ini, tubuh masih

memiliki cadangan trombosit untuk membantu pembekuan darah.

Perdarahan klien selama operasi sebanyak 5000 cc. Menurut tanda dan

gejalanya, pasien sudah masuk ke dalam syok hipovolemik kelas IV dimana

kehilangan darah klien melebihi 40% (Pane, 2018). Kondisi perdarahan tingkat 4

akan ditandai dengan denyut nadi cepat namun semakin terasa lemah, semakin
106

turunnya tekanan darah, hilang kesadaran, pucat, tubuh yang semakin dingin,

dan tidak adanya urine yang keluar (Nara, 2020). Perhitungan jumlah darah pada

tubuh pasien dapat dilakukan dengan menggunakan Estimate Blood Volume

(EBV) dimana perhitungan ini juga penting dalam melakukan resusitasi cairan

pada pasien (Purnama, 2018). Pasien memiliki berat badan sebesar 60 kg dimana

bila dihitung menggunakan perhitungan EBV, jumlah total darah dalam tubuh

klien adalah 70x60cc = 4200cc.

Menurut perhitungan diatas, estimasi darah yang ada pada tubuh pasien dinilai

lebih rendah daripada jumlah darah yang keluar. Hal ini dapat terjadi disebabkan

karena tubuh memiliki sistem kompensasi dimana apabila kondisi tubuh tidak

seimbang maka sistem tubuh akan bekerja untuk menyeimbangkannya

(Purnama, W., 2018). Pada keadaan hipovolemia nadi akan meningkat untuk

mempertahankan cardiac output dan tubuh mulai melakukan retensi cairan serta

reabsobsi natrium dan air sehingga keperluan darah tercukupi (Pramono, 2017).

Karena kompensasi yang dilakukan tubuh itulah kebutuhan darah di tubuh masih

terpenuhi. Menurut Roziaty (2019) tubuh manusia dapat melakukan kompensasi

sebanyak 1500-2000 ml darah per harinya, akan tetapi metabolisme tubuh

manusia akan semakin menurun seiring dengan waktu apabila kondisi tersebut

tidak segera ditangani.

Pada pasien juga ditemukan tumor bed. Tumor bed adalah kumpulan jaringan

vaskuler dan stromal yang mengelilingi sel kanker yang memberikan nutrisi

pada sel kanker yang meliputi oksigen, nutrisi dan protein pertumbuhan

(Goldberg, 2015). Tumor bed ini sangat riskan terjadi perdarahan sehingga
107

biasanya dilakukan terapi radiasi hingga lokasi tumor bed jauh dari pusat sel

kanker (Bahadur, 2012). Menurut Hlavka, (2018) terapi radiasi lebih efektif

dibandingkan terapi lain untuk meminimalisir ukuran tumor bed.

Tindakan packing adalah tindakan untuk memberikan tampon pada perdarahan

(Fadjar, 2016). Tindakan packing ini disertai dengan tindakan kompresi yang

benar dan memiliki tujuan untuk menjaga agar aorta di sekitar perdarahan benar-

benar tertutup untuk sementara waktu sehingga perdarahan dapat berkurang,

selain itu packing juga bersifat sebagai tampon untuk menampung perdarahan

yang keluar (Adeline, 2015). Pada klien tindakan packing dilakukan 9 pack/kali.

Ini menandakan bahwa proses koagulasi klien sudah terganggu.

TD sistolik klien yang tinggi dan diastolik klien yang rendah menandakan bahwa

terdapat banyak cairan darah yang hilang dalams siklus peredaran darah dan juga

menandakan bahwa tubuh (jantung) berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan

darah dengan memompa darah secara kuat sehingga HRnya juga meningkat. RR

klien seharusnya tinggi karena untuk mencukupi kebutuhan oksigen tubuh, akan

tetapi RR klien menjadi rendah karena adanya efek sedasi yang mempengaruhi

otot-otot pernafasan.Akan tetapi, saturasi oksigen klien baik (100%) sehingga

kemungkinan besar klien tidak hipoksia.

Suhu klien hipotermi yaitu 33,9C menandakan bahwa jumlah darah pada tubuh

klien tidak mencukupi untuk memberikan nutrisi pada bagian perifer. Hal ini

menyebabkan akral klien dingin dan CRT > 3 detik. Menurut Putra, (2018)

kurangnya pasokan darah akibat pendarahan yang hebat baik dari luar atau

dalam dapat menyebabkan menurunnya perfusi jaringan pada ekstremitas yang


108

diakibatkan karena minimnya volume darah dimana pada bagian ujung

ekstremitas yang jauh dari jantung akan mengalami penurunan suhu yang cukup

signifikan karena tidak dialiri oleh darah.

Riwayat klien sudah memiliki kista ovarium sejak 22 tahun yang lalu (1955),

sudah dioperasi akan tetapi tahun 2011 didiagnosa kanker ovarium. Tahun 2012,

dilakukan operasi dan dilanjutkan dengan kemoterapi dan diselesaikan selama 6

siklus. Tahun 2015, dilakukan operasi kembali karena adanya penyebaran sel

kanker. Dari data ini dapat dilihat bahwa klien dengan riwayat kista memiliki

resiko yang lebih besar untuk terkena kanker. Hal ini didukung dengan

penelitian oleh Eveline (2017) yang menyatakan bahwa sebagian besar

kekambuhan terjadi dalam 5 tahun pertama, dan puncaknya adalah pada tahun

pertama dimana dapat disimpulkan pula terdapat hubungan yang signifikan

antara kekambuhan kanker ovarium dengan ukuran tumor, status nodal, lokasi

tumor, rumah sakit di mana operasi dilaksanakan, umur pasien dan terapi

adjuvant yang diberikan.

B. Pengkajian ICU

Pada pengkajian di ICU, GCS pasien tidak dapat dikaji karena adanya pengaruh

sedasi yang diberikan. Di sisi lain, TD sistolik dan diastolik serta MAP dengan

pemberian noradrenaline cukup terkontrol. Noradrenalin berfungsi untuk

meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, memicu pelepasan glukosa

dari tempat penyimpanan energi, mengalirkan aliran darah ke otot rangka,

mengurangi aliran darah ke sistem pencernaan dna menghambat pengosongan

kandung kemih dan motilitas gastrointestinal (Gunardi, 2015). Dalam hal ini,
109

dapat disimpulkan bahwa terapi pemberian noradrenalin pada saat kondisi

kegawatan pada klien sangat bermanfaat dan memberikan efek yang baik karena

tekanan darah klien berubah dari tidak stabil menjadi lebih stabil.

Suhu klien sudah kembali ke rentang normal dikarenakan efek terapi yang

diberikan. Terapi noradrenalin yang diberikan dapat membantu stabilitas tekanan

darah yang kemudian memicu peningkatan perfusi jaringan sehingga suhu tubuh

dapat berangsur-angsur membaik (Sumardi, 2015). Dengan keadaan suhu tubuh

normal, metabolisme tubuh pasien dapat berjalan lebih baik sehingga dapat

meminimalisir komplikasi dan keadaan kritis pasien dapat teratasi (Smith, 2019).

Pada pasien, dilakukan tindakan intubasi atau pemasangan ETT. Intubasi

Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea melalui

rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakhea

antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief, 2017). Pipa yang digunakan

disebut Endotracheal Tube (ETT) dimana pada orang dewasa biasa digunakan

dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan

7,5 – 8,5 mm (Morgan, 2016). Tujuan dari pemberian tindakan intubasi pada

pasien dengan syok hemoragik adalah untuk mempermudah pasien melakukan

ventilasi positif dan oksigenasi disebabkan karena proses oksigenasi akan

terganggu pada keadaan syok hipovolemik (Dorsch, 2018).

Setelah dilakukan tindakan pemasangan ventilator, tidak ditemukan adanya

peningkatan Work of Breathing (WOB) pada pasien menunjukkan tindakan

pemasangan ventilator dapat meringankan beban kerja pasien untuk bernafas.


110

WOB adalah energi yang dikeluarkan untuk menghirup dan menghembuskan

gas pernafasan yang biasanya dinyatakan dalam volume kerja per unit

(joule/liter) dan dapat dihitung dengan cara mengalikan tekanan paru dengan

perubahan volume paru (Mosby, 2015). Demi menjaga WOB pada pasien,

ventilator dipasang dalam mode volume control. Metode volume control pada

ventilator merupakan metode dimana ventilator mengalirkan udara bila

mendapat triggger dari mesin/pasien dengan target volume, dimana inspirasi

berakhir saat volume tidak tercapai (Sari, 2018). Hal ini menyebabkan klien

akan bernafas minimal sesuai dengan RR yang diatur dan setiap nafas akan

memiliki Vt yang sama. Selain itu pada pasien diberikan mode ini karena

diharapkan RR klien teratur dan volume tidal tidak melebihi yang ditentukan

karena dapat menyebabkan gesekan pada luka abdomen yang kemudian dapat

memicu perdarahan kembali.

FiO2 100% menandakan bahwa ventilator terpasang pada tabung oksigen 100%,

PEEP 4 menandakan bahwa tekanan positif yang dipertahankan saat akhir

ekspirasi 4cmH2O, Peak Pressure menandakan bahwa tekanan yang dibutuhkan

untuk memberi volume tidal adalah 24cmH2O, I:E Ratio 1:2 menandakan waktu

ekspirasi lebih lama 2 kali lipat dibanding waktu inspirasi, tidal volume 350.

Rata-rata tidal volume orang dewasa adalah 500ml. Minute volume klien adalah

RR x Vt (14x350) = 4900 ml. (normalnya 4000-8000 ml).

Hal ini bila disesuaikan dengan aturan Pontoppidan berdasarkan mechanic of

breathing didapatkan bahwa ukuran normal dalam respirasi adalah RR 16-20

x/menit, dan kapasitas vital 50-90 ml/Kg (Dewi, 2017). Bila dihitung dengan
111

menggunakan aturan ini, kapasitas vital klien seharusnya adalah 3000 – 5400 ml.

Dapat disimpulkan bahwa pengaturan tidal volume sudah sesuai dengan aturan

Pontoppidan.

Sinus takikardi mendandakan bahwa tubuh klien masih melakukan kompensasi

untuk mengembalikan perfusi jaringan dengan cara memompa darah dengan

cepat. Sinus takikardi adalah keadaan di mana detak jantung melebihi 100 kali

per menit (Willy, 2018). Menurut Widjaja (2017) keadaan takikardi adalah

mekanisme tubuh untuk mengurangi curah jantung dan memperpendek waktu

pengisian ventrikel dan volume sekuncup dimana hal ini sangat berguna untuk

mengkompensasi berkurangnya volume darah yang masuk ke jantung, dan juga

mempercepat proses pertukaran oksigen. Semakin terlihat denyutan di ictus

cordis menandakan bahwa tekanan ejection fraction dan kerja jantung semakin

kuat (Samsi, 2018).

Tidak adanya bising usus merupakan pada pasien merupakan efek dari sedasi.

Menurut penelitian oleh Estri (2016) didapatkah hasil bahwa pemberian sedatif

pada pasien yang dirawat di ICU meningkatkan resiko komplikasi konstipasi

sebanyak 72% dengan tanda tidak adanya defekasi sedikitnya 3-4 hari peawatan

di ICU. Penelitian lain oleh Gacoin, et al., (2010) menunjukkan bahwa kondisi

pasien dengan PaO2 / FiO2 rasio < 150 mmHg dan sistolic blood pressure (SBP)

< 90 mmHg selama 4 hari pemasangan ventilasi mekanik beresiko tinggi

mengakibatkan konstipasi. Penggunaan ventilasi mekanik dengan PEEP

mengakibatkan peningkatan tekanan intrathoraks. Peningkatan tekanan

intrathoraks mengakibatkan penurunan venus return yang pada akhirnya


112

mengakibatkan penurunan curah jantung. Kondisi curah jantung yang menurun

mengakibatkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi dengan menurunkan

aliran darah ke sistem gastrointestinal. Kondisi hipoperfusi ini dinamakan

hipoperfusi splanchnic, hipoperfusi ini mengakibatkan iskemia mukosa

gastrointestinal, penurunan sekresi bikarbonat dan penurunan motilitas

gastrointestinal (Vincent & Preiser, 2015). Penggunaan obat-obatan juga

mempengaruhi timbulnya konstipasi dimana jenis obat yang paling berisiko

menimbulkan konstipasi adalah jenis opioid. Penggunaan opioid meningkatkan

risiko konstipasi karena efek opioid menimbulkan efek spasme otot polos

gatrointestinal (Kyle, 2011). Pada pasien ini telah diberikan penanganan

pengobatan yang tepat yaitu tidak diberikan golongan obat jenis opioid sehingga

resiko komplikasi dapat ditekan.

Urin output pasien dinilai kurang dari normal yaitu sebanyak 528cc/hari. Hal

tersebut dapat mendandakan bahwa keadaaan pasien hipovolemia. Normalnya

produksi urin adalah 1,5 ml/kgBB/jam atau sekitar 2.160 ml/hari (Guyton &

Hall, 2010). Menurut Hardisman (2013) tingkat syok hipovolemik juga dapat

diukur dengan menggunakan jumlah urin output dimana pada stadium I produksi

urin > 20 ml/jam, stadium II sebanyak 20-30 ml/jam, stadium III sebanyak 5-15

ml/jam dan stadium IV sebanyak < 5 ml/jam hingga tidak keluar urin sama

sekali. Pada kondisi pasien didapatkan bahwa urin outputnya sebanyak 22ml/jam

yang menandakan bahwa kondisi pasien sudah berangsur pulih dari syok

hipovolemik stadium IV menjadi syok hipovolemik stadium II


113

Jumlah hematokrit pasien menurut pemeriksaan adalah 49,2 vol%. Hematokrit

adalah presentase volume seluruh eritrosit yang ada di dalam darah diambil

dalam volume erirosit yang dipisahkan dari plasma dengan cara memutarnya di

dalam tabung khusus dalam waktu dan kecepatan tertentu yang nilainya

dinyatakan dalam persen %) dimana nilai untuk pria 40-48 vol% dan untuk

wanita 37-43 vol% (Sadikin, 2018). Nilai hematokrit dapat digunakan sebagai

tes skrining sederhana pada pengukuran adanya anemia. Pada kadar oksigen

yang sedikitdi dalam tubuh, sumsum tulang belakang akan memproduksi sel-sel

darah merah lebih banyak sehingga jumlah hematokrit akan meningkat

(Mayangsari, 2017). Apabila nilai hematokrit tinggi dapat disimpulkan bahwa

suplai oksigen di dalam tubuh pasien tidak tercukupi dengan maksimal karena

volume darah pasien berkurang.

Pada pemeriksaan leukosit pada pasien didapatkan hasil 15.520/mm3.Leukosit

klien meningkat menandakan adanya infeksi pada tubuh. Leukosit adalah istilah

medis untuk sel darah putih dimana komponen ini berperan penting dalam

melawan infeksi yang menyerang tubuh (Mahasri, 2011). Kadar leukosit di

dalam darah normal pada wanita dewasa didapati jumlah leukosit rata-rata

5.000- 12.000 sel/µl (Wijayanti, 2017). Penyebab leukosit tinggi bisa diseabkan

karena adanya infeksi, penyakit limfoma, atau reaksi tubuh post operasi dimana

dapat ditentukan oleh komponen leukosit yang paling tinggi pada pasien

(Khasanah, 2015). Pada kasus tidak disertakan pemeriksaan neutrofil, limfosit,

eosinofil, basofil dan monosit sehingga penyebab meningkatnya leukosit pasien

belum dapat ditentukan secara pasti apakah dari limfoma, adanya infeksi

maupun reaksi tubuh post operasi.


114

Disisi lain, dapat dilihat bahwa pada hasil pemeriksaan darah rutin keadaan Hb,

trombosit dan eritrosit klien sudah normal yang berarti tindakan yang dilakukan

sudah benar dan kestabilan kondisi klien terjaga. Akan tetapi pada pemeriksaan

gula darah sewaktu didapatkan hasil 252 mg/dL yang lebih tinggi dari nilai

normal yaitu < 110 mg/dL. Salah satu penyebab meningkatnya kadar gula darah

sewaktu adalah karena glukagon dan growth hormone meningkat dan terjadi

glukoneogenesis dan glikogenesis (Kustaria, 2017). Hal ini disebabkan karena

kebutuhan untuk pelaksanaan metabolisme pada jantung, dan otak sangat tinggi

akan tetapi sel tersebut tidak dapat menyimpan cadangan energi sehingga

mereka bergantung pada ketersediaan nutrisi dari korteks ginjal yang dapat

membentuk glukosa diawali dengan piruvat (Amir, 2017). Glukoneogenesis

dapat dipicu dalam keadaan kekurangan nutrisi dimana glukoneogenesis terjadi

saat jumlah glukosa melampaui kebutuhan, maka kemudian diragkai menjadi

glikogen untuk cadangam makanan jangka pendek. (Auliya, 2016). Kemudian

adanya trauma dalam sistem syaraf atau adanya tumor neuroendokrin dapat

memicu keluarnya hormon katekolamin yang dapat menghambat pelepasan dan

aktivitas insulin secara relatif sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah

(Setiawan, 2012). Pada pasien sel kanker sudah mengarah pada hepar sehingga

dapat mengganggu fungsi penting dari hepar. Dalam hal ini, hepar memiliki

fungsi untuk mempertahankan kadar glukosa darah selalu dalam kondisi normal

dimana ia menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen (Risdinata, 2016).

Apabila fungsi hepar dalam hal ini terganggu maka stabilitas kadar glukosa

darah dalam tubuh pasien juga akan terganggu.


115

pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau

basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda (Jazi & Effendi, 2011).

Pada pasien didapatkan nilai pH arteri dan vena berturut-turut sebesar 7,094 dan

7,106 yang menunjukkan bahwa pH menurun. Secara umu, pH normal pada

arteri adalah 7,35-7,45 dan pH darah vena normal adalah 7,32-7,38 (Widodo,

2015). Pada pasien ditemukan pula pCO2 sebesar 77,5 mmHg yang berarti ada

peningkatan, pO2 sebesar 171,6 mmHg yang berarti ada peningkatan, dan BE

sebesar -6,2 mmol/L yang menunjukkan adanya penurunan. Dari data yang

diambil diatas dapat menandakan bahwa adanya asidosis respiratotik dan

metabolik terkompensasi pada pasien.

Nilai APACHE II Score didapatkan hasil 18 dan pasien post operasi, menrut

tabel mortalitas APACHE II dapat disimpulkan bahwa mortalitas penyakit yang

diderita klien 11%. Sedangkan pada nilai SOFA menunjukkan angka 8 yaitu

kemungkinan mortalitas penyakit klien sebesar 2-10%. Sistem skor APACHE II

merupakan salah satu sistem skor paling banyak digunakan untuk analisis

kualitas ICU, penelitian berbagai penyakit dan terapi terbaru suatu penyakit pada

pasien yang dirawat di ICU dan sistem ini lebih diterima karena data yang

dibutuhkan untuk menentukan skor lebih sederhana, definisi tiap variabel jelas

dan reproduksibel serta dikumpulkan dari pemeriksaan rutin pasien di ICU

(Handayani, 2014).

Pada penatalaksanaan klien terpasang ventlator SIMV yang berarti klien masih

memiliki usaha nafas, dan dibantu oleh ventilator. Ventilator SIMV adalah

singkatan dari mode ventilator Synchronous Intermittent Mandatory Ventilation


116

yang menggabungkan pernafasan spontan dan assisted (dengan bantuan) yang

memberikan bantuan tekanan positif pada interval tertentu dengan usaha pasien

(Liputo, 2018). Keuntungan dari penggunaan metode SIMV dalam ventilator

adalah pernapasan yang lebih terkontrol, nyaman, dan efisien, mencegah atrofi

otot, mencegah penyaluran tidal volume yang ganda, lebih umum digunakan

untuk PEEP (Jackson, 2011).

Obat yang diberikan yaitu fentanyl untuk meredakan rasa nyeri, midazolam dan

atrucuronium (sudah dijelaskandi atas), omeprazole untuk mengurangi asam

lambung, vitamin K dan asam traneksamat untuk membantu pembekuan darah

dan mengurangi perdarahan, Ceftriaxone sebagai antibiotik, nebulizer untuk

mengurangi sekret pada tenggorokan, Loading RL untuk mengembalikan cairan,

gelofusine untuk pengganti volume darah, Loading NaCl 0,9% untuk jalur obat

dan resusitasi cairan, dan insulin untuk mengatur kadar gula darah.

C. Analisa Data dan Diagnosa

Menurut kasus yang diambil, pada analisa data didapatkan 3 diagnosa yaitu :

1. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan efek sedasi dan relaksan.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan ejeksi ventrikel.

Hal tersebut masih ditulis berdasarkan urutan dan penulisan diagnosa pada

NANDA (2015). Menurut penulis, diagnosa tersebut kurang sesuai dengan

diagnosa baru oleh SDKI (2019).


117

Menurut tanda gejala yang dianggap bermakna pada klien maka didapatkan

diagnosa sebagai berikut:

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-

perfusi dibuktikan dengan gejala mayor PCO2 meningkat, PO2 meningkat,

takikardia, pH arteri menurun dan adanya bunyi nafas tambahanronkhi pada

pasien (SDKI, 2019, hlm.22).

2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan kekurangan volume cairan

dibuktikan dengan pengisian kapiler>3 detik, nadi perifer menurun, akral

teraba dingin (saat masuk IGD namun berangsung membaik di ICU), warna

kulit pucat, dan turgor kulit pasien menurun (SDKI, 2019, hlm.37).

3. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif dibuktikan dengan

gejala mayor frekuensi nadi meningkat (HR: 126-144x/ menit), nadi teraba

lemah, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urine

menurun (528ml/hari), hematokrit meningkat (49,2%), status mental berubah

dalam hal ini tidak dapat dikaji karena pengaruh sedatif, dan konsentrasi urin

menjadi jenuh (SDKI, 2019, hlm.64).

4. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor mekanis

(gesekan dan luka terbuka), kekurangan volume cairan, dan perubahan

sirkulasi dibuktikan dengan adanya kerusakan jaringan dan lapisan kulit post

operasi debulking kanker ovarium, adanya perdarahan yang masih

berlangsung dari luka operasi sebanyak 150 cc, dan adanya kemerahan pada

sekeliling luka bekas operasi (SDKI, 2019, hlm.282)

5. Resiko syok dibuktikan dengan kekurangan volume cairan (SDKI, 2019,

hlm.92).
118

6. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif dan ketidakadekuatan

pertahanan tubuh primer yaitu kerusakan integritas kulit (SDKI, 2019,

hlm.304)

Penulis menulis urutan diagnosa diatas sesuai dengan prioritas diagnosa

keperawatan SDKI. Diagnosa pada SDKI telah diurutkan dan diuraikan menurut

kategori mulai dari kelompokyang memiliki tanda dan gejala yang bermakna

dalam pola kebutuhan dasar dimulai dari respirasi, sirkulasi, nutrisi/cairan,

eliminasi, aktivitas/istirahat, neurosensori, reproduksi/seksualitas,

nyeri/kenyamanan, integritas ego, pertumbuhan/perkembangan, kebersihan diri,

penyuluhan/pembelajaran, interaksi sosial dan keamanan/proteksi (SDKI, 2019).

Proses pengelompokandata ini dapat menjadi dasar perumusan diagnosa utama

keperawatan berdasarkan kegawatannya (Hardiker, et al., 2011). Hal ini juga

didukung oleh pernyataan dari International Classification of Nursing Practice

(ICNP, 2013) dimana klasifikasi diagnosis dibagi menjadi fisiologis (respirasi,

sirkulasi, nutrisi dan cairan, eliminasi, aktivitas dan istirahat, neurosensori,

reproduksi dan seksualitas) disusul dengan psikologis (nyeri dan keamanan,

integritas ego, pertumbuhan dan perkembangan), perilaku (kebersihan diri,

penyuluhan dan pembelajaran), relasional (interaksi sosial), dan lingkungan

(keamanan dan proteksi).

Diagnosa yang dimunculkan oleh peneliti sebelumya yaitu gangguan ventilasi

spontan sebenarnya sudah cukup tepat karena pada klien terjadi kegagalan nafas.

Akan tetapi tanda gejala yang ditujukkan kurang sesuai dengan tanda gejala

mayor pada diagnosa tersebut dimana dinyatakan bahwa tanda dan gejala objektif
119

mayor pada diagnosa gangguan ventilasi spontan adalah penggunaan otot bantu

nafas, volume tidal menurun, PCO2 meningkat, PO2 menurun dan SaO2 menurun

dan takikardia (SDKI, 2019, hlm.24). Pada klien ditemukan data mengenai PCO2

yang meningkat dan takikardia, akan tetapi volume tidal klien diatur oleh

ventilator, otot bantu nafas tidak ada karena klien diberi sedasi dan SaO2 pasien

masih berada dalam rentang normal. Disamping itu, terjadi asidosis respiratorik

dan asidosis metabolik pada pasien dan tanda gejala yang ada pada pasien lebih

menandakan bahwa terdapat gangguan petukaran gas di dalam tubuh klien.

Diagnosa kekurangan volume cairan pada NANDA berubah nama menjadi

hipovolemia pada SDKI. Diagnosa hipovolemia yang dimunculkan sudah cukup

sesuai dengan kondisi klien, akan tetapi setelah dilakukan analisis lebih lanjut,

ditemukan diagnosa perfusi perifer tidak efektif yang memiliki prioritas lebih

tinggi dibandingkan hipovolemia. Oleh karena itu, diagnosa hipovolemia

diletakkan pada prioritas ketiga. Menurut SDKI (2019, hlm.12) diagnosa perfusi

perifer dan hipovolemia menempati kategori yang sama yaitu kategori fisiologis,

akan tetapi diagnosa perfusi jarigan perifer tidak efektif masuk ke dalam

subkategori sirkulasi yang memiliki prioritas satu tingkat lebih tinggi

dibandingkan hipovolemia yang berada pada subkategori nutrisi dan cairan.

Diagosa ketiga yaitu penurunan curah jantung yang diambil oleh peneliti

sebelumnya tidak dapat diambil karena tidak relevan. Hal ini disebabkan karena

untuk menentukan diagnosa penurunan curah jantung diperlukan tanda gejala

mayor secara objektif berupa gambaran EKG, nilai central venous pressure
120

(CVP), terdengarnya suara jantung S3 maupun S4, menurunnya ejection fraction

(EF), dan pengukuran-pengukuran lainnya (systemic vascular resistance,

cardiac index, stroke volume index dan lain sebagainya) sebagai data pendukung

meskipun ada beberapa tanda dan gejala yang cocok seperti adanya takikardi,

tekanan darah tidak stabil (SDKI, 2019, hlm.34)

Diagnosa tambahan yang didapatkan dari analisa pengkajian pada pasien

sebanyak 4 diagnosa yaitu perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan

kekurangan volume cairan, gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan

dengan faktor mekanis (gesekan dan luka terbuka), kekurangan volume cairan,

dan perubahan sirkulasi, resiko syok dibuktikan dengan kekurangan volume

cairan, resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif dan

ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer yaitu kerusakan integritas kulit.

D. Intervensi Keperawatan

Tujuan klien diberi posisi head of bed 15o adalah memudahkan klien untuk

bernafas, mencegah aspirasi dan ventiltor-associated pneumonia. Tujuan

dilakukan pemasangan ETT adalah untuk memberi support dalam pernafasan

klien. Tujuan dilakukan cek balon adalah untuk melihat apakah fungsi balon

ETT masih baik dan apakah balon ETT benar masuk dan terpasang dengan

maksimal atau tidak. Tujuan auskultasi pada dada untuk mengetahui apakah

udara pada ventilator benar masuk ke paru-paru atau tidak.

Tujuan dilakukan tindakan AGD adalah untuk mengetahui kondisi

keseimbangan asam-basa tubuh dan mengetahui nilai-nilai elektrolit tubuh.


121

Tujuan monitor ventilator mekanik untuk mengetahui perkembangan dari terapi

yang diberikan pada klien dan juga digunakan sebagai data untuk menentukan

mode ventilator.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Kanker ovarium terjadi karena adanya mutasi genetik pada sel-sel ovarium

yang menjadi abnormal, serta tumbuh cepat dan tidak terkontrol. Penyebab

kanker belum dapat diketahui dengan pasti namun terdapat beberapa faktor

resiko yang dapat meningkatkan terjadinya kanker seperti umur diatas 50

tahun, merokok, menjalani terapi penggantian hormon saat menopause,

genetik, menderita obesitas, pernah menjalani radioterapi, pernah menderita

endometrosis atau menderita syndrom Lych. Kanker ovarium ini juga dibagi

menjadi kanker ovarium ganas dan kanker jinak, dimana memiliki tanda

gejala seta ciri-ciri yang berbeda.

Tindakan operasi debulking merupakan tindakan operasi yang dilakukan

untuk mengurangi sebagian besar volume tumor tanpa niat eradikasi total

atau bisa disebut pengangkatan parsial. Debulking berbeda dengan

cytoreduction dimana cytoreduction/ cytoreductive surgery adalah

pengurangan jumlah sel tumor yang bersifat kuratif terutama pada

pengangkatan sel tumor ganas. Debulking ini hanya digunakan untuk tujuan

kuratif pada beberapa macam jenis kanker saja seperti kanker ovarium dan

beberapa jenis kanker otak.

121
122

Perdarahan adalah faktor resiko dari tindakan operasi. Kehilangan darah yang

berlebihan baik eksternal maupun internal menyebabkan volume darah yang

berada di sistem vaskuler berkurang dan perfusi jaringan pada sistem

sirkulasi darah menurun yang kemudian menyebabkan penurunan curah

jantung. Penyebab syok yang paling sering ditemukan terutama pada pasien

dengan riwayat trauma adalah perdarahan. Perdarahan termasuk salah satu

penyebab dari syok hipovolemik atau bisa disebut syok hemoragik.

Pada analisa data kasus kali ini disimpulkan 6 diagnosa yaitu:

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi

2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan kekurangan volume

cairan

3. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif

4. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor mekanis

(gesekan dan luka terbuka), kekurangan volume cairan, dan perubahan

sirkulasi

5. Resiko syok dibuktikan dengan kekurangan volume cairan

6. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif dan

ketidakadekuatan perttahanan tubuh primer yaitu kerusakan integritas

kulit

Tindakan yang dilakukan dalam kasus ini sudah cukup sesuai dengan teori

yang ada sehingga pada hasil evaluasi didapatkan hasil yang cukup membaik,

meskipun tindakan hanya dilakukan selama 1 hari oleh peneliti sebelumnya.


123

B. Saran

1. Bagi Pelayanan Keperawatan

Diharapkan mampu memberikan masukan bagi layanan kesehatan rumah

sakit dalam meningkatkan pengobatan dan perawatan pada pasien dengan

kasus Syok Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker Ovarium Residif

dengan Gagal Nafas.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat dijadikan tambahan untuk meningkatkan pengetahuan

dan wawasan dalam melakukan praktik keperawatan tentang asuhan

keperawatan pada klien Syok Post Operasi Debulking Kanker Ovarium

Residif dengan Gagal Nafas.

3. Bagi Masyarakat

Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan meningkatkan pengetahuan masyarakat

tentang penyakit Syok Hemoragik Post Operasi Debulking Kanker

Ovarium Residif dengan Gagal Nafas sehingga masyarakat dapat

berpartisipasi dalam mencegah dan menangani penyakit tersebut.


LAMPIRAN
LEMBAR KONSULTASI

Nama : Angela Verani Grace Worang

NIM : 519006

JUDUL KTIN : Analisis Asuhan Keperawatan Syok Hemoragik Post Operasi Debulking

Kanker Ovarium Residif Dengan Gagal Nafas Pada Ny.M di Ruang ICU

HARI/ POKOK BAHASAN DAN TANDA TANGAN


NO
TANGGAL KOREKSI PEMBIMBING

1. Jumat, 26 Konsul BAB I


Juni 2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.

2. Kamis. 2 Konsul BAB I, II, III, dan IV


Juli 2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.

3. Selasa, 7 Konsul patofisiologi dan pathway


Juli 2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.

4. Sabtu, 11 Konsul BAB II, III, dan IV


Juli 2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.


5. Senin, 13 Konsul BAB II, III, dan IV
Juli 2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.

6. Sabtu, 18 Konsul BAB I, II, III, dan IV


Juli 2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.

7. Minggu, 19 Konsul BAB I, II, III, IV, dan V


Juli 2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.


8. Senin, 20 Konsul BAB I, II, III, IV, dan V
Juli 2020
Konsul PPT

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep.


9. Rabu, 5 ACC. Silahkan dilanjutkan proses
Agustus bimbingan dengan pembimbing
2020

Ns. Arlies Zenitha V ., M. Kep

10. Kamis, 10 Koreksi cara penulisan


September
2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep

11. Rabu, 23 ACC. Lanjutkan proses hardcover


September
2020

Ns. Bagus Ananta T., M. Kep


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. M DENGAN SYOK
HEMORAGIK POST OP DEBULKING CA OVARIUM RESIDIF
RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG

DisusunUntukMemenuhiTugas Mata KuliahComprehensive Critical Care Analysis


Pembimbing Etika Emaliyawati, S.kep, Ners, M.Kep & Titin Mulyati, M.Kep

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


PEMINATAN KEPERAWATAN KRITIS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2017
F. Pengkajian
1. Identitas
a. IdentitasPasien
Nama : Ny. M
Umur/TTL : 52 tahun/11 Oktober 1965
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kp. Krajan Kel. Cicadas Kota Binong Subang
Status : Kawin
Pekerjaan : PNS
Suku :-
No RM : 1052347
Tanggal Masuk ICU: 15 November 2017
Tanggal Pengkajian: 16 November 2017
Dx medis : Syok Haemoragik post op debulking ca ovarium residif

b. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Tn S
Umur : 65 Tahun
Hub. Dengan Pasien : Suami

2. RiwayatKesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama sulit dikaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran
disertai dengan pemberian relaksan dan sedasi (Midazolam dan Atracurium)

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 14 November 2017 dirawat di
ruangan Alamanda dengan diagnose Ca Ovarium Residif post kemoterapi
gemci dan di rencanakan operasi debulking.
Sebelum masuk ICU tanggal 15 November 2017 pasien dilakukan
operasi debulking ca ovarium residif selama 7 jam. Pada saat operasi
ditemukan masa kistik dengan bagian padat permukaan berbenjol-benjol
ukuran 25x20x20 cm, ditutupi peritoneum vesica, jejunum, ileum dan
rectosigmoid. Pada saat operasi ditemukan masa carcinomatus lain yang
melekat pada aorta abdominalis dengan ukuran 15x10x10 cm tidak berhasil
diangkat, massa yang melekat pada teres hepatis dan lobus kiri hepar
10x10x10 cm berhasil diangkat, dan massa yang melekat pada lien 10x10x10
cm ditinggalkan. Perdarahan selama operasi sebanyak 5000 cc. Perdarahan dari
tumor bed tidak bisa diatasi dilakukan tindakan packing sebanyak 9.
Pasien masuk ICU pukul 22.10, dengan kesadaran dalam pengaruh
obat, TD 216/87 mmHg, HR 131x/menit, RR 15, Suhu 33,9 °C, saturasi 100%,
akral dingin dan CRT > 3 detik.. Terdapat luka operasi diabdomen tertutup
kasa ± 40 cm.
Pada saat dilakukan pengkajian terhadap pasien tidak dapat dilakukan
pengkajian langsung karena kesadaran pasien dalam pengaruh obat dari
pemberian sedasi dan relaksan.

c. Keluhan Kesehatan dahulu


Pasien pada tahun 1995 didiagnosa kista ovarium dan dilakukan
operasi, dan pada tahun 2011 didiagnosa ca ovarium Tahun 2012 dilakukan
operasi pengangkatan sel kanker dan dilanjutkan dengan kemoterapi. Tahun
2015 dilakukan operasi kembali karena adanya penyebaran sel kanker pada
beberapa organ. Sebelum operasi terakhir (15/11) Pasien sudah menyelesaikan
kemoterapi gemci carboplatin 6 siklus.

d. Riwayat Keseahatan Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit yang sama seperti pasien. tidak memiliki riwayat
penyakit keturunan seperti diabetes, hipertensi dan jantung.

3. PemeriksaanFisik
a. Keadaan umum
Pasien tampak sakit berat dengan penurunan kesadaran disertai, kesadaran
GCS tidak dapat dinilai karena pasien dengan pemberian sedasi dan relaksan
b. Tanda-tanda Vital
1) Tekanan Darah
Sistolik : 140 – 165 mmHg dengan noradrenalin
Diastolik : 85 – 90 mmHg
MAP : 103 – 115 mmHg
2) Heart Rate : 126 – 144 x/menit
Respirasi : 20 – 24 x/menit
3) Suhu : 36 – 37,5 ° C
4) Nilai CPOT : pasien tidak dapat dikaji karena penggunaan sedasi dan
relaxan

No Indikator Skalapengukuran Skor HasilPenilaian


1 Ekspresi wajah Rileks, netral 0
Tegang 1 0
Meringis 2
2 Gerakan tubuh Tidakbergerak 0
Perlindungan 1 0
Gelisah 2
3 Kesesuaian dengan ventilasi Dapat mentoleransi 0
mekanik Batuk, tapi dapat 1
0
mentoleransi
Fighting ventilator 2
4 Ketegangan otot Rileks 0
Tegang dan kaku 1 0
Sangat tegang /kaku 2
Total skor 0

c. Pemeriksaan Sistem Tubuh


1) Sistem Perepsi sensori
Dibawah pengaruh obat
2) Sistem Integumen
Terdapat luka abdomen pada daerah abdomen horizontal 40 cm tertutup
perban dengan drainase produksi cairan bercampur darah kurang lebih
150 cc. tidak ada dekubitus, mukosa bibir tampak kering dan pecah –
pecah, kulit tampak pucat, teraba dingin. Tampak kebiruan pada tangan
(bekas penusukan pada arteri radialis).
3) Sistem Pernapasan
Terasang ETT no 7 dengan kedalaman 20 cm, terdapat sekret pada
daerah mulut dan ETT, pengembangan dada keduanya simetris, tidak
tampak peningkatan WOB, suara paru perkusi resonan, suara napas
vesikuler. Pasien dibantu ventilator dengan Mode: Volume Control,
FiO2: 100%, PEEP: 4, Peak Pressure: 24, RR: 14, I:E Rasio: 1:2, TV
350.
4) Sistem Kardiovaskuler
CRT > 3 detik, SpO2 97%, akral teraba dingin dan lembab, irama
jantung regular,sinus takikardi pada bedsite monitor, bunyi jantung S1
dan S2 (normal), bunyi jantung tambahan (-), murmur (-),gallop (-),
edema (-), iktus cordis terlihat denyutan di IC 5 midclavicularis kiri,
perkusi redup,
5) Sistem Pencernaan
Tampak adanya distensi abdomen karena ada packing (9), terdapat luka
pos op horizontal sepanjang 40 cm, terpasang NGT, bising usus (-).
Terpasang drain post operasi daerah abdomen laparatomi explorasi
dengan produksi cairan dan darah 150 cc.
6) Sistem Perkemihan
Terpasang kateter, tidak ada lesi genital, warna urin kuning jernih. Urin
output selama 1 jam 22 cc dengan BB 60 kg (0,33 cc/kgBB/jam)
7) Sistem Neurologis
Pasien dalam keadaan tersedasi dan relaksan
8) Sistem Endokrin
9) Sistem Muskuloskeletal
Edema tungkai (-)
10) Sistem Reproduksi
Pasien pada tahun 1995 didiagnosa kista ovarium dan dilakukan
operasi, dan pada tahun 2011 didiagnosa ca ovarium Tahun 2012
dilakukan operasi pengangkatan sel kanker dan dilanjutkan dengan
kemoterapi. Tahun 2015 dilakukan operasi kembali karena adanya
penyebaran sel kanker pada beberapa organ. Sebelum operasi terakhir
(15/11) Pasien sudah menyelesaikan kemoterapi gemci carboplatin 6
siklus
SURAT KETERANGAN
Nomor : 021 / K / ASPAC / X / 20

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Tri Henny Kurniawati

Jabatan : Tenaga Kependidikan LPBAT Asia Pasifik Semarang

Menerangkan bahwa abstrak atas nama Angela Verani Grace Worang adalah benar telah
diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris oleh LPBAT (Lembaga Pelatihan Bahasa
Asing Terpadu) Asia Pasifik Semarang dengan judul :

“Nursing Care Analysis of Postoperative Debulking Hemorrhagic Shock With

Respiratory Failure in Mrs.M in the ICU”

Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, 20 Oktober 2020


4. Data Penunjang
a. Data Laboratorium
Tanggal 16 November 2017 jam 04.55 WIB

No Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi

1 Darah Rutin

Hemoglobin 15,9 gr/dl 12 - 16 Normal

Hematokrit 49,2 % 35 - 47 Meningkat

Leukosit 15.520 /mm3 4.400 – 11.300 Meningkat

Trombosit 218.000 /mm3 150.000 – 450.000 Normal

Eritrosit 5,92 Juta/ul 3,6 – 5,8 Normal

Index Eritrosit

MCH 26,9 Pg 26,0 – 34,0 Normal

MCHC 32,3 % 32 – 36 Normal

MCV 83,1 fL 80 – 100 Normal

Gula Sewaktu 252 mg/dl 70 - 140 Meningkat

Tanggal 16 November 2017 jam 13.00 WIB

1. AGD Arteri

pH 7,094 mmHg 7,35 – 7,45 Menurun

pCO2 77,5 mmHg 35 – 45 Meningkat

pO2 171,6 mmHg 83 – 100 Meningkat

HCO3 23,9 mmol/L 21 – 28 Normal

BE -6,2 mmol/L (-2) – (+3) Menurun

SatO2 99,2 % 95 – 98 Normal


Laktat 2,5 Mmol/L 0,7 – 2,5 Normal

2 AGD Vena

pH 7,106 mmHg 7,35 – 7,45 Menurun

pCO2 74 mmHg 35 – 45 Meningkat

pO2 56,4 mmHg 83 – 100 Menurun

HCO3 26 mmol/L 21 – 28 Normal

BE -6,3 mmol/L (-2) – (-3) Menurun

SatO2 79,3 % 95 – 98 Menurun

3 Darah Rutin

Hemoglobin 12,7 gr/dl 12 - 16 Normal

Hematokrit 38 % 35 - 47 Normal

Leukosit 13.300 /mm3 4.400 – 11.300 Meningkat

Trombosit 158.00 /mm3 150.000 – 450.000 Normal

b. Pemeriksaan X-Ray tanggal 16 November 2017


- Belum dilakukan
c. PemeriksaanEchocardiographi, tanggal 16 November 2017
- Belum Dilakukan

d. Pemeriksaan risiko jatuh dengan Morse scale


Hasil didapatkan menunjukan nilai 50 (resiko tinggi)
e. APACHE II SCOR (1x24 jam)
Nilai APACHE II dalam 24 jam pertama menunjukan skor 18
f. SOFA score
SOFA Score menunjukan nilai 8 tanpa penilaian GCS karena pasien tersedasi.
1. Penatalaksanaan Medis
a. Ventilator
Mode : SIMV Volume Control
Triger : 16
Volume control :420
FiO2 : 60
PEEP :8
Peak Pressure : 17
RR : 24
I:E Rasio : 1:2
b. Obat Obatan
Nama Obat Dosis Cara Ket
Pemberian

Fentanyl 30 mcg/jam Syiring pump

Midazolam 3 mg/kgBB/Jan Syiring pump

Atrucuronium 30 mg/kgBB/jam Syiring pump

Omeprazole 2 x 40 mg IV

Vit K 3 x 10 mg IV

As. Tranexamat 3 x 500 mg IV

Cefriaxone 1 x 2 gr IV

Nebulaizer NaCl 0,9% 4 x/hari Inhalasi

Loading RL 500 ml Infus

Gelofusin 500 ml Infus

Nacl 0,9% Ta Ka-Ki Infus

Nacl 0,9% Jugular

Insulin

c. Nutrisi
Puasa
G. Analisa Data
Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan

DS: - Efek sedasi & relaksan Gangguan Ventilasi spontan

DO: ↓

1. Pasien dalam pengaruh sedasi Penekanan pada regulasi otonom pernapasn


dan relaksan, midazolam dan
Atrucuronium ↓
2. Perdarahan selama operasi Gangguan regulasi pernapasan
sebanyak 5 liter
3. Pasien dibantu ventilator dengan ↓
Mode Ventilator SIMV Volume
Control , Triger 16 , Volume Ketidakmampuan mempertahan oksigenasi
control 420, FiO2 60%, PEEP 8,

Peak Pressure 17, RR 24, I:E
Rasio: 1:2 WOB meningkat
4. Hasil AGD pH 7,094, pCO2
171,6 , pO2 23,9, HCO3 77,5, ↓
BE -6,2, SatO2 99,2 %, Laktat
Respiratory failure
2,5

Gangguan ventilasi spontan

DS:- Kerapuhan Pembuluh Darah Efek Kemoterapi Kekurangan Volume Cairan

DO:

1. CRT > 3 detik


Perdarahan Banyak Pembuluh darah
2. Kesadaran tidak bisa dikaji
Selama Operasi Tidak Bisa Di Jahit
dalam pengaruh sedasi dan
relaksan
3. Akral teraba dingin, dan lembap.
4. Takikardia HR 126 – 144
x/menit, Tekanan Darah
5. Sistolik 140 – 165 mmHg,
Perdarahan Aktif
Diastolik 85 – 90 mmHg,
MAP 103 – 115 mmHg dengan ↓
noradrenalin
Keluarna cairan intravaskuler
6. Urin output selama 1 jam 22 cc
dengan BB 60 kg (0,33 ↓
cc/kgBB/jam)
7. Perdarahan aktif terpasang 9 Penurunan Volume Intravaskuler
packing didalam abdomen,
lingkar abdomen 100 cm
8. Terpasang drain post operasi
daerah abdomen laparatomi
explorasi dengan produksi
cairan dan darah 150 cc
Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan

DS:- Hipovolemia Gangguan penurunan curah


jantung
DO:

1. Mengalami peningkatan HR ; Cardiac Filling ↓


126-144 x/menit,
2. Tekanan Nadi melebar
5. CRT > 3 detik Cardiac Out Put ↓
6. Akral dingin dan lembab
9. Urin output selama 1 jam 22 cc
dengan BB 60 kg (0,33 Gangguan kontraktilitas
cc/kgBB/jam)
7. Hasil AGD pH 7,094, pCO2
171,6 , pO2 23,9, HCO3 77,5,
Penurunan fungsi ventrikel dalam ejeksi
BE -6,2, SatO2 99,2 %, Laktat
2,5
Analisanya Asidosis Metabolik

1. Masalah keperawatan
a. Gangguan Ventilasi Spontan b.d Efek Sedasi dan Relaksan
b. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Cairan Aktif
c. Penurunan Curah Jantung b.d Penurunan Ejeksi Ventrikel
2. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

Gangguan Tupan : gangguan ventilasi Manajemen jalan napas buatan Manajemen jalan napas
Ventilasi Spontan spontan teratasi o
1. Perhatikan bundle care Head of Bed 1. HOB 30 (jika tidak ada kontraindikasi) dan
Tupen : Setelah dilakukan elevasi, interupsi sedasi, profilaksis oral care menjadi independent intervention
tindakan keperawatan selama peptic ulcer, profilaksis DVT, Oral perawat dalam pencegahan VAP. Mulut
5x24 jam, gangguan ventilasi care dengan chlorhexidine 0,9% sebagai gerbang utama masuknya infeksi ke
spotan teratasi dengan criteria 2. Pertahankankepatenan ETT (Cuff saluran nafas bawah karena adanya selang
sebagai berikut : dankedalaman) ETT.Ames (2011) menunjukkan bahwa
pelaksanaan oral care secara komprehensif
1. Respon hemodinamik 3. Auskultasisuaranapaspadadaerah dada
dapat mengurangi kolonisasi bakteri mulut
toleran terhadap 4. Monitoring respirasidan status
pasien
oksigenasi (AGD dan elektrolit) & orofaring, menurunkan skor CPIS, dan
setting ventilator
Ventilator mekanik kejadian VAP.
2. Mampu batuk efektif
Kolaborasi pemberian peptic ulcer juga
3. Mampu menelan dengan 1. Monitor kondisi yang
menjadi intervensi yang utama karena
baik mengidentifikasikanketidaksinkronan
kondisi fasting pada lambung dapat
4. TV tercapai 6-8 cc/kgBB pengaturan ventilator
menyebabkan ulserasi GI. Selain itu, adanya
5. RR : 12 – 24x/menit 2. Pastikan alarm ventilator hidup, set
agen yang meningkatkan PH lambung dapat
dangunakan ventilator sesuaidengan
meningkatkan pertumbuhan bakteri yang
mode yang dibutuhkanklien
berpotensi besar terjadinya refluks ke
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

3. Monitor volume saluran nafas karena penurunan pertahanan


ekspirasidantekananinpirasi airway (IHI, 2012).
4. Monitoring adanya demam dan nyeri.
2. Tekanan cuff normal dipertahankan 25-30
5. Monitor adanya aktivitas WOB dan
cmH2O atau 18-22 mmHg. Tekanan yang
tanda yang menyertainya (HR, RR<dan
terlalu besar dapat menyebabkan penekanan
TD meningkat, keringat, dan
pada area endotracheal yang bisa
penurunan kesadaran)
menyebabkan kerusakan jaringan,
6. Monitor efek ventilator (deviasi trakea,
sedangkan tekanan cuff yang terlalu kecil
infeksi, distensi abdomen,
dapat menyebabkan aspirasi bakteri
empisemasubkutis)
(Lorente, 2012)
7. Lakukan SBT berkala selama 30-120
3. Sebagai evaluasi ledalaman ETT, karena
menit
apabalila ETT masuk pada satu sisi akan
8. Nilai RSBI secara berkala
berisiko terjadinya atelektasis pada paru
yang tidak menerima aliran udara
4. Analisa gas darah merupakan salahs atu
indikatpr keberhasilan pengatran ventilator.
Selain itu, pengaturan ventilator dapat
disesuaikan dengan hasil AGD yang ada.
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

Ventilator mekanik

1. Pada pasie terpasang ventilator onitoring


perlu sebagai dasar sinkronisasi ventilator
dengan pasien, sebagai evaluasi keberhasilan
capaiana mode ventilator yang diberikan
2. Alrm sebagai penanda respons pasien
erhadap ventilator, terutama apabila peak
pressure mencapai >35 yang berisiko
mengalami barotrauma.
3. Volume inspirasi dan ekspirasi harus sesuai,
monitoring perlu sebagai upaya pencegahan
adanya air traping yang dapat memperberat
pernapasan pasien
4. Pada pasien dnegan ETT dan suctioning
nyeri selalu terjadi dan demam dapat sebagai
indikator pertama adanya infeksi akibat
penggunaan ventilator
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

Kekurangan Tujuan : Klien memperlihatkan 1. Monitor Tanda-tada vital terutama 1. Mengetahui perubahan hemodinamik
Volume Cairan peningkatan curah jantung tekanan darah dan Nadi pasien yang berhubungan dengan
dengan 2. Pantau EKG secara kontinu perdarahan yang terus terjadi
3. Berikan oksigen sesuai dengan terapi 2. Memantau Perubahan irama jantung
Kriteria hasil :
4. Siapkan untuk mengelola IUVD 1 3. Membantu keadekuatan perfusi
1. Tanda-tanda vital dalam sampai 2 L cairan IV sesuai pesanan. kejaringan
batas normal HR 60 Gunakan larutan kristaloid untuk 4. Tanggapan klien terhadap pengobatan
sampai 100 denyut per keseimbangan cairan dan elektrolit bergantung pada tingkat kehilangan darah.
menit, tekanan sistolik yang adekuat. Memulai terapi IV. Jika kehilangan darah ringan (15%),
lebih besar dari atau sama Mulai dua garis IV perifer yang lebih respon yang diharapkan adalah
dengan 90 mm Hg, tidak kecil dan besar. Mempertahankan kembalinya cepat ke BP normal. Jika
adanya orthostasis volume darah beredar cukup cairan infus diperlambat, klien tetap
2. Output urin lebih besar merupakan prioritas. Jumlah cairan normotensif. Jika klien telah kehilangan
dari 30ml / jam, yang diinfuskan biasanya lebih 20% sampai 40% volume darah yang
3. Turgor kulit normal. penting daripada jenis cairan bersirkulasi atau mengalami pendarahan
4. Curah jantung dalam (kristaloid, koloid, darah). Jumlah yang tidak terkendali, bolus cairan dapat
batas normal volume yang dapat diinfeksikan menghasilkan normotensi, namun jika
5. Perbaikan Kesadaran berbanding terbalik dengan panjang cairan diperlambat setelah bolus, BP akan
kateter IV; Cara terbaik adalah memburuk. Perhatian yang ekstrem
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

menggunakan kateter ditunjukkan pada penggantian cairan pada


besar.Pertahankan klien hangat dan klien yang lebih tua. Terapi agresif dapat
kering memicu disfungsi ventrikel kiri dan
5. Pasang Infus dua jalur untuk menjaga edema paru.
keadekuatan pemasukan cairan 5. Penting tercukupinya jumlah cairan
6. Awasi perdarahan sekunder akibat normal
operasi, antisipasi atau bersiap 6. Pembedahan mungkin satu-satunya
kembali ke operasi.. pilihan untuk memperbaiki masalah
7. Kolaboraasi tranfusi Berikan produk 7. Transfusi klien dengan produk darah
darah (misalnya, sel darah merah yang mengganti kehilangan diintra sel
dikemas, plasma beku segar,
trombosit) seperti yang ditentukan.
Penurunan Curah Tujuan mempertahankan curah 1. Kaji HR dan BP klien, termasuk pulse 1. Sinus takikardia dan peningkatan kadar
Jantung jantung yang cukup, dibuktikan perifer. Gunakan pemantauan intra- arterial terlihat pada tahap awal untuk
dengan: arterial langsung seperti yang mempertahankan curah jantung yang
diperintahkan. cukup. Hipotensi terjadi saat kondisi
1. Denyut perifer yang kuat,
2. Kaji EKG klien untuk disritmia.. memburuk. Vasokonstriksi dapat
2. Tekanan sistolik dalam
3. Kaji denyut pusat dan perifer. menyebabkan tekanan darah yang tidak
baseline 20 mm Hg
4. Menilai waktu mengisi kapiler. Kaji dapat diandalkan. Tekanan pulpa (sistolik
3. HR 60 sampai 100 denyut
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

per menit dengan ritme tingkat pernafasan, ritme dan suara minus diastolik) saat syok berkurang.
regular napas auskultasi. Karakteristik kejutan 2. Disritmia jantung dapat terjadi dari
4. Urine Ouput 30 ml / jam meliputi respirasi cepat dan dangkal keadaan perfusi rendah, asidosis, atau
atau lebih dan suara nafas adventif seperti retak hipoksia, dan juga akibat efek samping
5. Kulit hangat dan kering, dan desis. dari obat jantung yang digunakan untuk
dan 5. Pantau saturasi oksigen dan gas darah mengatasi kondisi ini
6. Tingkat kesadaran normal. arteri.. 3. Kencang/ lemah berhubungan dengan
6. Pantau tekanan vena sentral klien stroke volume dan curah jantung.
(CVP), tekanan diastolik arteri 4. Isi kapiler lambat dan kadang tidak ada
pulmoner (PADP), tekanan baji menunjukkan tanda-tanda syok.
kapiler paru, dan curah jantung / 5. Oksimetri pulse digunakan dalam
indeks jantung. mengukur saturasi oksigen. Saturasi
7. Menilai adanya perubahan tingkat oksigen normal harus dipertahankan pada
kesadaran. 90% atau lebih tinggi. Seiring dengan
8. Kaji keluaran urin. perkembangan , metabolisme aerobik
9. Kaji warna kulit, suhu, dan berhenti dan asidosis laktat terjadi,
kelembaban. dingin, pucat, kulit menghasilkan peningkatan kadar karbon
keriput dioksida dan penurunan pH
10. Berikan pengganti elektrolit seperti 6. CVP memberikan informasi tentang
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

yang ditentukan.. pengisian tekanan pada sisi kanan


11. Jika memungkinkan, gunakan cairan jantung; Tekanan diastolik arteri
infus cairan hangat atau cepat. pulmonalis dan tekanan baji kapiler paru
12. Lakukan perawatan paliatif care mencerminkan volume cairan sisi kiri.
Curah jantung memberikan poin objektif
untuk memandu terapi.
7. Kegelisahan dan kecemasan adalah tanda
awal hipoksia serebral sementara
kebingungan dan hilangnya kesadaran
terjadi pada tahap selanjutnya. Klien yang
lebih tua sangat rentan terhadap perfusi
yang berkurang pada organ vital.
8. Sistem ginjal mengkompensasi BP rendah
dengan menahan air. Oliguria adalah
tanda klasik perfusi ginjal yang tidak
adekuat dari curah jantung yang
berkurang.
9. Mengindikasikan akibat peningkatan
kompensasi pada stimulasi sistem saraf
Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional

simpatik dan curah jantung rendah dan


desaturasi.
10. Ketidakseimbangan elektrolit dapat
menyebabkan disritmia atau keadaan
patologis lainnya
11. Berikan terapi penggantian cairan dan
darah seperti yang ditentukan.
Mempertahankan volume darah beredar
cukup merupakan prioritas.
12. Pemanas fluida menjaga suhu inti.
Mentranfusikan darah dingin dikaitkan
dengan disritmia miokard dan hipotensi
paradoks.
13. Pada pasien dengan diagnose kanker dan
menjalani kemoterapi perlu dilkaukan
paliatif care agar memberikan akhir
kehidupan yang berkualitas dan
mempersipakan keluarga untuk
kemungkinan terburuk.
5. Implementasi dan Catatan Perkembangan

Dx. Kep Hari/ Implementasi Evaluasi


Tanggal
I Kamis/16 Manajemen jalan napas buatan S:-
November 1. Memposisikan pasien Head of Bed elevasi, 15° O:
2017 2. Mempertahankan ETT (Cuff dan kedalaman) dan 1. Mode Ventilator SIMV Volume Control , Triger 16 ,
14.00-21.00 melakukan cek balon 30 mmHg Volume control 420, FiO2 60%, PEEP 8, Peak
3. Melakukan auskultasi pada daerah dada Pressure 17 RR; 10, I:E Rasio: 1:2
4. Melakukan monitoring respirasidan status oksigenasi 2. Auskultasi vesikuler pada kedua lapang paru
(AGD dan elektrolit) 3. RR actual 25 SpO2 100%
Ventilator mekanik A : Masalah Teratasi Sebagian
1. Memonitor ketidaksinkronan mode ventilaator P : Intervensi Dilanjutkan
2. Memonitor volume ekspirasidantekananinpirasi
3. Memonitoring adanya demam dan nyeri.
4. Memonitor adanya aktivitas WOB dan tanda yang
menyertainya (HR, RR<dan TD meningkat,
keringat, dan penurunan kesadaran)
Dx. Kep Hari/ Implementasi Evaluasi
Tanggal
II Kamis/16 1. Memonitor Tanda-tada vital terutama tekanan darah S : -
November dan Nadi O:
2017 2. Memantau dan melakukan pergantian cairan IV Nacl 1. Tekanan darah 100/50 mmHg, Nadi 125 x/menit
0,9% 2. Urine ouput selama shift 165 cc
3. Drain 40 cc
3. Mengawasi perdarahan sekunder akibat operasi,
4. RR actual 25 SpO2 100%
4. Urine output selama 7 jam 5. Akral dingin, lembab, turgor kulit kering
A : Masalah Belum Teratasi
5. Rencana persiapan operasi pengangkatan packing
P : Intervensi Dilanjutkan
tanggal 18 November

6. Mempersiapkan tranfusi darah untuk pasien

7. Olaborasi pemberian Vit. K


Dx. Kep Hari/ Implementasi Evaluasi
Tanggal
III Kamis/16 1. Memonitor HR dan BP , CVP S:-
November 2. Menkaji tingkat pernafasan, ritme dan suara napas O :
2017 auskultasi. Karakteristik kejutan meliputi respirasi 1. Tekanan darah 100/50 mmHg, Nadi 125 x/menit
cepat dan dangkal dan suara nafas adventif seperti 2. Urine ouput selama shift 165 cc
retak dan desis. 3. Drain 40 cc
3. Memantau saturasi oksigen dan gas darah arteri.. 4. RR actual 25 SpO2 100%
4. Mengkaji tingkat kesadaran. 5. Akral dingin, lembab, turgor kulit kering
A : Masalah Belum Teratasi
5. Menghitung keluaran urin.
P : Intervensi Dilanjutkan
6. Mengkaji warna kulit, suhu, dan kelembaban. dingin,
pucat, kulit keriput

7. Memberikan pengganti elektrolit seperti yang


ditentukan Nacl 0,9%,
8. Melakukan perawatan paliatif care
DAFTAR PUSTAKA

Apriani, dan Syafitri S. (2017). Pengkajian dan Patofisiologi Kanker. Palembang:


Jurnal Program Studi Ners STIK Siti Khadijah Palembang.
Arfian, Nur Ph.D. (2018). Kebijakan Standar Layanan dan Fasilitas ICU. Jakarta:
Rajawali Press.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2018). Hasil Riskesdas 2018.
https:// www.labdata.litbang.depkes.go.id/ Diakses tanggal 12 Desember
2019.
Bakta, K. (2012). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses dan Praktik
Edisi VII Volume I. Jakarta : EGC
Bhenet et al, A. (2010). Buku Ajar Praktek Klinis Keperawatan Klinis Kozier & Erb,
Alih Bahasa Meiliya dkk. Jakarta : EGC
Bilotta, K. A. J. (2011). Kapita Selekta Penyakit : Implikasi Keperawatan. Edsi 2.
Jakarta : EGC
Black, J & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah :Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Emban Patria
Debora, O. (2011). Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Salemba
Medika
Departemen Kesehatan Indonesia. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2009 Data
Kementrian Kesehatan https:// www.depkes.go.id/ Diakses tanggal 13
Desember 2018.
Departemen Kesehatan Indonesia. (2018). Lampiran Data Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2018. https:// www.depkes.go.id/ Diakses tanggal 12
Desember 2018.
Dwi Wahyuni, Nurul Huda DAN Gamya Tri Utami. (2015). Studi Fenomenologi:
Pengalaman Pasien Kanker Stadium Lanjut Yang Menjalani Kemoterapi.
JOM. Vol 2 No 2
Ekaputra, E. (2013). Evolusi Manajemen Cairan. Jakarta: Trans Info Media
Fadhilah, Nur, Wisma A.H., dan Yuniar L. (2018). Gagal Nafas dan Penyebabnya.
Padang: Jurnal Fakultas Kesehatan Universitas Andalas.
Fikriana, R., (2018). Sistem Kardiovaskuler.Sleman: Budi Utama
Guntur HA. (2008). Syok Hemoragik (Pengkajian, Diagnosis Dan
Penatalaksanaan). Surakarta: Sebelas Maret University Press
Hasyimi, Jubaili El. (2016). Fungsi dari Perlengkapan Intensive Care Unit. Jakarta:
Penerbit Grasindo.
Jenkins, P., (2013). Nurse to Nurse: Interpretasi EKG. Jakarta: Salemba
Jevon, P & Beverley, E. (2009). Pemantauan Pasien Kritis. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Juzar, et al. (2018). Nursing Care of Ovarian Cancer. United States of America:
AHA Journals.
Kartikawati, D. N. (2011). Buku Ajar Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Salemba Medika
Kowalak, P. (2012). Buku Ajar Patofisologi. Jakarta : EGC
Kozier, B., Berman, & Snyder. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses & Praktik (7 ed., Vol.1). Jakarta: EGC
Lemone. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Integumen.
Jakarta: EGC
Maatilu, Vitrise, Mulyadi, dan Reginus T.M. (2018). Faktor-Faktor Yang
Mengakibatkan Kegagalan Dalam Tindakan Operasi. Manado: Jurnal
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Mahrur, Arif. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Gagal Nafas
Pada Pasien SYok Hemoragik. Skripsi Program S1 Ilmu Keperawatan
STIKES Muhammadiyah Gombong.
Mahyawati. (2015). Gambaran Tindakan Pre, Intra dan Post Operatif Pada Pasien
dengan Kanker. Skripsi Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES
Aisyiyah Yogyakarta.
Maria et al, I. (2019). Sharing dan Comfort Perawat dalam Penanganan Pasien
Kritis. Sleman: Budi Utama
Mayangsari,. E., Bayu, L., (2019). Farmakoterapi Kardiovaskuler. Yogyakarta: UB
Press
Mc. Pherson, et al. (2013). Cancer-Associated Mortality In England: An Analysis Of
Multiple Cause of Death Data From. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
diperoleh tanggal 27 Juni 2020
Morison, M J. (2013). Manajemen Cairan. Jakarta : EGC
Munford RS. (2012). Haemorrhagic Shock. In: Longo DL., Fauci AS, Kasper Dt.,
Hauser., Jameson JL., Loscalzo J (eds.) Harrison’s Principlesof internal
Medicine.
Murlistyarini et al., (2018). Intisari Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. Malang: UB
Press
Muttaqin, A & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan SIstem Integumen.
Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
Nasronudin. (2011). Penyakit Kanker Di Indonesia dan Solusi Kini Mendatang.
Surabaya: Airlangga University Press
Ningsih, D. K., (2015). Penalataksanaan Kegawatdaruratan Syok Dengan
Pendekatan Proses Keperawatan. Malang: UB Press
Pangaribuan, R., (2019). Keperawatan Intensive dan Kegawatdaruratan. Jakarta:
Tans Info Media
Patricia. (2012). Keperawatan kritis pendekatan asuhan holistik. Jakarta: EGC
Pearce EC. (2009). Anatomi dan Fisologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. (2018). Pedoman Tata
Laksana Kanker Ovarium. Jakarta: Jurnal Kardiologi Indonesia.
Potter, P. A & Perry, A. G. (2012). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta :
Salemba Medika
Prastya, Anndy, Respati Suryanto D., Ali H., dan Nanik S. (2016). Gagal Nafas.
Jawa Timur: Medica Majapahit.
Prof. Dr. H. Sumantri, SKM., M.Kes. (2015). Penanganan Syok Hemoragik. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Rachmat, Hapsara Habib. (2018). Penanganan Kanker. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Rheza N.Tambajong Diana C. Lalenoh., & Lucky Kumaat. (2016). Profil Penderita
Kanker Ovarium Di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Desember 2014-November 2015.https://www.nature.com/articles/sc20118
diperoleh tanggal 17 Juni 2020
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2014).Buku Ajar Keperawatan Dasar.Edisi 10.
Jakarta: EGC
Said, Sahrul, dan Andi M. (2017). Kanker Ovarium. Makassar: Jurnal Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia.
Setiati, S, Alwi, L., Sudoyo, A.W., Stiyohadi, B., &Syam, A. F. (2014). Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: Internal Publishing
Setiyawati, V. A & Hartini, E. (2018). Buku Ajar Dasar Ilmu Gizi Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta : Budi Utama
Sheehy., (2013). Keperawatan Intensive dan Kritis. Singapore: Elsevier
Smeltzer & Bare. (2010). Buku Ajar Bedah Sabiston/David C. Jakarta: EGC
Stanley. (2009). Buku Ajar Keperawatan. Edisi 2. Alih Bahasa : Eny Emiliya dan
Monica Ester. Jakarta : EGC
Suriadi. (2015). Pengkajian luka dan Penanganannya. Jakarta: SagungSeto
Surtiningsih, Dwi, Cipto S., dan Mohammad A.H. (2016). Penerapan Pemberian
Tindakan Operasi Pada Pasien Kanker. Jember: Jurnal Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah.
Tay et al., (2015). Reccurent Ovarian Cancer are there differences?.
https://www.sciencedirect.com/search?qs=cellulitis. Diperoleh tanggal 3 Juni
2020
Wa Ode, Nur I.S., Andi A.I, dan Syafrudin G. (2016). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Gagal Nafas Pada Syok HemoragikMakassar: Jurnal
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Wardhani, et al. (2016). Kualitas Pelayanan Kanker Intensive Care Unit di Jawa
Tengah. Yogyakarta: Badan Penerbit dan Publikasi UGM.
Wijaya, A, S., (2019). Kegawatdaruratan Dasar. Jakarta: Trans Info Media
World Health Organization. (2013). Carsinoma. https:// www.who.it/carsinoma/en/
Diakses tanggal 10 Maret 2020.
Yi, L, J., (2019). SHOCK Management: A Quick Guide. Malaysian: Malaysian
Sepsis Alliance

Anda mungkin juga menyukai