A DENGAN
DIAGONOSA TUMOR CEREBRI FALX-PARASAGITAL PRO
CRANIOTOMY EKSISI TUMOR MENGGUNAKAN TEKNIK ANESTESI
UMUM DI IBS RSUD CIBINONG
Disusun Oleh :
Dimas Febriyan
(P07120722031)
Hari :
Tanggal :
Tempat :
Mengetahui,
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat serta
hidayah-Nya sehingga makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Anestesi
Pada Nn.A Dengan Diagonosa Tumor Cerebri Falx-Parasagital Pro Craniotomy
Eksisi Tumor Menggunakan Teknik Anestesi Umum Di IBS RSUD Cibinong”
untuk memenuhi tugas individu praktik klinik-VI Neuroanestesi dapat
diselesaikan dengan baik.
Saya ucapkan terima kasih kepada segala pihak atas segala bantuan baik
materi maupun pikiran yang telah diberikan. Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Saya meyakini bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan adanya keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman saya. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini kedepannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumor otak dalam pengertian umum berarti benjolan, dalam istilah
radiologisnya disebut lesi desak ruang Space Occupying Lesion (SOL).
Neoplasma sistem saraf pusat umumnya menyebabkan suatu evaluasi
progresif disfungsi neurologis.Gejala yang disebabkan tumor yang
pertumbuhannya lambat akan memberikan gejala yang perlahan munculnya,
sedangkan tumor yang terletak pada posis yang vital akan memberikan gejala
yang muncul dengan cepat.
Tumor atau neoplasma sususan saraf pusat dibedakan menjadi tumor
primer dan tumor sekunder atau metastatik.Tumor primer bisa timbul dari
jaringan otak , meningen, hipofisis dan selaput myelin.Tumor sekunder
adalah suatu metastasis yang tumor primernya berada di luar susunan saraf
pusat, bisa berasal dari paru-paru, mamma, prostat, ginjal,tiroid atau
digestives. Tumor primer dijumpai 10% dari seluruh penyakit neurologi yang
ditemukan di Rumah Sakit Umum. Selain itu, didapati (80%) tumor otak
terletak pada intracranial dan (20%) di dalam kanalis spinalis (Japardi,2002).
Lokasi tumor terbanyak berada di lobus parietalis (18,25%), sedangkan
tumor-tumor lainnya tersebar di beberapa lobus otak, suprasellar ,medulla
spinalis, cerebellum, brainsteam, cerebellopontineangle dan multiple (Hakim,
2005).
Menurut National Brain Tumor Society, penatalaksanaan standard
untuk tumor otak adalah operasi, terapi radiasi dan kemoterapi. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Dengan pemeriksaan radiologi
dan patologi anatomi dapat dibedakan tumor benigna dan maligna.
Pembedahan dilakukan untuk mengeluarkan tumor otak bila mungkin.
Radiasi dan kemoterapi biasanya digunakan sebagai perawatan sekunder atau
adjuvant dan dapat digunakan tanpa operasi.
1
Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang
tepat, termasuk dalam tindakan pro craniotomy pada tumor cerebri falx
parasagital baik dari dokter anestesi maupun penata anestesi. Berdasarkan
latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi pada
tumor cerebri falx parasagital penting untuk dibahas dalam suatu kajian
ilmiah dalam bentuk asuhan kepenataan anestesi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dihasilkan suatu rumusan masalah berupa
“Bagaimanakah penatalaksanaan pada kasus tumor otak falx parasagital pro
craniotomy menggunakan teknik anestesi umum?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan anestesi yang
tepat dan berkualitas pada Nn.A dengan diagnosis keperawatan yang
sesuai dengan kasus tumor otak falx parasagital.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan pendekatan proses keperawatan terhadap Nn.A
diharapkan mahasiswa dapat :
a. Melakukan pengkajian data.
b. Menentukan diagnosis keperawatan anestesi yang sesuai.
c. Merencanakan suatu tindakan yang komprehensif.
d. Melakukan implementasi keperawatan anestesi sesuai rencana.
e. Mengevaluasi hasil pelaksanaan asuhan keperawatan anestesi.
D. Manfaat
1. Bagi pasien
Memberi edukasi pada pasien dan masyarakat tentang pentingnya
persiapan fisik maupun psikis sebelum dilakukan tindakan anestesi pada
operasi craniotomy dengan teknik anestesi umum.
2
2. Bagi penulis
Mendapatkan pengalaman serta dapat menerapkan apa yang di
dapat dalam perkuliahan.
3. Bagi institusi pendidikan
Sebagai bahan kepustakaan tentang asuhan keperawatan anestesi
pada Nn.A dengan craniotomy.
4. Bagi lahan praktek
Memberikan masukan terhadap tenaga kesehatan untuk
mempertahankan dan menguatkan serta meningkatkan asuhan
keperawatan anestesi secara profesional agar terhindar dari komplikasi
yang mungkin timbul.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi Umum
1. Pengertian Anestesi Umum
General anesthesia atau anestesi umum merupakan tindakan
menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran
(reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena
anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask
(sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan
endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief,
2007).
General anesthesia atau anestesi umum bertujuan untuk
menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar anestesi umum
meliputi hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau
mengantuk/ tenang, analgesia atau tidak merasa sakit, rileksasi otot, yaitu
kelumpuhan otot skelet, dan stabilitas otonom antara saraf simpatis dan
parasimpatis (Pramono, 2015).
4
anestesi inhalasi berupa gas dan/atau cairan yang mudah menguap
melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
1) Open drop method, cara ini dapat digunakan untuk anestesik
yang menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat
anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung
penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
2) Semi open drop method, hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.
Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali
sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya
dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari
minimal volume udara semenit.
3) Semi closed method, udara yang dihisap diberikan bersama
oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian
dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke
udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur
dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas
flow kurang dari 100% kebutuhan.
4) Closed method, cara ini hampir sama seperti semi closed hanya
udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat
CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat
digunakan lagi.
c. Anestesi imbang
Anestesi imbang merupakan teknik anestesi dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena
maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum
5
dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara
optimal dan berimbang, yaitu:
1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat
analgetik opiat atau obat anestesi umum atau dengan cara
regional anestesi.
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat
pelumpuh otot atau anestesi umum atau dengan cara regional
anestesi.
6
juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat
herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang
review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit
atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama
lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,
nadi, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-
paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga
penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila
ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar,
leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk
anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan
abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar,
makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari
Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi
trakeal.
Skoring Mallampati :
7
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum
8
Kelas VI : Pasien dengan kematian batang otak yang organ
tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor
E : Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI
diatas.
c. Persiapan Alat
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain
adalah:
9
atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway).
Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.
T : Tape Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
I : Introduser Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus
plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk
pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S : Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
d. Monitoring
Hal-hal yang perlu dimonitor ketika durante operasi, antara
lain :
1) Tekanan Darah
2) Frekuensi Nadi
3) SpO2
4) Intake dan output cairan
5) Jumlah Perdarahan
e. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca
operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar
atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif
di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat
terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.
Aldrate Scoring System
No Kriteria Skor
10
1 Aktivitas motorik - Mampu menggerakkan ke-4 2
ekstremitas atas perintah atau
secara sadar.
- Mampu menggerakkan 2 1
dari semula
- Tekanan darah berbeda >50% 0
dari semula
4 Kesadaran - Sadar penuh 2
- Bangun jika dipanggil 1
- Tidak ada respon atau belum 0
sadar
5 Warna kulit - Kemerahan atau seperti semula 2
- Pucat 1
- Sianosis 0
11
No Kriteria Skor
1 Kesadaran - Bangun 2
- Respon terhadap stimuli 1
- Tak ada respon 0
jalan nafas
3 Gerakan - Menggerakkan anggota badan dengan 2
tujuan
- Gerakan tanpa maksud 1
- Tidak bergerak 0
12
sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan
otak dan selaputnya dapat berupa tumor primer maupun metastase.
Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri disebut tumor
otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti
kanker paru, payudara, prostate, ginjal, dan lain-lain disebut tumor otak
sekunder. (Mayer. SA,2002).
2. Etiologi
Penyebab dari tumor otak belum dapat diketahui secara pasti faktor
risiko adalah sesuatu yang dapat meningkat kejadian penyakit tersebut.
Menurut (National Cancer Institute 2009, Harsono, 2015 ;Herbert B.
Newton, 2016). Faktor risiko untuk tumor otak :
a. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang
ditemukan kecuali pada Meningioma, Astrocytoma dan
Neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota sekeluarga.
Sklerosis tuberose atau penyakit Struge-Weber yang dapat dianggap
sebagai manisfestasi pertumbuhan baru memperlihatkan faktor
familial yang jelas. Selain jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-
bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas
yang kuat pada neoplasma ( Mehta, 2011).
b. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi
bangunan-bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang
terintegrasi dalam tubuh. Ada kalanya sebagian dari bangunan
embrional tertinggal dalam tubuh menjadi ganas dan merusak
bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi
pada Kraniofaringioma, terutoma intracranial dan kordoma (Keating,
2006).
c. Radiasi
13
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan
dapat mengalami perubahan degenerasi namun belum ada bukti
radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Meningioma pernah
dilaporkan terjadi setelah timbulnya suatu radiasi (Petrovich, et al.,
2006).
d. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil
dan besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran
infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma tetapi hingga saat
ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan
perkembangan tumor pada sistem saraf pusat (Kauffman, 2007).
e. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas
dilakukan. Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik
seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan
percobaan yang dilakukan pada hewan (Stark-Vance, et al., 2011).
3. Patofisiologi
Menurut Price (2006) tumor otak menyebabkan gangguan
neurologik yang disebabkan oleh gangguan neurologis. Gejalagejala
terjadi berurutan. Hal ini menekankan pentingnya anamnesis dalam
pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya sebaiknya dibicarakan dalam suatu
perspektif waktu. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya
disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan
tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada
jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada parenkim otak dengan
kerusakan jaringan neuron.
Tentu saja disfungsi yang paling besar terjadi pada tumor yang
tumbuh paling cepat. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang
ditimbulkan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak.
Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai
14
kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan
gangguan cerebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro
dihubungkan dengan kompresi invasi dan perubahan suplai darah ke
jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan
parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis
fokal. Peningkatan tekanan intra kranial dapat diakibatkan oleh beberapa
faktor : bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya oedema
sekitar tumor dan perubahan sirkulasi cerebrospinal. Pertumbuhan tumor
menyebabkan bertambahnya massa, karena tumor akan mengambil ruang
yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku.
Tumor ganas menimbulkan oedema dalam jaringan otak.
Mekanisme belum seluruhnya dipahami, namun diduga disebabkan
selisih osmotik yang menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan
oedema yang disebabkan kerusakan sawar darah otak, semuanya
menimbulkan kenaikan volume intrakranial. Observasi sirkulasi cairan
serebrospinal dari ventrikel laseral ke ruang sub arakhnoid menimbulkan
hidrocepalus.
Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa, bila
terjadi secara cepat akibat salah satu penyebab yang telah dibicarakan
sebelumnya. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu
berhari-hari/berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan oleh karena itu
tidak berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme
kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah intra
kranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan
mengurangi sel-sel parenkim. Kenaikan tekanan yang tidak diobati
mengakibatkan herniasi ulkus atau serebulum. Herniasi timbul bila girus
medialis lobus temporals bergeser ke inferior melalui insisura tentorial
oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan menensefalon
menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf ketiga. Pada
herniasi serebulum, tonsil sebelum bergeser ke bawah melalui foramen
15
magnum oleh suatu massa posterior. Kompresi medula oblongata dan
henti nafas terjadi dengan cepat. Intrakranial yang cepat adalah
bradicardi progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi dan
gangguan pernafasan).
4. Tanda Gejala
a. Umum
Gejala tumor otak bergantung pada size tumor, jenis tumor dan
lokasi tumor. Ini adalah gejala paling sering pada tumor otak:
(National Cancer Institute, 2015;David A. Greenberg, Roger
P.Simon, 2015)
1) Sakit kepala
2) Pening dan muntah
3) Perubahan mood atau kekurangan konsentrasi
4) Gangguan pemikiran
5) Masalah peringatan
6) Gangguan penglihatan dan pendengaran
7) Gangguan psikiatri
8) Kejang
b. Spesifik
Saat tumor tumbuh akan terjadinya kerusakan dan disfungsi
pada jaringan otak. Dengan cara ini, penghancuran otak besar,
batang otak, dan saraf kranial dapat segera terlihat melalui hilangnya
perubahan bagian ini (National Cancer Institute, 2015 ; J.G Chusid,
1976 ; Christopher C. Giza, 2005).
1) Lobus frontal
a) Menimbulkan gangguan mental, menimbulkan disturbed
mental state yang akan mengakibatkan gangguan
16
peringatan, masalah psikiatri, menimbul gejala perubahan
keperibadian seperti depresi.
b) Kehilangan suara (loss of speech).
c) Menimbulkan gejala anosmia.
2) Lobus pariental
a) Menimbulkan gangguan sensorik dan motorik.
b) Kejang fokal motor atau sensorik, kontralateral hemiparesis,
hyperreflexia, astereognosis.
c) Gangguan persepsi sensorik (impaired sensory perception)
mungkin ada.
3) Lobus temporal
a) Kejang psikomotor dan otomatisme akan terjadi.
b) Jika sisi dominan terlibat akan menyebabkan sensorik
aphsia.
4) Lobus oksipital
a) Perubahan visual dan kejang yang diawali oleh aura
halusinasi cahaya dan visual merupakan ciri khas.
b) Menimbulkan homonymous hemianopia yang kontralateral.
5) Tumor cerebellar
Ditandai dengan keseimbangan gangguan dan koordinasi
dan perkembangan awal peningkatan tekanan intrakranial
papilledema.
6) Tumor di cerevellopontine angle
a) Kehilangan pendengaran
b) Sakit kepala
c) Kurangi respon kornea and nystagmus
d) Facial numbness
5. Manifestasi Klinik
17
Manifestasi Klinis mungkin tidak spesifik yang dapat disebabkan
oleh edema dan peningkatan TIK atau spesifik yang disebabkan oleh
lokasi anatomi tertentu.
a. Perubahan Status Mental
Seperti pada gangguan neurologis atau bedah syaraf,
perubahan tingkat kesadaran atau sensoris dapat ditemukan.
Perubahan status emosional dan mental, seperti letargi dan
mengantuk, kebingungan, disorientasi, serta perubahan kepribadian
dapat ditemukan.
b. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak
yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan
intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh
perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik.
Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri
kepala ipsilateral pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan
terutama pada bagian frontal. Tumor pada fossa posterior
memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.
Sakit kepala dapat terbatas atau keseluruhan. Biasanya
intermiten dengan durasi meningkat dan dapat diperparah dengan
perubahan posisi atau mengejan. Sakit kepala parah dan berulang
pada klien yang sebelumnya bebas sakit kepala atau sakit kepala
berulang dipagi hari yang frekuensi dan keparahannya meningkat
dapat menandakan suatu tumor intrakranial dan membutuhkan
pengkajian lebih lanjut.
c. Mual dan Muntah
Manifestasi klinis mual dan muntah dipercaya terjadi karena
tekanan pada medula, yang terletak pusat muntah. Klien sering
mengeluhkan sakit kepala parah setelah berbaring di ranjang. Saat
18
sakit kepala makin nyeri, klien juga dapat mengalami mual atau
muntah yang spontan. Selama episode muntah biasanya nyeri kepala
akan berkurang.
d. Papiledema
Kompresi pada nervus kranialis kedua, nervus optik, dapat
menyebabkan papiledema. Mekanisme patofisiologis yang
mendasari hal ini masih belum diapahami. Peningkatan tekanan
intracranial mengganggu aliran balik vena dari mata dan menumpuk
darah di vena retina sentralis. Juga dikenal sebagai “Choked disc”,
papilledema umum pada klien dengan tumor intrakranial dan
mungkin merupakan manifestasi awal dari peningkatan tekanan
intrakranial. Papiledema awal tidak menyebabkan perubahan
ketajaman penglihatan dan hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan oftalmologis. Papiledema parah dapat bermanifestasi
sebagai penurunan tajam penglihatan.
e. Kejang
Kejang, fokal atau umum, sering ditemui pada klien dengan
tumor intrakranial, terutama tumor hemisfer serebral. Kejang dapat
parsial atau menyeluruh. Kejang parsial biasanya membantu
membatasi lokasi tumor.
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin (2008) ada beberapa pemeriksaan diagnostik
yang digunakan dalam mengindikasi penyakit tumor otak, diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Computed Tomography (CT) Scan merupakan suatu teknik
diagnostik dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-X untuk
memindai kepala dalam lapisan yang berurutan. Bayangan yang
dihasilkan memberi gambaran potongan melintang dari otak, dengan
membandingkan perbedaan jaringan padat pada tulang kepala,
19
korteks, struktur subkortikal, dan ventrikel. Biasanya tumor otak
dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih
rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan
dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya yang hiperdens.
b. Positron Emmision Tomography (PET)
Positron Emmision Tomography (PET) adalah teknik
pencitraan nuklir berdasarkan komputer yang dapat menghasilkan
bayangan fungsi organ secara aktual. Uji ini digunakan untuk
melihat perubahan metabolik otak, melokasikan lesi seperti adanya
tumor otak. PET digunakan untuk mendiagnosa kelainan
metabolisme pada otak dan mampu mendiagnosa penyakit
Alzheimer serta penyebab lain dari demensia.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pemeriksaan yang sangat sensitif dalam
mendeteksi tumor seperti adenoma hipofisis dan neuroma akustik.
MRI menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit
otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari
sindrom atau gejala-gejala tumor.Pada keadaan tumor otak ini akan
nampak warna yang kontras dengan warna organ normal dan terjadi
penebalan jaringan otak.
d. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktifitas umum eletrik di
otak.. Tumor, abses, jaringan parut, bekuan darah, dan infeksi dapat
menyebabkan aktifitas listrik berbeda dari pola normal irama dan
kecepatan. Pemeriksaan ini pada tumor otak berfungsi untuk
mengevaluasi lobus temporal pada saat kejang.
e. MR-Spectroscopy
MR-Spectroscopy (MRS) mampu membedakan berbagai lesi pada
neoplasma atau nonneoplasma. Pada abses biasanya menunjukkan
hipoperfusi sedangkan pada glioma menunjukkan hiperperfusi
(Fatterpekar et al, 2001).
20
f. Angiografi Serebral
Menegaskan adanya tumor. Memberikan gambaran pembuluh
darah serebral dan letak tumor serebral. Pada tumor otak ini
pembuluh darah pada siklus Willis di cabang arteri otak yang kecil
akan mengalami pembesaran masa pembuluh darah saat dilakukan
pemeriksaan ini.
g. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
Menunjukan peningkatan cairan serebrospinal (CSS), yang
mencerminkan TIK, peningkatan kadar protein, penurunan kadar
glukosa, dan terkadang sel-sel tumor pada CSS. Dilakukan untuk
melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker tumor. Tetapi
pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan
massa di otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan
melalui pemeriksaan patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk
membedakan tumor dengan proses-proses infeksi (abses cerebri).
7. Penatalaksanaan Medis
Langkah pertama pada pengobatan tumor otak ialah pemberian
kortikostreoid yang bertujuan untuk memberantas edema otak. Pengaruh
kortikostreoid terutama dapat dilihat pada keadaan-keadaan seperti nyeri
kepala yang hebat, deficit motorik, afasia dan kesadaran yang menurun.
Beberapa hipotesis yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan
reasorbsi cairan serta memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Jenis
kortikostreoid yang dipilih yaitu glukokortikoid; yang paling banyak
dipakai ialah deksametason, selain itu dapat diberikan prednisone atau
prednisolon. Dosis deksametason biasa diberikan 4-20 mg intravena
setiap 6 jam untuk mengatasi edema vasogenik (akibat tumor) yang
menyebabkan tekanan tinggi intracranial (Greenberg et al., 1999). Selain
itu terapi suportif yang dapat dilakukan yaitu IVFD RL XX tetes/menit
(makro), ceftriaxon vial 1 gram/12 jam, ranitidine ampul 1 gram/12 jam,
dexamethason 1 ampul/6 jam.
21
Untuk tumor otak metode utama yang digunakan dalam
penatalaksaannya, yaitu :
a. Pembedahan
Tumor jinak sering kali dapat ditangani dengan eksisi komplet
dan pembedahan merupakan tindakan yang berpotensi kuratif, untuk
tumor primer maligna, atau sekunder biasanya sulit disembuhkan.
Pembedahan tumor biasanya harus melalui diagnosis yang histologis
terlebih dahulu.
b. Terapi Medikamentosa
1) Antikonvulsan untuk epilepsy
2) Kortikosteroid (dekstrametason) untuk peningkatan tekanan
intrakranial. Steroid juga dapat memperbaiki defisit neurologis
fokal sementara dengan mengobati edema otak
3) Kemoterapi diindikasikan pada beberapa kasus glioma, sebagai
ajuvan pembedahan dan radioterapi dengan pengawasan unit
spesialistik neuro onkologi.
c. Terapi Radiasi
Radioterapi konvensional menghantarkan radiasi
menggunakan akselerator linier. Dosis standar untuk tumor otak
primer kurang lebih 6.000 Gy yang diberikan lima kali seminggu
selama 6 minggu. Untuk klien dengan tumor metastasis, dosis
standar radiasi kurang lebih 3.000 Gy. Dosis pasti akan bergantung
pada karakteristik tumor, volume jaringan yang harus diradiasi
biasanya diberikan dalam periode yang lebih pendek untuk
melindungi jaringan normal di sekitarnya. Bentuk lain dari terapi
radiasi, walaupun tidak dianggap konvensional dan belum tersedia
luas, adalah terapi radiasi partikel berat, radioterapi neutron cepat,
terapi fotodinamik, dan terapi tangkapan neutron boron. Walaupun
penggunaannya luas, terapi radiasi bukan tanpa konsekuensi.
22
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Doenges (2012), wawancara untuk mendapatkan riwayat kesehatan
dengan cermat khususnya mengenai:
a. Keluhan utama pasien adanyah nyeri kepala, pusing, berkunang-
kunang.
b. Riwayat penyakit sekarang, yang menyebabkan pasien memerlukan
tindakan pembedahan.
c. Riwayat kesehatan masa lalu yang dapat memengaruhi masalah
kesehatan pasien sekarang.
d. Status gizi/diet, kebiasaan makan pasien. Berat badan sebagai
indikator untuk menentukan pemberian dosis obat anestesi yang
akan digunakan.
e. Kebiasaan eliminasi
f. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan fisik terkait keadaan umum pasien tampak sakit
ringan/sedang/berat.
2) Sirkulasi: takikardia/bradikardi
3) respirasi: normal/dispnea/takipnea
g. Aktivitas/istirahat: malaise/fatigue
h. Eliminasi: dengan bantuan alat misal terpasang dower kateter atau
mandiri.
i. Data psikologis klien nampak gelisah/tegang/merintih/menangis.
j. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
23
2) Risiko jatuh b.d agen farmokologi (obat anestesi).
3) Risiko hipotermia b.d suhu lingkungan rendah
4) Bersihan jalan nafas tidak efektif bd efek agen farmakologis
5)
24
3. Rencana Keperawatan
Edukasi:
1. Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami
(rencana operasi dan anestesi).
2. Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis, pengobatan,
dan prognosis.
25
Kolaborasi:
1. Pemberian obat antiansietas, jika
perlu.
(Halaman 387)
Post-Anestesi
Nyeri akut b.d agen injuri fisik (luka insisi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 5 Manajemen Nyeri
post-operasi) menit diharapkan nyeri akut berkurang,
dengan kriteria hasil: Observasi:
(Halaman 172) 1. Identifiksi lokasi, karakteristik, durasi,
1. Kemampuan menggunakan teknik non- frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
farmakologis meningkat dari skala 2 ke 2. Identifikasi skala nyeri.
skala 4. 3. Monitor terapi komplementer yang
2. Meringis menurun dari skala 3 ke skala sudah diberikan.
4.
3. Keluhan nyeri menurun dari skala 2 ke Terapeutik:
skala 4. 1. Berikan teknik non-farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (nafas dalam).
(Halaman 58 dan 145)
Edukasi:
1. Ajarkan teknik non-farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (nafas
dalam).
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu.
(Halaman 201)
26
Risiko jatuh b.d agen farmakologi (obat Setelah dilakukan asuhan keperawatan 5 Pencegahan jatuh
anestesi) menit diharapkan risiko jatuh tertangani,
dengan kriteria hasil: Observasi:
(Halaman 306) 1. Identifikasi faktor resiko jatuh
1. Jatuh dari tempat tidur tertangani (pengaruh obat anestesi).
dengan peningkatan skala 2 ke skala 5. 2. Identifikasi faktor lingkungan yang
2. Jatuh saat dipindahkan tertangani meningkatkan risiko jatuh.
dengan peningkatan skala 2 ke skala 5. 3. Hitung risiko jatuh menggunakan skala
(Fall Morse Scale, Humpty Dumpty
(Halaman 140) Scale), jika perlu.
Terapeutik:
1. Pastikan roda tempat tidur dan kursi
roda dalam kondisi terkunci.
2. Pasang handrail tempat tidur.
3. Atur tempat tidur mekanis pada posisi
terendah.
(Halaman 279)
Risiko hipotermia b.d suhu lingkungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 5 Manajemen hipotermia
rendah menit diharapkan risiko hipotermia
tertangani, dengan kriteria hasil: Observasi:
(Halaman 302) 1. Identifikasi penyebab hipotermia
1. Saturasi oksigen membaik dengan (terpapar sushu lingkungan rendah,
kenaikan skala 2 ke skala 4. pakaian tipis, kerusakan hipotalamus,
2. Wajah pucat pasien membaik dengan penurunan laju metabolisme,
kenaikan skala 2 ke skala 4. kekurangan lemak subkutan).
3. Akral dingin membaik dengan 2. Monitor tanda dan gejala hipotermia
27
kenaikan skala 2 ke skala 3. (hipotermia ringan; takipnea, disartria,
4. Tekanan darah sistolik dan diastolik menggigil, hipertensi, diuresis;
membaik dengan kenaikan skala 2 ke hipotermia sedang: sritmia, hipotensi,
skala 3. apatis, koagulopati, refleks menurun;
5. Tekanan nadi membaik dengan hipotermia berat: oliguria, reflesks
kenaikan skala 2 ke skala 3. menghilang, edema paru, asam-basa
abnormal).
(Halaman 127)
Terapeutik:
1. Sediakan lingkungan hangat (atus suhu
ruangan).
2. Lakukan penghangatan pasif (selimut,
menutup kepala, pakaian tebal).
Edukasi:
1. Anjurkan makan/minum hangat.
(halaman 183)
Bersihan jalan nafas tidak efektif bd efek Setelah dilakukan asuhan keperawatan 5 Manajemen Jalan Napas
agen farmakologis menit diharapkan risiko jatuh tertangani,
dengan kriteria hasil: Observasi:
(Halaman 18) 1. Monitor pola napas (frekuensi,
1. Produksi sputum tertangani dengan kedalaman, dan usaha napas).
peningkatan skala 3 ke skala 5. 2. Monitor bunyi napas tambahan
2. Frekuensi nafas membaik dengan (gurgling, wheezing, meengi, tonki
dengan peningkatan skala 2 ke skala 4. kering)
3. Pola napas membaik dengan
peningkatan skala 2 ke 4. Terapeutik:
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
28
(Halaman 140) dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma servikal).
2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik.
4. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi:
1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,
jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif.
(Halaman 186)
29
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
Hari/Tanggal : Senin, 15 Mei 2023
Jam : 07.45 WIB
Tempat : IBS RSUD Cibinong
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan
studi kasus
Sumber data : Pasien dan cacatan rekam medis pasien
Oleh : Dimas Febriyan
Rencana Tindakan : Craniotomy
1. Identitas Pasien
Nama : Nn.A
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Cikaret, RT 01/VIII Cibinong
No. RM : 62-71-xx
Dx. Pre operasi : Tumor Cerebri Falx Parasagital
Tindakan operasi : Craniotomy
Tanggal operasi : 15 Mei 2023
Dokter bedah : dr. Andry Sinurat, Sp.BS
Dokter anestesi : dr. Puja Laksana Maqbul, Sp.An
2. Identitas Penanggungjawab
Nama : Tn.A
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Buruh
30
Hubungan : Ayah
3. Anamnesa
a. Keluhan Utama
Selama 2 minggu terakhir pasien mengeluhkan pandangan
kabur, pendengaran terganggu, tidak dapat mendegar dengan jelas,
dan pusing
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Nn.A periksa ke poli mata karena merasakan pandangan kabur
pada tanggal 04 Mei 2023 dan menjalani rawat inap di bangsal
Wijaya Kusuma dari hasil pemeriksaan klinis awal diagnose pasien
multiple sclerosis DD/neuritis optic dan hasil CT Scan didapatkan
massa solid pada region frontal kiri dan dikonsultasikan ke bedah
saraf didapatkan hasil diagnose awal tumor otak falx parasagittal dan
dijadwalkan operasi pada tanggal 15 Mei 2023.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Nn.A mengatakan belum pernah masuk rumah sakit ataupun
memiliki riwayat penyakit tertentu seperti hipertensi, asma, dan DM
serta tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat, makanan, dan
minuman.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga Nn.A tidak memiliki riwayat penyakit jantung,
hipertensi, DM, asma, ataupun riwayat penyakit menular lainnya.
e. Alasan Masuk Rumah Sakit
Penglihatan kabur, pendengaran berkurang dan pusing
4. Status Gizi
a. BB : 48kg
b. TB : 155cm
c. IMT : 20
31
5. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran Umum dan Tanda-Tanda Vital
1) Kesadaran : Composmentis
2) GCS : E4M6V5 (15)
3) TD : 110/70 mmHg
4) Nadi : 70x/menit
5) SpO2 : 99%
6) RR : 20x/menit
7) Suhu : 36,5°C
b. Status Generalis
1) Kepala
Inspeksi : bentuk kepala tidak mecocepal
Palpasi : terdapat nyeri tekan
(tidak normal)
2) Mata
Mata mendekati simetris, conjungktiva tidak anemis, pupil
simetris dan isokor
(normal)
3) Hidung
Tidak ada kotoran, tidak ada pembesaran polip, tidak ada
pernafasan cuping hidung
(normal)
4) Mulut
Bentuk mendekati simetris, gigi utuh dan bersih, tidak ada
pembengkakan pada gusi, skor mallampati 1
(normal)
5) Telinga
Tidak ada kotoran, simteris
(normal)
32
6) Leher
Bentuk leher simetris, tidak ada tonjolan pada limfe, tidak ada
nyeri tekan
(normal/tidak normal)
7) Thoraks
Pulmo
Inspeksi : irama napas teratur, tidak terdapat retraksi dinding
dada
Palpasi : taktil fremitus raba kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor, tidak ada mur-mur
Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar suara
tambahan whezing, ronchi, maupun cracles
Jantung
Inspeksi : tampak ada pulsasi
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada
suara mur- mur
6. Genetalia
Pasien tampak terpasang dower cateter
7. Ekstremitas
a. Atas : kemampuan pergerakan sendi bebas, kekuatan otot
normal, tidak ada edema, terpasang infus RL 20 tpm di
manus dextra
b. Bawah : kemampuan pergerakan sendi bebas, kekuatan otot
normal, tidak ada edema
33
8. Pemeriksaan Psikologis
Pasien mengatakan takut dan cemas saat tau akan dilakukan operasi
karena pernah operasi sebelumnya
9. Pemeliharaan Cairan
a. Kebutuhan cairan basal (M) = 2 x kgBB
= 2 cc x 48 kg
= 96 cc
b. Pengganti puasa (PP) = 2cc x jam puasa x bb
= 2 cc x 8 jam x 48 kg
= 768 cc
c. Stress Operasi = Jenis operasi (b/s/k) x BB
= 8 cc x 48 kg
= 384 cc
Op besar (8cc)
Op sedang (6cc)
Op kecil (4cc)
d. Kebutuhan Cairan
1) Jam I = M + ½ PP + SO
= 96 cc + 384 cc + 384 cc
= 864 cc
2) Jam II = M + ¼ PP + SO
= 96 cc + 192 cc + 384 cc
= 672 cc
3) Jam III = M + ¼ PP + SO
= 96 cc + 192 cc + 384 cc
= 672 cc
4) Jam IV = M + SO
= 96 cc + 384cc
= 450cc
34
10. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tanggal pemeriksaan : 04 Mei 2023
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN METODE
NORMAL
HEMATOLOGI EDTA (B)
HEMA LENGKAP (WB EDTA) Analyser
Lekosit 8.82 10^3 IU/mL 3.8 – 10.6 Focused flow
impedance
Eritrosit 4.93 10^6/uL 4.4 – 5.9 Focused flow
impadance
Hemoglobin L 9.70 g/dL 13.2 – 17.3 Cyanide free
haemoglobin
spe
Hematokrit L 33.30 % 35 – 47 Focused flow
impadance
MCV L 67.50 fL 80 – 100
MCH L 19.70 pg 26 – 34
MCHC L 29.10 g/dL 32 – 36
Trombosit H 456 10^3 IU/mL 150 – 440
RDW H 19.70 % 11.5 – 14.5
MPV 10.8
PLCR 33.2
Diff Count
- Eosinofil absolute L 0.03 10^3 IU/mL 0.045 – 0.44
- Basofil absolute 0.04 10^3 IU/Ml 0 – 0.2
- Netrofil absolute 5.35 10^3 IU/mL 1.8 – 8
- Limfosit absolute 2.83 10^3 IU/mL 0.9 – 5.2
- Monosit absolute 0.56 10^3 IU/mL 0.16 – 1
- Eosinofil L 0.30 % 2–4
- Basofil 0.50 % 0–1
- Neutrofil 60.70 % 50 – 70
- Limfosit 32.20 % 25 – 40
- Monosit 6.30 % 2–8
- Netrofil limfosit ratio 1.89 % < 3.13
KIMIA KLINIK (SERUM) B
Glukosa sewaktu H 146 mg/dL < 125 Heksoki-nase
Ureum 24.0 mg/dL 10.0 – 50.0 Enzimatik UV
Creatinin 0.61 mg/dL 0.60 – 0.90 Enzimatik
Kalium L 3.35 mmol/L 3.5 – 5.0 ISE
Natrium 137.1 mmol/L 135 – 145 ISE
Chlorida 101.2
COAGULASI (CITRAS) B
PPT 11.1 Detik
APTT (PSL) 32.60 Detik
SERO-IMUN (SERUM) B
ANTIGEN SAR-COV-2 Negatif NEGATIF RAPID
35
b. CT Scan
Tanggal pemeriksaan : 04 Mei 2023
Kesan
Massa solid dengan klasifikasi dan area nectrotic pada region
frontal kiri yang tampak menempel pada falx disertai periforal
edema dan peningkatan tekanan intra jranial
c. Rontgen thorax
Tanggal pemeriksaan : 04 Mei 2023
Kesan
1) Cor bentuk dan letak normal
2) Pulmo dalam batas normal
d. EKG
Tanggal pemeriksaan : 04 Mei 2023
Kesan
Normal sinus rhytm
36
f. Mengklarifikasi riwayat penyakit (asma, DM, Hipertensi), alergi,
konsumsi obat.
3. Persiapan Obat
a. Obat induksi
Propofol 200 mg x 1 vial
Fentanyl 100 mcg x 5 ampul
b. Pelumpuh otot
Rocuronium 50 mg x 5 ampul
c. Obat analgetik
Ketorolac 30 mg
Tramadol 100 mg
Infus paracetamol 1 gr
d. Obat anti emetik
37
Ondansentron 4 mg
e. Obat koagulan
Tranexamic Acid 500 mg x 4 ampul
f. Obat vassopresor
Efedrin 50 mg
g. Phytomenadione 10 mg
h. Ascorbic acid 100 mg
i. Dexametason 5 mg x 2 ampul
j. Revers
Neostigmin 0,5 mg
Sulfat atrophin 0,25 mg
k. Lidocain 40 mg
4. Persiapan Cairan
a. Ringerfudin
b. HES 6%
c. NaCl 0,9%
5. Persiapan Darah
a. PRC
b. WB
c. FFP
6. Pelaksanaan Anestesi
a. Pasien tiba di ruang persiapan pukul 07.45 WIB.
b. Serah terima pasien perawat bangsal dengan petugas IBS
(memeriksa status pasien, informed concent, dan obat-obatan yang
telah diberikan).
c. Memindahkan pasien ke brankar IBS.
d. Memeriksa ulang identitas pasien, menanyakan riwayat penyakit,
alergi, serta obat-obatan yang sedang dikonsumsi.
38
e. Memeriksa kelancaran infuse pasien.
f. Mempersiapkan alat dan obat-obatan anestesi yang akan digunakan
beserta obat emergency.
g. Anestesi dimulai pada pukul 08.00 WIB dan operasi mulai pada
pukul 09.15 WIB.
h. Memantau keadaan dan tanda-tanda vital pasien selama operasi
berlangsung.
i. Operasi selesai pada pukul 19.50 WIB dan anestesi selesai pada
pukul 20.00 WIB.
j. Pasien ditransfer ke ICU pada pukul 20.00 WIB
C. Pengkajian Intra-Anestesi
1. Anestesi Mulai : 08.00 WIB
2. Anestesi Selesai : 20.00 WIB
3. Operasi Mulai : 09.15 WIB
4. Operasi Selesai : 19.50 WIB
5. Gas : Air 40%, O2 60% , Sevofluran 1,5%
6. Syringe Pump : Rocuronium 300mg/60cc (5cc/jam)
Fentanyl 400mcg/40cc (3cc/jam)
7. Cairan Masuk : Ringerfudin 4500cc (9 flabot)
NaCl 0,9% 2000cc (4 flabot)
HES 6% 1000cc (2 flabot)
Manitol 200cc
8. Darah Masuk : PRC 800cc (4 kolf)
WB 700cc (2 kolf)
FFP 530cc (3 kolf)
9. Jumlah Perdarahan : ± 5000cc
10. Jumlah urine : ± 5000cc
11. Balance cairan : intake – output
: 14.600cc – 10.000cc
: +4.600cc
39
Tabel Monitor Intra-Anestesi
40
13.45 102/75 mmHg 90 x/mnt 99 %
14.00 119/75 mmHg 90 x/mnt 100 %
14.15 110/73 mmHg 99 x/mnt 100 %
14.30 105/75 mmHg 101 x/mnt 100 %
14.45 102/75 mmHg 110 x/mnt 100 %
15.00 110/73 mmHg 99 x/mnt 100 %
15.15 115/80 mmHg 95 x/mnt 100 %
15.30 102/75 mmHg 100 x/mnt 100 %
15.45 119/75 mmHg 99 x/mnt 100 %
16.00 115/80 mmHg 95 x/mnt 100 %
16.15 100/70 mmHg 101 x/mnt 99 %
16.30 119/75 mmHg 90 x/mnt 100 %
16.45 105/75 mmHg 99 x/mnt 100 %
17.00 102/75 mmHg 95 x/mnt 99 % Injeksi as.
Tranexamid 1000mg
17.15 100/70 mmHg 90 x/mnt 100 %
17.30 102/75 mmHg 95 x/mnt 99 %
17.45 115/80 mmHg 100 x/mnt 100 %
18.00 100/70 mmHg 95 x/mnt
18.15 115/80 mmHg 100 x/mnt 100 %
18.30 100/70 mmHg 90 x/mnt 100 % Injeksi kalsium
glukonat 6,7mg
18.45 102/75 mmHg 95 x/mnt 99 % Injeksi furosemide
40mg
19.00 110/73 mmHg 100 x/mnt 100 %
19.15 100/70 mmHg 90 x/mnt 100 %
19.30 110/73 mmHg 101 x/mnt 99 %
19.45 102/75 mmHg 100 x/mnt 100 % Operasi Selesai
20.00 100/70 mmHg 90 x/mnt 100 % Anestesi selesai.
Pasien dipindahkan
ke ICU dalam
keadaan terintubasi
41
Program analgetik fentanyl 0,5mcg/kgBB/jam dan
paracetamol 1gr/8 jam. Program obat-obatan
midazolam 2,5 mg/jam dan ranitidin 50mg/12 jam.
E. Analisis Data
42
F. Diagnose Keperawatan Dan Prioritas Masalah
1. Pre-Anestesi
a. Ansietas b.d akan dilaksanakan operasi
2. Intra-Anestesi
a. Perdarahan b.d tindakan pembedahan
3. Post-Anestesi
a. Risiko jatuh b.d agen farmokologi (obat anestesi).
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd efek agen farmakologis
43
G. Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi
44
Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi
Keperawatan
pasien cairan pasien HR 98x/mnt, RR
a. Tanda-tanda vital c. Pemberian c. Memberikan 14x/mnt
pasien stabil tranecamid acid, tranexamid acid - Loading cairan
b. Kebutuhan cairan transfusi darah, 2000mg secara ringerfudin
perioperatif terpenuhi terapin cairan bertahap, transfusi A : Risiko perdarahan
ringerfudin sesuai darah PRC 4 kolf, teratasi sebagian
dengan instruksi WB 2 kolf, FFP 3 P : monitoring ttv pasien
dokter kolf secara kaji balance cairan
bertahap, terpai pasien
cairan ringerfudin
9 kolf secara
bertahap sesuai
dengan instruksi
dokter
(Dimas) (Dimas)
(Dimas)
Post-Anestesi
Bershan jalan nafas Senin 15 Mei Senin 15 Mei Senin 15 Mei 2023 Senin 15 Mei 2023
tidak efektid b.d. 2023 2023
Efek obat anestesi a. Mengkaji tanda- S :-
Setelah dilakukan a. Kaji tanda-tanda vital tanda vital (TD, O:
tindakan keperawatan, (TD, HR, RR, SpO2) HR, RR, SpO2) - Pasien dalam
bersihan jalan nafas dapat b. Kaji adanya gurgling b. Mengkaji adanya keadaan terintubasi
teratasi dengan kriteria a. Berikan posisi gurgling - TD 125/90 mmHg,
hasil: nyaman pada pasien c. Memberikan posisi HR 89 x/mnt, SpO2
b. Lakukan suction jika yang nyaman 99%
45
Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi
Keperawatan
a. Tidak ada suara terdengar gurgling dengan A : Bersihan jalan nafas
gurgling mengekstensikan teratasi sebagian
b. TTV pasien stabil kepala pasien P : monitoring ttv dan
d. Melakukan suara nafas pasien
suction
(Dimas) (Dimas)
(Dimas)
Risiko Jatuh b.d Senin 15 Mei 2023 Senin 15 Mei 2023 Senin 15 Mei 2023 Senin 15 Mei 2023
Pengaruh Obat
Anestesi Setelah dilakukan tindakan a. Pastikan roda tempat a. Memastikan roda S:-
keperawatan, risiko jatuh tidur pasien terkunci tempat tidur pasien O:
teratasi dengan kriteria b. Pastikan pengaman terkunci - Pasien tidak jatuh
hasil: tempat tidur b. Memastikan - Pasien tidak
terpasang pengaman tempat mengalami cidera
a. Pasien tidak jatuh dari c. Monitor keadaan dan tidur terpasang - Morse Fall Score
tempat tidur TTV pasien c. Memonitor keadaan Risiko tinggi
b. Pasien tidak mengalami d. Tunggu pasien di dan TTV pasien - TD 110/80 mmHg,
cidera ruang pemulihan d. Menunggu pasien di HR 89x/mnt, SpO2
ruang pemulihan 99%
A : Risiko jatuh teratasi
P : Hentikan intervensi
(Dimas) (Dimas) (Dimas)
46
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan Anestesi pads Nn.A didapatkan
masalah keperawatan yang muncul dengan evaluasi, antara lain :
1. Pre-Anestesi
a. Ansietas b.d rencana tindakan operasi teratasi.
2. Intra-Anestesi
a. Perdarahan b.d tindakan pembedahan teratasi sebagian.
3. Post-Anestesi
a. Risiko jatuh b.d agen farmokologi (obat anestesi) teratasi.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd efek agen farmakologis teratasi
sebagian.
B. Saran
Penulis tentunya menyadari jika makalah asuhan keperawatan
perianestesi diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para
pembaca. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat membantu dalam
proses belajar dan bermanfaat bagi para pembaca.
47
DAFTAR PUSTAKA
Mangku, G & Senapathi, I.G.A. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi Reanimasi.
Jakarta: Indeks.
Omoigui, Sota. 2016. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia Edisi 4. Jakarta: EGC
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kritria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.
Latief, A.S. 2007. Petunjuk Praktis Anesthesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian
Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
48