Anda di halaman 1dari 55

1

Referat I

PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE DALAM


MENDETEKSI LESI PRAKANKER SERVIKS

Penyaji
dr. Nicky Cahyani Hasyimzoem

Moderator
dr. Irawan Sastradinata, Sp.O.G, Subsp. Onk, S.H, MARS

Pembimbing
Dr. dr. Patiyus Agustiansyah, Sp.O.G, Subsp.Onk, MARS

Penilai
Prof. dr. Syakroni Daud Rusydi, Sp.O.G, Subsp.Obginsos
dr. M. Hatta Ansyori, Sp.O.G, Subsp.K.Fm
Dr. dr. Heriyadi Manan, Sp.O.G, Subsp. F.E.R, MARS
dr. Rizal Sanif, Sp.O.G, Subsp.Onk, MARS, PhD
Dr. dr. Hartati, Sp.O.G, Subsp.Obginsos, M.Kes

Pembahas
dr. Kms. M. Afif Rahman
dr. Abdillah Husada
dr. Gilang Amanda Hambali

BAGIAN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2022
Dipresentasikan pada hari , Januari 2023 pukul 13.00 WIB
ii

LEMBAR PENGESAHAN

PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELEGENCE DALAM


MENDETEKSI LESI PRAKANKER SERVIKS
Dipresentasikan pada hari , Januari 2023 pukul 13.00 WIB

Pembimbing Penyaji

Dr. dr. Patiyus Agustiansyah, Sp.O.G, Subsp. Onk, MARS dr. Nicky C Hasyimzoem

BAGIAN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
DAFTAR TABEL...................................................................................................
DAFTAR GAMBAR................................................................................................
DAFTAR ISTILAH................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
BAB III RINGKASAN..........................................................................................
RUJUKAN.............................................................................................................

iii
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perjalanan alamiah NIS berkaitan dengan derajat lesi............................ 22


Tabel 2.2. Klasifikasi lesi prakanker serviks uteri................................................... 22
Tabel 2.3. Perbandingan akurasi model otomatisasi dengan metode konvensional
pemeriksaan IVA..................................................................................... 29
Tabel 2.4. Beberapa penelitian analisis digital gambar kolposkopi.......................... 35
Tabel 2.5. Beberapa penelitian analisis digital gambar servikogram……................ 36
Tabel 2.6. Performa Model Mask-RCNN ………………………………………............. 38
Tabel 2.7. Hasil Performa Model OTIVA dengan ahli onkogin ………..………............. 40
Tabel 2.8. Hasil uji kesesuaian otomatisasi IVA – konsultan onkogin……….…............. 42

iv
v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Organ reproduksi perempuan............................................................. 4


Gambar 2.2. Squamocolumnar junction (SCJ) ...................................................... 5
Gambar 2.3. Ilustrasi SCJ pada periode prepubertas.............................................. 5
Gambar 2.4. Squamocolumnar junction setelah eversi epitel kolumnar................ 6
Gambar 2.5. Ektropion dengan squamocolumnar junction……............................ 6
Gambar 2.6. Metaplasia inkomplit pada epitel kolumnar ektoserviks…………... 7
Gambar 2.7. Perkembangan epitel metaplastik skuamosa …………………….... 8
Gambar 2.8. Gambaran skematis dari zona transformasi………………............... 10
Gambar 2.9. Pengaruh infeksi HPV onkogenik pada epitel skuamosa.................. 11
Gambar 2.10. Teori Herf’s menjelaskan patogenesis HVP penyebab lesi AW .... 12
Gambar 2.11. Klasifikasi HPV berdasarkan tingkat keganasan………................. 17
Gambar 2.12. Perjalanan alami infeksi HPV dan faktor risiko ………................. 18
Gambar 2.13. Pendekatan deep learning pada CNN ………................................. 29
Gambar 2.14. Komputasi peta fitur pada convolutional layer……….................... 31
Gambar 2.15. Model otomatisasi IVA untuk Segmentasi SSK dan lesi AW......... 32
Gambar 2.16. Anatomi area serviks, regio sel epitel kolumner, regio sel epitel
skuamous dan regio bercak putih dan pembuluh darah abnormal ........................ 33
Gambar 2.17. Contoh groundtruth servikogram ………........................................ 35
Gambar 2.18. Contoh hasil anotasi servikogram oleh Onkolog-ginekologi .......... 37
Gambar 2.19. Ilustrasi kemampuan model............................................................. 39
Gambar 2.20. Hasil loss training dan validasi pada learning Backbone ResNet 50........ 40
Gambar 2.21. Kurva ROC Model OTIVA……………………………………........... 40

v
vi

DAFTAR SINGKATAN

AI Artificial Intelligence
ACOG American College of Obstetricians and Gynecologist
ANN Artificial Neural Network
ASCCP American Society for Colposcopy and Cervical Pathology
ASCH Atypical Squamo Cannot Exclude HSIL
ASCUS Atypical Squamo Cell Of Undetermine Significance
AW Aceto White
CIN Cervical Intraepithelial Neoplasia
HIV Human Immunodeficiency Virus
HOGI Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia
HPV Human Papilloma Virus
HSIL Highgrade Squamous intraepithelial lesion
IARC International Agency Research for Cancer
LEEP Large Excision Electrocauter Procedure
LLETZ Large Loop Excision Transformation Zone
LSIL Lowgrade Squamo intraepithelial lesion
NCI National Cancer Institute
NIH National Institute of Health
NK Natural Killer cell
PCR Polymerase Chain Reaction
p53 Protein 53
SCJ Squamo Collumnar Junction
SSK Sambungan Skuamo Kolumner
TNF Tumor Necrosis Factor
TZ Transformation Zone
VIA Visual Inspection Acetic Acid
VILI Visual Inspection Lugol Iodine
WHO World Health Organization

vi
1

BAB I
PENDAHULUAN

Kanker serviks menduduki urutan keempat kanker tertinggi pada perempuan dari segi
insiden dengan angka mortalitas yang tinggi. Kanker ini lebih banyak ditemukan pada
perempuan di negara berkembang. Hampir 90% kematian karena kanker serviks
terjadi pada populasi masyarakat dengan ekonomi lemah, dimana akses deteksi dini
dan pencegahan kanker serviks sangat terbatas.1-3
Kanker serviks di Indonesia pada tahun 2018 menduduki urutan kedua pada
perempuan di Indonesia dengan angka kejadian sebesar 348.809 kasus dan angka
kematian hampir 60% dari angka kejadiannya yaitu sebanyak 207.210 kematian. 4
Berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Mohammad Hoesin
Palembang, penderita kanker serviks yang berobat ke klinik onkologi ginekologi
sepanjang tahun 2021 sejumlah 1282 orang.1,4 Sebagian besar penderita kanker serviks
terdiagnosis setelah berada pada stadium lanjut (70% kasus).5,6
Tingginya angka kejadian kanker serviks di negara berkembang dikarenakan belum
berjalannya sistem deteksi dini lesi prakanker serviks berbasis populasi secara
menyeluruh.6–8 WHO dengan strategi globalnya dalam rangka menurunkan angka
kejadian dan kematian kanker serviks mempunyai visi yang bertumpu pada 3 pilar
utama :
1. Pencegahan primer melalui vaksinasi.
2. Skrining dan pengobatan lesi prakanker.
3. Pengobatan dan perawatan paliatif untuk kanker serviks invasif.7,8
Berdasarkan tiga pilar tersebut, WHO merekomendasikan target yang harus
dipenuhi pada setiap negara di tahun 2030, yaitu 90-70-90, dengan rincian sebagai
berikut :
1. 90% anak perempuan divaksinasi penuh dengan vaksin HPV pada usia 15 tahun.
2

2. 70% perempuan diskrining IVA pada usia 35 tahun dan sekali lagi pada usia 45
tahun, cakupan skrining IVA di Indoenesia baru mencapai 7,3%.
3. 90% perempuan yang diidentifikasi dengan penyakit serviks menerima perawatan
(90% perempuan dengan lesi prakanker
1 dan 90% perempuan dengan kanker invasif
dikelola).9-10
Di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia menganjurkan program
nasional pencegahan kanker serviks dengan skrining lesi prakanker serviks yaitu
“screen and treat” melalui metode pemeriksaan IVA karena metode tersebut mudah,
murah, dan bisa dilakukan secara massal. Akurasi pemeriksaan IVA memerlukan
keahlian, pelatihan diperlukan untuk dapat membedakan lesi prakanker serviks (IVA
positif) dan yang bukan (IVA negatif). 9 Angka sensitivitas IVA berkisar antara 49-
98% dan angka spesifisitasnya 75-91%.10
Evaluasi dan interpretasi gambar hasil pemeriksaan IVA memiliki variabilitas
interobserver yang tinggi, yang merupakan rintangan utama selama praktik klinis.
Subjektivitas dalam evaluasi gambar dapat diatasi melalui analisis gambar digital
otomatis/artificial intelegence (AI) berbantu komputer. Sistem otomatis AI memiliki
potensi untuk memungkinkan dokter, tenaga medis, dan paramedis lainnya yang
kurang berpengalaman untuk memberikan evaluasi yang setara dengan para ahli.
Gambar servikogram yang diperoleh selama prosedur IVA dianalisis dengan
menggunakan algoritma komputer pemroses gambar.11-13
Para ahli mencoba mengembangkan berbagai metode algoritma AI dalam
mendeteksi lesi pra kanker serviks, mulai dari metode machine learning tradisional
sampai metode deep learning yang memiliki kemampuan menganalisis gambar,
seperti mengklasifikasikan gambar, segmentasi gambar, deteksi objek, dan registrasi
gambar. Servikogram yang digabungkan dengan interpretasi AI berbantu komputer
dapat berguna dalam praktik klinis, penting untuk mengembangkan lebih lanjut
metode yang dapat meningkatkan spesifisitas di atas 90 % dan sensitivitas setinggi
mungkin.14-17 Oleh karena itu penulis membuat tinjauan pustaka yang mengkaji peran
3

AI dalam meningkatkan akurasi pemeriksaan sehingga dapat membantu deteksi dini


dan penatalaksanaan lesi prakanker serviks dengan lebih optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Serviks yang Mempunyai Peranan pada Penapisan Lesi


Prakanker
Serviks adalah organ fibromuskular yang menghubungkan rongga rahim ke vagina.
Panjang serviks kira-kira 4 cm dan diameter 3 cm. Serviks perempuan multipara jauh
lebih besar daripada perempuan nulipara, dan serviks perempuan usia produktif jauh
lebih besar daripada perempuan pascamenopause. Serviks menempati posisi internal
dan eksternal. Bagian bawahnya, atau bagian intravaginal, terletak di ujung atas
vagina, dan bagian atasnya terletak di atas vagina, di rongga panggul/perut. Kedua
bagian itu kira-kira berukuran sama. Serviks terletak di antara kandung kemih di
anterior dan usus di posterior. Di bagian lateral, ureter berada dalam jarak yang
berdekatan, begitu pula arteri uterina di bagian superior dan lateral.2,7,12
Serviks merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol,
dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum. 1 Pada bagian
anterior, batas atas serviks yaitu os interna. Bagian ini terletak kurang lebih setinggi
peritoneum pada kandung kemih. Sedangkan pada bagian posterior segmen vagina
serviks yaitu os eksterna. Bagian os eksterna ini disebut dengan porsio vaginalis.
Bentuk os eksterna serviks sangat bervariasi. Sebelum melahirkan, bentuknya kecil,
beraturan, dan oval. Tetapi setelah melahirkan orifisiumnya berubah menjadi celah
melintang yang terbagi sedemikian rupa sehingga terdapat bentuk yang disebut bibir
serviks anterior dan posterior. 2,7
Serviks terutama terdiri atas jaringan kolagen, jaringan elastin, pembuluh darah,
dan serabut otot polos. Sifat fisik dari serviks terutama ditentukan oleh keadaan
jaringan ikatnya. Mukosa kanalis servikalis terdiri dari satu lapisan epitel kolumnar
4

yang sangat tinggi, menempel pada membran basalis yang tipis. Nukleus yang oval
terletak dekat dasar sel kolumnar yang bagian atasnya terlihat agak jernih karena berisi
mukus. Sel-sel ini memiliki banyak silia. Dalam keadaan normal, epitel gepeng
segmen vagina serviks dan epitel kolumnar kanalis servikalis membentuk garis
pemisah di dekat os ekterna, yaitu sambungan skuamo-kolumnar. Namun, sebagai
respon terhadap peradangan atau trauma, epitel gepeng berlapis dapat meluas
berangsur-angsur hingga mencapai kanalis servikalis dan melapisi sepertiga bawah
kanalis servikalis.2,14

Gambar 2.1. Organ reproduksi perempuan. Pada gambar tampak organ reproduksi perempuan yang
terdiri dari serviks, uterus, tuba uterina, dan ovarium.2

Serviks memiliki beberapa lapisan yang berbeda. Saluran endoserviks dilapisi


dengan epitel glandular, dan ektoserviks dilapisi dengan epitel skuamosa. Epitel
skuamosa bertemu dengan epitel glandular di squamocolumnar junction (SCJ). SCJ
asli berasal dari saluran endoserviks, tetapi saat serviks mengalami eversi, SCJ terletak
di ektoserviks dan menjadi SCJ baru. Epitel antara kedua SCJ ini adalah transition
5

zone (TZ) dan posisinya juga bervariasi. Ukuran epitel bervariasi kecil atau besar dan
biasanya menjadi lebih ektoserviks selama masa reproduksi perempuan, kembali ke
posisi endoserviks setelah menopause. 2,14

2.1.1. Squamocolumnar Junction (SCJ)


SCJ terkadang muncul sebagai garis tajam dengan indurasi, karena perbedaan
ketinggian epitel skuamosa dan kolumnar. Lokasi SCJ dalam kaitannya dengan os
eksternal bervariasi selama masa hidup perempuan dan bergantung pada faktor seperti
usia, status hormonal, trauma kelahiran, penggunaan kontrasepsi oral, dan kehamilan.

Gambar 2.2. Squamocolumnar junction (SCJ). Gambar di atas memperlihatkan lapisan SCJ secara
histologis berdasarkan ilustrasi dan gambaran mikroskopis. 2
6

Gambar 2.3. Ilustrasi SCJ pada periode prepubertas. Sebelum pubertas, SCJ diposisikan di atas dan
sangat dekat dengan os eksternal. 2

SCJ yang terlihat selama masa kanak-kanak, selama perimenarche, setelah


pubertas, dan pada awal kehidupan reproduksi disebut sebagai SCJ asli, karena ini
mewakili persimpangan antara epitel kolumnar dan epitel skuamosa asli yang
terbentuk selama embriogenesis dalam kehidupan intrauterin. Selama masa kanak-
kanak dan sekitar menarche, SCJ asli terletak di atau sangat dekat dengan os
eksternal.2,14
Setelah pubertas dan selama masa reproduksi, organ genital perempuan
berkembang di bawah pengaruh estrogen. Dengan demikian, serviks membengkak dan
membesar dan saluran endoserviks memanjang. Hal ini menyebabkan eversi epitel
kolumnar di bagian bawah saluran endoserviks keluar ke ektoserviks. Kondisi ini
disebut ektropion atau ektopi, yang terlihat sebagai ektoserviks yang tampak sangat
kemerahan pada pemeriksaan visual. Kadang-kadang disebut erosi atau ulkus. Jadi,
SCJ asli terletak di ektoserviks jauh dari os eksterna.2,14

Gambar 2.4. Squamocolumnar junction setelah eversi epitel kolumnar keluar ke ektoserviks, yang
paling sering terjadi selama masa remaja dan awal kehamilan. 2
7

Aksi buffer dari lendir yang menutupi sel-sel kolumnar terganggu ketika epitel
kolumnar yang terbalik dari ektropion terpapar ke lingkungan vagina yang asam. Hal
ini menyebabkan penghancuran dan akhirnya penggantian epitel kolumnar oleh epitel
skuamosa metaplastik yang baru terbentuk (metaplasia mengacu pada perubahan atau
pergantian satu jenis epitel dengan yang lain). Proses metaplastik dimulai dari SCJ asli
dan berlanjut secara sentripetal menuju os eksternal selama periode reproduksi dan
akhirnya menopause. Diperkirakan juga bahwa beberapa metaplasia dapat terjadi
dengan pertumbuhan epitel skuamosa ke dalam dari epitel skuamosa ektoserviks.
Dengan demikian, SCJ baru terbentuk antara epitel skuamosa metaplastik yang baru
terbentuk dan epitel kolumnar.2,18,19

Gambar 2.6. (a) Metaplasia inkomplit yang terjadi pada epitel kolumnar ektoserviks menghasilkan
epitel skuamosa/kolumnar campuran di zona transformasi fisiologis (TZ). (b) TZ pada gambar ini
adalah area epitel (yang dalam hal ini normal) antara squamocolumnar junction (SCJ) asli dan SCJ
baru, terletak dekat dengan kanal endoserviks. Pembukaan kelenjar dapat dilihat dengan jelas di
lapisan epitel skuamosa matur normal pada TZ normal ini.14
8

Saat perempuan beralih dari kehidupan reproduktif ke perimenopause, SCJ baru


bergerak menuju os eksternal. Oleh karena itu, terletak pada jarak yang bervariasi dari
os eksternal, sebagai akibat dari pembentukan progresif epitel skuamosa metaplastik
baru pada area epitel kolumnar yang terbuka di ektoserviks. Dari periode
perimenopause dan sesudahnya, serviks yang atrofi menyusut, dan akibatnya
pergerakan SCJ baru menuju os eksternal dan masuk ke saluran endoserviks
dipercepat.2,15,18
2.1.2. Metaplasia Skuamosa
Penggantian fisiologis epitel kolumnar yang eversi oleh epitel skuamosa disebut
metaplasia skuamosa. Lingkungan vagina relatif asam selama masa reproduksi dan
selama kehamilan. Keasaman dianggap berperan dalam metaplasia skuamosa. Sel-sel
kolumnar yang terpapar akhirnya digantikan oleh epitel skuamosa metaplastik.
Awalnya, iritasi epitel kolumnar yang terpapar oleh lingkungan vagina yang asam
menyebabkan munculnya sel cadangan subkolumnar, dan sel ini berkembang
menghasilkan hiperplasia sel cadangan yang akhirnya menjadi epitel skuamosa
metaplastik.2,15,20

A B

C D
Gambar 2.7. Perkembangan epitel metaplastik skuamosa. (a) Panah menunjukkan sel cadangan
subkolumnar. (b) Sel-sel cadangan berproliferasi. (c) Sel-sel cadangan selanjutnya berproliferasi dan
berdiferensiasi. (d) Epitel skuamosa dewasa, tidak dapat dibedakan dari epitel skuamosa asli. 10
9

Tanda pertama metaplasia skuamosa adalah munculnya dan proliferasi sel


cadangan. Ini awalnya terlihat sebagai satu lapisan sel bulat kecil dengan inti berwarna
gelap, terletak sangat dekat dengan inti sel kolumnar yang selanjutnya berkembang
untuk menghasilkan hiperplasia sel cadangan. Secara morfologis sel cadangan
memiliki penampilan yang mirip dengan sel basal epitel skuamosa asli dengan inti
bulat dan sedikit sitoplasma. Saat proses metaplastik berlanjut, sel cadangan
berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk epitel multiseluler tipis dari sel
skuamosa imatur tanpa adanya stratifikasi. Istilah "epitel metaplastik skuamosa yang
belum matang" digunakan ketika ada sedikit atau tidak ada stratifikasi pada epitel
metaplastik tipis yang baru terbentuk ini. Epitel metaplastik skuamosa yang belum
matang tidak menghasilkan glikogen dan karenanya tidak berwarna coklat atau hitam
dengan yodium Lugol. Kelompok sel kolumnar yang mengandung musin dapat terlihat
tertanam dalam epitel metaplastik skuamosa yang belum matang pada tahap ini. 2,15,20
Saat proses berlanjut sel skuamosa metaplastik yang belum matang berdiferensiasi
menjadi epitel metaplastik bertingkat yang matang. Untuk tujuan praktis, ini
menyerupai original stratified squamous epithelium. Beberapa sel kolumnar sisa atau
vakuola lendir terlihat pada epitel metaplastik skuamosa dewasa, mengandung
glikogen dari lapisan sel perantara dan seterusnya.2,15,20
Metaplasia skuamosa dapat berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda pada
area yang berbeda pada serviks yang sama, dan karena itu banyak area maturitas yang
sangat berbeda dapat terlihat pada epitel skuamosa metaplastik dengan atau tanpa
epitel kolumnar. Epitel metaplastik yang berdekatan dengan SCJ terdiri dari
metaplasia yang belum matang dan epitel metaplastik dewasa ditemukan di dekat SCJ
asli. 2,18,21
Pengembangan lebih lanjut dari epitel metaplastik imatur yang baru terbentuk dapat
mengambil dua arah. Pada sebagian besar perempuan, dapat berkembang menjadi
epitel metaplastik skuamosa dewasa, yang mirip dengan epitel skuamosa asli yang
mengandung glikogen normal untuk semua tujuan praktis. Pada sebagian kecil
10

perempuan, epitel displastik atipikal dapat berkembang. Jenis HPV onkogenik tertentu
dapat menginfeksi sel metaplastik skuamosa basal yang belum matang dan jarang
mengubahnya menjadi sel prakanker. Proliferasi dan perluasan yang tidak terkendali
dari sel-sel atipikal ini dapat menyebabkan pembentukan epitel displastik abnormal,
yang dapat menurun menjadi normal, bertahan sebagai displasia, atau berkembang
menjadi kanker invasif setelah beberapa tahun, tergantung pada apakah infeksi HPV
dibiarkan menjadi suatu transformasi infeksi. 18,21

2.1.3. Transformation Zone (TZ)


Transformation zone (TZ) adalah area epitel yang terletak di antara epitel kolumnar
asli dan tidak terpengaruh dari saluran endoserviks dan epitel skuamosa asli yang
berasal dari epitel skuamosa vagina dan ektoservikal.2,12,14

Gambar 2.8. (a) skematis dari zona transformasi normal. (b) skematis dari zona transformasi
abnormal atau atipikal yang mengarah displasia.

Eversi epitel endoserviks dari dalam saluran endoserviks ke bagian luar serviks,
yaitu ektoserviks, terjadi pada waktu dan kecepatan yang bervariasi, tetapi umumnya
terjadi selama masa remaja dan selama kehamilan pertama. Akibatnya, epitel
kolumnar pada ektoserviks terpapar pada lingkungan vagina yang relatif asam dan
mengalami metaplasia skuamosa, menghasilkan TZ fisiologis. Proses ini ketika selesai
akan menghasilkan perlindungan dari infeksi HPV, tetapi selama proses ini TZ
dinamis rentan terhadap infeksi HPV, dimana dapat menginfeksi lapisan basal epitel di
TZ dan pada sebagian kecil kasus memulai perkembangan CIN. Mengapa epitel
11

displastik ini berkembang pada beberapa perempuan dan tidak pada perempuan lain
saat ini tidak pasti, tetapi ini terkait dengan tipe HPV onkogenik pada 99% kasus.
Kebanyakan orang akan terinfeksi dengan jenis HPV onkogenik di awal kehidupan
seksual normal mereka, tetapi sebagian besar akan sembuh dari infeksi tanpa
konsekuensi. Ketika TZ menjadi abnormal atau atipikal disebut TZ atipikal. 2,12,18

Gambar 2.9. Pengaruh infeksi HPV onkogenik pada epitel skuamosa yang belum matang.17

2.2. Lesi Prakanker Serviks


Lesi serviks prakanker atau the precancerous cervical lesion (PCL) adalah tahap pra-
invasif kanker serviks dan didahului oleh perubahan abnormal pada sel-sel leher
rahim. Hal ini terutama disebabkan oleh virus menular seksual yang disebut human
papilloma virus (HPV). HPV memiliki genotip yang berbeda di mana HPV tipe 16 dan
18 dikenal sebagai genotip berisiko tinggi dalam menyebabkan PCL dan terdeteksi
pada sekitar 90% perempuan dengan karsinoma sel serviks skuamosa. Bukti
menunjukkan bahwa faktor sekunder atau kofaktor HPV dapat memfasilitasi
perkembangan infeksi HPV menjadi PCL. Mencegah perubahan sel serviks yang
12

abnormal sebelum kemajuannya menjadi PCL sejak awal adalah salah satu pendekatan
pencegahan primer dan hemat biaya dari beban kanker serviks.13,14,21
Lesi prakanker serviks merupakan perubahan pada sel serviks di area yang disebut
zona transformasi. Menurut WHO, perubahan ini dapat terjadi pada salah satu dari tiga
tahap: cervical intraepithelial neoplasia tahap 1 (CIN1), tahap 2 (CIN2), atau tahap 3
(CIN3). Kondisi ini belum menjadi kanker. Tetapi jika tidak diobati, CIN2 atau CIN3
secara kolektif disebut sebagai neoplasia intraepitel serviks stadium 2 plus (CIN2+)
dapat berkembang menjadi kanker serviks.14,21,22

Gambar 2.10 Teori Herf’s menjelaskan patogenesis HVP penyebab lesi AW

Tujuan skrining kanker serviks adalah untuk mengidentifikasi perempuan yang


berisiko dan untuk memastikan tindak lanjut yang tepat bagi mereka yang memiliki
hasil tes positif atau abnormal. WHO merekomendasikan pendekatan screen and treat
untuk skrining dan pengobatan lesi prakanker untuk pencegahan kanker serviks.
Perawatan diberikan segera atau idealnya segera setelah tes skrining positif. Tes
skrining termasuk tes human papillomavirus (HPV), inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA), dan sitologi (tes Pap). 3 Peradangan (inflamasi) merupakan reaksi
kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus (rangsang)
eksogen dan endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu
13

respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Lesi lebih
menunjukkan keadaan pada bagian dalam tubuh yang mengalami keabnormalan
sedangkan peradangan lebih merujuk pada reaksi terhadap keabnormalan tersebut.21,23
Meskipun hasil pemeriksaan IVA positif dengan nampaknya acetowhite pada zona
transformasi, tetapi tidak semua lesi acetowhite tersebut menunjukan terjadinya
peradangan karena infeksi virus HPV penyebab kanker serviks, bisa juga dikarenakan
faktor pencetus inflamasi lain seperti yang telah disebutkan diatas. Oleh karena itu
dibutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan lesi tersebut merupakan lesi yang
mengarah ke keganasan atau tidak. 21,24

2.2.1 Faktor Risiko


Kanker serviks merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang. Pencegahan primer kanker serviks merupakan pendekatan yang
jauh lebih layak daripada manajemen kanker serviks sekunder atau tersier di kondisi
ekonomi rendah-menengah. Mengidentifikasi faktor risiko dan merancang serta
menerapkan masing-masing strategi the precancerous cervical lesion (PCL) adalah
salah satu pendekatan hemat biaya. 10,25
Kemungkinan menjadi positif untuk PCL lebih tinggi di antara perempuan yang
memiliki IMT <18,5 kg/m2, koitus dini, riwayat penggunaan oral contraception pil
(OCP), infeksi menular seksual seumur hidup dan pasangan seksual yang banyak. Di
sisi lain, IMT respenden yang 25 kg/m2 dan tingkat pendidikan perguruan tinggi
teridentifikasi sebagai faktor protektif PCL.10,26
Salah satu faktor risiko PCL yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah
kekurangan berat badan (yaitu, IMT <18,5 kg/m2). Dengan demikian, kemungkinan
PCL positif empat kali lipat lebih tinggi di antara perempuan dengan berat badan
kurang dibandingkan perempuan dengan IMT normal. Hubungan tersebut dapat
dijelaskan melalui kemungkinan hubungan antara IMT rendah, berdampak pada gizi
buruk, dan tingkat imunitas yang rendah. Oleh karena itu, responden dengan IMT
14

rendah cenderung kekurangan gizi yang pada akhirnya dapat membahayakan imunitas
mereka. Namun, dalam hal ini, perlu diingat bahwa zona transformasi serviks lebih
sulit diamati pada perempuan dengan IMT tinggi. 15,27
Selain itu, kemungkinan memiliki PCL adalah 71% kali lebih rendah di antara
perempuan yang bersekolah dan berpendidikan tinggi daripada yang tidak. Asosiasi
yang mungkin terkait dengan status pendidikan dan kesempatan kerja. Dalam sudut
pandang ini, perempuan yang menyelesaikan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan di berbagai
organisasi di mana mereka dapat bertemu dengan para profesional multidisiplin.
Sehingga, mereka akan berbagi pengalaman yang kaya dan mengembangkan berbagai
kesadaran tentang informasi terkait perawatan kesehatan.24,28
Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara koitus dan PCL. Dengan
demikian, perempuan yang memulai hubungan seksual sebelum usia 15 tahun adalah
3,15 kali lebih mungkin untuk positif PCL dibandingkan dengan perempuan yang
memulainya setelah usia 18 tahun. Hubungan tersebut terjadi karena membran serviks
anak muda - perempuan yang belum dewasa cukup rentan terhadap agen onkogenik
yang dapat membuat perempuan tersebut berisiko lebih tinggi tertular IMS, terutama
infeksi HPV. Koitus pertama dapat menjadi dasar untuk PCL karena gangguan seksual
pada serviks yang masih muda, dan koitus pada usia yang lebih muda mungkin
menunjukkan adanya hubungan dengan high grade lesion. 10,28
Oral contraception pill (OCP) adalah faktor predisposisi untuk PCL. Oleh karena
itu, pengguna OCP tiga kali lebih mungkin positif untuk PCL dibandingkan dengan
bukan pengguna. Hal ini dapat dikaitkan dengan gangguan hormonal endogen
meskipun mekanisme bagaimana penggunaan OCP meningkatkan risiko PCL belum
diketahui. OCP dapat meningkatkan hormon yang memperburuk beberapa sel untuk
berkembang biak lebih dari yang normal dan ini akan meningkatkan kerentanan sel
serviks untuk infeksi persisten dengan tipe HPV risiko tinggi.29-30
Penelitian saat ini menemukan bahwa perempuan yang mengalami infeksi menular
seksual (IMS) seumur hidup memiliki risiko lebih tinggi terkena PCL. Alasan yang
15

mungkin untuk asosiasi tersebut mungkin karena fakta bahwa HPV adalah penyebab
utama PCL dan IMS. Penjelasan yang terkait dengan variasi tingkat kesadaran
dan/atau perilaku pencarian kesehatan terhadap biaya sosial IMS. Hal ini mungkin
disebabkan bahwa IMS dengan adanya HPV meningkatkan risiko CIN dengan
menyebabkan peradangan yang memfasilitasi persistensi HPV dan karenanya lesi
serviks dan karsinogenesis. HPV terutama ditularkan melalui kontak seksual dan
kebanyakan orang terinfeksi HPV segera setelah dimulainya aktivitas seksual. Kanker
serviks disebabkan oleh infeksi yang didapat secara seksual dengan jenis HPV
tertentu. Dua tipe HPV (16 dan 18) menyebabkan 70% kanker serviks dan lesi serviks
prakanker.15,18,31
Selain itu, terdapat hubungan positif antara banyak pasangan seksual dan PCL.
Peluang positif untuk PCL tiga kali lebih tinggi di antara perempuan yang memiliki
banyak pasangan seksual daripada perempuan monogami. Hubungan ini terjadi karena
sifat HPV yang ditularkan secara seksual, dapat mencerminkan kemungkinan yang
lebih besar dari beberapa paparan HPV dan dengan demikian secara stokastik
memiliki peluang lebih besar untuk persistensi dan perkembangan HPV menjadi
PCL.18,27

2.2.2. Strategi Global WHO dalam Mengeliminasi Kanker Serviks


WHO telah membuat strategi global untuk mempercepat eliminasi kanker serviks
sebagai masalah kesehatan masyarakat dan beban dunia. Kanker serviks merupakan
penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan, selama terdeteksi sejak dini dan
ditangani secara efektif. Kanker serviks juga merupakan penyakit yang mencerminkan
ketidakadilan global. Bebannya paling besar di negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah, di mana akses ke layanan kesehatan masyarakat terbatas dan skrining
serta pengobatan untuk penyakit tersebut belum diterapkan secara luas. Pada 2018,
hampir 90% dari semua kematian di seluruh dunia terjadi di negara berpenghasilan
rendah dan menengah. Lebih lanjut, proporsi perempuan penderita kanker serviks
yang meninggal karena penyakit ini lebih dari 60% di negara-negara ini, lebih dari dua
16

kali lipat jumlah di banyak negara berpenghasilan tinggi, yang hanya mencapai
30%.1,10,14
Human papillomavirus (HPV) adalah penyebab utama kanker serviks, dan vaksin
HPV adalah cara yang aman dan efektif untuk melindungi perempuan dari infeksi
HPV. Tetapi pada tahun 2020, kurang dari seperempat negara berpenghasilan rendah
telah memasukkan vaksin HPV ke dalam jadwal imunisasi nasional mereka, sementara
lebih dari 85% negara berpenghasilan tinggi telah melakukannya. Perbedaan serupa
juga terlihat dalam pembentukan program skrining kanker serviks.10,18
“Sebagian besar perempuan ini tidak didiagnosis cukup dini, dan tidak memiliki
akses ke perawatan yang menyelamatkan nyawa,” kata Dr. Tedros Adhanom
Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, ketika dia mengeluarkan seruan untuk
bertindak pada tahun 2018. “Para perempuan ini membesarkan anak-anak, peduli
untuk keluarga mereka dan berkontribusi pada tatanan sosial dan ekonomi komunitas
mereka. Jika kita tidak bertindak, kematian akibat kanker serviks akan meningkat
hampir 50% pada tahun 2040.” Dengan adopsi strategi eliminasi oleh WHO, Dr.
Princess Nothemba Simelela, Asisten Direktur Jenderal WHO untuk prioritas program
strategis, mengatakan resolusi tersebut memberikan kesempatan bagi para pemimpin
dan pendukung "untuk mengakhiri ketidakadilan dan memulihkan martabat
perempuan." 10,18
Untuk mengeliminasi kanker serviks, semua negara harus mencapai dan
mempertahankan angka kejadian di bawah empat per 100.000 perempuan. Mencapai
tujuan ini membutuhkan tindakan strategis, dan WHO menguraikan tindakan yang
diperlukan dalam strategi globalnya, visi WHO menjadikan dunia di mana kanker
serviks dihilangkan sebagai masalah kesehatan masyarakat dan menjaga agenda di
tahun 2030. 10,18,22
Strategi eliminasi WHO bertumpu pada tiga pilar utama:
1. Pencegahan primer melalui vaksinasi
2. Skrining dan pengobatan lesi prakanker
3. Pengobatan dan perawatan paliatif untuk kanker serviks invasif
17

Ketiga pilar tersebut harus dilaksanakan secara kolektif dan dalam skala besar
untuk mencapai tujuan eliminasi. Vaksinasi HPV menawarkan perlindungan jangka
panjang terhadap kanker serviks. Skrining dan pengobatan lesi prakanker dapat
mencegah prakanker berkembang menjadi kanker. Bagi mereka yang diidentifikasi
dengan kanker invasif, perawatan dan pengobatan tepat waktu menyelamatkan nyawa,
sementara perawatan paliatif dapat sangat mengurangi rasa sakit dan penderitaan. 10,18,22
Berdasarkan tiga pilar utama dari strategi global, WHO merekomendasikan
serangkaian target atau tonggak sejarah yang harus dipenuhi oleh setiap negara pada
tahun 2030 untuk berada di jalur pemberantasan kanker serviks dalam satu abad :
a. 90% anak perempuan divaksinasi penuh dengan vaksin HPV pada usia 15 tahun.
b. 70% perempuan diskrining menggunakan tes kinerja tinggi pada usia 35, dan sekali
lagi pada usia 45, (cakupan skrining IVA di Indonesia baru mencapai 7,3%).
c. 90% perempuan yang diidentifikasi dengan penyakit serviks menerima perawatan
(90% perempuan dengan pra-kanker dirawat dan 90% perempuan dengan kanker
invasif dikelola). 10,25

2.2.3. Patogenesis Kanker Serviks yang Disebabkan HPV


Human Papilomavirus (HPV) merupakan penyebab utama terjadinya kanker serviks.
HPV adalah virus non-enveloped dengan untai DNA ganda yang setiap sekuens DNA
nya mengandung 8 kb. Hingga saat ini terdapat 200 genotipe dari HPV yang
teridentifikasi dan terklasifikasi menjadi HPV mukosa dan kutaneus. HPV dengan
risiko tinggi berkaitan dengan mukosa dan risiko rendah dengan lesi kutaneus. HPV
dengan risiko rendah seperti HPV 6, 11, 42, 43 dan 44 berkaitan dengan lesi jinak
yang sering menjadi kutil dan sangat jarang ditemukan pada tumor yang ganas.
Sedangkan HPV dengan risiko tinggi seperti HPV 16,18,31,33,34,35,39,45,51, 52,
56, 58, 59, 66, 68 dan 70 berkaitan dengan lesi kanker serviks dan yang paling sering
ditemukan adalah HPV 16 dan HPV 18. HPV 16 dan 18 diketahui penyebab 70%
skuamous sel karsinoma dan lebih dari 90% penyebab adenokarsinoma.15,18,22
18

Gambar 2.11. Klasifikasi HPV berdasarkan tingkat keganasan14


HPV dapat menyebabkan infeksi pada sel-sel epitel serviks dikarenakan adanya
abrasi atau luka pada jaringan epitel. Abrasi ini menjadi titik masuk HPV ke dalam sel
epitel bagian basal. Sel-sel epitel yang belum matang dan masih terus berproliferasi.
Ekspresi gen HPV semakin lengkap seiring peningkatan maturasi sel penjamu. Saat
menginfeksi sel basal, HPV kurang reproduktif (replikasi virus terjadi lambat).
Replikasi virus terjadi sangat lamban namun konstan. Pada fase ini, belum muncul
perubahan yang abnormal pada sel. Pada tahap ini mulai terjadi perubahan yang
abnormal pada sel (immortal sel) dan terbentuk virion baru dalam jumlah besar yang
akan menginfeksi sel epitel lainnya yang masi normal. Akan tetapi, perubahan yang
terjadi masih dalam skala yang sangat kecil (CIN1) dan respon imun sebenarnya masih
dapat mengeliminasi infeksi pada tahap ini. Namun bila terjadi toleransi, infeksi HPV
akan menjadi persisten. 15,18,26
19

Gambar 2.12. Perjalanan alami infeksi HPV dan faktor risiko serta kemungkinan regresi 18

Infeksi HPV yang persisten akan menyebabkan lesi makin meluas dan makin
invasif (CIN II dan CIN III). Pada tahap CIN I, genom HPV belum terintegrasi secara
sempurna pada sel pejamu bahkan sebagian ada yang tidak terintegrasi dalam genom
sel pejamu. Namun, pada CIN tingkat tinggi, DNA HPV sudah terintegrasi sempurna
ke dalam genom sel penjamu. Integrasi ini menyebabkan terganggunya atau
terhapusnya gen kode E2. Sebagai akibatnya, fungsi protein E2 sebagai regulator
transkripsi protein E6 dan E7 terganggu. Kedua protein ini menghalangi regulasi
siklus sel dengan cara mengikat dan menginaktivasi dua protein suppressor tumor
yaitu protein p53 dan retinoblastoma (pRB). 14,23
Pada keadaan normal, perubahan pada sel akan memicu respon imun sehingga
kelainan pada tahap ini dapat di atasi dan sel-sel abnormal diapoptosis. Secara alamiah
sel yang terinfeksi virus akan melepaskan interferon (IFN) tipe 1 seperti IFN-α dan
IFN-β. Interferon menghambat replikasi virus pada sel pejamu dan mengaktifkan
Natural Killer (NK). Akan tetapi HPV menghasilkan protein E6 dan E7 yang dapat
20

menghambat regulasi transkripsi dari faktor regulator interferon 3 untuk mengaktivasi


interferon beta sehingga membatalkan respon awal dari sistem imun bawaan terhadap
infeksi virus. E7 juga mengikat faktor regulator interferon 1 untuk mencegah aktivasi
dari interferon alfa dan beta. Selain itu, protein E6 dan E7 juga menghambat
translokasi makrofag ke titik yang terinfeksi virus dengan cara menghambat regulasi
Monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), suatu senyawa kemotaksis. 14,23
Pada tahap lebih lanjut, respon imun yang terbentuk pada penderita kanker serviks
justru makin menguntungkan bagi virus untuk tetap ada dan berkembang. Hal ini
dikarenakan, protein-protein yang disintesis oleh virus HPV menghambat regulasi
terbentuknya sistem imun adaptif melalui penurunan aktivitas APC (antigen
precenting cell). Salah satu APC yang sangat penting dalam respon imun adaptif
adalah sel dendritik. Sel dendritik berperan mengubah sel T naif menjadi sel T aktif.
Kegagalan sel dendritik mempresentasikan antigen HPV pada sel T naif menyebabkan
toleransi imun terhadap HPV. Sel dendritik yang dapat mempresentasikan antigen
pada sel T adalah sel dendritik yang matur (dewasa). Sel dendritik yang imatur (tidak
memiliki reseptor B7) tidak dapat menstimulasi pengaktifan sel T. Meskipun mampu
mengaktifkan sel T melalui sekresi Il-10 dan TGF-β, yang terbentuk adalah sel T
regulator yang justru merepresi sistem imun. Proses replikasi dan pelepasan HPV dari
sel penjamu juga tidak terjadi secara litik, sehingga tidak memprovokasi pelepasan
molekul anti-inflamasi. Infeksi HPV yang asimtomatik merupakan hal yang normal
pada perempuan yang imunokompeten. Meskipun demikian, rata-rata infeksi oleh
HPV dapat dieliminasi dalam kurun waktu satu tahun. Oleh sebab itu, persisten dan
progresi lesi dari sebagian kecil pasien yang terinfeksi HPV tidak diketahui
penyebabnya.21,27

2.2.4. Klasifikasi Lesi Prakanker Serviks


a) Klasifikasi menurut WHO (1973)
World Health Organization (1973), telah mengembangkan sistem klasifikasi sitologi
standar yaitu displasia ringan, sedang, berat, dan karsinoma insitu.21,27
21

b) Klasifikasi NIS
Klasifikasi neoplasia intraepitelial skuamosa (NIS) pertama kali dipublikasikan oleh
Richart R. M pada tahun 1973 di Amerika Serikat. Richart memperkenalkan
terminologi neoplasia intraepitelial serviks untuk menggambarkan spektrum biologis
dari kelainan preinvasif skuamosa serviks sebagai berikut :
1. NIS I / CIN I : Displasia ringan, perubahan sel mencakup pada lapisan dasar.
2. NIS II / CIN II : Displasia sedang, ½ sampai ¾ tebal epitel yang mengalami
kelainan.
2. NIS III / CIN III : Displasia berat/karsinoma in situ, lebih dari ¾ tebal epitel
mengalami kelainan tetapi membrana basalis masih utuh. Displasia berat dan
karsinoma in situ digabung, karena sulit dibedakan secara sitologi.23,29

Dalam perjalanan penyakit, tidak semua NIS akan mengalami perkembangan ke


tingkat lebih lanjut. Sebagian akan mengalami regresi ke tingkat yang lebih rendah,
sebagian akan menetap selama bertahun-tahun dan sebagian lagi akan berkembang ke
tingkat yang lebih lanjut. Lesi prakanker serviks dapat mengalami regresi spontan
sekitar 57% pada NIS I, 43% pada NIS II, dan 32% pada NIS III. Namun NIS juga
dapat berkembang ke tingkat yang lebih berat, NIS I berisiko untuk berkembang
menjadi NIS III sebesar 25% selama kurun waktu 2 tahun. Risiko perkembangan NIS
menjadi kanker invasif sulit ditentukan. Walaupun demikian, perempuan dengan NIS
III yang tidak mendapat terapi yang berhasil, 30-40% akan berkembang menjadi
kanker dalam kurun waktu 20 tahun.21,27

c) Sistem Bethesda (2001)


Sistem Bethesda dalam melaporkan diagnosis hasil pemeriksaan sitologi serviks atau
vagina dikembangkan pertama kali pada tahun 1988 di Amerika Serikat, tetapi pada
tahun 2001 dilakukan pembaharuan pada sistem ini. Lesi pra kanker serviks
berdasarkan sistem Bethesda yang diperbaharui tahun 2001 dalam terbagi atas :
22

1. Low grade squamous intraepithelial lesions (LGSIL)


Lesi berada pada 1/3 epithelium yang ditempati oleh sel yang bermetaplasia. Lesi
tersebut dapat terlihat selama inspeksi visual dengan asam asetat. LGSIL meliputi
displasia ringan, koilositotik atipia, koilositosis, kondiloma, dan NIS I.
2. High grade squamous intraepithelial lesions (HGSIL)
Lesi yang berada lebih dari 1/3 kedalaman dari epitelial serviks yang dilapisi oleh sel-
sel displasia. Apabila asam asetat dioleskan pada serviks akan lebih terabsorbsi
daripada pada lesi yang low grade, sehingga lesi acetowhite akan lebih jelas terlihat.
HGSIL meliputi NIS II dan NIS III. 21,28

Selanjutnya sistem Bethesda melakukan modifikasi berdasarkan penemuan


ASCUS (atypical cells of undetermined significance) dan ASC-H (atypical cells of
undetermined significance tidak dapat mengekslusi HGSIL). ASCUS merupakan suatu
kategori dimana hasil pemeriksaan tidak dapat digolongkan pada sel normal atau
kelainan epitel yang jelas, namun perubahan sel tersebut mengarah pada NIS. Kejadian
ASCUS pada hasil Pap smear sekitar 3,5%.23,24
Pada sistem Bethesda tidak dijumpai kategori untuk kelainan kelenjar seperti pada
sel skuamosa. Antara sel kelenjar normal dan adenokarsinoma invasif hanya terdapat
satu kategori yaitu AGUS/AGCUS (Atypical Glandular Cells of Undetermined
Significance). AGUS ditemukan pada 0,5% dari Pap smear. Dari hasil pemeriksaan
ditemukan HGSIL 5,2-21,9%, adenokarsinoma insitu 0-3,9%, kanker serviks invasif
1,4-4,3%, dan hiperplasia endometrium serta karsinoma endometrium sebesar 1,3-
11%. Biopsi serviks diperlukan untuk menentukan apakah pasien benar-benar
menderita lesi prakanker atau kanker serviks. CIN digunakan untuk melaporkan hasil
pemeriksaan biopsi untuk mendiskripsikan seberapa jauh perubahan yang ada di sel-
sel serviks. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan sitologi Pap smear
digunakan sebagai skrining sedangkan pemeriksaan hispatologi sebagai diagnostik. 23,24

Tabel 2.1. Perjalanan alamiah NIS berkaitan dengan derajat lesi.22


23

Derajat Regresi (%) Persisten (%) Progresif (%)


displasia
Ringan 62 24 13
Sedang 33 49 18
Keras 19 48 33

Tabel 2.2. Klasifikasi lesi prakanker serviks uteri.28


Klasifikasi (WHO) Klasifikasi Neoplasia Klasifikasi Bethesda
Deskriptif Intrapitelial Serviks (NIS)
Tidak terklasifikasi Tidak terklasifikasi ASCUS / AGUS
Tidak terklasifikasi Efek HPV LISDR
Displasia ringan NIS 1 LISDR
Displasia sedang NIS 2 LISDT
Displasia keras NIS 3 LISDT
Carcinoma in-situ NIS 3 LISDT
2.2.5 Metode Skrining Kanker Serviks
Terdapat tiga tes utama yang terlibat dalam skrining awal kanker serviks: sitologi, tes
HPV, dan IVA (Inspeksi visual dengan asam asetat). Hasil abnormal diikuti dengan
evaluasi kolposkopi dan pengumpulan spesimen untuk pengujian biopsi,
mengkonfirmasi hasil abnormal dan rencana perawatan lebih lanjut.17,19

1. Servikal Sitologi (Pap smear)


Pap smear dilakukan dengan membuka kanal vagina dengan spekulum dan
mengambil sel dari squamocolumnar junction atau zona transformasi. Sel-sel yang
diperoleh diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari abnormalitas. Setiap kelainan
akan memerlukan evaluasi lebih lanjut. Spesimen yang dikumpulkan dapat disiapkan
untuk sitologi dengan dua metode, Pap smear konvensional dan liquid-based-thin
layer preparation. Rekomendasi skrining untuk kanker serviks berikut berlaku untuk
populasi umum, terlepas dari usia inisiasi seksual atau faktor risiko lainnya. Ini tidak
24

berlaku bagi mereka yang memiliki riwayat kanker serviks, lesi prakanker serviks
tingkat tinggi, kondisi imunokompromis seperti infeksi HIV, atau yang terpapar DES
dalam rahim. Untuk perempuan usia 21-30 tahun, tes Pap dilakukan setiap tiga tahun
sekali, untuk perempuan usia 30-65 tahun, co-testing kanker serviks (tes Pap dan tes
HPV) dilakukan setiap lima tahun atau hanya tes Pap setiap tiga tahun. Skrining akan
dihentikan pada usia 65 tahun, asalkan ada hasil skrining negatif sebelumnya yang
memadai (tiga hasil sitologi negatif berturut-turut atau dua hasil tes bersama negatif
berturut-turut) dalam sepuluh tahun terakhir, dengan hasil tes terbaru dalam lima tahun
sebelumnya, dan tidak ada riwayat CIN 2 atau lebih tinggi dalam dua puluh tahun
sebelumnya.17,24

2. Tes HPV
Tes ini mendeteksi perubahan seluler atau infeksi dengan HPV risiko tinggi. Spesimen
untuk pengujian HPV dapat diperoleh dengan cara yang sama seperti Pap smear.
Sampel biasanya diambil dari endoserviks menggunakan spatula serviks atau kuas, dan
kemudian spesimen ditempatkan di media transportasi HPV. Ada beberapa sistem
pengambilan sampel sitologi berbasis cairan di mana sampel yang sama dapat
digunakan untuk pengujian sitologi dan HPV. Tes urine untuk HPV juga bisa menjadi
alternatif dalam situasi di mana tes servikovaginal rutin tidak memungkinkan karena
hambatan ekonomi atau budaya. Tes komersial hanya menguji infeksi HPV risiko
tinggi yang diketahui menyebabkan kanker serviks. 17,24
Dalam pengaturan sumber daya yang terbatas, pengumpulan sendiri sampel HPV
dapat digunakan. Pengambilan sampel sendiri dapat dilakukan dengan menggunakan
tampon, kapas, atau dacron swab, atau sikat gigi. Pengambilan sampel sendiri hemat
biaya dan merupakan salah satu strategi yang diusulkan dalam meningkatkan jumlah
perempuan yang diskrining. Sampel yang dikumpulkan sendiri sama sensitifnya
dengan sampel yang dikumpulkan penyedia. Sampel yang dikumpulkan diperiksa
keberadaan DNA atau mRNA HPV risiko tinggi. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pengujian HPV berbasis mRNA memiliki spesifisitas yang lebih tinggi daripada
25

pengujian HPV berbasis DNA. Ini juga lebih hemat biaya daripada pengujian berbasis
DNA. 13,26
Tes HPV direkomendasikan pada perempuan berusia 30 tahun ke atas sebagai
bagian dari pemeriksaan rutin, sebagaimana disebutkan di atas. Ini dapat digunakan
sebagai metode pengujian utama atau bersama dengan sitologi (pengujian bersama).
Tes HPV memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes sitologi,
tetapi ada kekhawatiran mengenai spesifisitasnya, terutama pada perempuan yang
lebih muda. Studi/ulasan sistematis telah dilakukan untuk membandingkan hasil
pengujian HPV dan skrining berbasis sitologi. 13,26

2. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)


Dalam tes ini, asam asetat 5% dioleskan ke serviks. Asam asetat mengeringkan area
abnormal yang mengandung bahan nuclear dan protein. Area abnormal ini berubah
menjadi acetowhite, sedangkan sel sehat yang mengandung glikogen tetap normal.
Yodium Schiller juga dapat digunakan (inspeksi VILI-visual dengan yodium lugol).
Pada VILI, sel-sel sehat yang mengandung glikogen mengambil yodium dan
mengubah mahoni menjadi coklat, sedangkan area abnormal tetap tidak ternoda. Area
abnormal ini kemudian dapat dibiopsi. Plak putih kusam dengan batas yang tidak jelas
dianggap LSIL, dan yang memiliki plak tajam dan tepi tebal dianggap HSIL.
Meskipun spesifisitasnya rendah, tingkat negatif palsunya cukup rendah. Oleh karena
itu IVA terbukti menjadi alternatif yang baik dalam pengaturan sumber daya yang
rendah di mana skrining PAP tidak ada. 13,22

3. Kolposkopi
Kolposkopi adalah visualisasi serviks yang diperbesar di mana area abnormal jika
teridentifikasi, dibiopsi. Colposcope adalah alat teropong dengan kekuatan
pembesaran 10-20 kali. Colpomicroscope, sebaliknya, memperbesar 100-300 kali.
Pada pemeriksaan kolposkopi, pasien ditempatkan dalam posisi litotomi, dan serviks
dibuka dengan spekulum bivalvia. Colposcope kemudian difokuskan pada os eksternal
26

pada jarak sekitar 20 cm. Serviks kemudian diusap dan dibersihkan dengan larutan
garam normal dengan hati-hati untuk menghilangkan lendir tetapi tidak menimbulkan
perdarahan. Squamocolumnar junction kemudian divisualisasikan sebelum dan
sesudah penerapan asam asetat. Asam asetat mengendapkan protein, dan area
abnormal tampak acetowhite. Menggunakan filter lampu hijau memfasilitasi penilaian
arsitektur vaskular yang lebih baik. Serviks kemudian dicat dengan yodium schiller,
yang membedakan sel-sel sarat glikogen yang lebih gelap dari sel-sel bebas glikogen
yang lebih pucat, yang abnormal.8,26
Pelaporan kolposkopi adalah sebagai berikut:
 Pemeriksaan kolposkopi memuaskan: epitel kolumnar, epitel skuamosa, dan
squamocolumnar junction divisualisasikan.
 Tidak memuaskan: squamocolumnar junction tidak divisualisasikan secara
memadai. Dalam kasus seperti itu, spesimen untuk biopsi dapat diambil dengan
kuretase endoserviks.
 Temuan abnormal: mosaik, tanda baca, area acetowhite, keratosis, pembuluh darah
atipikal, area yodium negatif, area terangkat, dan lain-lain.13,27

2.3. Teknik Otomatisasi Deteksi Dini dan Klasifikasi Lesi Prakanker Serviks
Model otomatisasi servikogram adalah suatu sistem analisis gambar otomatis dari
gambar serviks yang dapat menganalisis dan mengekstrak fitur diagnostik pada
gambar serviks dan dapat membantu merekomendasikan diagnosis klinis untuk lesi
prakanker serviks. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan telepon genggam untuk
memungkinkan pemeriksaan deteksi dini kanker serviks oleh tenaga paramedis dan
dokter umum, sistem ini mempunyai potensi yang menguntungkan untuk deteksi dini
kanker serviks seperti pemeriksaan IVA bagi negara-negara berkembang yang
kesulitan dalam sumber daya terutama dokter ahli.32,33
Sistem otomatisasi deteksi dini kanker serviks dapat membantu membuat
keputusan diagnostik melalui sistem machine learning dan memungkinkan untuk
telemedicine khususnya di daerah-daerah terpencil yang tidak memungkinkan dokter
27

ahli berada di tempat tersebut. Ada tiga fitur yang digunakan untuk analisis algoritma
pemroses gambar, yaitu warna, pola pembuluh darah, dan tepi lesi untuk membedakan
lesi normal (IVA -) dan abnormal (IVA +).33-35
Selama pemeriksaan klinis, larutan asam asetat 3-5% dioleskan ke serviks. Epitel
yang tampak normal tetapi berubah menjadi putih setelah aplikasi asam asetat disebut
epitel acetowhite (AW). Lesi AW ini mempunyai dasar lesi selalu berada di SSK,
sehingga penting sekali untuk mengidentifikasi SSK untuk menentukan apakah ini lesi
AW atau bukan. Namun pada kenyataannya tenaga medis atau paramedis masih
kesulitan dalam identifikasi SSK dan lesi AW ini yang memiliki kemiripan dengan
gambaran seperti epitel metaplasia, kista ovula nabothi, dan lesi kondiloma sehingga
berpotensi untuk salah dalam mendiagnosis dan terapi. Kesulitan ini mungkin dapat
diatasi dengan bantuan teknologi komputer berbantu yang dilatih untuk
mengidentifikasi lesi AW dan SSK. Para ahli menggunakan servikogram yang telah
didigitalisasi dan dengan menggunakan pola rekognisi statistik dibuatlah algoritma
matematis untuk identifikasi dan klasifikasi lesi AW.32,36
Hal yang penting juga dalam deteksi dini kanker serviks adalah dapat menilai
derajat lesi dengan mengevaluasi warna dan densitas warna AW oleh tenaga ahli
onkologi ginekologi, namun hal ini sulit dicapai pada negara berkembang yang masih
kekurangan tenaga ahli tersebut. Epitel AW abnormal bervariasi dari putih pucat atau
putih cerah hingga warna putih abu-abu pekat. Derajat putih AW telah terbukti
sebanding dengan tingkat keparahan cervical intra-epithelial neoplasia (CIN). Selain
itu, opasitas atau tembus cahaya dari reaksi AW bervariasi di setiap spektrum CIN.
Metaplasia normal dan lesi tingkat rendah biasanya tampak agak putih atau agak
tembus cahaya sedangkan reaksi AW dari lesi tingkat tinggi tampak lebih buram. Oleh
karena itu, epitel AW adalah salah satu fitur diagnostik utama dalam mendeteksi
daerah prakanker.32,37 Dalam beberapa tahun terakhir, aplikasi diagnostik medis
berbasis kecerdasan buatan (AI) telah meningkat dan memiliki penerapan yang sangat
baik dalam skrining dan diagnosis kanker serviks. Manfaatnya termasuk mengurangi
28

konsumsi waktu, mengurangi kebutuhan tenaga profesional dan teknis, dan tidak ada
bias karena faktor subyektif.
Ada beberapa penelitian mencoba membuat metode berbantu komputer untuk
mengklasifikasi dan mendeteksi kanker serviks. Pada tahun 2000-an, sebagian besar
karya menggunakan metode fitur kerajinan tangan (handycraft) dan klasifikasi
tradisional seperti Support Vector Machine (SVM), Artificial Neural Network (ANN),
K-means Neural Network (K-NN) dan Convolutional Neural Network (CNN). Para
peneliti juga mencoba membandingkan akurasi model otomatisasi yang dibuat dengan
teknik IVA konvensional seperti terlihat pada tabel 2.3. 33,35

Tabel 2.3. Perbandingan akurasi model otomatisasi dengan metode konvensional


pemeriksaan IVA35
Penulis Ukuran Deteksi Klasifikasi Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)
Dataset
Xu et al 1112 Metode CNN berbasis 80.87 ± 7.43 75.94 ± 7.46
OBB fitur
Song et al 280 Persamaan Multimodal 83.21 94.79
berbasis dengan
data dan BB clustering
Kim et al 2000 Metode Majority vote 73.00 77.00
OBB
Sankaranaray 54981 Tidak Skrining 79.00 86.00
anan et al. tersedia
Denny et al 2754 Inspeksi Inspeksi visual 70.00 79.00
visual

Ekstraksi otomatis epitel AW dari gambar serviks digital adalah tugas yang
menantang. Sudah beberapa penelitian mencoba mendigitalisasi servikogram dari
gambar kolposkopi untuk mendapatkan akurasi yang baik. Hasil segmentasi AW yang
dipublikasikan masih dalam tahap awal. Beberapa kelompok peneliti bekerja dengan
29

arsip data medis yang besar dari gambar servikogram yang dikumpulkan oleh
National Cancer Institute (NCI) dan National Institutes of Health (NIH). Sebanyak
100.000 servikogram telah didigitalisasi dan disimpan oleh perpustakaan nasional
kedokteran (NLM), beberapa ratus diantaranya digunakan oleh para peneliti tersebut
untuk mengembangkan algoritma analisis gambar. Ground truth dalam semua kasus
diverifikasi oleh ahli kolposkopi. Gambar-gambar ini dapat diakses berdasarkan
permintaan dari NCI. Analisis gambar untuk servikogram mencakup penghapusan
specular reflexion (silau cahaya); deteksi landmark anatomi, seperti ostium serviks
(OS), columnar epithelial (CE), dan squamous epitelial (SE); deteksi perbatasan leher
rahim; deteksi AW; dan deteksi tekstur (mosaik dan pungtasi). Disamping
mengembangkan teknik segmentasi wilayah AW di servikogram beberapa peneliti
juga mencoba mengembangkan teknik klasifikasi derajat lesi AW dengan mendeteksi
fitur mosaik dan pungtasi pada servikogram.32-34
Para peneliti mencoba mengklasifikasikan gambar dengan mengekstraksi fitur yang
terkait dengan intensitas AW, margin lesi AW, dan tekstur dengan lesi AW. Beberapa
peneliti mempertimbangkan fitur intensitas AW untuk klasifikasi servikogram ke
dalam kelompok IVA positif dan IVA negatif.34,35 Kelompok lain menggunakan
tekstur dalam lesi AW sebagai fitur. Deep learning adalah bidang yang berkembang
pesat dalam pembelajaran komputer untuk analisis gambar yang dapat digunakan
untuk berbagai tugas analisis gambar seperti klasifikasi gambar, segmentasi gambar,
deteksi objek, dan registrasi gambar.33,38
CNN adalah algoritma deep learning yang banyak digunakan secara ekstensif di
bidang analisis gambar medis. CNN terdiri dari beberapa layer dalam prosesnya yaitu
convolutional layer, activation layer, pooling layer, dan fully connected layer. CNN
dapat mengklasifikasi citra medis melalui 2 cara yaitu pertama pendekatan melatih
yang merupakan tahap awal pemrosesan gambar yang dikenal sebagai full training.
Pada tahap ini terdapat 2 layer yaitur deep layer dan shallow layer yang membutuhkan
gambar yang sudah dianotasi ahli dalam jumlah besar. Kudva dkk. dengan
30

menggunakan CNN shallow layer mendapatkan akurasi 100% dalam mengklasifikasi


servikogram sehingga tidak perlu melakukan ekstraksi fitur secara manual.37,39

Gambar 2.13. Pendekatan Deep learning pada CNN 21


Tabel 2.4. Beberapa penelitian analisis digital gambar kolposkopi
Referensi Tujuan penelitian Metode Keterangan
Stefanaki dkk; Segmentasi lesi AW Pola AW temporal Memerlukan waktu
Pogue dkk; dalam memproses
Flores dkk; dan menyimpan
Acosta dkk gambar kolposkopi

Van dkk; Segmentasi lesi AW Komponen Y dari Semiotomatis karena


Meslouhi dkk metode color space penandaan dilakukan
YUV; kontur aktif manual
Park dkk Segmentasi lesi AW Intensitas dan rasio RGB Memerlukan pasien
dengan lesi derajat
tinggi, mudah untuk
menandai AW dan
non-AW
Li dkk Segmentasi lesi AW Komponen G dari RGB Memerlukan gambar
color space; fitur kontras sebelum dan sesudah
asam asetat
Pallavi dkk Segmentasi lesi AW Gambar warna RGB; 3 gambar: sebelum
algoritma K-means asam asetat, sesudah,
color-based dan post Lugol’s
iodine
Ramapraba dkk Segmentasi lesi AW Mean, standard Sebelum ekstraksi
deviation, skewness, fitur dilakukan
koefisien wavelet gambar dekomposisi
RGB komponen RGB
Ji dkk Segmentasi Fitur statistik dan Analisis tekstur
31

mosaic/punctation geometri dari tekstur gambar awal


gambar
Tulpule dkk; Segmentasi Jarak interkapiler, titik Memerlukan
Srinivasan dkk; mosaic/punctation percabangan struktur komputasi rangka
Li dkk; mosaic; ROSE; segmentasi regio AW
Yeshwanth dkk; GMROSE
Dasa dkk;
Claude dkk; Analisis tepi lesi Variasi topologi kontur Hasil memuaskan
Van dkk AW, iregularitas kontur untuk analisis tepi
lesi

Tabel 2.5. Beberapa penelitian analisis digital gambar servikografi


Referensi Objektif Metode Keterangan
Huang dkk Segmentasi lesi AW CIE Lab color space; Cluster centers
mean shift clustering, SVM menggunakan kernel
lebar untuk SVM
classifier
Artan dkk Segmentasi lesi AW HSV color space, gray- Multiple classifier
level intensity untuk klasifikasi
Alush dkk Segmentasi lesi AW Visual words Sensitifitas didasarkan
ukuran visual word,
ukuran dictionary
Xue dkk Segmentasi RGB green channel; YUV Cropped regio AW
Mosaic/punctasi luminance channel; untuk analisis mosaic
Gabor; log Gabor; DWT;
GLCM; SVM classifier

Convolutional layer mengekstrak fitur dari input gambar. Layer ini terdiri dari
filter (convolutional kernels) dan fitur (peta aktivasi). Filter akan memindai gambar
servikogram. Jumlah piksel yang dipindai disebut stride. Pada setiap posisi, produk
titik yang dihasilkan filter weight dan piksel gambar dikomputerisasi, menghasilkan
peta aktivasi dua dimensi (2-D). Oleh karena itu, peta aktivasi sesuai dengan respons
32

filter di setiap posisi spasial. Setiap filter di lapisan konvolusional akan menghasilkan
peta aktivasi 2-D yang terpisah. Peta aktivasi 2-D ini ditumpuk secara mendalam
untuk menghasilkan luaran dari lapisan konvolusional. Setiap filter akan menangkap
fitur berbeda pada gambar servikogram.

Gambar 2.14. Komputasi peta fitur pada convolutional layer38

Persyaratan sejumlah besar data anotasi menghambat penerapan convolutional


layer dalam analisis gambar di bidang medis. Oleh karena itu, pelatihan penuh
menggunakan CNN shallow layer dipertimbangkan untuk analisis gambar di bidang
medis. Untuk mengeksploitasi keunggulan arsitektur CNN yang mendalam pada
kumpulan data terbatas, pendekatan lain yang dikenal sebagai transfer learning
digunakan. Pendekatan ini memfasilitasi penggunaan pengetahuan yang diperoleh
CNN pra-trained menggunakan sejumlah besar data non-medis. Transfer learning
dapat dilakukan dengan dua cara. Pendekatan pertama mengekstrak fitur dari
berbagai lapisan setelah melatihnya kembali dengan kumpulan data kecil. Fitur yang
diekstraksi diklasifikasikan menggunakan klasifikasi yang berbeda. Pendekatan
kedua transfer learning melibatkan pemurnian berbagai lapisan CNN yang telah
dilatih untuk melakukan tugas yang berbeda. Transfer learning adalah pilihan terbaik
untuk analisis gambar medis, di mana sejumlah besar data anotasi ahli yang besar
tidak tersedia. Sejumlah besar filter tersedia di lapisan konvolusional jaringan
pretrained menyediakan ekstraksi berbagai variasi fitur. Sangat sedikit fitur ini yang
33

berguna untuk memecahkan masalah di domain yang berbeda, sementara yang lain
tidak relevan, yang menggunakan fitur yang mengurangi efikasi network. Namun,
dengan meminimalkan jumlah filter yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah,
efisiensi training network dapat ditingkatkan.37,38

Gambar 2.15. Model otomatisasi IVA yang diajukan untuk arsitektur segmentasi SSK dan lesi AW40
34

Pengenalan AI dalam mendeteksi servikogram dimulai dengan preliminary study


berupa pelaksanaan ground truth (GT) berupa anotasi oleh verifikator yang terlatih
(onkolog) terhadap sampel servikogram yang didapat dari berbagai sumber seperti
dari website servikogram, mobile ODT, IARC, dan dari koleksi pribadi. Verifikasi
untuk interpretasi lesi acetowhite bila lesi putih berada di zona transformasi yang
berbatasan dengan SSK. Klasifikasi derajat lesi berdasarkan indeks kolposkopi Reid
yang dimodifikasi menurut fitur-fitur yang ada pada lesi yaitu: warna putih lesi,
pinggir (margin lesi) dan ada tidaknya pola pembuluh darah abnormal pada lesi.39,40
Komputer dilatih untuk mengenal anatomi serviks dan fitur-fitur yang ada, yaitu
warna, tekstur, dan tepi lesi. Area anatomi yang dipelajari komputer meliputi area sel
kolumner yang berwarna merah gelap dan tekstur yang lebih kasar, area sel epitel
gepeng berlapis yang merupakan zona transformasi berwarna merah terang dengan
tekstur yang lebih halus dan sambungan skuamo-kolumner (SSK) yang merupakan
garis maya yang terbentuk yang membatasi antara area sel kolumner dengan area sel
epitel gepeng (zona transformasi). Untuk mengidentifikasi lesi acetowhite komputer
harus mengenali area anatomi tersebut dikarenakan lesi AW selalu berada di zona
transformasi (area metaplasia sel gepeng berlapis) dengan batas lesi AW selalu
terletak di SSK (gambar 2.16).39,40

Gambar 2.16. Anatomi area serviks, regio sel epitel kolumner (CE), regio sel epitel squamous (SE)
dan regio bercak putih (AW) dan pembuluh darah abnormal.39,41
Dengan menggunakan Convolutional neural network (CNN) semua fitur tersebut
akan ditandai dan didigitalisasi sebagai fitur spesifik bagi komputer untuk mengenali
dan mengklasifikasi lesi AW pada pemeriksaan IVA positif. Selanjutnya dilakukan
35

training terhadap deep learning pada servikogram di luar servikogram ground truth
untuk melihat akurasi deep learning. Setelah mendapatkan akurasi yang baik maka
dilanjutkan pada pemeriksaan IVA langsung pada pasien dengan membandingkan
pemeriksaan kolposkopi onkolog ginekologi dan pemeriksaan model otomatisasi.39,42
Model yang dilatih dapat mendeteksi lesi AW dan SSK, pendekatan yg digunakan
deep learning Mask-RCNN berupa: segmentasi, deteksi, dan klasifikasi. Tiga tugas
utama mask RCNN ini dalam deteksi, segmentasi, klasifikasi servikogram dengan
cara melakukan proses ekstraksi fitur dari gambar (servikogram raw data) yang
melakukan ekstraksi adalah suatu backbone model (sebuah model yang digunakan
untuk melakukan tahapan ekstraksi fitur raw data servikogram). Backbone model
yang digunakan adalah RestNet 50, RestNet 101, dan MobileNet. Hasil proses ini
berupa fitur (kotak hitam) yang akan digunakan sebagai baseline ekstraksi fitur.
Proses ini akan melalui 2 tahap, yang pertama adalah RPN (Regio Proposal Network)
cara kerjanya secara acak membuat bounding box (BB), 1 gambar di regenerate
menjadi 1000 BB dari 1000 BB ini akan di cek hasil klasifikasinya apa dan
segmentasinya kemudian dimasukkan ke FCL untuk mengetahui kelasnya. Dari BB
bisa disegmentasi regionya yang merupakan hasil groundtruth (GT), nanti hasilnya
berupa weight (bobot/dalam bentuk angka) untuk melihat fitur misalnya SSK dan
AW.39,42
Angka-angka yang merepresentasikan fitur SSK dan AW akan disegmentasi yang
mana yang dominan dengan diberi warna. Hasil random BB ada kemungkinan loss
(salah menentukan kelas), maka dilakukan perhitungan berapa besar kesalahan model
yang akan menjadi dasar penentuan weight dan model akan belajar lagi dari loss
untuk bisa mengidentifikasi dengan benar. Kesalahan yang dilakukan model (loss)
ada 3 jenis, yaitu: (i). loss kelas mencari konfidens 0-1; (ii). loss BB (deteksi)
seberapa jauh hasil BB GT dengan prediksi dalam bentuk intersection over union
(IOU) dengan nilai x,y, w,h; (iii). loss mask (segmentasi) per piksel dari prediksi
model dengan GT dengan nilai 0 untuk (background), 1 untuk (SSK), 2 untuk (lesi
36

AW) dan dilihat berapa loss-nya untuk model kembali melakukan learning. Tiga loss
di atas di jumlah total menunjukkan seberapa dekat prediksi model terhadap GT.39,42

Gambar 2.17. Contoh groundtruth servikogram. Dibagi menjadi 3 kelas: gambar (a) dan (d)
segmentasi gambar secara manual; (b), (e) segmentasi gambar menggunakan fitur Lab space; (c), (f)
segmentasi gambar menggunakan fitur tekstur-warna.34

Seluruh gambar servikogram diproses dengan arsitektur Mask-RCNN sehingga model


dapat mengidentifikasi fitur landmark SSK dan lesi AW berdasarkan kontur yang terbentuk
dari lesi dan SSK (kombinasi bounding box dan segmentasi). Tiga performa yang digunakan
untuk menilai seberapa baik model Mask-RCNN dalam melakukan segmentasi, deteksi dan
klasifikasi fitur pada servikogram. Ketiga performa ini meliputi IoU dan DSC. IoU menilai
seberapa mirip hasil prediksi model Mask-RCNN dibandingkan dengan label GT. IoU dan
DSC mimiliki nilai antara 0–100, semakin besar nilai IoU berarti semakin mendekati
kemiripan antara model dengan label GT. 42,43
37

Pendekatan AI dalam mengenali servikogram pada model didasarkan pada teori Herf’s
tentang proses terjadinya lesi prakanker akibat infeksi virus HPV yang dimulai di daerah
subepithelial SSK yang meluas ke TZ, sehingga lesi AW yang terbentuk mempunyai ciri
khusus adanya area perpotongan lesi AW dengan SSK sebagai fitur uniknya. Mask-RCNN
mampu mengidentifikasi fitur unik ini dimana melalui bounding box dapat melokalisasi area
perpotongan SSK dengan lesi AW. Luaran Mask-RCNN divalidasi dengan 6 parameter yaitu:
loss in classification, loss in segmentation, loss in detection, overlapping antar annotasi, dan
prediksi input tiap kelas dalam IoU, DCS untuk segmentasi, dan mAP untuk deteksi
objek.42,43
Pendekatan AI untuk mendeteksi lesi prakanker mempunyai beberapa keterbatasan dalam
performanya. Untuk menigkatkan performa model Mask RCNN ini diperlukan gambar
servikogram yang lebih banyak lagi untuk menjamin algoritma yang dapat digunakan di
praktek klinis. Selain itu model yang diusulkan belum bisa membedakan derajat keparahan
lesi, seperti lesi derajat rendah (CIN 1) dan lesi derajat tinggi (CIN 2 dan CIN 3). Derajat lesi
CIN atau lesi prakanker serviks ini memiliki fitur-fitur yang lebih kompleks lagi seperti
adanya gambara pembuluh darah atipik dan densitas lesi AW-nya. Model yang diusulkan ini
baru bisa membedakan lesi normal (IVA negatif) dan lesi abnormal (IVA positif) dari
servikogram pemeriksaan IVA. Diharapkan agar model AI sudah dikembangkan dapat dilatih
dengan jumlah gambar yang lebih banyak dan dilatih untuk bisa membedakan derajat lesi
prakanker serviks.42,43

2.4 OTIVA (Otomatisasi Inspeksi Visual Asetat)

Pengembangan AI model OTIVA dimulai dengan tahap satu dan tahap dua
penelitian. Tujuan utama tahap satu pengembagan model OTIVA adalah supaya
model yang dilatih dapat mendeteksi secara akurat fitur penting servikogram yaitu
lesi AW, AK dan SSK berdasarkan patogenesis dan landmark anatomi serviks.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah arsitektur Mask Regio
Convolutional Neural Network (Mask-RCNN).40-42
Tiga tugas utama mask RCNN ini dalam deteksi, segmentasi, klasifikasi
servikogram dengan cara melakukan proses ekstraksi fitur dari gambar (cervicogram
38

raw data) yang melakukan ekstraksi adalah backbone model (sebuah model yang
digunakan untuk melakukan tahapan ekstraksi fitur raw data servikogram). Backbone
model yang digunakan adalah RestNet 50, RestNet 101, dan MobileNet V. 36,40
Pengembangan model dimulai dengan melakukan anotasi servikogram oleh dua
ahli onkogin untuk menetapkan groundtruth sebagai bahan learning model OTIVA
dalam memprediksi servikogram. Dari 1500 servikogram setelah melalui pemilihan
dan pemilahan sesuai kriteria inklusi dan eklusi penelitian diperoleh 484 servikogram
yang terdiri dari 222 servikogram normal (IVA negatif) dan 262 servikogram
abnormal (IVA positif). Selanjutnya melalui arsitektur Mask RCNN model
melakukan proses training, validasi dan testing serta melakukan learning terhadap
loss prediksi model. Kemudian model dianalisis menggunakan 3 parameter yaitu
IOU, DSC, dan mAP untuk menilai kemampuan prediksi fitur AK dan lesi AW
dibandingkan dengan GT. Analisis performa backbone juga dilakukan terhadap 3
arsitektur yaitu ResNet 50, ResNet 110 dan MobileNet V1. 40-42

Gambar 2.18. Contoh hasil anotasi servikogram oleh Onkolog-ginekologi yang melabel lesi pra-
kanker serviks dengan lesi AW (garis hijau) dan servikogram normal yang hanya ada SSK (garis
merah), c merupakan kontur dari SSK dan lesi AW.40
39

Performa segmentasi dan deteksi dimana pada learning rate (LR) 0.0001 performa
yang dihasilkan sangat baik. Segmentasi SSK 63.61% dan lesi AW 72.43% berada di
atas nilai baseline IoU (50%). Untuk DSC yang menilai seberapa mirip hasil prediksi
model dengan GT. DSC mengukur batas lesi AW atau SSK. Hasilnya untuk fitur
SSK model mencapai 72.55% dan untuk lesi AW mencapai 88.81%. Sedangkan
untuk performa mAP adalah untuk menilai seberapa baik model mendeteksi objek
yang diinginkan. Bounding box (BB) dan label adalah benar bila batas perpotongan
antara GT dengan prediksi model bernilai minimun 50% label yang sama. Model
mampu mendeteksi lesi AW 86.90% dan SSK 100%.40,42
Untuk meyakinkan model yang dikembangkan peneliti juga menggunakan
backbone lain seperti arsitektur ResNet 101 dan MobileNetV1 sebagai perbandingan
dengan backbone ResNet 50 yang merupakan model yang diusulkan. Hasilnya
menunjukkan performa model yang diusulkan dengan backbone ResNet 50 dengan
LR 0,0001 masih menghasilkan performa yang memuaskan bila dibandingkan dengan
arsitektur lain. Loss Mask-RCNN menggambarkan seberapa baik model dalam
melokalisasi objek, mengenal tiap klas objek dan segmentasi objek. Untuk menilai
performa model yang diusulkan peneliti dalam mendetksi lesi prakanker serviks pada
pemeriksaan IVA dapat dilihat dari kurva loss training dan validasi. 40,42

Tabel 2.6. Performa model Mask-RCNN dibandingkan dengan 3 arstiketur backbone lain40
40

Gambar 2.19. Ilustrasi kemampuan model mengidentifikasi, klasifikasi dan segmentasi fitur
servikogram untuk prediksi (hijau = GT; merah = prediksi). 40

Loss Mask-RCNN menggambarkan seberapa baik model dalam melokalisasi


objek, mengenal tiap klas objek dan segmentasi objek. Untuk menilai performa model
yang diusulkan peneliti dalam mendetksi lesi prakanker serviks pada pemeriksaan
IVA dapat dilihat dari kurva loss training dan validasi. Ada 2 loss dalam RPN, 3 loss
dalam FCN dan 1 average loss (overall loss). Mask-RCNN memisahkan 3 tugas
dalam proses learning, yaitu: prediksi bounding-box, prediksi kelas da menghasilkan
segmentasi mask pada tiap kelas tanpa menimbulakn kompetisi antar kelas. Overall
loss menunjukkan performa yang baik dan merubah nilai 1 ke 0,4 untuk training dan
0,7 untuk validasi.37,40
41

Gambar 2.20. Hasil loss training dan validasi pada learning Backbone ResNet 50

Setelah mendapatkan hasil penelitian tahap satu berupa akurasi, sensitivitas, dan
spesifisitasnya dengan performa yang memuaskan, peneliti melanjutkan penelitian
tahap kedua terhadap pasien-pasien yang dilakukan skrining kanker serviks baik yang
berada di RSUP dr Mohammad Hoesin Palembang (pasien rawat jalan dan pasien
rawat inap divisi Onkologi Ginekologi) dan di puskesmas wilayah kota Palembang.
Berikut hasil performa model OTIVA dengan interpretasi ahli Onkogin sebagai
pembanding dalam skrining kanker serviks pada pemeriksaan servikogram IVA,
maka diperoleh nilai diagnostik sebagai berikut : 40,42

Tabel 2.7. Hasil performa model OTIVA dengan ahli onkogin40

Sensitivitas : 76,7 % (57,72% - 90,1 %) Spesifisitas : 100% (96,7% - 100%)


PPV : 100% NPV : 94,02% (89,2% - 96,7%)
Akurasi : 95% (89,97% - 97,9 %)
42

Pemeriksaan model OTIVA dalam memprediksi servikogram IVA menunjukkan


performa sebagai berikut: nilai Sensitifitas 76,67%; nilai Spesifisitas 100%, nilai
duga positif 100%, nilai duga negatif 94,02% dengan akurasi 95%. Berdasarkan
kurva ROC didapatkan akurasi model OTIVA sebesar 88.3 % (batas kepercayaan
95% 0,79 – 0,97). Dari ROC curve di bawah, bisa disimpulkan bahwa model yang
dibuat memberikan performa yang cukup baik dengan nilai AUC ( Area Under the
Curve) 0.883 (mendekati 1). Model dikatakan sempurna ketepatan prediksinya jika
nilai AUC adalah 1 yang artinya 100% area dibawah kurva. Kemampuan model yang
dibuat dinyatakan dengan nilai 0.88 yang artinya model yang dibuat memiliki 88%
area di bawah kurva. 36,40

Gambar 2.21. Kurva ROC model OTIVA. Dari ROC curve dapat disimpulkan bahwa model
yang dibuat memberikan performa yang cukup baik dengan nilai AUC (Area Under the
Curve) 0.883 (mendekati 1). 40
43

Berdasarkan hasil uji kesesuaian otomatisasi IVA dengan konsultan Onkogin


dapat disimpulkan dengan nilai Kappa sebesar 0,838 kesesuaian antara model OTIVA
dengan hasil pemeriksaan konsultan onkologi ginekologi adalah Almost Perfect
Agreement, yang artinya pemeriksaan Model OTIVA setara dengan pemeriksaan
konsultan onkogin. Akurasi model OTIVA ketika dibandingkan dengan pemeriksaan
ahli onkologi ginekologi memiliki performa yang baik, pemeriksaan model OTIVA
dalam memprediksi pemeriksaan IVA jika dibandingkan dengan interpretasi Ahli
Onkogin sebagai pembanding memiliki nilai sensitifitas 76,67%; nilai spesifisitas
100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 94,02% dengan akurasi 95%.40,42

Tabel 2.8. Hasil uji kesesuaian otomatisasi IVA – konsultan onkogin

Berdasarkan kurva ROC didapatkan akurasi model OTIVA sebesar 88,3 % (batas
kepercayaan 95% 0,79 – 0,97). Dari ROC curve di bawah, kita bisa menyimpulkan
bahwa model yang dibuat memberikan performa yang cukup baik dengan nilai AUC
(Area Under the Curve) 0,883 (mendekati 1). Model dikatakan sempurna ketepatan
prediksinya jika nilai AUC adalah 1 yang artinya 100% area dibawah kurva.
Kemampuan model yang dibuat dinyatakan dengan nilai 0.88 yang artinya model yang
dibuat memiliki 88% area dibawah kurva. Dengan nilai Kappa sebesar 0,838
kesesuaian antara model OTIVA dengan hasil pemeriksaan Ahli onkologi ginekologi
adalah almost perfect agreement, yang artinya pemeriksaan Model OTIVA setara
dengan pemeriksaan Konsultan Onkogin. 40
44

BAB III
RINGKASAN

Lesi prakanker serviks yang sangat dikenal dengan Neoplasia Intraepitelial Serviks
(NIS) atau Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN), ditandai dengan adanya
perubahan displastik epitel serviks. Keadaan ini merupakan awal dari perubahan
menuju karsinoma leher rahim. Walaupun penyebab utama dari terjadinya kanker
serviks adalah infeksi HPV, terdapat faktor-faktor risiko utama terjadinya kanker
serviks yang dapat mempengaruhi infeksi HPV yaitu: Usia, Usia hubungan seksual
dini, merokok, jumlah paritas yang tinggi, penggunaan pil KB jangka panjang,
multiple partner seksual, riwayat keputihan, dan pekerjaan suami.2,5,8
Terdapat tiga tes utama yang terlibat dalam skrining awal kanker serviks: sitologi,
tes HPV, dan IVA. WHO menganjurkan program nasional pencegahan kanker serviks
dengan skrining lesi prakanker serviks yaitu “screen and treat” melalui metode
pemeriksaan IVA karena metode tersebut mudah, murah dan bisa dilakukan secara
massal. Subjektivitas dalam evaluasi gambar dapat diatasi melalui analisis gambar
digital otomatis berbantu komputer.10,15,32
Sistem otomatis memiliki potensi untuk memungkinkan dokter, tenaga medis dan
paramedis lainnya yang kurang berpengalaman untuk memberikan evaluasi yang
setara dengan para ahli. Servikogram yang digabungkan dengan interpretasi berbantu
komputer dapat berguna dalam praktik klinis, penting untuk mengembangkan lebih
lanjut metode yang dapat meningkatkan spesifisitas di atas 90% dan sensitivitas
setinggi mungkin. Kesesuaian antara model OTIVA dengan hasil pemeriksaan Ahli
onkologi ginekologi adalah almost perfect agreement, yang artinya pemeriksaan
Model OTIVA setara dengan pemeriksaan Konsultan Onkogin.32,36,40

43
45

RUJUKAN

1. Cholishotul SCH. Perempuan 7 orang anak dengan kanker serviks. Surabaya


Biomedical Journal. 2022; 2(1):25–34.
2. Netter FH. Atlas of human anatomy, professional edition E-book: 6th ed. Saunders;
2014: 651-674.
3. Skinner SR, Wheeler CM, Romanowski B, , Lazcano E, Del Rosario R. Progression
of HPV infection to detectable cervical lesions or clearance in adult women. Int J
Cancer. 2016;138(10): 2428–38.
4. Moyer VA. Preventive Services Task Force. Screening for and management of
obesity in adults: U.S. Preventive Services Task Force recommendation statement.
Ann Intern Med. 2012;157(5):373–8.
5. Iskandar TM. Pengelolaan Lesi prakanker serviks. Indonesian Journal of Cancer.
2014;3-11.
6. Moody C. Mechanisms by which HPV induces a replication competent environment
in differentiating keratinocytes. Viruses. 2017; 9(9):261.
7. Keshavarz Z, Simbar M, Ramezankhani A. Factors for performing breast and cervix
cancer screening by Iranian female workers: a qualitative-model study. Asian Pac J
Cancer Prev. 2011;12(6): 1517–22.
8. Makuza JD, Nsanzimana S, Muhimpundu MA, Pace LE, Ntaganira J, Riedel DJ.
Prevalence and risk factors for cervical cancer and pre-cancerous lesions in Rwanda.
Pan Afr Med. 2015;22:26.
9. Pratama FY, Putri EA, Raharjo W. Hubungan paparan asap rokok dengan hasil
pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (IVA) pada perempuan usia subur di
Puskesmas Tanjung Sekayam. Jurnal Cerebellum. 2021;6(3):82.
10. Pakpahan S. Skrining lesi prakanker leher rahim dengan pemeriksaan IVA. J Manaj
Kesehat Yayasan RS Dr Soetomo. 2021;7(1):45-48.

44
32
46

11. Palifiana DA, Khadijah S, Amestiasih T. Gambaran hasil pelaksanaan iva test di
lembaga pemasyarakatan perempua yogyakarta. Prosiding seminar nasional
multidisiplin ilmu. 2020;2:28–32.
12. Priyanti S, Syalfina AD. Alat Kontrasepsi dan Aktivitas seksual sebagai faktor yang
berpegaruh terhadap kejadian keputihan. Jurnal Berkala Epidemiologi.
2017;5(3):371–82.
13. Anggeria E, Daeli VA. Hubungan mekanisme koping dengan kualitas hidup pada
pasien terminal dengan kanker serviks Di RSU. Vina Estetica. Jurnal Ilmiah
Penelitian Kesehatan. 2016;3(1):29–43.
14. Bordignon V, Di Domenico EG, Trento E, Agosto G, Cavallo I, Pontone M, et al.
How human Papillomavirus replication and immune evasion strategies take
advantage of the host DNA damage repair machinery. Viruses. 2017;9-12.
15. Fitri L, Febriyanti H, Sanjaya R. Factors related to examination of IVA in
reproductive women. jrssh. 2021;1(1):27–36.
16. Tsikouras P, Zervoudis S, Manav B, Tomara E, Iatrakis G, Romanidis C, et al.
Cervical cancer: screening, diagnosis and staging. J BUON. 2016;21(2):320–5.
17. Coquillard G, Palao B, Patterson BK. Quantification of intracellular HPV E6/E7
mRNA expression increases the specificity and positive predictive value of cervical
cancer screening compared to HPV DNA. Gynecol Oncol. 2011;120(1):89–93.
18. Kim M-K, Kim MA, Kim JW, Chung H. Loop electrosurgical excision procedure
findings for identification of patients with early-stage cervical cancer suitable for
less radical surgery. Int J Gynecol Cancer. 2012;22(7):1214–9.
19. Bhatla N, Aoki D, Sharma DN, Sankaranarayanan R. Cancer of the cervix uteri:
2021 update. Int J Gynaecol Obstet. 2021;155 Suppl 1(S1):28–44.
20. Muwonge R, Manuel M da G, Filipe AP, Dumas JB, Frank MR, Sankaranarayanan
R. Visual screening for early detection of cervical neoplasia in Angola. Int J
Gynaecol Obstet. 2010;111(1):68–72.
47

21. Ngoma T, Muwonge R, Mwaiselage J, Kawegere J, Bukori P, Sankaranarayanan R.


Evaluation of cervical visual inspection screening in Dar es Salaam, Tanzania. Int J
Gynaecol Obstet. 2010;109(2):100–4.
22. Nessa A, Hussain MA, Rahman JN, Rashid MHU, Muwonge R, Sankaranarayanan
R. Screening for cervical neoplasia in Bangladesh using visual inspection with acetic
acid. Int J Gynaecol Obstet. 2010;111(2):115–8.
23. Thay S, Goldstein A, Goldstein LS, Govind V, Lim K, Seang C. Prospective cohort
study examining cervical cancer screening methods in HIV-positive and HIV-
negative Cambodian Women: a comparison of human papilloma virus testing,
visualization with acetic acid and digital colposcopy. BMJ Open. 2019;9(2)
24. Davis-Dao CA, Cremer M, Felix J, Cortessis VK. Effect of cervicitis on visual
inspection with acetic acid. J Low Genit Tract Dis. 2008;12(4):282–6.
25. Pande S, Jain N, Prusty BK, Bhambhani S, Gupta S, Sharma R, et al. Human
papillomavirus type 16 variant analysis of E6, E7, and L1 genes and long control
region in biopsy samples from cervical cancer patients in north India. J Clin
Microbiol [Internet]. 2008;46(3):1060–6.
26. Amanda MR, Nindrea RD, Sastradinata I, Agustiansyah P, Bahar E. Prevalensi dan
faktor yang mempengaruhi lesi pra kanker serviks pada perempuan. Jurnal
Endurance: Kajian Ilmiah Problema Kesehatan. 2017;2(1):53–61.
27. Prendiville W, Sankaranarayanan R. Colposcopy and treatment of cervical
precancer. Lyon (FR): International Agency for Research on Cancer; 2017. Chapter
2.52-55.
28. Taye BT, Mihret MS, Muche HA. Risk factors of precancerous cervical lesions: The
role of women's socio-demographic, sexual behavior and body mass index in
Amhara region referral hospitals; case-control study. PLoS One. 2021 Mar 26;16(3).
29. Tsehay B, Afework M. Precancerous lesions of the cervix and its determinants
among Ethiopian women: Systematic review and meta-analysis. PLoS One.
2020;15-25.
48

30. Enggoa F, Rachmawati, Dewi R. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian lesi


prakanker. Jurnal Media Kesehatan, Volume 11 Nomor 1, Juni 2018, 39-101.
31. Trifitriana M, Sanif R, Husin S. Faktor Risiko Kanker Serviks Pada Pasien Rawat
Jalan dan Rawat Inap Di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang. Biomedical Journal of Indonesia : Jurnal Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Vol 3, No. 1, Januari 2017
32. Johnson CA, James D, Marzan A, Armaos M. Cervical Cancer: An Overview of
Pathophysiology and Management. Semin Oncol Nurs. 2019 Apr;35(2):166-174.
doi: 10.1016/j.soncn.2019.02.003. Epub 2019 Mar 14. PMID: 30878194.
33. Kudva V, Prasad K, Guruvare S. Automation of detection of cervical cancer using
convolutional neural networks. Crit Rev Biomed Eng. 2018;46(2):135-145.
34. Shen D, Wu G, Suk H. Deep Learning in Medical Image Analysis. Annu Rev
Biomed Eng. 2017;19(March):221-248.
35. Krizhevsky A, Hinton GE. ImageNet Classification with Deep Convolutional Neural
Networks. In: Advances in Neural Information Processing Systems. ; 2012:1-9.
36. Bayar B, Stamm MC. Design principles of convolutional neural networks for
multimedia forensics. IS T Int Symp Electron Imaging Sci Technol. 2017:77-86.
37. Springenberg JT, Dosovitskiy A, Brox T, Riedmiller M. Striving for simplicity: The
all convolutional net. 3rd International Conference on Learning Representations,
ICLR. 2015; 5-8.
38. Li W, Gu J, Ferris D, et al. Automated Image Analysis of Uterine Cervical Images.
Proc SPIE 6514, Med Imaging Comput Diagnosis. 2007;6514:1-9.
39. Kudva V, Prasad K. Pattern classification of images from acetic acid– based cervical
cancer screening: A review. Crit Rev Biomed Eng. 2018;46(2):117-133.
40. Agustiansyah P, Nuranna L, Nurmaini S, Mulyana Y, Sanif R, Irfanudin, et al.
Monograf : Skrining kanker serviks model otomatisasi inspeksi visual asetat (otiva)
berdasarkan biomarker, servikogram dan faktor risiko menggunakan pendekatan
artificial intelligence. Unsri Press, 2022 : 102-15.
49

41. Lin G, Lai K, Syu J, Lin J, Chai S. Instance Segmentation Based on Deep
Convolutional Neural Networks and Transfer Learning for Unconstrained Psoriasis
Skin Images. Appl Sci. 2021;11:3155.
42. Asiedu MN, Simhal A, Chaudhary U, et al. Development of Algorithms for
Automated Detection of Cervical Pre-Cancers With a Pocket Colposcope. IEEE
Trans Biomed Eng. 2018;66(8):2306-2318.
43. Yan L, Song H, Guo Y, Ren P, Zhou W, Li S, Yang J SX. HLDnet: Novel deep
learning based Artificial Intelligence tool fuses acetic acid and Lugol’s iodine
cervicograms for accurate pre-cancer screening.. Biomed Signal Process Control.
2022;1(71):103163. doi:10.1016/j.bspc.2021.103163

Anda mungkin juga menyukai