Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PROSEDUR PEMERIKSAAN CT SCAN THORAX BIOPSY


PADA KASUS TUMOR PARU DI INSTALASI RADIOLOGI
RSUD DR. M. ASHARI PEMALANG

Untuk Memenuhi Persyaratan Kenaikan Pangkat Jabatan Fungsional


Radiografer Ahli Madya

Oleh:
Nama : Siti Khoiriyah, S.Tr.Kes., SE.
NIP : 19650413 198803 2 008

RSUD Dr. M. ASHARI PEMALANG


2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah yang berjudul


“PROSEDUR PEMERIKSAAN CT SCAN THORAX BIOPSY PADA KASUS
TUMOR PARU DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD DR. M. ASHARI
PEMALANG”

Oleh:

Telah dipresentasikan didepan Rapat Koordinasi Instalasi Radiologi pada hari Kamis
tanggal 28 Juli 2022 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk kenaikan pangkat
Jabatan Fungsional Radiografer Ahli Madya

Pemalang, 29 Juli 2022


Direktur
RSUD Dr. M. Ashari Pemalang

dr. Aris Munandar, MH.


NIP. 19740913 200701 1 009

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat
serta karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PROSEDUR PEMERIKSAAN CT SCAN
THORAX BIOPSY PADA KASUS TUMOR PARU DI INSTALASI RADIOLOGI
RSUD DR. M. ASHARI PEMALANG”
Makalah ini disusun untuk pemenuhan syarat kenaikan pangkat Jabatan Fungsional
Radiografer Ahli Madya. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah
pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini.

Pemalang, 28 Juli 2022

Siti Khoiriyah, S.Tr.Kes., SE


NIP. 19650413 198803 2 008

iii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan .............................................................................................. ii


Kata Pengantar...................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
Daftar Gambar ...................................................................................................... v
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan............................................................................... 3
BAB II Pembahasan
A. Anatomi Thorax .................................................................................. 4
B. Patologi Tumor Paru ........................................................................... 10
C. Multi Slice CT Scan ............................................................................ 11
D. Teknik Pemeriksaan CT Scan ............................................................. 16
E. Prosedur CT Guiding Biopsy Non Kontras ......................................... 17
BAB III Penutup
A. Kesimpulan ......................................................................................... 20
B. Saran ................................................................................................... 20
Daftar Pustaka

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Crossectional Thorax Coronal ......................................... 4


Gambar 2.2 Rangka dada .................................................................................... 5
Gambar 2.3 Paru dan struktur dalam mediastinum ............................................. 6
Gambar 2.4 Struktur di daerah mediastinum, tampak depan .............................. 7
Gambar 2.5 Laring dan Trachea ......................................................................... 8
Gambar 2.6 Bronkus ........................................................................................... 8
Gambar 2.7 Paru-paru ......................................................................................... 9
Gambar 2.8 A dan B, volume (spiral) multislice scan, dengan rotasi 360° terus
menerus dari tabung dan detektor sementara pasien bergerak ke dalam dan ke
luar ......................................................................................................... 11
Gambar 2.9 Scanogram CT Scan Thorax ........................................................... 17
Gambar 2.10 Pasien prone dengan beberapa metastasis paru-paru. Sebuah nodul
subpleural di lobus kiri bawah dipilih untuk biopsi aspirasi bawah bimbingan CT
......................................................................................................... 19

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tumor adalah sebutan untuk neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat
pertumbuhan sel tubuh yang tidak semestinya, yang mirip dengan simtoma bengkak.
Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (malignan) atau jinak (benign).
(Holland, 2003).
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan
dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan
keterampilan dan sarana yang tidak sederhana, memerlukan pendekatan multidisiplin
kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat antara ahli paru dengan
ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi, ahli bedah toraks,
ahli rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya(Gani, 2003) Diagnosis jaringan tumor paru
diperlukan untuk menentukan penatalaksanaan tumor selanjutnya. Beberapa ahli paru
lebih memilih diagnosa tumor dari sampel jaringan yang diperlukan dengan aspirasi
jarum perkutan atau biopsy untuk pemeriksaan sitologi (Restiawati, dkk, 2012).
Foto thorax PA/Lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai pasien dengan
kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi dan
tindakan selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang dan penanganan dapat
ditentukan. Jika pada foto thorax ditemukan lesi yang dicurigai sebagai keganasan,
maka pemeriksaan CT Scan thorax dilakukan untuk mengevaluasi lesi tersebut
(Gondhowiardjo, 2017).
Computed tomography sekarang ini merupakan modalitas yang penting dan tidak
tergantikan dalam mengevaluasi penyakit pada dada. Kelebihan CT Scan dapat
memberikan detail yang sangat baik untuk melokalisasi dan membuat staging massa
mediastinal dan neoplasma bronkhial. CT Scan juga dapat digunakan untuk
mendampingi biopsi paru secara perkutan (Patel, 2010). Teknologi Computed
Tomography dapat memperlihatkan baik bronkiektasis maupun tumor dengan lebih jelas
(Rasad, 2005).
Menurut (Neseth, 2000), teknik pemeriksaan akurat dapat membuktikan jenis dan
tingkat keganasan tumor paru dilakukan dengan guided biopsy, yang akan mengambil
sample dari jaringan tumor. Pengambilan sample membutuhkan suatu alat ataupun suatu
teknik pemeriksaan pendukung guided biopsy pada kasus tumor paru adalah
pemeriksaan CT Scan thorax. CT Scan sudah biasa digunakan untuk menuntun dan
mengidentifikasi letak biopsy yang tidak dapat terlihat dalam pemeriksaan
ultrasonografi. Tujuan dari guided biopsy adalah untuk memperoleh sample dari lesi,

1
dengan jumlah resiko minimal pada struktur didekatnya dan akan memberikan informasi
tentang lokasi masuknya jarum biopsy yang tepat.
Tindakan lanjutan prosedur CT Scan thorax biopsy setelah pemasukkan jarum
biopsy yaitu post biopsy. Tujuan dari pemeriksaan post biopsy yaitu untuk mengevaluasi
ada atau tidaknya pneumothorax dan hemothorax setelah dilakukan pemeriksaan biopsy.
Pasien di instruksikan untuk tidak melakukan aktivitas selama 2 jam post-procedur
pemeriksaan CT Scanthorax biopsy, pasien diminta untuk diam tidak banyak bicara dan
tidak menarik nafas dalam. Radiograf thorax PA memungkinkan untuk mendeteksi
adanya faktor resiko komplikasi pneumothorax delayed (Pneumothorax yang terjadi
2sampai 4 jam setelah pemeriksaan CT Scan thorax biopsy), hemothorax dan pulmonary
hemorrhage (pendarahan pulmonary). Jika hasil Radiograf thorax PA menunjukkan
adanya udara pada pleura, intervensi lanjutan diperlukan untuk menindaklanjuti adanya
pneumothorax dari hasil radiograf thorax tersebut. (Trumm, CG., and Hoffman,
2009)serta menurut (Kandarpa, 2016) Pasien diamati selama 2 jam setelah biopsy, tanda
vital harus dipantau, tindakan yang dapat mencegah terjadinya pneumothorax dilakukan
radiograf dada (CXR) atau dengan beberapa CT Slice thorax.
Pneumothorax umumnya terjadi akibat dari komplikasi setelah pemeriksaan thorax
biopsy. Komplikasi serius yang diakibatkan biopsy jarum pada lesi paru ini terjadi pada
25% pasien yang menjalani prosedur tersebut. Pada sekitar 25% pasien, resiko
pneumothorax sangat kecil dan dapat ditangani secara konservatif dengan aliran oksigen
tinggi. Namun, 1-14% kasus memerlukan penanaman kateter atau tabung dada untuk
menguras pneumothorax (Chang, 2014).
Menurut (Neseth, 2000) range atau rentang potongan axial pada CT Scan thorax
adalah mulai dari sternal notch atau apex paru sampai level adrenal gland dengan slice
thicknes 5 -10 mm. Luasnya lapangan penyinaran yang melebihi obyek yang mengalami
kelainan maka akan menambah dosis radiasi yang diterima pasien (Bushong, 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur pemeriksaan CT Scan Thorax biopsy pada kasus tumor paru?
2. Bagaimana penanganan setelah selesai tindakan biopsy pemeriksaan CT Scan
thorax?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pemeriksaan CT Scan Thorax biopsy pada
kasus tumor paru.
2. Untuk mengetahui penanganan setelah selesai tindakan biopsy pemeriksaan CT Scan
thorax.

2
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang prosedur teknik pemeriksaan CT
Scan thorax biopsy pada kasus tumor paru.
2. Manfaat Praktis
Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi para praktisi yang ingin
mengetahui tentang teknik pemeriksaan CT Scan Thorax biopsy pada kasus tumor
paru.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Thorax
Thorax berupa rongga yang berbentuk kerucut dibatasi oleh tulang sejati dan tulang
rawan, bagian inferior lebih lebar daripada superior. Rongga thorax merupakan rongga
antara leher dan abdomen (Bontrager, 2014).

Keterangan :
1. Multifidus muscle 20. Rib 10
2. Semispinalis cervicis muscle 21. Spinous process and interspinal
3. Trapezius muscle ligament
4. Supraspinatus muscle 22. Levator scapulae muscle
5. Shoulder (glenohumeral) joint 23. Spine of scapula
6. Head of humerus 24. Subscapularis muscle
7. Glenoid cavitiy (articular cavity of 25. Spinal cord
the shoulder) 26. Triceps muscle
8. Teres minor muscle 27. Aortic arch
9. Right pulmonary artery 28. Left pulmonary artery
10. Right main stem bronchus 29. Left main stem bronchus
11. Latissimus dorsi muscle 30. Left pulmo nary vein
12. Right pulmonary veins 31. Left lung
13. Right inferior lobar bronchus 32. Esophagus
14. Brachial artery and vein 33. Descending aorta
15. Right lung 34. Intervertebral disk (T9 - T10)
16. Diaphragm 35. Thoracic vertebra (T10)
17. Intercostal muscle 36. Costodiaphragmatic recess
18. Serratus anterior muscle 37. Spleen
19. Liver 38. Diaphragm

Gambar 2.1. Anatomi Crossectional Thorax Coronal (Moeller, 2007)

4
1. Rangka Dada
Tulang dada adalah bagian dari sistem kerangka yang mendukung kerangka
pelindung bagian dada yang terlibat dengan pernapasan dan peredaran darah.
Viscera thorax adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagian-bagian
dada yang terdiri dari paru-paru dan organ thorax lain yang terdapat dalam
mediastinum. Sisi depan rangka dada terdiri dari sternum yang terdiri dari 3 bagian.
Bagian superior adalah manubrium, bagian tengah terbesar adalah badan, dan bagian
terkecil di bawah adalah processus xypoideus. Bagian atas , rangka dada terdiri dari
2 clavicula yang berhubungan dengan sternum kekedua scapula, 12 pasang tulang
rusuk yang mengelilingi thorax dan 12 columna vertebra.

Keterangan:
1. Clavicle Sternum :
2. Scapula a. Manubrium
3. Ribs b. Body
4. Thoracic Vertebra c. Xiphoid Process

Gambar 2.2. Rangka Dada (Bontrager, 2014)

2. Mediastinum
Bagian medial rongga thorax antara paru-paru disebut mediastinum. Kelenjar
tiroid dan paratiroid, tidak dianggap sebagai struktur mediastinum karena letaknya
lebih superior dan tidak berada dalam batas mediastinum. Kelenjar timus terletak di
dalam mediastinum, lebih rendah dari kelenjar tiroid dan anterior trakea dan
kerongkongan. Empat struktur radiografi penting yang terletak di mediastinum
adalah kelenjar timus, jantung dan pembuluh darah besar, trakhea, dan
kerongkongan.
Kelenjar timus, yang terletak di belakang sternum bagian atas, dikatakan
sebagai organ sementara karena sangat menonjol pada masa bayi dan mencapai
ukuran maksimal sekitar 40 gram pada masa pubertas, kemudian berangsur-angsur
5
menurun hingga hampir hilang pada usia dewasa. Kelenjar timus berfungsi terutama
selama masa kanak-kanak dan pubertas untuk membantu fungsi sistem kekebalan
tubuh tertentu yang membantu tubuh melawan penyakit. Hal ini diyakini
berkontribusi pada kemampuan tubuh memproduksi antibodi, yang berfungsi dalam
menolak jaringan dan sel asing. Jantung dan akar pembuluh darah besar tertutup
dalam kantung berdinding ganda yang disebut kantung perikardial. Jantung terletak
di posterior tubuh sternum dan anterior Thoracal 5 sampai Thoracal 8. Ini terletak
miring di ruang mediastinum, dan kira-kira dua pertiga jantung terletak di sebelah
kiri bidang median. Berbagai arteri pulmonalis dan vena yang ada di mediastinum
ditunjukkan pada gambar 2.3. Arteri pulmonalis dan vena ini memasok darah dan
mengembalikan darah ke dan dari semua segmen paru-paru. Jaringan kapiler
mengelilingi kantung udara kecil, atau alveoli, di mana oksigen dan karbon dioksida
dipertukarkan dengan darah melalui kantung udara yang tipis.

Keterangan:
1. Trachea 7. Pulmonary veins
2. Upper lobe 8. Inferior vena cava
3. Superior vena cava 9. Heart
4. Pulmonary artery 10. Lower lobe
5. Middle lobe 11. Left primary bronchus
6. Right primary bronchus 12. Aorta

Gambar 2.3. Paru dan struktur dalam mediastinum (Bontrager, 2014)

6
Keterangan:
1. Esophagus
2. Trachea
3. Tryroid gland
4. Thymus gland
5. Arch of aorta
6. Heart
7. Abdominal aorta
8. Inferior vena cava
9. Acending aorta
10. Superior vena cava

Gambar 2.4. Struktur di daerah mediastinum, tampak depan (Bontrager, 2014)

Trakhea, di dalam mediastinum, memisahkan ke bronkus primer dan sekunder


kanan dan kiri. Esofagus proksimal terletak di posterior trakhea dan berlanjut turun
melalui mediastinum anterior ke aorta turun sampai melewati diafragma ke dalam
paru..
3. Sistem Pernafasan
Paru-paru merupakan bagian sistem pernapasan. Empat struktur yang penting
dalam radiografi dada adalah sebagai berikut : laring, trakhea, bronkus kanan dan
kiri, dan paru-paru. Laring, trakhea, dan bronkus membentuk struktur tubular
kontinu dimana udara melaluinya bisa lewat dari hidung dan mulut ke paru-paru.
a. Laring
Laring, atau kotak suara, adalah struktur mirip koper berbentuk pita yang
panjangnya kira-kira 1,5 sampai 2 inxci (4 sampai 5 cm) pada orang dewasa.
Laring terletak di bagian anterior leher, tersuspensi dari tulang kecil yang
disebut hyoid .Laring berfungsi sebagai organ suara. Suara dibuat saat udara
melewati antara pita suara yang berada di dalam laring. Margin atas laring
berada pada tingkat perkiraan veretebra cervical 3. Marginnya yang lebih
rendah, dimana laring bergabung dengan trakhea, berada pada level vertebra
cervical 6
b. Trakhea
Kelanjutan dari laring ke bawah, bagian kedua dari sistem pernapasan
adalah trakhea, atau tenggorokan. Ini adalah tabung otot berserat sekitar ¾inchi
(2 cm) dengan diameter dan 4 ½inchi (11 cm) panjangnya. Sekitar 20 cincin
berbentuk C dari tulang rawan disematkan di dindingnya. Cincin kaku ini
membuat jalan napas tetap terbuka dengan mencegah agar trakhea tetap tegak
saat inspirasi. Trakhea, yang terletak di anterior kerongkongan, meluas dari
persendiannya dengan laring pada tingkat vertebra cervical 6 ke bawah sampai

7
ke level vertebra thoracalis 4 atau 5, di mana ia terbagi menjadi bronkhus primer
kanan dan kiri. Kelenjar yang terletak di dekat sistem pernapasan termasuk
kelenjar tiroid, paratiroid, dan kelenjar timus.

Keterangan:
1. Larynx 4. Thyroidglands
2. Trachea 5. Parathyroid glands
3. Thyroid cartilage 6. Region of thymus gland

Gambar 2.5. Laring dan Trachea (Bontrager, 2014)

c. Bronkus
Bronkus kanan dan kiri merupakan bagian ketiga dari sistem pernapasan
terdiri dari bronkhi primer kanan dan kiri, juga dikenal sebagai bronkus utama
kanan dan kiri.

Keterangan:
1. Carina 3. Left primary (main stern) brochus
2. Right primary (main stern) 4. Position of carina
brochus
Gambar 2.6. Bronkus (Bontrager, 2014)

8
Bronkus primer kanan lebih lebar dan lebih pendek dari pada bronkus kiri.
Bronkus primer kanan juga lebih vertikal. Oleh karena itu, sudut divergensi dari
trakea distal kurang curam untuk bronkus kanan daripada di sebelah kiri.
Perbedaan ukuran dan bentuk antara dua bronkus utama ini penting karena
partikel makanan atau benda asing lainnya yang masuk ke sistem pernafasan
lebih cenderung masuk ke bronkus kanan.
d. Paru-paru
Paru-paru merupakan bagian keempat dan terakhir dari sistem pernafasan.
Terdiri dari dua paru besar yang kenyal, yang terletak di setiap sisi rongga
thorax. Paru-paru mengisi semua ruang yang tidak ditempati oleh bangunan lain.
Paru kanan terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus superior (atas), tengah, dan inferior
(bawah) terbagi oleh dua fissura dalam. Fissura inferior, yang memisahkan
lobus inferior dan tengah, disebut fissura oblique. Fissura horizontal
memisahkan lobus superior dan tengah. Paru kiri hanya memiliki dua lobus,
lobus superior (atas) dan inferior (lebih rendah) dipisahkan oleh fissura oblique.
Paru-paru tersusun dari zat ringan, seperti spon, sangat elastis yang disebut
parenkim. Zat ini memungkinkan mekanisme pernapasan yang bertanggung
jawab untuk ekspansi dan kontraksi paru-paru, yang membawa oksigen masuk
dan menghilangkan karbon dioksida dari darah melalui dinding tipis alveoli.
Keterangan
1. Fissures
2. Out parietal
3. Pleural cavity
4. Inner pulmonary

Gambar 2.7. Paru-paru (Bontrager, 2014)

Setiap paru terbungkus dalam kantung berdinding gandayang halus, atau


membran, yang disebut pleura. Lapisan luar kantung pleura ini menghubungkan
permukaan bagian dalam dinding dada dan diafragma dan disebut
pleuraparietal. Lapisan dalam yang menutupi permukaan paru-paru disebut
pleura viseral. Ruang potensial antara pleura, yang disebut rongga pleura,
mengandung cairan pelumas yang memungkinkan pergerakan satu atau lainnya

9
selama pernapasan. Ketika paru-paru kolaps, atau saat udara atau cairan
mengumpul antara dua lapisan ini, ruang ini dapat divisualisasikan secara
radiografi. Udara atau gas yang berada dalam rongga pleura ini menghasilkan
suatu kondisi yang disebut pneumothoraks, dimana tekanan udara atau gas
dirongga pleura dapat menyebabkan paru-paru kolaps.

B. Patologi Tumor Paru


Neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Suatu neoplasma, sesuai
definisi Willis, adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan
tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal serta terus demikian
walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah terhenti. Dalam
penggunaan istilah kedokteran yang umum, neoplasma sering disebut tumor
(Kumar,2003).
Tumor ganas (maligna) secara kolektif disebut kanker, yang berasal dari kata latin
untuk kepiting, tumor melekat erat ke semua permukaan yang dipijaknya, seperti seekor
kepiting. Ganas, apabila diterapkan pada neoplasma, menunjukkan bahwa lesi dapat
menyerbu dan merusak struktur di dekatnya dan menyebar ke tempat jauh (metastasis)
serta menyebabkan kematian. Tidak semua kanker berkembang sedemikian mematikan.
Sebagian ditemukan secara dini dan berhasil dihilangkan, tetap sebutan ganas
menandakan bendera merah (Kumar, 2003).
Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam
jaringan paru. Patogenesis kanker paru belum benar-benar dipahami. Sepertinya sel
mukosal bronkhiale mengalami perubahan metaplastik sebagai respon terhadap paparan
kronis dari partikel yang terhirup dan melukai paru. Sebagai respon dari luka selular,
proses reaksi dan radang akan berevolusi (Gani,2003).
Kanker paru primer biasanya diklasifikasikan menurut jenis histologinya,
semuanya memiliki riwayat alami dan respons terhadap pengobatan yang berbeda-beda.
Walaupun terdapat lebih dari satu lusin jenis kanker paru primer, namun kanker
bronkogenik (termasuk tipe sel yang pertama) merupakan 95% dari seluruh kanker paru
(Price, 2003).
1. Macam-macam Tumor Paru (Price, 2003)
a. Adenoma Bronkhus
Adenoma Bronkhus adalah sekelompok neoplasma kecil yang ganas dengan
agresivitas rendah yang timbul pada trakhea bagian bawah atau bronkhi utama.
Dua bentuk yang paling penting adalah karsinoid bronkhus dan slindroma yang
jarang. Karasinoid brokhus, seperti karsinoma sel kecil, berasal dari sel-sel
Kulchitsky mukosa bronkhus. Tumor-tumor ini menyusun hampir 4% dari

10
seluruh tumor bronkhus dan dapat menjadi nyata pada usia remaja sampai usia
pertengahan (usia rata-rata saat didiagnosis, 45 tahun) dengan jumlah laki-laki
dan perempuan yang terkena penyakit ini sama banyak.
b. Mesetelioma Maligna
Mesotelioma maligna adalah tumor pleura yang tidak umum, yang
mayoritas pasiennya terkait dengan pajanan asbes. Pajanan ini dapat berlangsung
singkat dan biasanya waktu antara saat terpajan dan awitan klinik adalah 25
tahun. Mesotelioma maligna sangat ganas dan kelangsungan hidup kurang dari
1 tahun sejak saat didiagnosis.

C. Multi Slice CT-Scan


Sebuah unit CT scan menggunakan tabung sinar-X dan rangkaian detektor untuk
mengumpulkan data anatomis pasien. Data ini direkonstruksi menjadi gambar
(Bontrager, 2014)Pada awal perkembangan, gerakan tabung sinar-X pada CT Scan
dibatasi oleh kabel tegangan tinggi. Pertama tabung sinar-X akan berputar 360° ke satu
arah untuk mendapatkan satu irisan, meja CT akan bergerak sesuai jarak yang
ditentukan, dan tabung sinar-X akan berputar 360° ke arah yang berlawanan dan akan
mendapatkan potongan berikutnya. Perkembangan teknologi slip-ring pada awal 1990-
an memungkinkan teknologi CT bergerak melampaui akuisisi satu iris. Cincin slip
pengganti kabel tegangan tinggi yang memungkinkan putaran rotasi tabung sinar-X
secara terus-menerus, yang apabila dikombinasikan dengan gerakan pasien melalui data
gantry membentuk scan tipe helical atau spiral. Volume scaning adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan proses akuisisi ini. Volume scaning juga mampu
mengakuisisi single slice (Bontrager, 2014).

Gambar 2.8. A dan B, volume (spiral) multislice scan, dengan rotasi 360° terus menerus dari
tabung dan detektor sementara pasien bergerak ke dalam dan ke luar (Bontrager, 2014)

1. Keunggulan Volume CT Scan di bandingkan dengan Single Slice Scan (Bontrager,


2014):

11
a. Multiplanar reconstruction (MPR) : data volume matrik memungkinkan
rekonstruksi data pasien menjadi lebih akurat ke dalam bidang alternatif
(coronal, sagital, oblique) dan tiga dimensi (3D).
b. Waktu scan lebih pendek karena pasien terus bergerak melalui gantry.
c. Artefak berkurang : artefak yang disebabkan oleh gerakan pasien berkurang.
Pemindai yang dikembangkan sebelum tahun 1992 adalah single slice yang mampu
merekam hanya satu irisan pada satu waktu. Pada akhir 1998, produsen CT
mengumumkan bahwa pemindai teknologi baru multi slice tersedia yang mampu
mencetak empat irisan secara bersamaan pada putaran tabung sinar-X. Multi slice CT
terus berkembang pesat, terutama karena kemajuan teknologi komputer. Pada saat
ini, multi slice CT yang ada dapat menghasilkan 320 irisan per putaran tabung sinar-
X (Bontrager, 2014).
2. Keunggulan Multi Slice dibandingkan dengan Single Slice atau Volume CT
(Bontrager, 2014)
a. Waktu akuisisi lebih pendek : sistem 64 slice dapat memperoleh 160 gambar per
detik dibandingkan satu slice per detik. Pencitraan yang lebih cepat ini
menguntungkan prosedur yang memerlukan menahan napas tunggal atau dalam
kasus di mana gerakan pasien menjadi masalah. Ini juga memungkinkan
prosedur yang memerlukan waktu pemaparan lebih pendek (misalnya CT
jantung).
b. Penurunan jumlah media kontras intravena yang digunakan karena peningkatan
kecepatan akuisisi multi slice CT.
c. Peningkatan resolusi spasial : ketebalan slice sub millimeter dimungkinkan
merupakan hasil teknologi multislice. Hal ini sangat menguntungkan untuk
pemeriksaan telinga bagian dalam dan struktur kompleks lainnya.
d. Peningkatan kualitas gambar : kualitas gambar untuk CT angiography dan 3D
MPR dapat ditingkatkan sebagai hasil dari perolehan irisan tipis.
3. Komponen Sistem CT Scan (Bontrager, 2004)
Sistem CT terdiri dari tiga komponen utama yaitu gantry, komputer, dan konsol
operator. Sistem ini mencakup perangkat komputasi dan pencitraan yang sangat
kompleks.
a. Gantry
Gantry terdiri dari tabung sinar-X, detektor array, dan kolimator.
Bergantung pada spesifikasi teknis unit, gantry biasanya dapat disudut 30° di
setiap arah, seperti yang diperlukan untuk pemindaian CT kepala atau tulang
belakang. Bukaan tengah di gantry adalah aperture. Meja CT (kadang-kadang
disebut sofa pasien) terhubung secara elektronik dengan gantry untuk gerakan

12
terkontrol selama pemindaian. Anatomi pasien di dalam aperture adalah area
yang sedang dipindai pada saat itu.
1) Tabung sinar-X
Tabung sinar-X mirip dengan tabung radiografi umum dalam konstruksi
dan operasi. Namun, modifikasi desain sering diperlukan untuk memastikan
bahwa tabung mampu menahan kapasitas panas tambahan karena waktu
pemaparan yang meningkat.
2) Detector array
Detektor adalah material padat dan terdiri dari dioda ditambah dengan
bahan kristal scintilasi (kristal kadmium atau kristal oxide keramik). Detektor
solid state mengubah energi sinar-X yang ditransmisikan menjadi cahaya,
yang diubah menjadi energi listrik dan kemudian menjadi sinyal digital.
Rangkaian detektor mempengaruhi dosis pasien dan efisiensi unit CT.
3) Kolimator
Kolimasi pada CT penting karena mengurangi dosis pasien dan
meningkatkan kualitas gambar. CT Scan generasi sekarang umumnya
menggunakan satu kolimator prepatient (pada tabung sinar-X), yang
membentuk dan membatasi sinar. Ketebalan slice pada unit CT multidetector
modern ditentukan oleh ukuran baris detector yang digunakan.
b. Komputer
Komputer CT memerlukan dua jenis perangkat lunak yang sangat canggih.
Satu untuk sistem operasi dan satu untuk aplikasi. Sistem operasi mengelola
perangkat keras, sedangkan perangkat lunak aplikasi mengelola pre processing,
rekonstruksi gambar, dan berbagai macam operasi pasca pengolahan. Komputer
CT harus memiliki kecepatan dan kapasitas memori yang besar. Sebagai contoh,
untuk 1 potongan CT (gambar) dengan matriks 512 × 512, komputer harus secara
simultan melakukan perhitungan 262.144 matematis per slice.
c. Konsol operator
Komponen konsol operator mencakup monitor keyboard, mouse, dan single
atau dual monitor, tergantung pada sistem. Konsol operator memungkinkan
teknolog untuk mengontrol parameter pemeriksaan, yang disebut protokol, dan
melihat atau memanipulasi gambar yang dihasilkan. Protokol, yang telah
ditentukan untuk setiap prosedur, mencakup faktor-faktor seperti kilo voltage,
milliamper, pitch, field of view, ketebalan slice, pengindeksan tabel, algoritma
rekonstruksi, dan tampilan windows. Parameter ini dapat dimodifikasi oleh
teknologi, jika diperlukan, berdasarkan presentasi pasien atau riwayat klinis.
4. Parameter Multi Slice CT

13
Gambar MSCT dapat terjadi sebagai hasil dari berkas sinar-X yang mengalami
perlemahan setelah menembus objek, ditangkap detektor dan dilakukan pengolahan
dlam komputer. Penampilan gambar yang baik tergantung kualitas gambar yang
dihasilkan sehingga aspek klinis dari gambar tersebut dapat dimanfaatkan untuk
menegakan diagnosa. Dalam MSCT dikenal beberpa parameter untuk pengontrolan
eksposi dan output gambar yang optimal (Bontrager, 2018).
Adapun parameter tersebut adalah:
a. Slice Thickness
Slice thicknes adalah potongan tebalnya atau potongan potongan dari obyek
yang akan diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1mm 10mm sesuai dengan
keperluan klinis. Pada umumnya potongan yang tebal akan menghasilkan
gambaran dengan detail yang rendah dan sebaliknya ukuran yang tipis akan
menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.
b. Range
Range adalah perpaduan/kombinasi dari beberapa slice thickness.
Pemanfaatan jangkauan adalah untuk mendapatkan potongan yang berbeda pada
satu lapangan pemeriksaan. (Panduan Eropa untuk MSCT, 2004)
c. Faktor Eksposi
Faktor Eksposi adalah pengaturan pemindaian yang berpengaruh pada
akuisisi data. Bagian MSCT yang mengatur faktor eksposi adalah beam
collimation, beam collimation, arus tabung (mA), dan waktu scanning (s).
d. Waktu akuisisi
Waktu akuisisi (waktu pemindaian) adalah dursai eksposi sinar-X untuk
mendapatkan satu set data (satu sekuens), tergantung pada volume target,
kecepatan tabel dan kecepatan rotasi tabung (European Guidelines,2004).
e. Fleld of View
Field of View adalah diameter maksimal dari gambaran yang akan
direkonstruksi. Besamya bervariasi dan biasanya berada pada rentang 12-50 cm.
FOV yang kecil akan resolusi gambar karena FOV yang kecil akan mereduksi
ukuran pixel (picture element).
f. Rekonstruksi Matriks
Rekonstruksi matriks adalah deret baris dan kolom dari piksel dalam proses
perekonstruksian gambar. Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur
elemen dalam memori komputer yang berfungsi untuk merekonstruksi gambar.
(Pedoman Eropa, 2004).
g. Rekonstruksi Algoritma

14
Algoritma Rekonstruksi adalah prosedur matematis yang digunakan dalam
merekonstruksi gambar. Penampakan dan karakteristik dari gambar MSCT
tergantung pada algoritma yang dipilih. Sebagian MSCT sudah memiliki standar
algoritma tertentu, Semakin tinggi algoritma yang dipilih maka semakin tinggi
resolusi gambar yang dihasilkan. (Pedoman Eropa, 2004).
h. Window Width
Window width adalah rentang Computed Tomography yang dikonversi ke
tingkat skala keabuan nilai (gray level) untuk ditampilkan pada layar. Setelah
komputer menyelesaikan program pengolahan, matriks dan algoritma maka
hasilnya akan dibuat kembali menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama
computed tomography (CT number).
Tabel 2.1 Nilai CT Number (HU) (Bontrager, 2018)
Tipe Jaringan Nilai CT (HU) Penampakan

Tulang +1000 Putih

Otot +50 Abu-abu

Materi putih +45 Abu-abu menyala

Materi abu-abu +40 Abu-abu

Darah +20 Abu-abu

CSF +15 Abu-abu

Air 0

Lemak -100 Abu-abu gelap ke hitam

Paru -200 Abu-abu gelap ke hitam

Udara -1000 Hitam

Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU. Untuk tulang
memiliki nilai +1000 HU kadang sampai +3000 HU. Sedangkan untuk kondisi
udara nilai yang dimiliki 1000 HU. Jaringan atau substansi lain dengan nilai yang
berbeda tergantung dari perlemahannya. Jadi penampakan tulang pada monitor
menjadi putih dan penampakan udara menjadi hitam. Jaringan dan substansi lain
akan dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut Gray Scale.
Khusus darah yang semula berwarna abu-abu akan berubah menjadi warna puih
jika diberikan media kontras.
i. Window Level

15
Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan untuk
penampakan gambar. Nilainya dapat dipilih tergantung pada karakteristik
perlemahan dari struktur objek yang diperiksa. Window level ini menentukan
densitas gambar yang akan dihasilkan.
j. Pitch
Pitch merupakan pergerakan meja perotasi dibagi slice width. Pitch
berpengaruh pada kualitas gambaran dan volume gambaran. Pitch yang tinggi
akan meningkatkan volume gambaran karena berpengaruh pada resolusi gambar
sepanjang Z-axis

D. Teknik Pemeriksaan CT Thorax (Neseth, 2000)


1. Pengertian
Teknik pemeriksaan CT Scan thorax adalah teknik secara radiologi untuk
mendapatkan informasi anatomis irisan atau penampang melintang dari thorax
(Patel,2010)
2. Indikasi Pemeriksaan (Neseth,2000). Indikasi pemeriksaan CT Thorax:
a. Membedakan nodul paru dari pembuluh darah paru
b. Mendeteksi metastase pada paru
c. Mendefinisi cairan pleura
d. Mengevaluasi aneurisma aorta
e. Evaluasi abses pada thoracal
3. Persiapan Pasien (Neseth,2000)
Persiapan pasien pada pemeriksaan CT Thorax:
a. Pasien dalam posisi supine, dengan kepala pada posisi dekat dengan gantry pada
meja pemeriksaan.
b. Pasien diposisikan dengan Mid Sagital Plane (MSP) sejajar dengan lampu
indikator
c. Berikan pengganjal dan tali penahan / body clamp jika dibutuhkan
d. Lengan tangan pasien diposisikan di atas kepala
e. Untuk meminimalisir artefak karena pergerakan, disarankan untuk
menggunakan tali penahan / body clamp
f. Busa penahan ditempatkan di bawah lutut untuk membuat nyaman pasien dan
mengurangi tekanan pada tubuh bawah bagian belakang, juga untuk mengurangi
pergerakan pasien
g. Menjelaskan kepada pasien teknik pernafasan yang tepat sebelum memulai
pemeriksaan.
4. Parameter Scaning (Neseth, 2000) Parameter scaning CT Thorax:

16
a. Gambar pertama yang dibuat (scout image) adalah potongan coronal dari thorax.
b. Dari scout image, pastikan MSP pasien sudah tepat berada ditengah sumbu
panjang meja pemeriksaan.
c. Range/jangkauan irisan axial potongan axial pada CT Scan thorax adalah mulai
dari sternal notch atau apex paru sampai level adrenal gland dengan slice
thicknes 5 -10 mm.
d. Pilih lebar FOV yang dapat mengakomodir lebar thorax.

Gambar 2.9. Scanogram CT Scan Thorax (OHSU, 2022)

Scan parameter pemeriksaan MSCT thorax adalah seperti tercantum pada tabel di
bawah ini:
Tabel 2.2. Parameter pemeriksaan CTScan Thorax (Neseth, 2000
1 Scanogram Thorax AP
2 Range Apex paru-paru – sampai adrenal gland
3 FOV 30-50 mm
4 Slice Thickness 5-10 mm
5 Gantry Tilt Gantry no tilting

E. Prosedur CT Guiding Biopsy Non Kontras (Trummdan Hoffmann, 2009)


1. Pengertian
Tindakan biopsy perkutan dengan bantuan CT terhadap pasien yang diketahui
terdapat tumor primer, untuk menyingkirkan keganasan metastasis, untuk
mendirikan diagnosis akhir, atau untuk membedakan antara tumor necrosis dan
potensi jaringan tumor penting dalam lesi sisa setelah dilakukan terapi. Pada thorax,
CT Scan non kontras (dengan slice thickness ≤ 3mm) juga cukup untuk mendeteksi
lesi intrapulmonar yang sesuai untuk aspirasi atau tusukan biopsy (Trummdan
Hoffmann, 2009).
2. Persiapan Pasien

17
a. Informed consent
Pasien termasuk kemungkinan sedasi, penjelasan secara rinci potensial
komplikasi terhadap tindakan biopsy yang dilakukan, sudah diterima minimal 24
jam sebelum pemeriksaan biopsy.
b. Pemeriksaan platelet gangguan koagulasi (> 50.000/mm3)
c. Mayoritas tindakan CT guided biopsy dilakukan dengan anestesi lokal.
d. Posisi pasien harus ditempatkan dalam posisi stabil dan nyaman dan tergantung
pada lesi lokasi, bisa supine, prone, atau posisi dekubitus lateral.
e. Untuk korelasi antara pra, peri, dan post interventional CT harus diperoleh dalam
posisi yang sama, selama siklus pernapasan sebaiknya selama ekspirasi.
3. Tahapan CT Guiding
a. Untuk merencanakan rute akses biopsy, dibuat CT Scan pendahuluan dari daerah
yang akan diperiksa (lesi / tumor).
b. Untuk menentukan titik tusukan jarum biopsy, grid radioopaque ditempatkan
pada kulit pasien sesuai daerah lesi / tumor yang akan dilakukan tindakan biopsy.
c. Posisi pasien prone, supine, atau lateral posisi dekubitus, tergantung pada jarak
terpendek dari permukaan kulit lesi.
d. Kemudian CT scan dilakukan mencakup daerah lesi / tumor yang akan dilakukan
tindakan biopsy.
e. Setelah perencanaan CT scan (dengan sistem grid ditempel di kulit) telah
dilakukan, dipilih posisi slice yang menunjukkan baik lesi dan potensi jalur akses
atau entry point jarum yang dituju saja.
f. Mengukur jarak dari permukaan kulit titik tusukan jarum sampai ke lesi yang
akan dilakukan biopsy.
g. Meja pemeriksaan CT diposisikan sesuai dengan titik tusukan yang sudah dipilih
dan diberi tanda menggunakan spidol.
h. Setelah desinfeksi kulit, anestesi lokal menggunakan 10-20 ml 1-2% lidokain
hidroklorida diterapkan dalam lemak subkutan dan turun menandai titik masuk
jarum biopsy dimasukkan sejajar dengan jarum anestesi lokal.
i. Lakukan scan ulang dengan area pendek diatas dan di bawah titik tusukan
(misalnya, 3-5 cm sepanjang z axis), dan angulasi jarum disesuaikan untuk
menghindari struktur anatomi jika diperlukan.
j. Setelah dilakukan biopsy pada paru. pasien dimonitoring selama 2 sampai 4jam
dengan menggunakan foto radiograf thorax atau post biopsy CT Scan thorax
untuk mendeteksi pneumothorax.

18
k. Pasien diamati selama 2 jam setelah biopsy, tanda vital harus dipantau, tindakan
yang dapat mencegah terjadinya pneumothorax dilakukan radiograf dada (CXR)
atau dengan beberapa CT Slice thorax (Kandarpa, 2016).

Gambar 2.10. Pasien prone dengan beberapa metastasis paru-paru. Sebuah nodul
subpleural di lobus kiri bawah dipilih untuk biopsi aspirasi bawah bimbingan CT
(Trummdan Hoffmann, 2009)

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Prosedur pemeriksaan CT Scan Thorax biopsy pada kasus tumor paru adalah pasien
di inform consent dan dijelaskan untuk prosedur selama pemeriksaan berlangsung,
kemudian sebelumnya pasien sudah dilakukan pemeriksaan platelet gangguan
koagulasi (> 50.000/mm3), bisa dilakukan pemeriksaan obat anestesi lokal jika
diperlukan. Teknik pemeriksaan CT Scan Thorax biopsy hampir sama dengan CT
Scan thorax non kontras seperti biasa hanya saja ada tahapaan guiding yang
berfungsi untukx1 merencanakan rute akses biopsy pada daerah yang akan diperiksa
(lesi / tumor), untuk menentukan titik tusukan jarum biopsy. Posisi pasien bisa
prone/ supine tergantung dari posisi terpendek dari permukaan kulit lesi. Dilakukan
scanning pendahuluan untuk mencakup daerah lesi/tumor yang akan dilakukan
biopsy. Sistem grid untuk mempermudah jalur biopsy atau entry point jarum dengan
adanya system grid mempermudah titik dan jarak dar kulit ke daerah yang akan
dilakukan biopsy. Meja pemeriksaan CT diposisikan sesuai dengan titik tusukan
yang sudah dipilih dan diberi tanda menggunakan spidol.
2. Penanganan setelah selesai tindakan biopsy pemeriksaan CT Scan thorax adalah
pasien dimonitoring selama 2 sampai 4 jam dengan menggunakan foto radiograf
thorax atau post biopsy CT Scan thorax untuk mendeteksi pneumothorax. Tanda
vital harus dipantau, tindakan yang dapat mencegah terjadinya pneumothorax
dilakukan radiograf dada (CXR) atau dengan beberapa CT Slice thorax
A. Saran
Saran yang dapat ditulis adalah untuk mengurangi terjadinya pengulangan ketika
dilakukan pungsi maka lebih diperhatikan ketika dilakukan pungsi didaerah lesi/tumor
yang akan dibiopsy.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bontrager, K. (2014). Textbook of Positioning and Related Anatomy (8th ed.). St. Louis
Missouri, USA: CV. Mosby Company.

Bushong, S. (2013). Computed Tomography (10th ed.). St. Louis Missouri, USA:
Elsevier Mosby.

Chang, D. W. (2014). Clinical Application of Mechanical Ventilation. New York:


Healtcare Stephen Helba.

Gani, S. (2003). Kanker Paru, Pedoman dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Holland, J. . (2003). Cancer Medicine (6th ed.). Hamilton: BC Decker.

Neseth, R. (2000). Prosedures and documentation for CT and MRI. Mc Graw-Hill


Medical Publishing Division. USA.

Patel, P. (2010). Lecture Notes Radiologi. Jakarta: Erlangga.

Price, S. (2003). Patofisiologi Konsep Klinik Proses Penyakit (6th ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rasad, S. (2005). Radiodiagnostik(2nd ed.). Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.

Restiawati, N. M., Soehardiman, D., & Andarini, S. L. (2012). Modalitas


Diagnostik Tumor Paru Perifer. In Jurnal Respirasi Indonesia (Vol. 32).
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Seeram, E. (2016). Computed Tomography: Physical Principles, Clinical


Applications, and Quality Control (4th ed.). St. Louis Missouri, USA: Elsevier
Mosby.

Trumm, CG., and Hoffman, R. (2009). CT-and MR-Guided Interventions in Radiology.


New York: Springer

21

Anda mungkin juga menyukai