Anda di halaman 1dari 17

INTERAKSI ANTARA NUTRISI DAN OBAT-OBATAN

I Gusti Ayu Putu Eka Pratiwi

Interaksi obat dengan obat lainnya telah kita ketahui dan pahami karena biasanya tertera
dalam informasi produk obat tersebut. Interaksi nutrisi dengan obat hanya kita ketahui secara
sepotong-sepotong. Penjelasan yang kita berikan kepada orangtua pasien menjadi tidak
lengkap tentang kemungkinan terdapatnya interaksi obat yang kita berikan dengan makanan
maupun status nutrisinya. Hal ini akan memengaruhi keberhasilan terapi yang kita berikan.
Makanan dan obat-obatan dapat saling memengaruhi, mulai dari napsu makan, proses
penyerapan, peredarannya dalam darah, kerjanya pada target organ, dan juga ekskresinya.
Tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai bagaimana
interaksi nutrisi dengan obat-obatan, pengaruh status nutrisi terhadap obat, dan jenis-jenis
nutrien apa yang memengaruhi obat-obatan, sehingga kita dapat memberikan terapi obat
dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas untuk mendapatkan hasil terapi yang
maksimal.

1. Definisi dan Jenis Interaksi Nutrisi-Obat


Interaksi obat dan makanan adalah interaksi dari hubungan fisik, kimia, fisiologi, atau
patofisiologi antara obat dengan nutrien, bermacam-macam nutrien, makanan secara umum,
atau status nutrisi.1 Interaksi tersebut dikatakan bermakna secara klinis jika interaksi tersebut
menyebabkan perubahan respon farmakoterapi atau memengaruhi status nutrisi. Konsekuensi
klinis dari interaksi tersebut berhubungan dengan perubahan dalam disposisi dan efek obat
atau nutrien. Disposisi yang dimaksudkan adalah absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat atau
nutrien yang melibatkan transporter fisiologis dan enzim metabolisme. Efek yang
dimaksudkan adalah aksi fisiologis obat atau nutrien pada target tingkat sel atau subselular.
Interaksi obat dan makanan juga dapat dilihat berdasarkan farmakokinetik dan
farmakodinamiknya. Obat dan nutrien dapat memengaruhi jalur sinyal transduksi melalui
reseptor ekspresi gen yang berdampak pada enzim dan transporter metabolisme obat.
Interaksi farmakokinetik melibatkan enzim dan transporter yang berimplikasi terhadap
absorpsi, distribusi, atau eliminasinya, yaitu perubahan dari parameter obat atau nutrien
(bioavailabilitas, volume distribusi, clearance). Interaksi farmakodinamik melibatkan efek
klinis obat atau efek fisiologis nutrien, berupa parameter kualitatif dan kuantitatif dari aksi
obat atau status nutrisi.2
Nutrien dan obat-obatan memiliki beberapa karakteristik yang serupa, misalnya memiliki
tempat yang serupa untuk absorbsinya di usus halus, memiliki kemampuan untuk mengubah
proses fisiologis dan kapasitas untuk menyebabkan toksisitas pada dosis tinggi. Jadi tidak
mengherankan mengapa nutrien dan obat-obatan dapat berinteraksi dengan berbagai jalan.
Interaksi ini tampaknya tak terbatas dan tidak jelas seberapa besar dari sejumlah makanan itu
yang memengaruhinya. Tidak jelas juga berapa banyak interaksi tersebut yang relevan secara
klinis. Suatu interaksi nutrien dan obat dikatakan secara klinis penting jika terdapat
perubahan respon terapi (ditingkatkan atau diturunkan). Interaksi tersebut dapat menimbulkan
kegagalan parsial atau total dari terapi obat. Interaksi itu juga dapat menimbulkan efek
samping (misalnya pada interaksi monoamine oxidase inhibitors (MAOI) dengan sejenis
keju) sehingga menyebabkan pasien akan menghentikan pengobatannya.3
Kebanyakan interaksi nutrien dan obat tersebut tidak terlalu merugikan, karena
kebanyakan obat-obatan tersebut dirancang agar kadar dalam darahnya di atas kadar untuk
terapeutik, sehingga jika terdapat makanan yang dapat mengurangi kadarnya dalam darah
maka tidak akan banyak terpengaruh. Hal ini akan berbahaya untuk obat-obatan yang
memiliki rentang kadar teraupeutik yang sempit (misalnya lithium, phenytoin, dan
theophylline) sehingga diperlukan pemantauan kadar yang ketat. Pada kondisi inilah
kemungkinan besar interaksi nutrien dan obat akan menimbulkan masalah.3
Interaksi nutrien dengan obat-obatan dapat memengaruhi proses farmakodinamik
(absorbsi) dan farmakokinetik, menimbulkan masalah klinis berupa reaksi simpang atau
toksisitas, sehingga terjadi kegagalan terapi dan bahkan dapat terjadi defisiensi nutrisi. Status
nutrisi juga memegang peranan penting dalam respon farmakologi obat. Interaksi nutrisi dan
obat tidak sama untuk setiap orang. Beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan
terjadinya interaksi nutrien dan obat antara lain farmakoterapi yang multipel, kebiasaan
makan, kehilangan nutrien akibat dari proses penyiapan dan memasak makanan, diet restriksi,
anoreksia atau gangguan makan, alkoholisme, adiksi obat-obatan, penyakit yang
menimbulkan wasting kronis, disfungsi ginjal, disfungsi hati, dan kondisi status sosial
ekonomi. Usia, jenis kelamin, genetik, kehamilan, laktasi, malnutrisi, stres, penyakit yang
ada sebelumnya dan variabel farmakologi (dosis, rute) juga memengaruhi interaksi nutrien
dan obat.4 Bayi dan anak-anak memiliki risiko tinggi terdapatnya interaksi antara nutrien dan
obat karena terdapat inefisiensi relatif dari enzim metabolisme obat di gastrointestinal dan
hati serta fungsi ginjal yang belum sepenuhnya berkembang.3
Interaksi nutrien dengan obat juga dapat dikategorikan menjadi fisikokimia, fisiologis,
atau patofisiologis. Interaksi fisikokimia terjadi akibat khelasi sehingga menyebabkan
kehilangan nutrien dan penurunan aktivitas obat. Interaksi fisiologis mencakup perubahan
yang diinduksi oleh obat terhadap napsu makan, digesti, pengosongan lambung,
biotransformasi dan ekskresi ginjal. Sebagai contoh adalah adanya perubahan metabolisme
atau distribusi di jaringan dari vitamin A dan D oleh hormon perempuan sehingga
menghasilkan konsentrasi retinol dan 25-hydroxycholecalciferol plasma yang lebih tinggi.
Interaksi patofisiologis terjadi saat obat menimbulkan gangguan absorbsi dan metabolisme
nutrien, atau toksisitas obat menyebabkan terjadinya inhibisi dalam proses metabolisme.
Misalnya, gejala neurotoksisitas terjadi pada penggunaan isoniazid, dimana toksisitas yang
terjadi karena efek khelasi isoniazid terhadap piridoksin, walaupun dalam kondisi konsentrasi
piridoksin sistemik kurang. Efek teratogek dari obat antikonvulsi, asam valproate, mungkin
karena perubahan pola metabolit folat pada embrio.5 Lokasi interaksi antara nutrien dan obat
dapat terjadi di traktus gastrointestinal, dalam darah, atau reseptor sel obat.4
Berbagai kondisi klinis dapat mempengaruhi terapi obat-obatan yang adekuat dan
meningkatkan kemungkinan masalah yang berhubungan dengan obat-obatan. Seiring dengan
adanya penyakit gagal hati atau ginjal, dan perubahan status nutrisi dari pasien dengan
obesitas, malnutrisi, atau short bowel syndrome, dapat mengubah farmakokinetik atau
bioavailabilitas obat. Kondisi dimana tidak memungkinkannya pemberian obat secara oral
menyebabkan obat diberikan secara parenteral atau menggunakan slang enteral, sehingga ahli
farmasi harus mempertimbangkan kecocokan obat-obat tersebut dan meyakinkan untuk
memilih bentuk dosis farmakologinya.3

2. Interaksi Status Nutrisi-Obat


2.1 Interaksi Malnutrisi Energi Protein terhadap Farmakokinetik dan
Farmakodinamik Obat
Malnutrisi berpengaruh negatif terhadap absorpsi, distribusi, dan clearance obat.
Perubahan dalam disposisi obat tersebut bervariasi sesuai dengan derajat perubahan
komposisi dan fungsi tubuh yang disebabkan karena malnutrisi. Pada kondisi malnutrisi
berat, absorpsi obat akan berkurang, protein carrier berkurang, dan metabolisme melambat.
Konsentrasi obat akan menjadi meningkat dan berpotensi mengalami toksisitas terutama pada
obat-obatan yang memiliki safety margin yang sempit. Perubahan metabolisme ini pada
malnutrisi ringan dan sedang akan minimal atau sedikit bermakna secara klinis, tetapi data
klinis mengenai hal ini sangatlah terbatas.
a. Absorpsi
Properti fisik dari obat misalnya kelarutan dalam lemak, berat molekul, keasaman,
dan properti biofarmasi akan mempengaruhi absorpsinya. Pada kondisi malnutrisi
kalori protein, absorpsi akan berkurang terutama anak dengan malnutrisi kalori
protein berat. Malabsorbsi terjadi terutama jika malnutrisi tersebut mencakup juga
defisiensi zink atau vitamin D, dan malabsorpsi umum sekunder.
b. Distribusi
Pada stadium selanjutnya dari malnutrisi, yaitu dimana sintesis protein hati berkurang,
protein carrier obat juga menjadi terbatas, sehingga terdapat konsentrasi tinggi dari
obat bebas yang dapat digunakan oleh jaringan atau dieliminasi. Pada kondisi
kwashiorkor dimana akumulasi cairan ekstraseluler dan konsentrasi albumin serum
rendah yang kemungkinan dieksaserbasi oleh respon inflamasi hati terhadap infeksi
sehingga akan menyebabkan penurunan sintesis albumin. Selain penurunan
ketersediaan dari protein carrier, perpindahan lokasi cairan dan edema akan
berpengaruh pula terhadap konsentrasi dan distribusi obat terhadap jaringan yang
memerlukannya.
c. Metabolisme
Pada kondisi malnutrisi yang lebih ringan metabolisme oksidasi obat tidak berubah
atau meningkat, tapi pada kondisi kwashiorkor metabolisme obat akan berkurang.
d. Ekskresi
Clearance ginjal kemungkinan berdampak terhadap asupan protein. Walaupun
jaringan ginjal dapat terhindar dari pengaruh malnutrisi kecuali jika mengalami
malnutrisi berat, penelitian-penelitian menunjukkan tidak terjadi pengurangan
clearance ginjal pada kondisi malnutrisi kalori protein.
e. Efek Obat
Efektivitas terapi kemungkinan berkurang atau risiko toksisitas akan meningkat
karena malnutrisi. 6

2.2 Gizi Lebih dan Obes


Pada kondisi gizi lebih dan obesitas sering kali kita mengalami masalah dalam penentuan
dosis obat. Beberapa patokan dapat kita jadikan acuan untuk memperhitungkan dosis
obat. Banyak pertimbangan yang harus kita pikirkan, apakah kita menggunakan berat
badan aktual dari penderita ataukah menggunakan lean body mass (LBM) yang secara
metabolisme aktif dalam metabolism obat. Pada Tabel 1 di bawah ini dapat kita lihat
beberapa persamaan yang dapat digunakan untuk menentukan berat badan yang kita
gunakan.

Tabel 1. Persamaan untuk memperkirakan berat badan7


Berat Badan Persamaan untuk laki-laki Persamaan untuk perempuan
Berat badan ideal 52 kg + 1,9kg/in > 5 ft 49 kg + 1,7 kg/in > 5 ft
Berat optimal 106 lbs + 6 lbs/in > 5 ft 100 lbs + 5 lbs/in > 5 ft
(48,2 kg + 2,7 kg/in > 5 ft) (45,5 + 2,3 kg/in > 5 ft)
Lean weight 50 kg + 2,3 kg/in > 5 ft 45,5 + 2,3 kg/in > 5 ft
Perkiraan berat normal (1,57)(kg)-(0,0183)(BMI)(kg) (1,75)(kg)-(0,0242)(BMI)(kg)
Massa sel tubuh (kg)[79,5–(0,24)(kg)– (0,15) (y)] (kg)[69,8–(0,26)(kg)–(0,12)(y)]
73,2 73,2
Lean mass (1,1013)(kg)-0,01281)(BMI)(kg) (1,07)(kg)-(0,0148)(BMI)(kg)
Lean body mass (1,10)(TBW)-(128)(TBW/Ht)2 (1,07)(TBW)-(148)(TBW/Ht)2
Dosis obat untuk DWOB=LBW+(CF)(TBW-LBW)
obesitas
Keterangan: kg = kilogram berat badan, in = inches, ft = feet, lbs = pounds, y = usia dalam
tahun, BMI = indeks massa tubuh dalam kg/m2, TBW = berat badan total dalam kg, Ht =
tinggi dalam cm, DWOB = dosis obat untuk obesitas, LBW = lean body weight, CF = faktor
koreksi

Pada kondisi umum, populasi usia dewasa pertengahan non obes memiliki massa lemak
sekitar 25% dari TBW laki-laki dan 33% TBW perempuan. Penderita obesitas rata-rata
memiliki LBM yang lebih tinggi dibandingkan dengan non obes yaitu antara 20-40% (rata-
rata 29%) dari kelebihan berat badan penderita obes tersebut. Sehingga inilah yang digunakan
sebagai faktor koreksi dalam perhitungan dosis obat.
Berat optimal digunakan untuk penderita diabetes untuk menentukan kebutuhan kalori.
Lean body mass berkorelasi kuat dengan air tubuh total, termasuk compartment sentral,
aktivitas metabolik dan kemungkinan dengan clearance obat. Obesitas sendiri juga dapat
mempengaruhi distribusi jaringan, clearance, dan efek klinis dari obat. Hal ini bukan hanya
karena pengaruh kelebihan lemak saja tetapi akibat dari perubahan fisiologis yang terjadi
pada kondisi obesitas. Aplikasi klinisnya adalah kita perlu memikirkan dosis inisial dan dosis
pemeliharaannya, yang terutama diperlukan untuk obat-obat yang memiliki konsentrasi
efektif minimal atau indeks terapeutik yang sempit. Loading dose sebaiknya menggunakan
informasi tentang volume distribusi (VD) obat yang berhubungan dengan berat badan total
(L/kg) dan untuk dosis pemeliharaan sebaiknya berdasarkan clearance obat dari tubuh (L/h)
dari penderita obesitas tersebut. Aplikasi penggunaan VD untuk memperhitungkan loading
dose dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Pedoman perhitungan dosing weight berdasarkan volume distribusi obat7


VD/kg TBWobes : VD/kg TBWnonobes Berat badan sebagai patokan dosis
>1 Aktual TBW
0,7-1 Adjusted body weight
< 0,7 LBW
Misalnya VD verucuronium 0,5 L/kg TBW pada pasien obes dan 1 L/kg pada nonobes. Nilai
rasio pada obesitas (0,5 L/kg) terhadap kontrol (1 L/kg) adalah 0,5 sehingga sebaiknya
menggunakan LBW untuk loading dose.
Penggunaan data clearance obat pada penderita obes dan non obes yang digunakan untuk
perhitungan dosis pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Pedoman perhitungan dosing weight berdasarkan clearence obat7


ClT OB:ClT Non-OB Berat badan sebagai patokan dosis
>1 Actual TBW
<1 Adjusted atau LBW

Sebagai contoh penggunaannya adalah CI vecuronium 16 L/jam pada pasien obes dan 20
L/jam pada non obes. Sehingga ratio CI antara obes dan non obes adalah 16/20 yaitu 0,8,
sehingga sebaiknya menggunakan adjusted atau LBW untuk patokan dosis obat
pemeliharaan.7

3. Interaksi Beberapa Obat yang Sering Digunakan di Bidang Pediatri


A. Analgetik dan Antipiretik
Untuk mendapatkan efek yang cepat dari acetaminophen, sebaiknya obat ini diminumkan
pada saat perut kosong, karena makanan dapat memperlambat penyerapannya.
Penyerapan dan efeknya juga dapat diperlambat oleh pemberian bersamaan dengan
pectin.
Beberapa NSAID (ibuprofen, naproxen, ketoprofen, dan lain-lain) dapat menyebabkan
iritasi pada lambung sehingga sebaiknya diminumkan dengan makanan atau susu. Minum
Coca cola dapat meningkatkan Cmax dan AUC0-apha yang disebabkan karena peningkatan
penyerapan ibuprofen. Sehingga jika minum coca cola maka dosis dan frekuensi harian
pemberian ibuprofen harus dikurangi. Penggunaan alkohol juga dikatakan dapat
menyebabkan peningkatan risiko kerusakan hati dan pendarahan lambung. Apabila tablet
kombinasi ibuprofen dan oxycodone diberikan maka penyerapannya juga akan
dipengaruhi oleh pemberian makanan.
Diclofenac potassium dalam bentuk soft gelatin capsul, penyerapannya tidak dipengaruhi
oleh makanan.8
Pada anak dengan malnutrisi kalori protein berat, biotransformasi acetaminophen
berkurang. Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi dimana waktu parah obat akan
memanjang dan terjadi penurunan eliminasi obat. Kemungkinan terjadi pembentukan
formasi senyawa intermediate reaktif toksik meningkat. Sehingga sebaiknya diperlukan
pemantauan kadar obat untuk menghindari efek toksik tersebut.6
B. Antihistamin
Untuk meningkatkan efektivitasnya, obat antihistamin sebaiknya diminum pada saat
perut kosong, tetapi pada rupatadine, yang biasa digunakan untuk penanganan kondisi
inflamasi alergi, pemberian makanan bersamaan dengan obat tersebut pada dosis 20 mg
per oral menunjukkan peningkatan biovalabilitas yang bermakna.
Cimetidine jika diberikan berbarengan dengan makanan maka akan membantu untuk
mempertahankan kadar terapeutiknya dalam darah. Fraksi cimetidine yang diabsorbsi
dengan adanya makanan menyebabkan sisa obat akan dicerna saat usus kosong. Sehingga
akan menyebabkan kadar terapeutik dapat dipertahankan selama interval dosis.
Bioavailabilitas esomeprazole akan berkurang jika diberikan dalam 15 menit sebelum
makan makanan yang mengandung lemak tinggi jika dibandingkan dengan pada saat
perut kosong.8
C. Obat Antituberkulosis
Isoniazid berhubungan dengan interaksi tiramin dan histamine. Inhibisi monoamine
oxidase dan histaminase oleh isoniazid dapat menyebabkan interaksi obat dan makanan.
Makanan akan sangat menurunkan bioavailabilitas dari isoniazid. Oleanolic acid yang
terdapat banyak pada makanan, herbal dan tumbuh-tumbuhan, memiliki aktivitas
antimikobakteri melawan Mycobacterium tuberculosis. Jika diberikan bersama isoniazid,
akan memberikan efek yang sinergis. Makanan yang mnegandung lemak tinggi
menurunkan konsentrasi serum cycloserine, obat antituberkulosis bakteriostatik sehingga
menyebabkan eradikasi bakteri yang tidak sempurna.8
Pada kondisi malnutrisi kalori protein berat, absorbsi isoniazid tidak mengalami
gangguan, tetapi asetilasinya yang terutama berlangsung di hati menjadi lebih lambat.
Risiko hepatotoksik meningkat tiga kali dibanding anak dengan gizi baik. Pyrazinamide
(35 mg/kg) dan etambutol (30mg/kg) yang diberikan pada anak malnutrisi energy protein
sebagian besar tidak mencapai Cmax untuk MIC M. tuberculosis. Terdapat kecenderungan
yang tidak bermakna ke arah yang lebih rendah dari Cmax dan AUC0-24jam dari
pyrazinamide pada anak malnutrisi. Pada etambutol didapatkan Cmax yang semakin
meningkat dengan semakin memburuknya status nutrisi, tetapi AUC0-24jam tidak berubah
atau lebih rendah pada malnutrisi.
D. Antibiotik
Sebaiknya hindari pemberian beberapa jenis antibiotika dengan produk susu. Produk susu
kaya akan ion divalent seperti kalsium dan magnesium yang dapat membentuk komplek
dengan beberapa antibiotika dan mengganggu penyerapannya. Fluoroquinolones akan
membentuk kompleks yang larut dengan ion metal dari makanan sehingga akan
mengurangi bioavailabilitasnya. Kasein dan kalsium pada susu mengurangi absorbs
ciprofloxacin. Absorpsi tablet ciprofloxacin akan dikurangi dengan pemberian bersama
jus grape fruit. Untuk menghindari kegagalan terapi dan resistensi bakteri berikutnya
akibat dari kadar obat dibawah efek terapi dalam sirkulasi sistemik, sehingga pemberian
ciprofloxacin dengan jus buah tersebut tidak dianjurkan.8
Gentamicin pada anak yang mengalami malnutrisi berat cukup diberikan dosis 5 mg/kg
yang diberikan satu kali sehari, akan mendapatkan hasil yang baik daripada diberikan
dalam dosis terbagi tiga dalam sehari. Konsentrasi puncaknya didapatkan lebih tinggi,
efek terapinya sama, dan tidak didapatkan nefrotoksik.9
Chloramphenicol juga akan mengalami pengurangan clearance pada kondisi malnutrisi
berat. AUC chloramphenicol menjadi dua kali lipat pada anak yang marasmus, dan tiga
kali lipat pada anak yang kwashiorkor apabila dibandingan anak dengan gizi kurang.
Clearence chloramphenicol akan berkurang menjadi setengah dari normal, pemanjangan
waktu paruh, dan konsentrasi obat efektif akan meningkat pada kondisi kwashiorkor.
Penicilin juga mengalami hal serupa pada anak dengan malnutrisi kalori protein berat.
Clearance ginjal akan berkurang dan waktu paruh akan meningkat jika dibandingkan
dengan anak normal. 6
Pada kondisi obesitas, beberapa antibiotika menunjukkan volume distribusi dan clearance
yang berbeda-beda, ada yang meningkat dan ada yang menurun tergantung dari jenis
antibiotikanya. Sehingga ada yang sebaiknya menggunakan dosis obat berdasarkan TBW
atau yang menggunakan adjusted LBW. Misalnya pada aminoglikoside sebaiknya
menggunakan adjusted LBW sebesar 0,4 pada kondisi obesitas karena jika menggunakan
berat badan sesungguhnya akan menghasilkan konsentrasi dalam serum yang lebih tinggi
dari yang diharapkan dan jika diberikan sesuai dengan LBW efek terapi menjadi
suboptimal.7
E. Bronkodilator
Makanan berinteraksi dalam variasi yang luas dengan theophiline. Makanan dengan kadar
lemak yang tinggi akan menyebabkan peningkatan kadar theophylline dalam tubuh.
Makanan dengan kadar karbohidrat yang tinggi akan menurunkan kadar theophylline
dalam tubuh. Alkohol akan meningkatkan efek samping dari theophylline seperti mual,
muntah, sakit kepala, dan iritabilitas. Theophilline merupakan derivat xantin, sehingga
hindarilah banyak makan makanan yang mengandung xantin (coklat, kola, kopi, teh)
karena meningkatkan efek toksiknya. Bronkodilator oral dan kafein akan menstimulasi
system saraf pusat. Grape fruit juice juga sebaiknya tidak diminumkan saat minum
theophylline karena akan meningkatkan bioavailabilitasnya. Pemeriksaan kadar
theophylline serum sebaiknya dilakukan jika minum grape fruit juice untuk mendapatkan
hasil terapi yang baik.8
F. Antidiabetik
Glimepiride merupakan generasi baru senyawa sulfonylurea diminumkan saat sarapan.
Obat ini memiliki bioavalilabilitas absolut dan interaksinya dengan makanan tidak ada.8
G. Tiroksin
Grape fruit juice akan sedikit memperlama absorpsi levotiroksin, tetapi pengaruhnya kecil
terhadap bioavailabilitasnya. 8
H. Antitumor
Mercaptopurin mengalami inaktivasi oleh xanthine oxidase. Minum obat bersamaan
dengan makanan yang mengandung xanthine oxidase (banyak terdapat dalam susu sapi)
dapat menurunkan bioavalabilitas mercaptopurin. Sehingga jika pasien mengkonsumsi
mercaptopurin sebaiknya minum susu pada waktu yang terpisah.10 Tamoxifen jika
dikonsumsi bersamaan dengan biji wijen akan memiliki pengaruh negatif dalam
menginduksi regresi dari berkembangnya ukuran tumor MCF-7, akan tetapi memiliki
interaksi yang menguntungkan pada tulang dari tikus atimic yang mengalami
ovariektomi. Glutamine dan n-3 fatty acids kemungkinan memiliki interaksi yang
berguna dengan terapi CPT-11.11 Pada kondisi malnutrisi, obat-obatan yang berikatan
dengan protein kemungkinan akan mengalami risiko toksisitas lebih tinggi pada kondisi
malnutrisi karena rendahnya kadar protein pada kondisi malnutrisi tersebut. Yang
termasuk dalam obat-obatan ini antara lain etoposide, teniposide, cisplatinum, dan
paclitaxel. Eliminasi waktu paruh metotrexat memanjang pada kondisi malnutrisi
dibanding pasien dengan kondisi status nutrisi baik. Risiko kardiotoksik dari antracycline
meningkat pada kondisi malnutrisi.6
I. Anti kejang
Pada kondisi obesitas volume distribusi phenytoin meningkat, baik secara absolut
maupun secara relatif, yang menunjukkan phenytoin terdistribusi juga pada kelebihan
jaringa lemak dari penderita obes, sehingga berpotensi pula untuk terjadinya redistribusi
obat kembali dari jaringan tersebut. Sehingga sebaiknya menggunakan data berat badan
berdasarkan adjusted bodyweight dengan factor koreksi lebih dari satu atau minimal
menggunakan TBW pada saat loading dose. Clearence metabolik dari phenytoin pada
kondisi obes juga mengalami peningkatan. Bertolak belakang dengan phenytoin,
clearence karbamazepin sedikit berkurang pada kondisi obesitas dan begitu juga dengan
volume distribusinya juga lebih rendah. Sehingga untuk karbamazepin sebaiknya
menggunakan adjusted bodyweight saat dosis awal dan dosis selanjutnya diberikan
dengan interval waktu yang lebih panjang. Dosis fenobarbital sebaiknya menggunakan
patokan TBW untuk mencapai konsentrasi terapeutik pada kondisi obesitas.7
Interaksi nutrien dan obat-obatan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini
Tabel 4. Ringkasan beberapa interaksi nutrient-obat yang penting8
Obat Nutrien Interaksi
Warfarin Diet tinggi protein Kadar serum albumin meningkat, penurunan
international
normalized ratio (INR)
Sayuran yang mengandung vitamin K Mengganggu efektivitas dan keamanan terapi
warfarin
Makanan yang dipanggang Penurunan aktivitas warfarin
Bawang yang dimasak Meningkatkan aktivitas warfarin
Jus cranberry Meningkatkan INR tanpa perdarahan pada
orang tua
Sayuran berdaun hijau Kemungkinan mengalami komplikasi
tromboemboli
Monoamine oxidase Makanan yang mengandung tiramin Krisis hipertensi
Propranolol Makanan yang mengandung protein Kadar dalam serum kemungkinan meningkat
tinggi
ACEs inhibitor Perut kosong Absorbsi meningkat
Ca2 channel Jus grape fruit Meningkatkan bioavailabilitas
Antibiotika Susu dan produknya Membentuk kompleks dengan beberapa
antibiotika dan mengganggu absorbsinya,
bioavailababilitasnya menurun
Acetaminophen Pectin Absorbsi dan onsetnya terlambat
NSAID Minuman beralkohol Meningkatkan risiko kerusakan hati atau
perdarahan lambung
Theophyline Makanan dengan kadar lemak tinggi Meningkatkan bioavailabilitas
dan jus grape fruit
Kafein Meningkatkan risiko toksisitas
Esomeprazole Makanan dengan kadar lemak tinggi Bioavailabilitas berkurang
Cimetidine, rupatadine Dengan makanan (apapun jenisnya) Meningkatkan bioavailabilitas
Isoniazid Plantsmedicinal herbsoleanolic acid Bersifat sinergis
Cycloserine Makanan dengan kadar lemak tinggi Konsentrasi dalam serum menurun
Glimepiride Dengan sarapan Bioavailabilitas absolut
Mercaptopurin Susu sapi Biovailabilitas berkurang
Tamoxifen Biji wijen Mengganggu kerja tamoxifen dalam
menginduksi regresi established mcf-7 tumor
size tetapi memiliki interaksi yang
menguntungkan terhadap tulang pada tikus
atimic yang telah diovariektomi

Levothyrosine Jus grape fruit Absorbsi menjadi terlambat

4. Simpulan
Interaksi nutrisi dan obat dapat terjadi pada saat disposisi maupun efek dari obat.
Interaksi nutrisi dan obat penting untuk kita perhatikan karena dapat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan yang kita berikan.

Daftar Pustaka
1. Santos CA, Boullata JI. An Approach to Evaluating Drug–nutrient Interactions.
Pharmacotherapy 2005;25:1789–1800.
2. Boullata JI. An Introduction to Drug-Nutrient Interactions. Dalam: Boullata JI,
Armenti VT, Hardy G, penyunting. Handbook of Drug-Nutrient Interactions. Edisi
ke-2. New York: Humana Press; 2010. h. 3-26.
3. Mason P. Drugs and Nutrition Important Drug–nutrient Interactions Proceedings of
the Nutrition Society. The Annual Meeting of the Nutrition Society and BAPEN:
2009 Oct 13-14; Cardiff. 2010. h. 551–557.
4. Thomas JA. Drug-nutrien Interactions. Nutrition Reviews 1995; 53(10):271-82.
5. Thurnham DI. An Overview of Interactions between Micronutrients and of
Micronutrients with Drugs, Genes and Immune Mechanisms. Nutrition Research
Review 2004; 17:211–40
6. Compher CW, Boullata JI. Influence of Protein-Calorie Malnutrition on Medication.
In: Boullata, J.I., Armenti, V.T., Hardy, G., penyunting. Edisi ke-2. Handbook Of
Drug-Nutrient Interactions. Humana Press, New York. H. 137-65.
7. Boullata JI. Influence of Overweight and Obesity on Medication. Dalam: Boullata JI,
Armenti VT, Hardy G, penyunting. Handbook of Drug-Nutrient Interactions. Edisi
ke-2. New York: Humana Press; 2010.h. 166-205
8. Bushra R, Aslam N, Khan AY. Food-Drug Interactions. Oman Medical Journal 2011;
26(2): 77-83.
9. Khan AM, Ahmed T, Alam NH, Chowdhury AK, Fuchs GJ. Extended-interval
gentamicin admiration in malnourished children. J Trop Pediatr 2005;52:179–184.
10. Lemos ML, Hamata L, Jennings S, Leduc T. Interaction between mercaptopurine and
milk. J Oncol Pharm Pract 2007; 13(4):237-40.
11. Xue H, Sawyer MB, Field CJ, Dieleman LA, Baracos VE. Nutritional Modulation of
Antitumor Efficacy and Diarrhea Toxicity Related to Irinotecan Chemotherapy in
Rats Bearing the Ward Colon Tumor. Clin Cancer Res. 2007;13(23):7146-54.

Anda mungkin juga menyukai