Anda di halaman 1dari 22

Tugas Makalah Gizi Darurat Bencana

PENGELOLAAN BENCANA DAN PERAN AHLI GIZI

OLEH:
KELOMPOK 1
1. NATAYU PRATIWI (P00313023086)
2. LA ODE ZULDIN (P00313023089)
3. NITA ERLIANTI (P00313023093)
4. INTAN MAYANG SHAFITRI (P00313023094)
5. JULIANTI (P00313023096)
6. LILIS ANGRIANI (P00313023105)

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI


D-IV GIZI AHLI JENJANG
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas Rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah Gizi Darurat Bencana yang berjudul “Pengelolaan Bencana, Ruang
Lingkup Dan Peran Ahli Gizi” ini di susun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Gizi
Darurat Bencana. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca.
Dengan kerendahan hati, kami mohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat
dan kesalahan. Meskipun demikian, kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
makalah.

Kendari, Agustus 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Tujuan ............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Bencana ............................................................................................... 3
B. Ruang Lingkup ............................................................................................... 6
C. Peran Ahli Gizi ............................................................................................... 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana merupakan kejadian luar biasa yang terjadi diluar kendali manusia. Tanpa
diketahui waktu terjadinya dan seberapa besar dampak kerugian yang akan ditimbulkan.
Dampak bencana dapat berupa rusaknya lingkungan dan menyebabkan kematian masal.
Besarnya dampak tersebut membuat pentingannya perhatian seluruh masyarakat untuk kesiap
– siagaan dalam menghadapi bencana (Sinaga, 2015).

Julukan sebagai negara dengan laboratorium bencana sudah melekat bahkan tidak
asing lagi terdengar untuk negara Indonesia. Mengingat Indonesia merupakan salah satu
negara yang sangat rawan dengan bencana alam. Bukan hanya dikenal rawan bencana,
bencana alam yang sering melanda Indonesia bahkan beberapa tidak pernah terjadi atau baru
pertama kalinya terjadi di Indonesia. Potensi bencana tersebut yaitu gempa bumi, tsunami,
banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, gunung api, dan masih banyak
lagi (Oktari, 2019).

Yang hingga kini masih sering diperbincangkan yaitu bencana likuefaksi. Likuefaksi
atau peristiwa pencairan tanah, terjadi belum lama ini di Indonesia tepatnya di Kota Palu,
Sulawesi Tengah. Likuefaksi adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh
kehilangan kekuatan akibat adanya getaran secara mendadak, sehingga tanah yang padat
dapat berubah wujud menjadi cair.

Tidak hanya bencana alam, Indonesia juga sering dilanda bencana non alam seperti
konflik sosial. Letak geografis, kondisi demografis serta keragaman sosio - kultural
masyarakat Indonesia menjadi salah satu potensi terjadinya gesekan yang mengakibatkan
terjadianya konflik sosial. Secara fisik bencana-bencana tersebut tentu berdampak pada
rusaknya saran dan prasarana, pemukiman, juga fasilitas umum lainnya termasuk fasilitas
kesehatan. Hal ini membuka peluang munculnya bencana baru seperti KLB penyakit
tertentu. Masalah yang sering kali luput dari perhatian ialah kecukupan gizi bagi penyintas
bencana. Penurunan status gizi pasca bencana dapat terjadi akibat layanan kesehatan
terbatas, terputusnya jalur distribusi makanan serta sanitasi yang buruk (Kementrian
Kesehatan RI, 2016).

1
Kebutuhan layanan kesehatan dan pangan jelas akan meninggkat pada daerah pasca
bencana. Untuk itu manajemen penanggulangan terkhusus untuk pemenuhan status gizi
penyintas bencana, perlu menjadi perhatian semua pihak. Khususnya kebutuhan nutrisi bayi,
balita, anak-anak, ibu hamil serta lansia yang rentan terserang penyakit pasca bencana
terjadi (Tumenggung, 2018).

B. Tujuan
1. Mengetahui Pengelolaan Bencana
2. Mengetahui Ruang Lingkup Pengelolaan Bencana
3. Mengetahui Peran Ahli Gizi dalam Pengelolaan Bencana

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Bencana
1. Pengertian pengolahaan Bencana
Menurut Mary Parker Folet mendefinisikan pengelolaan (manajemen)
sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini
mengandung arti bahwa para manajer dalam mencapai tujuan organisasi melalui
pengaturan orang lain untuk berbagai tugas yang mungkin diperlukan.
Definisi pengelolaan (manajemen) yang lebih kompleks dan mencakup
berbagai aspek penting dikemukakan oleh Stoner, yakni manajemen sebagai
proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha
pada anggota organisasi dan penggunaan sumber-sumber daya organisasi lain agar
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana Bab I Pasal 1 Ayat 1, Bencana adalah peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologi. Pada ayat 2, 3, dan 4 bencana dibedakan
menjadi tiga kategori berdasarkan penyebabnya, yakni bencana alam, bencana non
alam, dan bencana sosial. Dalam buku Disaster Managemen A Disaster Manager’s
Handbook adalah suatu kejadian alam atau buatan manusia secara progesive
menimbulkan dampak yang dasyat sehingga masyarakat yang terkena atau
terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa.
Mengacu pada definisi di atas maka bencana merupakan serangkaian
peristiwa berupa kekacauan yang disebabkan, baik dari faktor alam atau faktor non
alam maupun faktor manusia pada pola normal kehidupan yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Kekacauan ini biasanya terjadi secara progesive, tidak disangka dan
wilayah cakupan cukup luas.

3
Pengelolaan bencana didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan
terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis
bencana untuk meningkatkan Tindakan-tindakan terkait pencegahan, pengurangan,
persiapan, respon darurat dan pemulihan. Menurut Neil Grigg phase utama dan
fungsi pengelolaan secara umum termasuk dalam pengelolaan bencana, meliputi:
1) Perencanaan (planning)
meliputi: identifikasi masalah bencana atau sasaran pengelolaan bencana
yang ditargetkan, pengumpulan data primer dan skunder, penentuan
metode yang digunakan, investigasi dan analisis atau kajian, dan penentuan
solusi dangan berbagai alternatif.
2) Pengorganisasian (organising)
Organize berarti mengatur sehingga pengorganisasian merupakan
pengaturan dalam pembagian kerja, tugas, hak, dan kewajiban semua
pihak yang masuk dalam suatu kelompok organisasi.
3) Kepemimpinan (directing)
Lebih dominan ke aspek-aspek leadership, yaitu proses
kepemimpinan, pembimbingan, pembinaan, pengarahan, motivator, reward
dan punishment, konselor dan pelatihan.
4) Pengkoordinasian (coordinating)
Koordinasi adalah upaya bagaimana mengordinasi sumber daya manusia
agar ikut terlibat, mempunyai rasa memiliki, mengambil bagian atau
dapat berperan serta dengan baik sebagaian maupun menyeluruh dari suatu
kegiatan sehingga dapat dipastikan SDM dapat bekerja secraa tepat dan benar.
5) Pengendalian (controlling)
Pengendalian merupakan upaya control, pengawasan, evaluasi dan monitoring
terhadap SDM, organisasi, hasil kegiatan dari bagian-bagian ataupun dari
seluruh kegiatan yang ada.
6) Pengawasan (supervising)
Pengawasan dilakukan untuk memastika SDM bekerja dengan benar sesuai
dengan fungsi, tugas dan kewenangannya. Pengawasan berfungsi untuk
memastikan suatu proses berjalan dengan semestinya sesuai tujuan, target dan
sasaran serta kegiatan sudah dilakukan dengan baik.

4
7) Penganggaran (budgeting)
Dalam hal pengelolaan bencana, penganggaran juga menjadi salah satu factor
utama suksesnya suatu proses pembangunan baik situasi normal atau darurat
mulai dari studi, perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan
infrasturktur kebencanaan maupun peningkatan system infrastruktur yang
ada.
8) Keuangan (financing)
Awal dari perencanaan finansial adalah proses penganggaran. Ketika
tugas pokok dan fungsi dari tiap-tiap kegiatan institusi/ organisasi sudah
teridentifikasi Langkah selanjutnya adalah menentukan program kerja,
perhitungan biaya, dan manfaat, analisis resiko dan kesuksesan program.
Pada dasarnya pengelolaan bencana merupakan sebuah proses yang
dinamis, proses tersebut terdiri dari fungsi manajemen klasik yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian, dan
pengawasan yang melibatkan berbagai macam organisasi yang harus bekerja
sama.

2. Pengelolaan Bencana Terpadu


Pengelolaan bencana terpadu merupakan penanganan integral yang
mengarahkan semua stakeholders dari pengelolaan bencana sub-sektor ke sektor
silang. Pengelolaan bencana terpadu dikelompokan dalam tiga elemen penting
yakni sebagai berikut:
1) Enabling Environment diterjemahkan sebagai suatu pengkondisian yang
mungkin terjadi. Dalam hal pengelolaan bencana maka pengertiannya adalah
hal-hal utama atau subtansi-subtansi pokok yang membuat pengelolaan
dilakukan dengan cara-cara, strategi, dan langkah-langkah ideal yang tepat
sehingga tercapai tujuan pengelolaan bencana yang optimal. Menurut
Global Water Partnership (GWP) terdapat tiga hal subtansi/prinsip dalam
pengkondisian itu, yakni: kebijakan, kerangka kerja legislatif, dan finansial
(Global Water Partnership, 2001)
2) Seperti sudah disebutkan bahwa pengelolaan bencana adalah
kompleks dan saling ketergantungannya sangat tinggi, maka dalam
kelembagaan perlu dibuat organisasi lintas batas, baik secara nasional,
propinsi maupun kabupaten kota. Institusi nasinal resmi dan legal yang

5
menangani pengelolaan bencana sampai saat ini adalah Badan
Koordinasi Nasional Penanggulanggan Bencana dan Penanganan
Pengungsi (Bakornas PBP) di tingkat nasional, di tingkat provinsi
dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan (Satkorlak), di tingkat kabupaten
dibentuk Satuan Pelaksana (Satlak).
3) Instrumen-instrumen pengelolaan bencana meliputi: analisis penilaian
bencana, perancangan dan pengelolaan bencana terpadu, instrument
perubahan social, resolusi konflik, pengendalian perencanaan tata guna
lahan dan perlindungan alam dan, pengalihan dan pengelolaan data dan
informasi

B. Ruang Lingkup
Periode bencana dihitung mulai saat terjadinya bencana dan beberapa
pengelompokan durasi atau waktu terjadinya bencana, yaitu :
1. Bencana yang terjadi dalam hitungan detik, seperti : serangan badai angin tornado dan
kecelakaan pesawat.
2. Bencana yang terjadi dalam hitungan jam atau hari, seperti : kebakaran hutan, badai,
kerusakan bendungan.
3. Bencana yang terjadi dalam hitungan berbulan-bulan atau bahkan bertahuntahun,
seperti : kekeringan dan kelaparan.

Selama waktu tersebut responden dapat melakukan penyelamatan, pencarian,


pengevakuasian korban, memberikan perawatan darurat, serta menyediakan tempat
berteduh dan makanan, secara bersamaan petugas kesehatan masyarakat melaksanakan
surveilans yang ditargetkan atau ditingkatkan
Adapun kegiatan utama terkait bencana yang menggunakan metode epidemiologi
mencakup penilaian kebutuhan secara cepat, pengawasan kesehatan, sistem pelacakan,
investigasi (penyelidikan) dan studi epidemiologi, serta pencatatan.

1. Penilaian Kebutuhan Cepat


Penilaian Kebutuhan Cepat merupakan sebuah teknik pengambulan sampel
berupa survey di lapangan yang bertujuan untuk menentukan dengan cepat status
kesehatan dan kebutuhan dasar komunitas yang terkena dampak bencana dengan cara
yang valid dan statistic untuk respon yang dapat ditindaklanjuti. Hal ini dikarenakan

6
tanggap darurat seringkali membutuhkan informasi segera terkait status kesehatan dan
kebutuhan masyarakat, maka informasi tersebut haruslah dikumpulkan di lapangan
dan dianalisis dengan cepat. Kegiatan penilaian kebutuhan dimulai dan diselesaikan,
idelanya dalam 72 jam. Dalam hal ini dibutuhkan kecepatan mengumpulkan dan
menganalisis data dikarenakan untuk menghindari keterlambatan informasi.

2. Pengawasan Kesehatan
CDC (Central of Disease Control) dalam Rencana Komprehensif untuk
Surveilans Epidemiologi di Atlanta tahun 1986 berpendapat bahwa dalam
pengawasan kesehatan petugas kesehatan masyarakat melakukan teknik surveilans
yang bertujuan untuk :
a. Mengkarakterisasi beban kesehatan bencana
b. Upaya respon target
c. Mengidentifikasi wabah antarbencana atau kelompok kondisi
d. Menggambarkan distribusi kejadian kesehatan yang merugikan secara spesifik

Menurut CDC dalam situasi bencana, surveilans kesehatan merupakan


pengumpulan, analisis, interpretasi, dan distribusi kesehatan secara sistematis untuk
mengkarakterisasi beban morbiditas dan mortalitas terkait bencana pada komunitas
yang terkena dampak. Kegiatan surveilans awalnya berfokus pada masyarakat yang
cedera dan yang memiliki penyakit serta dirawat dirumah sakit ataupun klinik
perawatan setempat. Namun dikarenakan fasilitas perawatan kesehatan lokal hancur
dan tidak berfungsi, bahkan mengalami kelebihan kapasitas maka dilakukan
penambahan dan peningkatan pengawasan baik di tempat penampungan, unit
pertolongan pertama, dan di pos dekontaminasi lapangan, bersama dengan surveilans
sindromik di bagian gawat darurat, pusat racun, dan fasilitas medis darurat.
Peningkatan surveilans dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor,
diantaranya :
a. Lokasi populasi yang terkena dampak (tempat tinggal atau tempat penampungan)
b. Kondisi dan status sarana dan prasaran kesehatan masyarakat serta kemampuan
untuk melakukan pengawasan.
c. Status prasarana pemberian perawatan kesehatan di mana cedera dan penyakit di
rawat

7
Tidak ada kriteria yang telah ditetapkan kapan harus memulai dan
menghentikan pengawasan di tempat penampungan, kecuali jika pengawasan hanya
dilakukan dan direncanakan untuk 1 hingga 2 hari. Dalam beberapa kasus, informasi
kesehatan awal dapat dikumpulkan pada individu yang dilindungi selama proses
pengambilan atau sesegera mungkin setelah pengambilan. Informasi mungkin
termasuk masalah kesehatan kronis dan akut, obat-obatan, dan kebutuhan khusus.
Keseimbangan antara detail dan kesederhanaan diperlukan, karena pengumpulan
informasi kesehatan yang akurat dan lengkap sering kali terjadi dalam kondisi
tekanan dan kecemasan. Daftar pengungsi yang ada di penampungan dapat dicari
untuk tujuan kesehatan masyarakat maupun untuk menyatukan kembali anggota
keluarga yang mungkin terpisah selama peristiwa bencana. Pendekatan surveilans
aktif, pasif, dan sindromik dapat digunakan di tempat penampungan. Pendekatan
terbaik akan bergantung sebagian besar pada ukuran dan susunan populasi tempat
penampungan dan kebutuhan informasi dari manajer keadaan darurat dan kesehatan
masyarakat di tempat penampungan.

3. Sistem Pelacakan
Sistem pelacakan merupakan pengumpulan dan integrasi data dari pemantauan
lingkungan, paparan dan efek kesehatan pada manusia dari waktu ke waktu. Sistem
pelacakan pada umumnya dilakukan selama fase pemulihan untuk membantu
mengidentifikasi kebutuhan untuk perawatan bekelanjutan atau intervensi kesehatan
masyarakat dan menginformasikan perkembangan pendidikan kesehatan dan langkah-
langkah pencegahan penyakit.
CDC dalam program pelacakan menyebutkan bahwa sistem pelacakan
bertujuan unuk mengindetifikasi menemukan orang-orang yang mungkin beresiko
terpapar, terutama terhadap bahaya kimiawi, untuk meminimalkan hasil yang
merugikan secara langsung dan menjelaskan kisaran dan tingkat keparahan hasil yang
merugikan diantara populasi yang terpapar. Sistem pelacakan erat kaitannya dengan
lingkungan. Secara lebih spesifik penelusuran kesehatan masyarakat lingkungan
adalah pengumpulan, integrasi, analisis, interpretasi, dan penyebaran data yang
sedang berlangsung dari pemantauan bahaya lingkungan dan pengawasan terkait
paparan manusia dan hasil kesehatan. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat
dengan memberikan informasi yang dapat digunakan untuk merencanakan,
menerapkan, dan mengevaluasi tindakan kesehatan masyarakat untuk mencegah dan

8
mengendalikan penyakit yang berhubungan dengan lingkungan serta dapat berguna
untuk menangani hasil jangka menengah hingga jangka panjang dan fase pemulihan.

4. Investigasi dan Studi Epididemiologi


Investigasi dan studi epidemiologi pasca bencana merupakan teknik deskriptif dan
analitis untuk lebih memahami masalah yang dihasilkan dari penilaian kebutuhan atau
surveilans serta untuk menetapkan determinan untuk hasil kesehatan yang merugikan
sehingga intervensi dapat dilakukan. Dalam melakukan studi juga dapat menggunakan
data keterpaparan untuk mengukur faktor risiko. Investigasi dan studi epidemiologi
pada umumnya dilakukan pascabencana namun dapat juga dilakukan setelah tindakan
darurat penyelamatan jiwa telah diselesaikan dan isu-isu yang memerlukan studi
formal telah diidentifikasi, contohnya terkait : kondisi fisik, lingkungan, mental, atau
sosial yang mempengaruhi kesehatan Masyarakat.
Adapun beberapa tujuan lain dari investigasi dan studi epidemiologi yaitu :
a. Memvalidasi atau menyangkal spesifikasi tanggapan perilaku dan pesan
keselamatan. Contohnya : saran dari pemerintah untuk berlindung di bawah
jembatan layang jalan raya ketika tornado mendekat, tetapi dapat meningkatkan
risiko cedera atau kematian dengan mendorong individu untuk mencari
perlindungan, daripada berlindung di tempat.
b. Meningkatkan strategi komunikasi dengan mengidentifikasi bahasa dan media
yang efektif untuk mempromosikan perubahan perilaku selama fase peringatan,
tanggapan, dan pemulihan
c. Mengumpulkan informasi dari berbagai bencana untuk mengidentifikasi
kesamaan atau pola pada tingkat yang lebih luas. Pelajaran yang dipelajari dalam
retrospeksi dapat diterapkan untuk berhasil mengelola insiden di masa depan.

5. Pencatatan
Sebagai surveilans khusus, register menggunakan struktur dan proses untuk
mendokumentasikan bahaya lingkungan dan eksposur untuk observasi pasien
longitudinal sebelum atau setelah studi dan investigasi epidemiologi. Informasi dari
pendaftar membantu mengidentifikasi konsekuensi kesehatan jangka menengah
hingga jangka panjang, dan kebutuhan untuk pengujian atau perawatan, dan
menjelaskan hubungan antara eksposur dan hasil kesehatan.

9
C. Peran Ahli Gizi Dalam Pengelolaan Bencana
Di Indonesia secara geografis rawan sekali terjadinya bencana alam dan non alam
seperti gempa tektonik, tsunami, dan angin puting beliung. Bencana non alam artinya akibat
ulah manusia yaitu seperti contohnya manusia tidak mengolah sumber daya alam atau tidak
menjaga alam dengan baik. Sehingga dapat menimbulkan bencana alam, seperti tanah
longsor, banjir, kebakaran hutan dan kekeringan. Dampak bencana tersebut mengakibatkan
kondisi kedaruratan disegala bidang. Dampak dari bencana secara fisik umumnya adalah
rusaknya berbagai sarana dan prasarana fisik seperti pemukiman, bangunan fasilitas umum
dan sarana transportasi.

Dalam kondisi krisis bencana yang diakibatkan karena faktor alam ataupun faktor
lainnya, peran tenaga Kesehatan umumnya dan ahli gizi khususnya sangat penting. Prinsip
yang harus dipegang dalam penanganan gizi dalam kondisi darurat adalah menyelamatkan
kehidupan para korban agar keluar dari krisis dengan tujuan food for life untuk selanjutnya
membantu masyarakat yang paling rawan terkena krisis dengan tujuan food for growth.

Ibu, anak, dan lansia merupakan kelompok usia yang paling rentan mengalami
masalah gizi kurang, sebagai dampak dari sebuah bencana. Permasalahan gizi yang biasanya
timbul pada bencana alam yang terjadi adalah gizi kurang pada kelompok usia bayi dan balita
yang tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) dikarenakan anak tersebut terpisah dari ibunya
saat bencana alam terjadi. Semakin memburuknya status gizi di sekelompok masyarakat
dikarenakan bantuan makanan yang sering terlambat dan terbatasnya ketersediaan pangan di
lokasi pengungsian dapat memperburuk kondisi yang ada. Terbatasnya ketersediaan pangan
dapat diakibatkan karena adanya bantuan pangan yang mendekati atau melewati masa
kadaluarsa. Makanan yang tidak disertai label yang jelas atau tidak ada keterangan halal
sehingga pengungsi tidak dapat mengkonsumsi makanan tersebut .

a. Peran Ahli Gizi

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun


penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multi faktor, karena itu pendekatan
penanggulannya melibatkan berbagai sektor yang terkait.

10
Penangan gizi darurat pada saat bencana menjadi prioritas pertama dimana layanan
pangan dan gizi merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dalam penanganan
kedaruratan. Penanganan gizi penting dalam situasi darurat, hal ini disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu :
1. Keterbatasan di pengungsian (pangan,pelayanan kesehatan, shelter, sanitasi, air
bersih)
2. Bantuan makanan (gizi) merupakan salah satu bentuk bantuan untuk penyelamatan
korban ( untuk mempertahankan status gizi)
3. Untuk optimalisasi bantuan gizi, perlu penangan gizi yang sesuai sehingga perlu
surveilans gizi.

Tujuan umum penanganan masalah gizi pada saat kondisi darurat adalah
meningkatkan dan mencegah memburuknya status gizi pengungsi. Sedangkan, tujuan spesifik
dari penanganan masalah gizi pada kondisi darurat adalah untuk memantau perkembangan
status gizi pengungsi, terciptanya kondisi kerjasama lintas sektor dan terjadinya
penyelenggaraan program penanganan gizi.

Peranan seorang ahli gizi di daerah bencana antara lain :


1. Ahli gizi bertanggung jawab pada perencanaan menu yang simple namun bermanfaat,
dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan makanan, air, bahan bakar (gas,
listrik) dan personel.
2. Menyelenggarakan intervensi gizi berdasarkan tingkat kedaruratan dengan
mempertimbangkan prevalensi, keadaan penyakit, ketersediaan sumber daya (tenaga,
dana, dan sarana), kebijakan yang ada, kondisi penampungan, serta latar belakang
sosial budaya.
3. Melakukan surveilans gizi untuk memantau perkembangan jumlah pengungsi,
keadaan status gizi, dan Kesehatan.
4. Membagi tugas – tugas pada setiap area/tahap, misalnya persiapan, distribusi dan
penyajian, serta menunjuk 1 orang sebagai koordinatornya.
5. Berkoordinasi dengan tenaga Kesehatan lain untuk mewujudkan system pelayanan
Kesehatan yang efektif melalui koordinasi lintas program, lintas sektor, LSM, dan
ormas dalam penanggulangan masalah gizi pada setiap tahap.

11
6. Melaksanakan profesionalisme tenaga lapangan untuk penanganan gizi pengungsi
melalui orientasi dan pelatihan dengan pemberdayaan pengungsi di bidang
pemenuhan kebutuhan pangan.

Prinsip penanganan gizi darurat terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap penyelamatan, tahap tanggap
darurat, serta melakukan pengamatan / surveilans gizi.

1. Tahap penyelamatan
Tahap penyelamatan merupakan kegiatan yang bertujuan agar para pengungsi
tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizi. Tahap ini terdiri dari 2 fase yaitu
fase 1 dan fase 2. Fase 1 adalah saat pengungsi baru terkena bencana, petugas belum
sempat mengidentifikasi pengungsi secara lengkap, dan belum ada perencanaan
pemberian makanan terinci sehingga semua golongan umur menerima bahan makanan
yang sama. Fase ini maksimum selama 5 hari dan sasarannya adalah seluruh
pengungsi, dengan kegiatan : pemberian makanan jadi dalam waktu sesingkat
mungkin, pendataan awal (jumlah pengungsi, jenis kelamin, golongan umur) dan
penyelenggaraan dapur umum.
Sedangkan fase ke-2 adalah saat pengungsi sudah lebih dari 5 hari bermukim
di tempat pengungsian, sudah ada gambaran keadaan umum pengungsi (jumlah,
golongan umur, jenis kelamin keadaan lingkungan, dan sebagainnya), sehingga
perencanaan pemberian bahan makanan sudah lebih terinci, serta tersedia cukup
bantuan bahan makanan. Kegiatan pada fase ini meliputi : pengumpulan dan
pengolahan data status gizi, menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status
gizi, merencanakan kebutuhan pangan untuk suplementasi gizi, menyediakan paket
bantuan pangan (ransum) yang cukup dan mudah dikonsumsi oleh semua golongan
umur dengan syarat minimal sebagai berikut.
a. Setiap orang diperhitungkan menerima ransum senilai 2.100 kkal, 40 gram lemak
dan 50 gram protein per hari. Diusahakan memberikan pangan sesuai dengan
kebiasaan dan ketersediaan setempat, mudah diangkut, disimpan, dan
didistribusikan.
b. Harus memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral.
c. Mendistribusikan ransum sampai ditetapkannya jenis intevensi gizi berdasarkan
hasil data dasar (maksimum 2 minggu).
d. Memberikan penyuluhan kepada pengungsi tentang kebutuhan gizi dan cara
pengolahan bahan makanan masing – masing anggota keluarga.

12
2. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini dimulai selambat – lambatnya pada hari ke-20 di tempat pengungsian.
Kegiatan yang dilakukan meliputi :
a. Melakukan penapisan (screening) bila prevalensi gizi kurang balita 10 – 14.9%
atau 5 – 9.0% yang disertai dengan faktor pemburuk.
b. Menyelenggarakan pemberian makanan tambahan sesuai dengan jenis intervensi
yang telah ditetapkan pada tahap 1 fase 2 (PMT darurat/ransum, PMT darurat
terbatas serta PMT terapi).
c. Melakukan penyuluhan baik perorangan atau kelompok.
d. Memantau perkembangan status gizi melalui surveilans.
e. Melakukan modifikasi/perbaikan intervensi sesuai dengan perubahan tingkat
kedaruratan.
- Jika prevalensi gizi kurang >15% atau 10 – 14% dengan faktor pemburuk,
diberikan paket pangan dengan standar minimal per orang per hari (ransum),
dan diberikan PMT darurat untuk balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia,
serta PMT terapi bagi penderita gizi buruk. Ketentuan kecukupan gizi pada
PMT darurat sama seperti standar ransum.
- Jika prevalensi gizi kurang 10 – 14.9% atau 5 – 9.9% dengan faktor
pemburuk, diberikan PMT darurat terbatas pada balita, ibu hamil, ibu
menyusui, dan lansia yang kurang gizi serta PMT terapi kepada penderita gizi
buruk.
- Jika prevalensi gizi kurang < 10% tanpa faktor pemburuk atau <5% dengan
faktor pemburuk maka dilakukan penanganan penderita gizi kurang melalui
pelayanan Kesehatan setempat.
3. Tahap Pengamatan/Surveilans Gizi

Beberapa program dilakukan untuk penanganan permasalahan gizi dalam kondisi darurat :
1. Pelayanan gizi
Penyelenggaraan makanan darurat dipersiapkan oleh petugas pada waktu terjadi
keadaan darurat yang ditetapkan oleh pemangku kepentingan setempat sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Pada saat masyarakat dinyatakan mengungsi,
sehingga masyarakat tidak mungkin untuk menyelenggakan makanan sendiri.

13
2. Penyuluhan gizi
Penyuluhan gizi yang diberikan oleh tenaga petugas gizi pada kondisi darurat bencana
mempunyai makna yang signifikan. Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku
manusia baik individu maupun masyarakat sehingga dapat menciptakan sikap mental
dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya guna dapat
meningkatkan dan mempertahankan gizi yang baik. Harapan dari upaya ini adalah
orang bisa memahami pentingnya makanan dan gizi, sehingga mau bersikap dan
bertindak mengikuti norma – norma gizi.

3. Penyediaan Tenaga Khusus atau Sumber Daya Manusia di bidang Gizi


Peran tenaga kesehatan atau ahli gizi pada saat kondisi darurat bencana dapat
memberikan kontribusi terhadap pelayanan gizi di tempat pengungsian menjadi lebih
optimal. Pada tahap tanggap darurat peran petugas kesehatan dapat membantu pada
dapur umum dengan mengatur menu serta perhatian terhadap gizi dan kebersihan
makanan yang akan diberikan pada masyarakat yang menderita akibat bencana. Dapur
umum ini bisa saja diadakan di kantor – kantor pemerintah atau mungkin juga di
sekitar terjadinya bencana terutama pada tempat-tempat pengungsian.

4. Penyediaan Bahan Makanan


Pada fase penyelamatan pengungsi baru saja terkena bencana, petugas belum sempat
mengindentifikasi pengungsi secara lengkap, belum ada perencanaan pemberiaan
makanan yang terinci sehinnga semua kelompok umur menerima bahan makanan
yang sama. Pemberian makanan jadi harus sudah tersedia dalam waktu sesingkat
mungkin dengan membentuk penyelenggaraan dapur umum. Bahan makanan yang
mudah dibawa dan dimasak seperti beras, telur, ikan kaleng, kerupuk dan mie instan
adalah bahan makanan umum yang tersedia pada saat kondisi darurat.

b. Sistem Koordinasi Tenaga Kesehatan


Koordinasi merupakan Upaya menyatupadukan berbagai sumber daya dan kegiatan
organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan
masalah Kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan
terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien.
Koordinasi penanggulangan masalah Kesehatan ini meliputi koordinasi internal berupa
kerja sama lintas program dari sumber daya yang berbeda (pemerintah, ornop, LSM,

14
swasta dan masyarakat) di daerah bencana. Program tersebut antara lain mengintegritaskan
Upaya penilaian kebutuhan Kesehatan akibat bencana; pelayanan Kesehatan dasar dan
spesialistik; perbaikan gizi darurat; imunisasi, pengendalian vector, sanitasi dan dampak
lingkungan; penyuluhan Kesehatan; bantuan logistik Kesehatan dan lain – lain. Koordinasi
internal ini mengoptimalkan kegiatan organisasi pemerintah, nonpemerintah, LSM, dan
lain – lain yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama. Konsep koordinasi ini
sendiri tampak dalam gambar berikut.

Komunikasi
Berbagai Arah
Perencanaan

EFEKTIFITAS
Kepemimpnan Pengendalian Pengorganisasian Kerjasama
SUMBER DAYA
Motivasi (Kemitraan)
PMK

Evaluasi

Koordinasi

Gambar 1. Koordinasi SDM dalam penanganan bencana


Sumber : kementerian Kesehatan , 2002

Koordinasi memerlukan :
1. Manajemen penanggulangan masalah Kesehatan yang baik.
2. Adanya tujuan, peran , dan tanggung jawab yang jelas dari organisasi.
3. Sumber daya dan waktu yang akan membuat koordinasi berjalan.
4. Jalannya koordinasi berdasarkan adanya pertukaran informasi dari berbagai sumber
informasi yang berbeda.

Untuk memperoleh efektifitas dan optimalisasi sumber daya, diperlukakn persyaratan tertentu
antara lain:
1. Komunikasi berbagai arah dari berbagai pihak yang dikoordinasikan.
2. Kepemimpinan dan motivasi yang kuat di saat krisis.
3. Kerja sama dan kemitraan antara berbagai pihak
4. Koordinasi yang harmonis.

15
Gambar 2. System koordinasi antarsektor
Sumber : Kemeterian Kesehatan, 2002

c. Koordinasi Pasca Kedaruratan/Bencana


Koordinasi dan pengendalian di lapangan pasca bencana merupakan hal yang
sangat diperlukan dalam penanggulanagan di lapangan, karena dengan koordinasi yang
baik diharapkan menghasilkan output/keluaran yang maksimal sesuai sumber daya yang
ada meminimalkan kesenjangan dan kekurangan dalam pelayanan, adanya kesesuaian
pembagian tanggung jawab demi keseragaman Langkah, dan tercapainya standar
penanggulangan bencana di lapangan yang diharapkan.
Kooordinasi yang baik akan menghasilkan keselarasan dan kerja sama yang
efektif dari organisasi – organisasi yang terlibat dalam penanggulangan bencana di
lapangan. Dalam hal ini perlu diperhatikan penempatan struktur organisasi yang tepat
sesuai dengan tingkat penanggulangan bencana yang berbeda, serta adanya kejelasan
tugas, tanggung jawab dan otoritas dan masing – masing/organisasi yang terus – menerus
dilakukan secara lintas program dan lintas sektor mulai tahap persiapan, saat terjadi
bencana, dan pasca bencana.
Kegiatan pemantauan dan mobilitasi sumber daya dalam penanggulangan bencana di
lapangan pada prinsipnya adalah :

16
1. Melakukan penilaian kebutuhan dan dampak keselamatan secara cepat (rapid Health
Assessment) sebagai dasar untuk pemantauan dan penyusunan program mobilitasi
bantuan.
2. Melakukan skalasi pelayanan dan mobilisasi organisasi yang terkait dalam
penanggulangan masalah Kesehatan akibat bencana di lapangan, mempersiapkan
sarana pendukung guna memaksimalkan pelayanan.
3. Melakukan mobilisasi tim pelayanan ke lokasi bencana (on site) beserta tim
surveilans, yang terus – menerus mengamati keadaan lingkungan dan kecenderungan
perubahan – perubahan yang terjadi.

Kendala – kendala yang dapat terjadi dalam koordinasi adalah:


1. Gangguan aksesibilitas
2. Gangguan keamanan
3. Pertimbangan politis
4. Keengganan untuk mengamati tujuan
5. Penundaan inisiatif
6. Pembagian tugas tidak berjalan
7. Kerangka waktu tidak disepakati
8. Pengalihan tugas

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengelolaan bencana didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan
(aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana untuk
meningkatkan tindakan-tindakan terkait pencegahan, pengurangan, persiapan, respon
darurat dan pemulihan. Adapun kegiatan utama terkait bencana yang menggunakan metode
epidemiologi mencakup penilaian kebutuhan secara cepat, pengawasan kesehatan, sistem
pelacakan, investigasi (penyelidikan) dan studi epidemiologi, serta pencatatan.

Peranan seorang ahli gizi di daerah bencana antara lain :


1. Ahli gizi bertanggung jawab pada perencanaan menu yang simple namun bermanfaat,
dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan makanan, air, bahan bakar (gas,
listrik) dan personel.
2. Menyelenggarakan intervensi gizi berdasarkan tingkat kedaruratan dengan
mempertimbangkan prevalensi, keadaan penyakit, ketersediaan sumber daya (tenaga,
dana, dan sarana), kebijakan yang ada, kondisi penampungan, serta latar belakang
sosial budaya.
3. Melakukan surveilans gizi untuk memantau perkembangan jumlah pengungsi,
keadaan status gizi, dan Kesehatan.
4. Membagi tugas – tugas pada setiap area/tahap, misalnya persiapan, distribusi dan
penyajian, serta menunjuk 1 orang sebagai koordinatornya.
5. Berkoordinasi dengan tenaga Kesehatan lain untuk mewujudkan system pelayanan
Kesehatan yang efektif melalui koordinasi lintas program, lintas sektor, LSM, dan
ormas dalam penanggulangan masalah gizi pada setiap tahap.
6. Melaksanakan profesionalisme tenaga lapangan untuk penanganan gizi pengungsi
melalui orientasi dan pelatihan dengan pemberdayaan pengungsi di bidang
pemenuhan kebutuhan pangan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Batalipu Nur Rahma, dkk, Manajemen Penanggulangan Gizi Pasca Bencana, Palu:Fakultas
Kesehatan Masyarakat Unismu, 2019.

Fahmida Umi, dkk. Buku Saku Kedaruratan Gizi Balita Pascabencana, Jakarta:Seameo
Refcon, 2019.

Helmyati Siti, dkk. Manajemen Gizi Dalam Kondisi Bencana, Yogyakarta:Universitas Gadja
Mada,2018.

Purnama Tri Bayu, Epidemiologi Bencana, Medan:Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2021.

19

Anda mungkin juga menyukai