Anda di halaman 1dari 12

Masukan Atas RUU KUP

(26 Agustus 2021)

1
Ringkasan usulan terhadap RUU KUP :
I. Penghapusan pengenaan PPN atas sektor jasa keuangan – pasal 44E, sub pasal 4A ayat (3) huruf (d)
Diusulkan : tidak ada pengenaan PPN atas jasa Keuangan dengan pertimbangan agar tidak ada kenaikan
biaya ekonomi yang berlebihan atas kegiatan penyaluran kredit, penerbitan obligasi termasuk bunga
deposan dsbnya (detil pembahasan pada Lampiran 1)

II. Penambahan ketentuan terkait perhitungan cadangan piutang tak tertagih, hapus buku dan penjualan
AYDA
Diusulkan agar dalam RUU KUP diatur mengenai :
a. Perhitungan cadangan piutang tak tertagih untuk kebutuhan perpajakan agar mengacu pada PSAK 71
dengan pertimbangan adanya kepastian hukum atas acuan standar akuntansi yang digunakan yaitu PSAK
71 (detil pembahasan pada Lampiran 2)
b. Tidak perlu ada persyaratan tambahan untuk mengakui biaya penghapusan piutang yang tak tertagih
oleh bank dengan pertimbangan penghapusan piutang tak tertagih adalah kerugian bank (detil
pembahasan pada Lampiran 3)
c. Penjualan AYDA/Agunan debitur tidak dikenakan PPN, dengan pertimbangan penjualan agunan debitur
merupakan bagian dengan penyelesaian Kredit. (detil pembahasan pada Lampiran 4)

2
Ringkasan usulan terhadap pasal penting RUU KUP :

III. Pengenaan sanksi 100% atas WP setelah putusan banding – pasal 27 RUU KUP ayat (5d, 5e dan 5f)
Diusulkan : agar memakai bunga acuan yang diterbitkan Kemenkeu dan imbalan bunga yang sama jika WP
menang dimana eksekusi proses penagihan pajak dilakukan setelah ada putusan inkracht (detil
pembahasan pada Lampiran 5)

IV. Penghapusan pengenaan pajak minimum bagi WP Badan – pasal 44D RUU KUP, sub pasal 31F
Diusulkan : tidak ada pengenaan pajak minimum 1% dari peredaran bruto bagi WP Badan dengan
pertimbangan PPh badan dikenakan atas laba perusahaan (detail pembahasan pada lampiran 6)

V. Perlakukan pajak atas Natura/Kenikmatan - pasal 44D RUU KUP, sub pasal 4 ayat (3d) dan 9 ayat (1e)
Diusulkan: agar Natura/Kenikmatan yang menjadi obyek PPh diperlakukan sebagai pengurang penghasilan
bruto, tanpa syarat apapun dan dipertegas kriteria yang menjadi obyek PPh. (detil pembahasan pada
Lampiran 7)

3
Lampiran

4
Lampiran 1- Penghapusan pengenaan PPN atas sektor jasa keuangan dan agar dikeluarkan
dari RUU KUP: Pasal 44E, sub pasal 4A ayat (3) huruf (d)
1. Jasa keuangan yang tidak dikenakan PPN, menurut Pasal 4A ayat (3) huruf (d) UU PPN terdiri dari:
i. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
ii. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan
surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
iii. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
iv. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
v. jasa penjaminan.
2. Pertimbangan ➔ Dampak-dampak jika PPN dikenakan atas jenis-jenis jasa keuangan diatas:
i. Kenaikan biaya dalam ekonomi yang berlebihan bagi nasabah, diantaranya berupa tambahan biaya bagi debitur,
penerbit obligasi dan tambahan biaya kepada deposan, kenaikan biaya pelayanan transaksi bagi nasabah
ii. Akan menyebabkan perbankan Indonesia kalah bersaing dengan Perbankan di ASEAN lainnya, karena saat ini di
ASEAN tidak ada PPN yang dikenakan atas jasa keuangan. Terdapat risiko dana lari ke luar negeri yang dapat
mempengaruhi likuiditas Perbankan nasional.
iii. Biaya kepatuhan pajak yang tinggi karena baik bank, masyarakat (PKP) harus membuat faktur pajak saat
melakukan penyerahan jasa keuangan(termasuk menerima/membayarkan bunga)
iv. Terjadi diskriminasi antara nasabah berstatus PKP dengan yang tidak
3. Usul: pasal 44E RUU KUP, sub pasal 4A ayat (3) huruf (d) yang mengatur Jasa Keuangan sebagai jasa yang dikenakan
PPN dikeluarkan atau di hapus

5
Lampiran 2 - Penambahan ketentuan terkait perhitungan cadangan piutang tak tertagih
dalam RUU KUP
Pertimbangan:
• Perhitungan cadangan piutang tak tertagih untuk kebutuhan perpajakan agar mengacu pada
standar akuntansi yang berlaku yaitu PSAK 71
• Agar terdapat kepastian hukum dan guna mencegah terjadi interpretasi yang berbeda antara fiskus
dan Bank tentang penghitungan cadangan, sebagaimana yang telah menjadi isu pemeriksaan pajak
di industri perbankan sekarang, sehingga harus diselesaikan oleh Bank sampai ke tingkat Banding/
Peninjauan Kembali.

Usul:
Pada pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh: Cadangan piutang tak tertagih secara fiskal untuk Bank merujuk
pada PSAK 71.

6
Lampiran 3-Penambahan ketentuan terkait hapus buku piutang tak tertagih dalam RUU
KUP

Saat ini hapus buku piutang tak tertagih yang merupakan kerugian bank hanya dapat diakui pajak jika
memenuhi persyaratan tambahan sebagaiman dalam pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh sbb:

1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;


2. Wajib Pajak harus melampirkan di SPT PPh Badan daftar piutang yang tidak dapat ditagih yang isinya:
Nama Debitur, NPWP, Alamat, jumlah piutang dihapuskan, jumlah plafon; dan
3. Dilakukan publikasi atas penghapusan piutang ; atau ada perjanjian penghapusan dengan debitur ; atau
telah diserahkan perkaranya ke pengadilan ; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

Pertimbangan :
• Penghapusan piutang tak tertagih adalah kerugian bank dan diakui pajak tanpa perlu tambahan
persyaratan
• Terdapat kepastian hukum dalam Penghapusan kredit Perbankan,sehingga tidak perlu ada koreksi pajak
dalam pemeriksaan pajak yang harus dibawa ke Banding/Peninjauan Kembali terkait pemenuhan
persyaratan pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh

Usul:
Tidak perlu ada persyaratan tambahan untuk mengakui biaya penghapusan piutang yang tak tertagih oleh
bank

7
Lampiran 4 – Penambahan ketentuan penjualan AYDA/Agunan debitur tidak dikenakan
PPN dalam RUU KUP

Pertimbangan :
• Penjualan AYDA/Agunan merupakan bagian dari penyelesaian kredit, sehingga tidak perlu
dikenakan PPN agar tidak menjadi tambahan beban bagi debitur
• Penyelesaian kredit dapat dilakukan baik dengan pembayaran uang oleh debitur maupun melalui
penyerahan AYDA/agunan sehingga mendapat perlakuan yang sama yaitu sama sama tidak
dikenakan PPN

Usul:
Pada pasal 1A ayat (2) UU PPN: Penjualan AYDA/Agunan Perbankan tidak kena PPN.

8
Lampiran 5- Penyesuaian RUU KUP agar sanksi 100% atas WP setelah putusan banding
pada pasal 27 RUU KUP ayat (5d, 5e dan 5f)

Pertimbangan:
• Sanksi Pajak 100% amat berat bagi WP jika kalah dalam sengketa pajak di Tingkat Banding, sehingga
menjadi bentuk pemaksaan bagi WP untuk membayar SKPKB terlebih dahulu walau tidak setuju.
• Sebaliknya Jika WP menang di Banding, imbalan bagi WP tidak sebanding

Usul:
• Agar sanksi 100% tersebut dicabut dan menggunakan bunga acuran yang diterbitkan Kemenkeu dan
imbalan bunga yang sama jika WP menang dimana eksekusi proses penagihan pajak dilakukan setelah ada
putusan inkracht

9
Lampiran 6- Penghapusan Pengenaan pajak minimum bagi WP Badan dan agar
dikeluarkan dari RUU KUP pasal 44D RUU KUP, sub pasal 31F
Pertimbangan:
• Pengenaan Pajak seharusnya dilakukan terhadap keadaan ekonomis yang sebenarnya yaitu berdasarkan
laba usaha sebagaimana dalam UU PPh pasal 4 ayat 1 huruf (c)

Usul:
• Tidak ada pengenaan pajak minimum 1% dari peredaran bruto bagi WP Badan

10
Lampiran 7- Perlakuan pajak atas Natura/Kenikmatas agar ada penyesuaian RUU KUP pada
pasal 44D RUU KUP, sub pasal 4 ayat (3d) dan 9 ayat (1e)
Pertimbangan:
• Belum terdapat kejelasan perihal deductibility atas natura/kenikmatan yang menjadi obyek PPh
• Belum terdapat kejelasan perihal kriteria natura/kenikmatan yang menjadi obyek PPh

Usul:
Agar Natura/Kenikmatan yang menjadi obyek PPh diperlakukan sebagai pengurang penghasilan bruto, tanpa
syarat apapun dan dipertegas kriteria yang menjadi obyek PPh.

11
Terima Kasih

12

Anda mungkin juga menyukai