Oleh:
Dr. Ir. DIDIEK DJARWADI, M.Eng
PT PAMAPERSADA NUSANTARA
Jln Rawagelam I/9
Kawasan Industri Pulogadung
JAKARTA 13930
2011
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel v
1. PENDAHULUAN 1-1
2. TANAH SEBAGAI BAHAN TIMBUNAN JALAN 1-1
2.1 Klasifikasi Tanah 1-1
2.2 Pemilihan Tanah sebagai Timbunan Subgrade 1-5
3. Perbaikan Tanah 1-8
3.1 Perbaikan Tanah Dasar 1-9
3.1.1 Vertical Drain 1-9
3.1.2 Vibroflotation 1-10
3.1.3 Dynamic Compaction 1-12
3.1.4 Embankment Pile 1-13
3.2 Perbaikan Badan Jalan dan Permukaan 1-14
3.2.1 Pemadatan 1-14
3.2.2 Soil Cement 1-18
3.2.3 Stabilisasi dengan Kapur 1-24
REFERENSI 1-26
ii
Daftar Gambar
iii
Gambar 1.36 Perubahan batas cair (LL) dan Indeks plastisitas (PI) lempung oleh
penambahan kapur 1-25
Gambar 1.37 Pengaruh penambahan kapur pada pengurangan tekanan pengembangan
Lempung 1-25
iv
Daftar Tabel
v
1. PENDAHULUAN
Bahan untuk subgrade suatu hauling road umumnya adalah tanah dengan berbagai macam/jenis
seperti lempung, lanau, pasir, kerikil atau campuran dari jenis tersebut diatas. Masa suatu tanah terdiri
dari 3 (tiga) komponen yaitu butiran tanah, air dan udara. Sifat ketiga komponen tanah tersebut tidak
sama. Butiran tanah bersifat tidak kompresif, yaitu tidak dapat mampat karena pembebanan, demikian
juga air, tetapi udara bersifat kompresif karena dapat berubah volume akibat pembebanan. Kadar masing
masing komponen dalam masa tanah akan mempengaruhi sifat tanah tersebut seperti, tanah yang
mengandung banyak air akan cenderung lunak, kompresif dan mempunyai parameter geoteknik yang
rendah pada daya dukung, kuat geser, berat volume dan lainnya. Tanah yang mengandung sedikit air
akan menjadi keras, kompresibilitas tidak besar dan mempunyai parameter geoteknik yang lebih baik
dibandingkan dengan tanah lunak seperti, daya dukung, kuat geser, berat volumenya lebih tinggi. Tanah
yang banyak mempunyai udara didalamnya akan cenderung kompresif oleh karena pembebanan, karena
udara akan mampat oleh penambahan beban.
Subgrade merupakan komponen yang penting dalam teknologi hauling road, karena subgrade
sebagai tanah dasar akan memikul beban dari kendaraan yang lewat. Kerusakan suatu subgrade dalam
hal kurangnya daya dukung akan berpengaruh pada konstruksi jalan keseluruhan. Lapis perkerasan
diatas subgrade baik itu base coarse, lapis aus dari aspal ataupun beton sebagai rigid pavement dapat
mengalami kerusakan apabila subgrade tidak mempunyai daya dukung yang cukup memikul beban
diatasnya. Karena itu membuat suatu subgrade yang mempunyai daya dukung cukup terhadap tingkat
beban yang bekerja adalah persyaratan mutlak suatu hauling road.
Agar subgrade dapat memenuhi daya dukung yang disyaratkan sesuai dengan beban
maksimum yang bekerja pada hauling road, maka pemilihan tanah merupakan syarat pertama yang
harus dipenuhi, metoda pelaksanaan penimbunan dengan disertai pemadatan yang kompeten dengan
compactor yang mempunyai berat mencukupi dan jumlah lintasan yang cukup merupakan syarat utama
dalam pelaksanaan penimbunan subgrade. Uji laboratorium baik sebagai alat untuk memilih tanah yang
layak digunakan untuk bahan subgrade maupun untuk mengetahui parameter geoteknik serta uji untuk
sertifikasi bahwa subgrade sudah memenuhi syarat yang ditetapkan perlu dilakukan dengan konsekuen.
1-1
bentuk padat. Karena beragamnya komposisi tanah, maka beberapa institusi terutama di Amerika
Serikat seperti USDA (United States Department of Agriculture), AASHTO (American Association of State
Highway and Transportation Officials), ASTM (American Society for Testing Materials), US Army Corps of
Engineer, USBR (United States Bureau of Reclamation) menerbitkan klasifikasi tanah yang
menggolongkan tanah dari diameter butirannya. Secara umum tanah dapat digolongkan kedalam
boulder, kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt) dan lempung (clay) tergantung pada besaran partikelnya.
Tabel 1.1. menunjukkan beberapa institusi yang menerbitkan klasifikasi tanah berdasarkan diameter
butiran.
Dari klasifikasi tanah tersebut diatas, dapat dilakukan penyederhanaan terhadap sifat tanah
seperti disampaikan pada Gambar 1.1 berikut ini. Gambar 1.1 menunjukkan bahwa lempung dapat
disebut tanah kohesif yaitu tanah yang diantara butirannya mempunyai daya lekat (kohesi), sedangkan
lanau, pasir, kerikil, kerakal dan boulder disebut tanah berbutir yang menandakan bahwa tidak terdapat
gaya lekat diantara butirnya. Sedangkan tanah berbutir dibagi menjadi dua di diameter 0,075mm. Tanah
dengan butiran > 0,075 mm disebut tanah berbutir kasar, sedangkan tanah dengan butiran < 0,075 mm
1-2
disebut tanah berbutir halus. Dari beberapa institusi tersebut diatas yang menerbitkan klasifikasi tanah,
saat ini klasifikasi tanah yang sering digunakan dalam bidang Teknik Sipil adalah klasifikasi USCS
(Unified Soil Classification System). Identifikasi jenis tanah
Dalam klasifikasi tersebut, jenis tanah sudah memperoleh kode dua huruf, huruf pertama seperti C
untuk lempung, M untuk lanau, O untuk tanah organik, S untuk pasir, G untuk gravel, huruf kedua H
(high) dan L (low) menyatakan konsistensi dan dipakai pada C (lempung/clay) dan M (lanau/silt).
Sehingga kalau tanah mempunyai kode CH dapat diartikan sebagai lempung dengan plastisitas tinggi,
sedangkan ML dapat diartikan sebagai lanau dengan plastisitas rendah. Gambar 1.2 menunjukkan group
symbol dan group name pada lempung (clay) dan lanau (silt).
Gambar 1.2. Group symbol dan group name pada lempung dan lanau.
1-3
Pada pasir (S) dan gravel (G), huruf kedua yang digunakan adalah W (well) dan P (poor) yang
menyatakan kondisi gradasinya, sehingga GW dapat diartikan sebagai gravel dengan gradasi baik,
sedang SP dapat diartikan sebagai pasir bergradasi jelek. Tidak tertutup kemungkinan tanah disebut
dengan kombinasi 2 kode huruf pertama seperti SC (sandy clay) atau lempung berpasir, sedangkan GM
(gravely silt)., Gambar 1.3 menunjukkan group symbol dan group name pada tanah organic, sedangkan
Gambar 1.4 menunjukkan group symbol dan group name pada kerikil (gravel) dan pasir (sand).
Gambar 1.3. Group symbol dan group name pada tanah organik.
Gambar 1.4. Group symbol dan group name pada kerikil dan pasir.
1-4
Gambar 1.2 sampai dengan Gambar 1.4 menunjukkan bahwa pengembangan dari group symbol
menuju group name dipengaruhi oleh gradasi dari tanah tersebut, sedangkan gradasi tanah tersebut
dapat diperoleh dari hasil uji gradasi dengan standard uji ASTM D 422-63.
Group symbol dari suatu tanah dapat diperoleh dari hasil uji batas cair, batas plastis dan indeks
plastisitas yang dilaksanakan dengan standard uji ASTM D 4318-00. Dengan memasukkan nilai batas
cair pada absis dan Indeks plastisitas pada absis grafik Casagrande seperti terlihat pada Gambar 1.5,
maka group symbol suatu tanah dapat diketahui dengan tepat.
Gambar 1.5. Grafik Casagrande untuk menentukan group symbol dari lempung dan lanau.
1-5
100
60
40
20
0
0,01 0,10 1,00 10,00 100,00
Diameter (mm)
Hal ini diperlukan untuk menjamin bahwa gradasi timbunan bahan subgrade mempunyai
kombimasi partikel pasir, lanau dan lempung yang baik, sehingga apabila dipadatkan akan
mempunyai massa yang tertutup dengan nilai permeabilitas yang rendah, agar air tidak mudah
masuk kedalam tanah. Apabila air mudah masuk kedalam tanah yang sudah dipadatkan, maka
dapat mengakibatkan turunnya daya dukung tanah tersebut.
c. Batasan Indeks Plastisitas (PI) dan Batas Cair (LL) bahan timbunan subgrade yang diperoleh
dari uji Batas Atterberg disampaikan dalam kisaran dan Gambar 1.7 sebagai berikut:
Indeks Plastisitas (PI) Batas Cair (LL)
Batas atas 40% 50%
Batas bawah 10% 25%
1-6
Hal ini dilakukan agar bahan timbunan subgrade adalah lempung berpasir (sandy clay) dengan
plastisitas sedang. Pada lempung dengan plastisitas sedang sebagai bahan timbunan subgrade
yang dipadatkan dengan baik, maka nilai CBR yang dihasilkan akan cukup tinggi.
d. Batas bawah (minimum) berat kering maksimum (γd,max) bahan timbunan yang diperoleh dari uji
kepadatan di laboratorium adalah 13,5 kN/m3, seperti terlihat pada Gambar 1.8 berikut ini.
1.75
1.65
97% γ dmax
1.60
1.55
1.50
10 15 20 25 30 35
Kadar air (%)
e. Batas bawah koefisien permeabilitas bahan subgrade yang diperoleh dari uji permeabilitas
laboratorium pada tanah yang telah dipadatkan dengan energi 1 standard proctor compaction
adalah 1×10-5 cm/dt.
Beberapa contoh tanah yang layak digunakan untuk bahan subgrade disampaikan dalam Gambar
1.9, sedangkan contoh tanah yang tidal layak digunakan sebagai bahan subgrade disampaikan pada
Gambar 1.10.
Gambar 1.9 Contoh tanah yang dapat digunakan untuk bahan subgrade.
1-7
Gambar 1.10 Contoh tanah yang tidak dapat digunakan untuk bahan subgrade.
Dari Gambar 1.9 dan 1.10 terlihat bahwa tidak semua tanah layak digunakan sebagai bahan
subgrade suatu hauling road sehubungan dengan sifat sifat geoteknis tanah. Ada jenis tanah yang
karena kandungan mineral lempungnya dapat menyerap air sampai empat (4) kali dari volumenya
sehingga mempunyai faktor kembang susut yang besar. Demikian juga batuan clay shale yang pada
kondisi fresh sangat kuat dan untuk penggaliannya harus dilakukan peledakan (blasting) dapat
mengalami proses pelapukan yang sangat cepat sehingga kedua jenis tanah tersebut tidaklayak
digunakan sebagai bahan timbunan subgrade suatu hauling road.
Terdapat pula jenis tanah yang meskipun telah dipadatkan dengan energi pemadatan yang
cukup belum dapat memenuhi persyaratan daya dukung yang diinginkan. Untuk itu perlu perbaikan tanah
dari yang paling sederhana dengan cara pemadatan, maupun dengan cara lain seperti diuraikan dalam
bab 3. Demikian pula metoda perbaikan subgrade dengan cara pencampuran, baik dengan semen, kapur
ataupun antar jenis tanah perlu dikaji untuk dapat membuat subgrade yang kompeten.
3. Perbaikan Tanah
Pada kondisi tertentu tanah dasar untuk subgrade suatu hauling road, memerlukan perbaikan agar
dapat memenuhi persyaratan daya dukung yang ditetapkan. Tanah dasar sebagai subgrade suatu
hauling road dapat berupa tanah lunak dengan daya dukung yang sangat rendah, tanah lempung dengan
kadar air yang besar sehingga kalau dibebani badan jalan akan mengalami penurunan yang besar.
Demikian kalau tanah dasar berupa deposit pasir lepas juga perlu dilakukan perbaikan agar porositasnya
dapat diperkecil. Pada tanah dasar berupa pasir dalam kondisi jenuh juga mempunyai potensi terjadinya
likuifaksi yaitu hilangnya daya dukung apabila terjadi getaran gempa.
1-8
Tanah timbunan subgrade juga perlu dilakukan perbaikan agar parameter geoteknik yang
disyaratkan dapat dipenuhi. Perbaikan yang paling banyak dilakukan pada tanah timbunan adalah
dengan cara pemadatan lapis demi lapis sampai dengan elevasi yang direncanakan.
Pada kondisi tertentu, lapisan subgrade dapat diperbaiki secara kimiawi guna meningkatkan
parameter geoteknik agar mencapai tingkat yang diinginkan dengan mencampurkan kapur, semen, fly
ash (abu terbang) sisa pembakaran batu bara, dan bahan lainnya. Dalam bab berikut ini perbaikan tanah
baik tanah dasar, timbunan maupun permukaan subgrade atau base coarse akan dibahas.
Contoh perbaikan tanah dengan cara vertical drain disampaikan dalam Gambar 1.12. Percepatan
konsolidasi tanah dasar bedan jalan dengan vertical drain harus dilakukan dengan hati hati. Penambahan
beban harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan kuat geser tanah dasar.
Penambahan beban preloading yang dilakukan tanpa memperhatikan kenaikan kuat geser tanah dasar
berpotensi terjadinya longsor akibat dari beban yang berlebih. Penggunaan instrumentasi geoteknik
untuk mencatat penurunan yang terjadi akibat pembebanan (plate settlement), perkembangan tekanan
1-9
air pori (piezometer) guna melakukan analisis deformasi dan hitungan kelebihan tekanan air pori (excess
pore water pressure) dapat dilakukan.
Gambar 1.12 Contoh drainasi oleh vertical drain dan pelaksanaan pekerjaan.
3.1.2 Vibroflotation
Perbaikan tanah dasar di bawah badan jalan dengan cara vibroflotation dilakukan apabila terdapat
lapisan pasir lepas yang terletak dalam di bawah permukaan tanah. Perbaikan ini dimaksudkan untuk
melakukan densifikasi atau pemadatan pasir lepas, terutama yang dalam kondisi jenuh, sehingga apabila
terjadi getaran oleh gempa, lapisan pasir tersebut tidak kehilangan daya dukung dan kuat gesernya.
Proses kehilangan daya dukung dan kuat geser lapisan pasir lepas yang jenuh oleh getaran gempa
disebut likuifaksi (liquefaction). Banyak jalan yang berada di daerah dengan zona gempa yang tinggi
mengalami kerusakan saat terjadi gempa. Proses vibroflotation disampaikan dalam Gambar 1.13.
Gambar 1.14 Peningkatan nilai tekanan konus sebelum dan sesudah pelaksanaan vibroflotation.
1-11
3.1.3 Dynamic Compaction
Dynamic compaction adalah cara perbaikan tanah dasar yang berupa tanah pasiran yang juga
mengandung fraksi lempung dan lanau. Tanah jenis ini kurang sesuai apabila dilakukan perbaikan
dengan vibroflotation, sehubungan dengan adanya fraksi lempung dan lanau. Konsep perbaikan tanah
dengan cara dynamic compaction adalah memberikan tumbukan pada permukaan tanah dengan beban
tertentu yang jatuh bebas dari ketinggian tertentu, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.16. Akibat dari
tumbukan dengan energi yang cukup besar tanah akan memadat dan meninggalkan kawah yang harus
diisi kembali dengan bahan timbunan sejenis. Evaluasi terhadap peningkatan kepadatan dilakukan
dengan uji sondir (CPT) sebelum dan sesudah pelaksanaan dynamic compaction pada titik yang sama.
Evaluasi terhadap perbaikan kepadatan dilakukan dengan cara yang sama dengan evaluasi pada
pelaksanaan vibroflotation. Contoh pelaksanaan dynamic compaction disampaikan dalam Gambar 1.17.
Gambar 1.19 Kombinasi embankment pile dengan perkuatan geotextile pada timbunan.
Pelaksanaan embankment pile biasa dilakukan pada pangkal (abutment) jembatan, dimana sering
terjadi penurunan pada opritnya. Penurunan oprit jembatan akan mengganggu kelancaran lalu lintas dan
nerpotensi terjadi insiden. Perbaikan yang dilakukan secara berkala oleh karena penurunan oprit
1-13
jembatan dalam jangka waktu yang lama menjadikan biaya perawatan menjadi besar. Contoh
pelaksanaan embankment pile pada pangkal jembatan disampaikan dalam Gambar 1.20.
3.2.1 Pemadatan
Pada pelaksanaan penimbunan suatu badan jalan, maka tanah adalah pilihan utama digunakan
sebagai bahan timbunan. Agar badan jalan yang dibuat dari tanah dapat menerima beban yang
ditimbulkan oleh lalu lintas, maka tanah perlu dilakukan perbaikan (improvement) dari yang paling
sederhana yaitu pemadatan, sampai dengan pencampuran dengan bahan lain seperti semen, kapur dan
lain sebagainya. Perbaikan sifat tanah dengan mengadakan pemadatan disampaikan sebagai berikut:
a. menaikkan kuat geser (shear strength) tanah,
b. menaikkan daya dukung (bearing capacity) tanah,
c. mengurangi rongga pori tanah,
d. menaikkan berat volume tanah,
e. memperkecil permeabilitas tanah,
1-14
f. menaikkan modulus elastisitas tanah,
g. mengurangi penurunan (settlement) tanah.
Mekanisme pemadatan pada tanah adalah mengurangi rongga (void) pada kadar air yang
optimum, agar komposisi antara butiran tanah dengan air mencapai nilai yang ideal yang
direpresentasikan dengan merapatnya jarak antar butiran tanah, sehingga menaikkan daya dukung tanah
serta kuat gesernya seperti ditunjukkan pada Gambar 1.21.
Mekanisme pemadatan pada tanah adalah mengurangi rongga (void) dan air di dalam tanah,
agar komposisi antara butiran tanah dengan air mencapai nilai yang ideal yang direpresentasikan pada
puncak kurva kepadatan seperti disampaikan pada Gambar 1.22 sebagai berat volume kering maksimum
(γd,max) dan kadar air optimum (wopt).
Kurva pemadatan juga dipengaruhi oleh jenis tanah yang dipadatkan, dimana tanah yang
mempunyai butiran lebih besar seperti pasir (sand) dan kerikil (gravel). Kurva hasil uji pemadatan pada
tanah yang mempunyai butiran yang lebih besar akan mempunyai berat volume kering maksimum (γd,max)
lebih besar dari tanah yang berbutir lebih halus, tetapi kadar air optimumnya kurang (wopt) kurang dari
tanah yang berbutir lebih halus seperti ditunjukkan pada Gambar 1.23.
1-15
Gambar 1.23. Kurva pemadatan berbagai macam tanah.
Hasil uji pemadatan pada tanah yang sama tetapi dengan energi pemadatan yang lebih tinggi akan
memberikan kurva pemadatan yang berbeda, dimana pada pemadatan dengan energi yang lebih tinggi,
berat volume kering maksimum (γd,max) lebih besar dari hasil uji dengan energi yang lebih kecil,
sedangkan kadar air optimumnya kurang (wopt) kurang dari hasil uji dengan energi yang lebih kecil seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.24.
Gambar 1.24. Perbedaan kurva pemadatan dengan energi pemadatan yang berbeda.
Pada kurva hasil uji pemadatan, kondisi puncak kurva diperoleh pada komposisi antara butiran
tanah, air dan udara yang paling ideal untuk tanah tersebut yang akan berbeda dengan tanah lainnya.
Kondisi ideal komposisi tanah tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 1.25 berikut ini.
1-16
Gambar 1.25. Komposisi ideal tanah pada kurva pemadatan tanah.
Di lapangan pemilihan alat pemadat (compactor) juga memegang peranan yang penting.
Kesalahan dalam pemilihan jenis compactor dapat mengakibatkan tidak efisiennya usaha pemadatan
lapisan subgrade. Jenis tanah akan mempengaruhi pemilihan jenis compactor yang sesuai, meskipun
berat compactor juga akan mempengaruhi lamanya proses pemadatan. Tabel 1.2 menunjukkan
kesesuaian jenis compactor dan jenis tanah yang akan dipadatkan, dan Gambar 1.26 menunjukkan
contoh compactor.
Tabel 1.2 Pilihan jenis compactor dari jenis tanah yang dipadatkan.
1-17
Gambar 1.26 Contoh compactor.
Pada konstruksi jalan penggunaan soil cement dapat dilakukan pada 3 hal yaitu:
a. CMS (cement modified soil) yaitu pencampuran tanah dengan semen dengan persentase
tertentu, dengan maksud untuk memperbaiki sifat geoteknik tanah agar dapat dipergunakan dan
memenuhi persyaratan sebagai sub base.
b. CTB (cement treated base) yaitu pencampuran aggregate dengan semen dan air, dengan
persentase tertentu dipadatkan dan dilakukan pemeliharaan (curing) untuk membentuk lapis
perkerasan jalan.
Penggunaan soil cement dalam CMS memerlukan kajian terhadap jenis tanah yang akan diperbaiki
dengan mencampur dengan semen. Jenis tanah akan mempengaruhi persentase semen yang perlu
dicampurkan. Secara umum tanah yang mempunyai plastisitas sedang dengan Plastisitas Indeks ≤ 12
akan memberikan hasil yang baik. Gradasi tanah harus dibatasi dengan gradasi maksimum tanah tidak
boleh > 50,8 mm, partikel yang tertinggal pada saringan no.4 (φ= 4,75mm) tidak boleh lebih dari 45%
beratnya, sedangkan material yang lolos saringan no.200 (φ= 0,074mm) tidak boleh lebih dari 35% atau
kurang dari 5%. Gambar 1.27 menunjukkan kesesuaian jenis tanah dengan metoda pencampuran
dengan semen, kapur, bitumen, granular dan bahan kimia.
Penentuan persentase semen yang optimum harus dilakukan berdasarkan uji laboratorium,
sedangkan di lapangan pencampuran dapat dilakukan dilokasi pekerjaan atau di batching plant. Pada
pencampuran di lokasi pekerjaan, semen dihamparkan dari agitator truck dengan kecepatan tertentu
untuk membuat suatu lapisan semen diatas lapisan tanah yang akan diperbaiki dengan ketebalan
1-18
tertentu. Pencampuran akan dilakukan dengan pulverizer. Gambar 1.28 menunjukkan proses
pelaksanaan pekerjaan CMS di lapangan.
Gambar 1.29 Hasil coring pada hauling road yang diperbaiki dengan cara CMS.
Penggunaan soil cement dalam CTB juga memerlukan kajian terhadap aggregate yang akan
diperbaiki dengan mencampurkan semen dengan persentase tertentu. Untuk berat tanah yang sama,
semen yang dipergunakan pada CTB lebih banyak dibandingkan dengan CMS, tetapi hasil CTB
merupakan bagian dari lapisan perkerasan yang baik. Kuat desak CTB dalam umur 7 hari dapat
mencapai 2,1 sampai 5,5 MPa. Pada pencampuran di lokasi pekerjaan, semen dihamparkan dari agitator
truck dengan kecepatan tertentu untuk membuat suatu lapisan semen diatas lapisan tanah yang akan
diperbaiki dengan ketebalan tertentu. Pencampuran akan dilakukan dengan pulverizer. Gambar 1.30
menunjukkan proses pelaksanaaan CTB dengan pencampuran semen di lokasi pekerjaan berdasarkan
perbandingan volume.
Hasil pelaksanaan CTB setelah dipadatkan harus dipelihara (curing) dengan menyemprotkan air
dengan interval waktu tertentu selama paling tidak 3 hari setelah pemadatan CTB. Hal ini dilakukan agar
selama proses pengerasan, pelepasan panas dari lapisan CTB tidak menimbulkan retakan. Setelah
berumru 7 hari, maka dilakukan pengambilan contoh benda uji dengan cara coring untuk dilakukan uji
tekanan bebas (compressive strength) di laboratorium untuk mengetahui kuat desak CTB pada umur 7
hari. Pengambilan contoh benda uji dengan cara coring dan uji tekanan bebas juga dilakukan pada saat
CTB berumur 14 dan 28 hari. Gambar 1.31 menunjukkan permukaan CTB setelah pemadatan dan
contoh benda uji yang diambil dari lapisan CTB.
1-20
a) mengukur tebal lapisan aggregate b) penebaran semen
Persentase semen terhadap berat atau volume tanah asli akan sangat tergantung dari gradasi
tanah asli. DeGroot (1971) dalam penelitiannya menyampaikan batasan gradasi tanah asli dalam 3
katagori seperti terlihat pada Gambar 1.32. Katagori 1 mempunyai partikel halus yang lebih besar
dibandingkan dengan katagori 2 dan 3. Penggunaan semen pada tanah yang gradasinya masuk dalam
katagori 1 akan lebih banyak dibandingkan dengan katagori 2 dan 3.
1-21
a) permukaan CTB setelah dipadatkan b) contoh benda uji dari lapisan CTB
Pemadatan soil cement untuk perlindungan lereng juga sangat penting mendapatkan perhatian.
DeGroot (1971) menyampaikan bahwa hubungan antara kuat desak dengan derajat kepadatannya
adalah berbanding lurus dengan makin padatnya soil cement, maka kuat desaknya juga akan meningkat.
Gambar 1.33 menunjukkan hasil evaluasi DeGroot (1971).
Gambar 1.32 Gradasi tanah yang ideal untuk dilakukan perbaikan dengan soil cement.
1-22
Gambar 1.33 Hubungan antara kuat desak soil cement dengan derajat kepadatannya.
Keterlambatan pemadatan soil cement juga memberikan pengaruh terhadap kuat desaknya,
dengan kecenderungan makin lama tenggang waktu antara siapnya lapisan soil cement dan pemadatan,
kuat desak soil cement akan berkurang seperti ditunjukkan pada Gambar 1.34.
Gambar 1.34 Hubungan antar tenggang waktu pemadatan dan kuat desak soil cement.
1-23
3.2.3 Stabilisasi dengan Kapur
Stabilisasi dengan kapur biasanya digunakan pada tanah ekspansif yang mempunyai kembang
susut yang besar. Tanah ekspansif tidak layak digunakan sebagai subgrade karena proses kembang
susut yang berulang ulang sesuai dengan kadar air di dalam tanah yang dipengaruhi oleh musim dapat
merusak lapis perkerasan jalan.
Pencampuran kapur pada tanah ekspansif akan menimbulkan reaksi kimia yang tergantung pada
mineral lempung kandungan tanah tersebut. Reaksi kimia tipikal antara tanah dan kapur disampaikan
sebagai berikut:
Perbaikan tanah ekspansif yang dicampur dengan kapur disampaikan dalam perubahan berat
volume kering dari uji pemadatan di laboratorium dengan penambahan kapur sebesar 4%, seperti pada
Gambar 1.35, yang disampaikan oleh Neubauer dan Thompson (1972).
Gambar 1.35 Perubahan berat volume kering dari uji pemadatan dengan penambahan kapur 4%.
Holtz (1969) melakukan penelitian terhadap perubahan batas cair (LL) dan Indeks Plastisitas (PI)
pada beberapa lempung seperti disampaikan Gambar 1.36. Batas cair (LL) dan Indeks Plastisitas
lempung berkurang oleh penambahan kapur. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbaikan sifat tanah
dari kondisi ekspansif dengan batas cair yang tinggi menjadi tidak lagi bersifat ekspansif.
Goldberg dan Klein (1952) juga melaporkan pengaruh penambahan kapur pada tanah ekspansif
terhadap pengurangan tekanan pengembangan (swell pressure) seperti terlihat pada Gambar 1.37.
1-24
Gambar 1.36 Perubahan batas cair (LL) dan Indeks plastisitas (PI) lempung oleh penambahan kapur.
Gambar 1.37 Pengaruh penambahan kapur pada pengurangan tekanan pengembangan lempung.
Penelitian yang disampaikan oleh Neubauer dan Johnson (1972), Holtz (1969), Goldberg dan Klein
(1952) dan penelitian lainnya menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu bahwa penambahan kapur
pada tanah yang bersifat ekspansif dengan kemampuan kembang susut yang besar oleh pengaruh kadar
air dapat berkurang.
Cara pelaksanaan dan alat yang digunakan untuk pencampuran tanah dengan lempung pada
permukaan subbase sama seperti uraian diatas pada pencampuran tanah dengan semen.
1-25
REFERENSI
ASTM, 2004,
Baldi, G., Belloti, R., Ghionna, V., Jamiolkowski, M., and Pasqualini, E. 1981. Cone Resistance of Dry
Medium Sand. Proc 10th Intl Conf on Soil Mechanics and Foundation Engineering. Stockholm. Vol 2,
pp 427-432.
DeGroot, G., 1971, Soil-Cement Slope Protection on Bureau of Reclamation Features. Report no. REC-
ERC-71-20. US Department of the Interior. Bureau of Reclamation.
Goldberg, I., dan Klein, A., 1952, Some Effects of Treating Expansive Clays withCalcium Hydroxide,
Special Technical Report No.142. ASTM, Philadelphia,
Holtz, W.G., 1969, Volume Change in Expansive Clay Soils and Control by Lime treatment, Proceedings
2nd International Research and Engineering Conference on Expansive Clay Soils, Texas A&M
University, College Station.
Imai, T., and Tonouchi, K. 1982. Correlation of N value with S Wave Velocity and Shear Modulus. Proc
2nd Symposium on Penetration Testing, ESOPT II, Amsterdam, Vol I, pp 67-72.
Ladd, C.C., Foott, R., Ishihara, K., Schlosser, F, and Poulos, H.G. 1977. Stress Deformation and Strength
Characteristics. Proc 9th Intl Conf on Soil Mechanics and Foundation Engineering. Tokyo, Vol II, pp
421-494.
Mitchell, J.K.,and Gardner, W.S. 1975. In Situ Measurement of Volume Change Characteristics, State of
the Art Report, Proc of the Conference on In Situ Measurement of Soil Properties, Specialty
Conference of the ASCE Geotechnical Division. Raleigh. Vol II.
Neubauer, C.H., dan Johnson, M.R., 1972, Stability properties of Uncured Lime treated Fine Grained
Soils.Higway Research Report 381, National Research Council, Washington D.C, pp 20-26.
Olsen, R.S., 1988, Using the CPTfor Dynamic Site Response Characteristics. In Von Thun, J.L (editor),
Earthquake Engineeringand Spol Dynamics II-Recent Advences in Ground Motion Evaluation, ASCE
Geotechnical Special Publication No. 20, pp 374-388.
Robertson, P.K., and Campanella, R.G. 1983. Interpretation of Cone Penetration Tests – Part I (Sand).
Canadian Geotechnical Journal. Vol.20, No.4, pp 734-745.
Robertson, P.K., and Campanella, R.G. 1988. Guidelines for Using the CPT, CPTU and Marchetti DMT
for Geotechnical Design. US Department of ransportation, Federal Highway Administration, Report
No. FHWA-PA-87-023.
Robertson, P.K., and Campanella, R.G. 1989. Guidelines for Geotechnical Design using the Cone
Penetrometer test and CPT with Pore Pressure Measurement. Hogentogler & Co. 193 pp.
Robertson, P.K. 2006. Guide to In-Situ Testing. Gregg Drilling and Testing Inc. 100 pp.
Schmertman, J.H. 1978. Guidelines for Cone Penetration Test Performance and Design. US Department
of ransportation, Federal Highway Administration, Report No. FHWA-TS-78-209.
Villet, W.C.B., and Mitchell, J.K. 1981. Cone Resistance, Relative Density and Friction Angle. Proc Symp
on Cone Penetration Testing and Experience, Geotechnical Division of ASCE. Pp 178-208.
1-26