1
PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT MUSI MEDIKA CENDIKIA PALEMBANG
NOMOR : RSMMC/KBJ/FAR/001
TENTANG
2
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU : KEBIJAKAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT
MUSI MEDIKA CENDIKIA PALEMBANG
KEDUA : Peraturan Direktur Rumah Sakit Musi Medika Cendikia
Palembang tentang Kebijakan Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Musi Medika Cendikia Palembang
KETIGA : Kebijakan Instalasi Rumah Sakit Musi Medika Cendikia
Palembang sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini
KEEMPAT : Kebijakan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Musi Medika
Cendikia Palembang sebagaimana dimaksud dalam
Diktum Kedua harus dijadikan acuan dalam memberikan
pelayanan sekaligus payung bagi kebijakan di bawahnya
yang berlaku di Rumah Sakit Musi Medika Cendikia
Palembang
KELIMA : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila
dikemudian hari terdapat hal-hal yang perlu
penyempurnaan akan dilakukan perbaikan dan
penyesuaian sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Palembang
Pada tanggal : 28 September 2018
3
Lampiran : Peraturan Direktur Rumah Sakit Musi Medika Cendikia
Nomor :
Tanggal : 28 September 2018
A. TUJUAN
Terwujudnya pelayanan farmasi rumah sakit yang mampu melaksanakan Fungsi
Manajemen dan Farmasi Klinik sebagai berikut :
1. Manajemen
Mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efisien
a. Menerapkan farmakoekonomi dalam pelayanan.
b. Menjaga dan meningkatkan mutu kemampuan tenaga kesehatan farmasi dan staf
melalui pendidikan.
c. Mewujudkan sistem informasi manajemen tepat guna, mudah dievaluasi dan
berdaya guna untuk pengembangan.
d. Pengendalian mutu sebagai dasar setiap langkah pelayanan untuk peningkatan
mutu pelayanan.
e. Sistem pengelolaan obat ditinjau ulang setiap setahun sekali.
2. Farmasi Klinik
a. Mewujudkan perilaku sehat melalui penggunaan obat rasional termasuk
pencegahan dan rehabilitasinya.
b. Mengidentifikasi permasalahan yang berhubungan dengan obat baik potensial
maupun kenyataan
c. Menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan obat melalui kerjasama
pasien dan tenaga kesehatan lainnya
d. Merancang, menerapkan dan memonitor penggunaan obat untuk menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan obat.
e. Menjadi pusat informasi obat bagi pasien, keluarga dan masyarakat serta tenaga
kesehatan rumah sakit.
4
f. Melakukan konseling pada pasien maupun tenaga kesehatan untuk terapi rasional
baik akut, kronik maupun gawat darurat.
g. Melakukan pengkajian obat secara prospektif maupun retrospektif.
h. Bekerjasama dengan tenaga kesehatan terkait dalam perencanaan, penerapan dan
evaluasi pengobatan.
i. Terlibat dalam tim di bawah tanggung jawab Komite Medik
5
C. SISTEM PELAYANAN FARMASI
Untuk dapat mencapai tujuan farmasi rumah sakit maka mutlak diperlukan sistem
farmasi satu pintu karena :
1. Farmasi Rumah Sakit bertanggungjawab atas semua barang farmasi yang beredar
di Rumah Sakit baik rawat jalan maupun rawat inap.
2. Farmasi Rumah Sakit bertanggungjawab atas pengadaan dan penyajian informasi
obat bagi semua pihak di Rumah Sakit baik petugas kesehatan maupun pasien.
3. Farmasi Rumah Sakit bertanggungjawab atas semua pekerjaan Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit (mengacu pada akreditasi Rumah Sakit dan SK Dirjen
Yan Med nomor 0428/YANMED/RSKS/SK/1989).
6
d. Lulus uji kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi yang masih
berlaku
e. Memiliki sertifikat pelatihan manajemen farmasi dan sertifikat pelatihan lain
yang menunjang fungsi manajerial farmasi rumah sakit.
6. Kepala Instalasi Farmasi harus terlibat dalam perencanaan manajemen dan
penentuan anggaran serta penggunaan sumber daya.
7. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab atas proses manajemen perbekalan
farmasi mulai dari seleksi, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan
penyiapan hingga pemusnahan perbekalan farmasi.
8. Instalasi Farmasi harus menyelenggarakan rapat pertemuan untuk membicarakan
masalah-masalah dalam peningkatan pelayanan farmasi.
9. Adanya Panitia Farmasi dan Terapi di rumah sakit dan Apoteker IFRS menjadi
sekretaris tim.
10. Adanya komunikasi yang tetap dengan dokter dan paramedik, serta selalu
berpartisipasi dalam rapat yang membahas masalah perawatan atau rapat antar bagian
atau konferensi dengan pihak lain yang mempunyai relevansi dengan farmasi.
11. Dokumentasi yang rapi dan rinci dari pelayanan farmasi dan dilakukan evaluasi
terhadap pelayanan farmasi setiap tahun (laporan tinjau ulang/review manajemen
pelayanan obat).
12. Kepala Instalasi Farmasi harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan
yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
7
b. Dispensing yang merupakan kegiatan pelayanan dari tahap validasi, interpretasi,
menyiapkan, meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan
pemberian informasi obat yang memadai disertai system dokumentasi yang
dibedakan berdasarkan atas sifat sediaan.
c. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat bekerjasama dengan dokter dan
perawat.
d. Pelayanan Informasi Obat
e. Konseling
f. Visite pasien
g. Pengkajian Penggunaan Obat
8
9. Bila ada obat yang ditambahkan dalam formularium obat maka harus obat yang
belum tercantum zat aktifnya atau bentuk sediaannya di dalam Formularium atau
atas permintaan dokter dengan persetujuan Direktur. Penambahan dibahas di
Panitia Farmasi Terapi.
10. Pengadaan perbekalan farmasi berpedoman pada peraturan yang berlaku. Dalam hal
tersebut Instalasi Farmasi melakukan pengadaan melalui distributor resmi atau Apotek
yang telah bekerjasama dengan Rumah Sakit dimana distributor dan apotek tersebut
menyediakan perbekalan farmasi yang aman, bermutu, bermanfaat serta berkhasiat
sesuai peraturan.
11. Pengadaan obat narkotika hanya boleh dibeli maksimal untuk kebutuhan satu bulan.
12. Pengadaan bahan berbahaya harus menyertakan material safety data sheet.
13. Produksi perbekalan farmasi di Rumah Sakit merupakan kegiatan mengubah bentuk
untuk untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit.
14. Perbekalan farmasi yang diproduksi harus diberi label yang terdiri atas nama, isi,
tanggal produksi, tanggal kadaluarsa dan peringatan khusus.
15. Instalasi farmasi menetapkan standar prosedur operasional untuk mengantisipasi
bilamana obat tidak tersedia dengan cara memberitahukan kepada dokter penulis
resep berikut saran substitusinya.
16. Para praktisi kesehatan (tenaga medis/dokter, tenaga keperawatan, dan tenaga
kefarmasian) dilibatkan dalam proses pemesanan, penyaluran/distribusi, pemberian
obat, monitoring efek obat pada pasien, serta mengevaluasi kepatuhan penggunaan
obat formularium sesuai kompetensi dan kewenangan masing-masing.
17. Obat yang tidak lagi diproduksi/discontinue, obat yang ditarik dari
peredaran/recall oleh pabrik pembuatnya, obat yang tidak direkomendasikan oleh
dokter karena masalah klinis, dikeluarkan dari formularium.
18. Dalam hal obat tidak tersedia saat dibutuhkan maka Instalasi Farmasi akan
mengupayakan dari sumber luar yang resmi melalui pengadaan obat reguler maupun
non reguler dengan apotek rekanan.
19. Obat Sampel yang berupa obat baru yang dimaksudkan sebagai bahan/alat untuk
kepentingan penelitian dan pencarian data klinik tidak diijinkan/diterima untuk
digunakan dan diberikan pada pasien.
20. Obat Sampel yang diterima dan dapat digunakan adalah obat/alat kesehatan yang
sudah memiliki registrasi dari pihak yang berwenang yang diberikan dengan cuma-
cuma untuk digunakan pada pasien dengan mekanisme dropping/hibah/donasi.
9
21. Perbekalan farmasi donasi harus melewati gudang perbekalan farmasi dan
dipelakukan sama dengan perbekalan farmasi lainnya.
22. Rumah Sakit Musi Medika Cendikia Palembang tidak menyediakan sediaan kontras
radioaktif.
23. Rumah Sakit Musi Medika Cendikia Palembang tidak menyediakan sediaan
perbekalan farmasi untuk penelitian.
10
12. Seluruh tempat penyimpanan obat diinspeksi secara periodik minimal seminggu sekali
untuk memastikan obat disimpan dengan benar.
13. Untuk melindungi obat dari risiko kehilangan atau pencurian di seluruh rumah sakit
maka semua lokasi dan atau tempat penyimpanan obat harus dikunci atau terpantau
oleh petugas agar pengawasan dapat maksimal.
14. Kunci gudang perbekalan farmasi hanya dipegang oleh petugas gudang perbekalan
farmasi kecuali hari libur diserah terimakan kepada petugas apotek untuk mencatat
suhu di gudang perbekalan farmasi.
15. Rumah Sakit melakukan identifikasi dan menyimpan obat yang dibawa pasien dari
rumah melalui proses rekonsiliasi obat.
16. Obat dibawa pasien dari rumah yang dilanjutkan terapinya dikelola oleh Rumah
Sakit.
17. Penyimpanan produk nutrisi dilakukan dengan mempertimbangkan stabilitasnya,
dipisahkan dengan perbekalan farmasi yang lain dan dipantau kondisi
penyimpanannya (suhu, kelembaban, kadaluwarsa dan kerusakan).
18. Obat emergensi disediakan sesuai standar di unit-unit pelayanan dalam kondisi aman,
terkunci, siap pakai dan dapat diakses segera untuk memenuhi kebutuhan emergensi.
19. Obat emergensi disimpan di unit pelayanan yang membutuhkan, dijaga dan dilindungi
dari risiko kehilangan atau pencurian dengan cara dikunci menggunakan kunci
disposable yang bisa dipotong/dirusak saat akan digunakan.
20. Kunci obat emergensi diberi nomor seri untuk keperluan monitoring.
21. Obat emergensi yang sudah digunakan harus segera diresepkan dan perawat
ruangan yang memakai mengantarkan resep ke unit farmasi untuk diganti.
22. Farmasi melakukan inspeksi untuk memonitor obat emergensi di ruangan secara
berkala sebulan sekali meliputi aspek ketepatan jumlah dan kondisi obat (kadaluwarsa
atau rusak).
23. Instalasi Farmasi melakukan penarikan/recal obat-obatan, meliputi :
a. Obat ditarik oleh pabrik/distributor obat
b. Adanya resiko yang dapat membahayakan pasien
c. Obat kadaluwarsa
24. Tugas penarikan obat dikoordinir secara teknis oleh gudang farmasi atas rekomendasi
dan perintah dari Kepala Instalasi dan atau Direktur Rumah Sakit.
11
25. Obat yang mendekati 6 (enam) bulan masa expire date/kadaluwarsa diinformasikan
kepada dokter penulis resep untuk prioritas peresepan atau dilakukan proses retur ke
distributor.
26. Obat menjelang kadaluarsa diletakkan ditempat terpisah dari obat lainnya.
27. Perbekalan farmasi yang telah kadaluarsa dikembalikan ke gudang perbekalan farmasi
dan disimpan ditempat terpisah dari perbekalan farmasi lainnya, tertutup, dan diberi
label “obat kadaluarsa”, lalu dilakukan proses retur atau proses pemusnahan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
28. Proses pemusnahan dilakukan setiap tahun. Dimusnahkan oleh apoteker dan disaksikan
oleh dua orang TTK dan bagian manajemen Rumah Sakit.
29. Pemantauan stok perbekalan farmasi dilakukan secara berkala disetiap tempat
penyimpanan obat.
30. Ruangan Perawatan terkecuali OK tidak boleh menyimpan obat-obatan selain di
dalam Emergensi Kit.
31. OK menyimpan obat dalam bentuk Kit Operasi yang disiapkan sesuai dengan
kebutuhan setiap hari.
32. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) disimpan di lemari khusus B3 gudang farmasi
dan penggunaannya diawasi oleh petugas yang berwenang yaitu tenaga kefarmasian
di unit pengelolaan perbekalan farmasi.
12
D. PERESEPAN DAN PENCATATAN
1. Peresepan obat untuk pasien rawat inap dan rawat jalan hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang ditetapkan dengan Surat Kebijakan dokter penulis resep.
2. Resep yang dibuat oleh dokter harus jelas dan mudah dibaca.
3. Dalam hal DPJP tidak ada di tempat atau instruksi terapi diberikan lewat telepon
maka dokter jaga yang melakukan penulisan resep.
4. Obat narkotika dan anastesi dalam bentuk injeksi/inhalasi hanya boleh diresepkan oleh
Dokter spesialis anastesi yang telah diberi kewenangan.
5. Narkotika dan Psikotropika tidak boleh diresepkan atas permintaan pasien.
6. Perawat diperbolehkan menuliskan permintaan atau pemesanan alat kesehatan bagi
pasien dengan formulir khusus.
7. Perawat yang diperbolehkan menulis pesanan alat kesehatan adalah ketua
tim perawat atau penanggungjawab shift.
8. Jika terdapat resep tidak terbaca, resep tidak jelas, resep tidak sesuai atau ada keragu-
raguan maka tenaga kefarmasian wajib melakukan konfirmasi kepada dokter penulis
resep.
9. Rumah sakit melalui Instalasi Farmasi melakukan pelatihan dan sosialisasi terkait
praktek penulisan resep dan pemesanan alat kesehatan.
10. Obat yang diberikan pada pasien wajib dicatat dalam rekam medis.
11. Seluruh obat yang diminta oleh seluruh ruangan perawatan, IGD dan OK harus
melalui resep atau KPO ke apotek.
12. Peresepan obat dibandingkan dengan daftar obat sebelum masuk rawat inap dengan
prosedur rekonsiliasi obat.
13. Peresepan obat narkotika dibatasi sesuai dengan formularium nasional dan untuk
narkotika injeksi hanya di resepkan oleh dokter anastesi.
14. Untuk mengurangi variasi dan meningkatkan keselamatan pasien maka ditetapkan
elemen-elemen yang harus dilengkapi pada resep meliputi :
e. Identitas pasien : nama pasien, no rekam medik, alamat, riwayat alergi, berat
badan (untuk pasien anak)
f. Aspek kelengkapan resep : nama dokter, SIP, tanggal, R/, nama obat (generik,
brand name), jumlah obat, cara pakai, paraf dokter.
g. Aspek farmasetik : nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan, dosis, jumlah obat,
aturan dan cara penggunaan.
13
h. Aspek lain yang diperlukan seperti : tanggal resep, prn, prosedur NORUM/LASA,
dll
15. Instruksi pemberian obat secara verbal atau melalui telepon dapat dilakukan pada
kondisi emergensi atau kondisi lain yang diijinkan dengan catatan bahwa peresepan
harus diverifikasi oleh DPJP atau dilakukan oleh dokter jaga.
16. Untuk pasien bayi, berat badan bayi harus dicantumkan di resep sebagai bahan
pertimbangan untuk dosis yang akan diberikan.
17. Dalam situasi emergensi di ruang perawatan, obat dalam emergensi kit dapat langsung
digunakan dan peresepan dilakukan setelahnya.
18. Obat-obat Automatic Stop Order segera dihentikan pada saat yang telah ditentukan
tanpa menunggu perintah stop dari Dokter.
19. Obat-obat dengan penandaan “prn” segera dihentikan penggunaannya jika gejala
sudah hilang.
20. Obat-obat di luar formularium dapat diresepkan sepanjang tidak bertentangan dengan
kebijakan yang ada atau atas permintaan pasien jika menghendaki merk obat tertentu.
Pengadaan dapat dilakukan atas persetujuan Kepala Instalasi Farmasi.
14
h. Tidak adanya riwayat alergi ataupun potensi terhadap obat yang diresepkan
i. Tidak adanya interaksi obat
j. Tidak adanya kontraindikasi pada pasien tersebut
k. Kesesuaian dengan formularium rumah sakit, formularium nasional, maupun
formularium relasi.
5. Apoteker berijin dan Tenaga Teknis kefarmasian terlatih melakukan telaah resep.
6. Jika terdapat pertanyaan dalam resep setelah dilakukan telaah resep maka petugas
wajib menghubungi dokter yang meresepkan.
7. Apoteker diuji kompetensinya melalui bukti sertifikat kompetensi yang masih
berlaku dikeluarkan oleh organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia.
8. Dalam proses telaah resep secara klinis, apoteker atau TTK terlatih dapat
menggunakan program software atau literatur dari buku seperti Medscape yang
disediakan di Instalasi Farmasi.
9. Distribusi obat pasien rawat jalan menggunakan sistem individual prescription atau
peresepan obat per individu pasien.
10. Distribusi obat pasien rawat inap menggunakan sistem Unit Dose Dispensing
(UDD).
11. Setelah disiapkan, obat diberi label/etiket yang meliputi informasi :
a. Tanggal obat disiapkan
b. No resep
c. Nama pasien
d. Nama obat dan dosis
e. Aturan pakai
f. Tanggal kadaluwarsa atau Beyond use date untuk obat racikan atau re-packaging.
12. Obat disiapkan dan diserahkan kepada pasien harus dalam kondisi siap pakai.
13. Obat disiapkan secara akurat dengan memperhatikan aspek 5 benar : benar pasien,
benar obat, benar dosis, benar rute/cara pemberian, benar waktu pemberian.
14. Penyiapan obat dilakukan secara tepat waktu dengan menggunakan standar :
a. Resep obat cito waktu tunggu ≤ 15 menit
b. Resep obat non racikan ≤ 30 menit
c. Resep obat racikan ≤ 60 menit
15. Ketepatan waktu penyiapan obat dievaluasi secara berkala untuk peningkatan mutu
pelayananan
15
16. Penggunaan narkotika dan psikotropika dilaporkan secara akurat kepada Dinas
kesehatan.
F. PEMBERIAN
1. Pemberian obat kepada pasien dilakukan oleh petugas yang kompeten yang terdiri
dari tenaga medis/dokter dan tenaga keperawatan.
2. Rumah sakit mengidentifikasi petugas tersebut di atas melalui :
a. Surat ijin praktek
b. Uraian jabatan
c. Surat Penugasan Klinik (SPK)
d. Standing order/pendelegasian kewenangan sesuai keperluan
3. Batasan pemberian obat khusus diberikan pada pemberian obat kemoterapi dan
obat dengan pengawasan seperti narkotika dan High Alert Medication.
4. Pemberian obat High Alert Medication kepada pasien hanya boleh dilakukan oleh
tenaga medis atau perawat yang berkompeten dan telah mendapat pelatihan.
5. Untuk peresepan dan pemberian obat kemoterapi hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang memiliki kewenangan tersebut.
6. Setiap pemberian obat wajib dilakukan verifikasi terhadap :
a. Kesesuaian obat dengan resep dan instruksi
b. Kesesuaian waktu dan frekuensi pemberian obat dengan resep dan instruksi
c. Kesesuaian dosis dengan resep atau instruksi
d. Kesesuaian rute pemberian dengan instruksi
e. Kesesuaian identitas pasien sebelum obat diberikan
7. Obat yang dibawa oleh pasien baik obat dari fasilitas kesehatan lain sebelum
masuk rumah sakit maupun obat rutin diidentifikasi ketika pasien masuk rawat
inap.
8. Identifikasi obat yang dibawa pasien dilakukan dengan prosedur rekonsiliasi obat.
9. Rekonsiliasi obat awal dilakukan oleh perawat pada saat masuk rawat inap dan
menjadi bagian dari pengkajian awal rawat inap.
10. Keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan obat yang dibawa pasien ada
pada DPJP sebagai clinical leader memperhatikan masukan dari tim asuhan pasien
lainnya.
16
G. PEMANTAUAN / MONITORING
1. Pengobatan oleh pasien sendiri harus dipantau dan di edukasi oleh Farmasis.
2. Rumah sakit menetapkan metode pengawasan obat dengan berbagai cara :
a. Menilai kepatuhan terhadap peresepan obat formularium.
b. Menilai efek samping obat dan efek lain yang tidak diharapkan termasuk kasus
KTD terkait penggunaan obat di Rumah Sakit.
3. Efek pengobatan terhadap pasien dimonitor termasuk efek yang tidak diharapkan
(adverse drug reaction)
4. Proses monitoring pemberian obat pada pasien termasuk identifikasi efek samping
dilakukan secara kolaboratif baik antar tenaga kesehatan (dokter, perawat,
apoteker) maupun antara petugas dengan pasien dan keluarganya.
5. Kejadian efek samping obat dan ADR yang terjadi pada pasien harus dicatat dalam
formulir pemantauan efek samping obat dalam rekam medis.
6. Efek samping obat yang terjadi direkap oleh Komite Farmasi dan Terapi dan
dilaporkan sesuai peraturan perundangan.
7. Pelaporan kejadian efek samping direkap dan dilaporkan ke KFT setiap 3 bulan.
8. KFT membahas kejadian efek samping, melakukan analisa dan melaporkan kepada
Direktur.
9. Kesalahan obat (medication error) dilaporkan oleh petugas yang menemukan
kepada Komite Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (KPMKP).
10. Kesalahan obat yang dilaporkan meliputi Kejadian Tak Diharapkan (KTD),
Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan Kejadian Potensial Cedera (KPC).
11. Kejadian kesalahan obat dibahas dalam KPMKP sesuai jenis grading risk-nya dan
dibuat Laporan kepada Direktur dan KFT.
12. KFT menggunakan laporan kejadian kesalahan obat untuk memperbaiki proses
penggunaan obat termasuk mengevaluasi kebijakan dan prosedur pengelolaan dan
penggunaan obat di rumah sakit.
17