Anda di halaman 1dari 4

Arthur dan Fiona keluar dari ruangan tersebut dengan wajah yang sedikit berat.

Pada akhirnya kedua


orang tersebut memutuskan untuk berkerja sama dengan Rei Vezalius.

“Apa kamu yakin ini adalah pilihan yang bagus?”

Dengan menundukan kepala seolah ketakutan, Fiona bertanya demikian. Jujur sangat jarang bagi diri
Arthur melihat sisi lemah dari Fiona, jadi entah kenapa timbul rasa tidak enak di hatinya.

“Iya ini adalah pilihan yang bagus. Apakah kamu punya alasan untuk menolak?”

Fiona seperti ingin mengatakan sesuatu, namun dia merubah pikirannya dan membendam kalimat
tersebut di kepalanya.

“Tidak…”

Mengatakan hal tersebut Fiona menggelengkan kepala dengan gerakan yang lemah, seolah dia tidak
memiliki rasa semangat.

Sebenarnya ada apa dengan gadis itu?

Arthur ingin menanyakan secara langsung, tapi Fiona sendiri tampak tidak ingin membahas lebih
detail. Jadi dia menghargai keputusan tersebut.

“Yang lebih penting ayo kembali ke kelas F.”

Fiona sudah berjalan menjauh dengan wajah yang lebih lesuh daripada biasanya.

Mereka berdua menghabiskan waktu di akademi hingga pelajaran selesai dan mod dari Fiona tidak
berubah sama sekali dia tampak sangat lesu.

Setiap jam pelajaran Arthur terus menatap gadis tersebut dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya
terjadi dengan dia? Terus memikirkan tersebut, dia tidak memperhatikan pelajran.

Hingaa..

Plak.

“Aduh!”

Leon Reihard yang tepat pada saat itu mengajar, melempar kapur barus ke Arthur yang terlalut akan
pikirannya tersebut, membuat dia mengaduh kesakitan.

Tidak seperti biasanya, kali ini tidak ada lagi tawa yang Arthur terima. Sepertinya ketika Arthur
bertarung dengan Rei, membuat sedikit pandangan orang tentangnya menjadi lebih baik. Walaupun
tatapan para murid di kelas F masih penuh kebencian.

“Berhenti melamun di pelajaran, Arthur Midnight!”

“Y-ya, maaf.”

Menundukan kepala Arthur mulai mengambil buku dan mulai fokus ke arah catatanya.

Leon menghela napas, dia sedikit melirik ke arah fiona. Dia juga menyadari akan ekpresi lesuh gadis
tersebut, namun itu bukan urusannya.

Setelah selesai dengan akademi mereka pulang seperti biasa, namun kali ini dengan diri Fiona yang
lebih murung.
Di rumah pun sama saja, hingga malam hari saat Arthur ingin tertidur, tiba-tiba terdengar suara
ketukan dari pintunya. Menyadari seseorang ingin datang, dia memegang pedangnya. Bersiap akan
siapapun yang akan datang.

Tapi sungguh diluar dugaan ternyata orang yang menghampiri dan membuka pintu adalah Fiona
yang menggunakan pakaian tidurnya.

Menyadari itu, Arthur menaruh kembali pedang ke tempatnya dan menatap ke Fiona.

“Ada apa? Tidak bisa tidur?”

Arthur menyadari bahwa Fiona memiliki sesuatu yang ingin dipikirkan sehingga besar kemungkinan
dia tidak tidur.

Fiona dengan jujurnya menganggukan kepala. Meskipun tampak canggung dan malu, dia berjalan
dan duduk di kasur Arhur, bersampingan dengannya.

Suasana kembali menjadi hening, sungguh Arthur tidak tahu harus mengatakan apa dalam situasi
seperti ini. Dia tahu harus menghibur Fiona, tapi mulutnya tidak bisa mengatakan apapun. Sungguh
menyedihkan.

“…Aku takut…” Berkata dengan lirih Fiona bantal dengan erat.

“Takut dengan apa?”

Fiona memalingkan wajahnya ada sedikit keraguan sebelum berkata, tapi tampaknya Fiona
memutuskan untuk bercerita.

“Aku takut dengan kemampuan ini. Melihat tujuh potongan iblis, sungguh hebat ya? Berkat
kemampuan ini aku dijauhi banyak orang dan kerepotan.”

Ucapan Fiona barusan membuat hati Arthur menjadi sesak. Dia paham perasaan tersebut.

“Karena kemampuan ini, saat aku berumur empat belas tahun. Kerajaan diserang, banyak orang
mati, dan korban paling banyak adalah keluarga luarent. Mereka sudah lenyap sekarang.”

Ini juga Arhur sangat memahami, rasanya membuat orang-orang yang tidak bersalah disekitarnya
mengalami bencana hanya karena mereka bersamamu.

“Dan sekarang aku harus mencoba mengeluarkan potensi dari kemampuan tidak jelas itu, tentu saja
aku takut!”

Fiona berteriak seolah mengeluarkan segala emosi yang dia miliki, bersamaan dengan teriakan
tersebut. Sebuah butiran air mata berjatuh dengan sempurna melalui kelopak matanya.

Dia pasti cukup menderita karena kemampuan miliknya, di dalam hati paling dalam pasti Fiona
berharap untuk menjadi normal seperti gadis pada umumnya.

Ini juga berlaku bagi Arthur oleh karena itu. Dia sangat paham akan perasaan gadis tersebut.

“…Yang paling kutakuti adalah. Apa yang harus kulakukan bila kamu mulai takut dan membenciku…”

Kata-kata yang keluar dari Fiona terdengar agak goyah; bahkan volumenya terlalu rendah membuat
Arthur tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Namun meskipun demikian, setelah berpikir bahwa
dia harus menghibunya, dia mencoba mengatakan sesuatu padanya. Namun, mulutnya tidak bisa.
Tapi, sebagai gantinya tangan miliknya bergerak sendiri, dan Arthur menyadari bahwa kini dia
sedang membelai rambut Fiona.

"Eh?"

Mendapatkan belain secara tiba-tiba pasti mengejutkan, Fiona langsung tersipu dan menunduk.
Tidak ada tanda-tanda dia menolak.

“A-ah… maaf, tanganku bergerak sendiri!”

Menyadari bahwasanya dia telah terlalu lama dalam membelai kepala gadis itu, Arthur menjadi
memerah dan dia dengan cepat menarik tangannya.

Fiona mengeluarkan sedikit ekspresi kecewa, seolah tindakan barusan adalah hal yang dia inginkan.
Dia mencibirkan bibirnya.

‘Kenapa tidak melakukannya lebih lagi?’

Perkataan tersebut mengganjal dipikirannya ketika menatap Arthur yang kini tampak salah tingkah.
Ini pertama kali bagi Fiona untuk melihat sisi ini dari Arthur, biasanya dia akan terlihat serius dan
tidak menunjukan kelemahan.

Di dalam hati dia berpikir

‘Sisi ini juga imut.’

Memikirkan hal tersebut, Fiona tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Apa-apaan dengan senyuman itu!?”

Fiona menggelengkan kepala, merasa puas akan tindakan Arthur dan merasa lebih baik dia
menghela napas. Kemudian menjatuhkan kepalanya ke pundak Arthur sambil tersenyum hangat dan
ceria, dia berkata.

“Terima kasih.”

Awalnya Arthur ingin mengatakan sesuatu untuk menjauhinya, tapi melihat gadis tersebut yang kini
menutup mata dan tertidur dengan lelap, membuat dia tidak tega.

Yah, tidur bukanlah masalah besar. Tapi yang jadi masalah adalah, dia tidur di pundaknya. Ini artinya
dia tidak bisa bergerak seenaknya, atau nanti Fiona bisa terbangung.

‘Merepotkan.’

Sedikit melirik ke arah Fiona membuat hatinya menjadi segar. Dia yang sedari tadi lesuh dan
menyedihkan kini tersenyum sambil tertidur. Dia seperti bermimpi indah.

Meskipun tidak bisa tidur satu malam pun, bagi Arthur itu bukan masalah besar asalkan gadis kecil
ini tersenyum dan tidur dengan tenang.

Pagi hari telah tiba. Perlahan Fiona membuka matanya. Ketika dia terbangun, pemandangan
pertama yang dia lihat adalah Arthur yang tertidur tepat di sampingnya dan dia mengahap ke
arahnya.
Dia tidak tahu bagaiman ini bisa terjadi. Tapi yang pasti, pipi Fiona langsung menjadi sangat panas
dan dia terus mengingat tentang Arthur yang membelai rambut pirangya. Dia juga ingat bahwa
dirinya sendiri tertidur di pundak pria ini.

Dia menjadi semakin merona dan jantungya terus berdebar ketika mengigat kejadian kemarin
malam. Saat ini pun, mereka berjarak sangat dekat. Fiona dapat merasakan napas yang menerpa
wajahnya.

Tunggu. Dia kini punya firasat buruk..

‘J-jangan bilang Arthur melakukan sesuatu, ketika aku tertidur?’

Anda mungkin juga menyukai