Anda di halaman 1dari 4

Pancasila dan Alam: Kembali Ke Pidato 1 Juni

indoprogress.com/2017/06/pancasila-dan-alam-kembali-ke-pidato-1-juni/

15 Juni 2017

Tanggapan Atas Muhammad Unies Ananda Raja

APA jadinya jika berbicara Pancasila tapi tak jeli dalam melihat Pancasila itu sendiri?
Barangkali, sekali lagi barangkali, itulah yang dilakukan oleh bung Muhammad Unies
Ananda Raja. Dalam tulisannya yang berjudul Pancasila dan Alam, ia mempersoalkan
dan menyatakan Pancasila bukanlah yang terbaik dan—mengikuti Rocky Gerung—belum
selesai. Kesimpulan ini diambil Unies, karena dalam Pancasila tidak memuat kesadaran
untuk merawat alam. Hal ini sebagaimana yang dapat dilihat dari paragraf berikut:

‘[…]Apakah Pancasila punya jawaban atas segala permasalahan saat ini? Apakah
Pancasila, seperti yang diucapkan banyak orang, adalah yang terbaik? Di sini saya
harus menyatakan: tidak. Menurut saya, ada satu hal mendasar yang terlewat
dalam Pancasila. Hal tersebut ialah kesadaran akan tanggungjawab merawat alam.

Jika kita amati, kelima sila dalam Pancasila tak ada satu pun yang menyebutkan
alam, bahkan satu kata pun.”

1/4
Pertanyaan yang layak diajukan kepada Unies adalah, benarkah dalam Pancasila tidak
memuat sama sekali kesadaran untuk merawat alam, sebaimana yang dituduhkannya?
Pertanyaan ini harus dijawab, karena via argumen ini, ia membangun kesimpulan bahwa
Pancasila bukanlah yang terbaik dan belum selesai. Artinya, dapat dikatakan juga,
pertanyaan ini akan membawa kita pada diskusi yang lebih fundamental lagi—seperti
yang juga digelisahkan, tapi sekaligus dijawab, sendiri oleh Unies: Apakah Pancasila
punya jawaban atas segala permasalahan saat ini? Apakah Pancasila seperti yang
diucapkan banyak orang, adalah yang terbaik?

Sebelum menjawab pertanyaan di muka, untuk membuktikan bahwa Unies kurang jeli,
saya ingin mengapresiasi dulu keberaniannya untuk mempertanyakan dan mengkritik
Pancasila. Apalagi, dengan melihat posisinya yang merupakan salah satu mahasiswa
dari Universitas yang mendaku diri sebagai Kampus Pancasila: Universitas Gadjah Mada
(UGM). Hal itu ditambah lagi, dengan lebih khusus, ia adalah mahasiswa UGM yang
mengambil Fakultas yang paling getol mengotak-atik Pancasila: Fakultas Filsafat.

Muhammad Unies Ananda Raja adalah generasi yang mesti disambut. Di tengah
kampusnya hanya menjadikan Pancasila sebagai euforia, kebanggaan, bahkan candu, ia
berani mempertanyakan dan, bahkan, menggugat Pancasila itu sendiri. Akan tetapi,
semoga saja, keteledorannya menyatakan Pancasila tidak memiliki kesadaran untuk
merawat alam, bukanlah dampak dari gagapnya Kampus dan Fakultas Pancasila itu.
Semoga bukan akibat dari selama ini Unies dijejali oleh Pancasila dalam tafsiran
Notonegoro yang menjadi tafsiran wajib di Fakultas Filsafat.

Unies memulai tulisannya dengan fenomena perayaan Hari Pancasila, 1 Juni kemarin.
Menurutnya, perayaan itu sepatutnya dijadikan momen untuk kembali merefleksikan
Pancasila. Dari refleksi itulah Unies kemudian mengemukakan kesimpulan seperti yang
sudah disinggung di muka. Di titik ini, saya ingin mengatakan: cara untuk menjadikan
perayaan Hari Pancasila sebagai momen untuk kembali merefleksikan Pancasila yang
terbaik, bisa dimulai dengan membaca kembali Pidato 1 Juni-nya Sukarno. Lewat pidato
itulah, Pancasila pertama kali dirumuskan, itupula sebabnya, 1 Juni ditetapkan sebagai
Hari Lahir Pancasila.

Jika saja, Unies mau membaca kembali pidato yang disampaikan Sukarno dalam sidang
BPUPKI, tahun 1945 silam, saya yakin ia tidak akan gegabah menarik argumen yang
menyatakan Pancasila tidak memiliki kesadaran untuk merawat alam. Pasalnya, dalam
pidato tersebut, Sukarno memaparkan teori-teori bangsa. Selain menyandarkan argumen
(yang Sukarno sebut) dari Ernest Renan[1] dan Otto Bauer, Sukarno juga melengkapi
teori bangsanya dengan bersandar pada teori yang ia sebut Geopolitik. Berikut ini yang
disampaikan oleh Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945:

2/4
“Kemarin kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo atau tuan
Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan
antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan
tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dan bumi
yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat
orangnya. Mereka hanya memikirkan “Germeinschaft”nya dan perasaan orangnya,
‘I’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak
mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu
yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan”.[2]

Kendati tidak secara eksplisit disebutkan oleh Sukarno bahwa dengan Pancasila kita
harus menjaga alam, namun setidaknya, di sana sudah termuat kesadaran akan
kelestarian alam secara implisit. Melalui term “persatuan manusia dan tempatnya”,
”rakyat dan bumi yang ada di bawah kakinya”, Sukarno mengantisipasi kesadaran akan
kelestarian alam (bumi yang dipijak itu!) untuk terus membangun dan menjaga kehidupan
berbangsa.

Mari kita pikirkan, apabila alamnya, buminya tidak dijaga dan dibiarkan rusak, bukankah
dengan begitu maka kesatuan antara manusia dan tempatnya, kesatuan antara rakyat
dan bumi di bawah kakinya, akan rusak dan hilang pula? Dengan begitu bukankah apa
yang disebut sebagai “Indonesia” akan lenyap? Jika buminya rusak dan lenyap, apa yang
terjadi pada manusianya?

Persoalan geopolitik atau persatuan manusia dan tempatnya bukan hanya perkara
pertahanan nasional dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI, yang katanya harga mati) ini. Menjaga geopolitik Indonesia bukan
hanya menjadi tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI), tapi tugas kita semua. Bukan
hanya tugas yang dijalankan dengan bersenjata, tapi juga tugas untuk menjaga
kelestaraian alam.

Untuk memiliki kesadaran merawat alam, Pancasila tidak harus mengeksplisitkannya


dalam salah-satu sila yang ada pada dirinya. Begitupun kita, untuk melihat bahwa alam
memiliki posisi yang signifikan dalam Pancasila, tidak harus terpaku dari disebut atau
tidaknya kata “alam” dalam sila-silanya, seperti yang dilakukan Unies. “Jika kita amati,
kelima sila dalam Pancasila tak ada satu pun yang menyebutkan alam, bahkan satu kata
pun” demikian kata Unies, yang menunjukan betapa kakunya ia dalam melihat Pancasila.

Saya tidak tahu, apakah Unies membangun argumen dan kesimpulannya hanya dari
analisa sekilas, hanya dengan melihat sila-sila yang ada pada Pancasila? Ataukah Unies
membangun itu, dengan menyandarkan pada literatur dan tafsir lain soal Pancasila?
Apakah, karena ia hanya membaca Pancasila via Yudi Latief, Rocky Gerung, atau
Notonegoro?

3/4
Jika iya, Unies harus kembali membaca pidato-pidato Sukarno sendiri soal Pancasila,
terutama Pidato 1 Juni-nya. Karena hanya dengan membaca dan mengikuti Sukarnolah
—sebagai penggali dari Pancasila itu sendiri—kita mendapat pemahaman yang utuh
tentang Pancasila, apalagi jika kita sama-sama menyepakati 1 Juni sebagai Hari Lahr
Pancasila. Selain itu, yang terpenting, dengan menyandarkan pada yang disampaikan
Sukarnolah, kita tidak kehilangan nilai revolusioner dari Pancasila.

Tapi, bagaimanapun, karena Unieslah, saya akhirnya memiliki kesempatan dan mood
untuk menulis soal ini—yang sebenarnya sudah lama saya gelisahkan. Semoga kita bisa
cepat bersua, ngopi sambil diskusi di kantin Fakultas.

Seperti yang saya sampaikan di atas, kesadaran kelestarian alam dalam Pancasila,
memang masih implisit. Namun bukan berarti dengan begitu, kita sebut tidak ada sama
sekali. Justru menjadi tugas kita untuk mengeksplisitkan kesadaran itu, agar Pancasila
tidak melulu dijadikan slogan dan dikhianati. Dengan begitu, kita akan memiliki dasar
yang semakin kuat untuk mengutuk Ganjar dan Jokowi yang mengaku nasionalis tapi
merusak alam lewat pembangunan-pembangunan infrastruktur yang dilakukannya.***

Penulis adalah Mahasiswa Filsafat non-aktif dan Mantan Wakabid Kaderisasi GMNI
2014-2016.

———–

[1] Argumen Sukarno soal Ernest Renan ini pernah dibantah oleh Daniel Dekadae dalm
tulisannya di Jurnal Prisma Edisi Khusus ‘Membongkar Sisi Hidup Putra Sang Fajar”. Tapi
ketika saya menulis ini, jurnal tersebut tidak ada didekat saya, jadi saya tidak bisa
menuliskan keterangan lengkap soal ini.

[2] Pidato 1 Juni Soekarno dalam Sukarno. 2008. Pancasila Dasar Negara: Kursus
Presiden Soekarno tentang Pancasila. Yogyakarta: PSP UGM. Hal. 12-13

4/4

Anda mungkin juga menyukai