Anda di halaman 1dari 5

Biografi Maulana Malik Ibrahim (1404-1419 M)

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim merupakan tokoh ulama pertama yang


diberi gelar Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu
nama Walisongo, yang dianggap sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di
Jawa. Meinsma disebut dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang
mengikuti pengucapan lidah orang Jawa sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.

Ia memperkirakan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik lahir di Samarkand, Asia


Tengah, pada awal abad ke-1 Dalam biografi Sunan Gresik diketahui bahwa dalam
pernyataannya dalam buku The History of Java tentang Asal Usul dan Perkembangan
Kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan penulis lokal, “Mulana
Ibrahim, seorang Pandita yang terkenal berasal dari Arab.

   Peran Maulana Malik Ibrahim dalam Mengembangkan Islam di Indonesia


Mengembangkan Islam Melalui Jalur Perdagangan

Maulana Malik Ibrahim memulai aktivitas dakwahnya dengan berdagang di


tempat terbuka yang berlokasi di desa Rumo, dekat pelabuhan. Ia menyediakan
kebutuhan-kebutuhan pokok dengan harga murah dan terjangkau oleh masyarakat.
Pergaulannya yang didasari akhlak mulia penuh keramahan, kesantunan, dan toleran
dalam keseharian, menjadikan masyarakat mudah tertarik untuk memeluk agama Islam.

Pilihan lokasi dakwah dekat pelabuhan, berhubungan erat dengan aktivitas


dagang yang berada di daerah pesisir pantai yang menjadi pusat kegiatan ekonomi.
Dengan demikian Maulana Malik Ibrahim banyak berinteraksi dengan para pedagang
yang berada di wilayah Jawa dan daerah lainnya.

2.       Mendakwahkan Islam kepada Keluarga Kerajaan Majapahit

Setelah membentuk komunitas muslim di Pesucinan, dan berada dekat dengan


daerah pelabuhan pantai utara Gresik, Maulana Malik Ibrahim berkesempatan
menyampaikan dakwah Islam bersamaan dengan aktifitas perdagangan. Ia
menyampaikan dengan penuh kesantunan dan ahlak mulia. Satu per satu pemeluk Islam
terus bertambah dari hari ke hari. Setelah merasa dakwahnya berhasil di Sembalo, Sunan
Gresik pindah ke kota Gresik, dan tinggal di desa Sawo.

Dakwahnya pun merambah pada keluarga kerajaan Majapahit yang saat itu
dipimpin Raja Brawijaya. Kedatangannya ke pusat kerajaan disambut baik, walaupun
Sang Raja belum bersedia memeluk Islam. Karena adanya hubungan baik dengan
kerajaan dalam hubungan dagang, Maulana Malik Ibrahim diangkat menjadi syahbandar
di Gresik dan diperbolehkan menyebarkan agama Islam di Gresik. Raja Brawijaya
memberikan hadiah sebagai penghargaannya terhadap Maulana Malik Ibrahim dengan
sebidang tanah di pinggiran Kota Gresik. Tempat ini kemudian dikenal dengan Desa
Gapura.

Hubungan baik Sunan Maulana Malik Ibrahim dengan keluarga kerajaan, dengan
menunjukkan sikap santun, arif, dan bijaksana, mengantarkannya diangkat menjadi
penasehat raja, serta menjadi guru para pangeran. Dakwah Maulana Malik Ibrahim
kepada keluarga raja Majapahit yang sedang mengalami masa kemunduran, dibuktikan
dengan adanya tulisan yang terukir dalam bahasa Arab, menjelaskan kedudukannya
dalam keluarga kerajaan. Karena itulah dakwah Islam terus berkembang di berbagai
kalangan

Mendirikan Masjid dan Pesantren

Seiring waktu, masyarakat Gresik semakin tertarik memeluk Islam karena sosok
Maulana Malik Ibrahim yang santun, dermawan dan toleran. Kondisi ini mendorongnya
membangun Masjid Pesucinan, kini dikenal dengan Masjid Maulana Malik Ibrahim,
terletak di desa Leran, Kecamatan Manyar, wilayah pesisir utara Gresik. Masjid Pesucinan
selain sebagai tempat ibadah digunakan juga sebagai tempat pembinaan mubalig, santri
dan masyarakat, bahkan di tempat ini pula lahirnya pesantren pertama di Nusantara.

Maulana Malik Ibrahim tidak hanya mengajarkan agama tapi pengetahuan


tentang tehnik irigasi persawahan, dan tambak yang bertujuan memajukan ekonomi
masyarakat pesisir di sekitar pantai utara Gresik.

Sejarah mencatat bahwa, masyarakat Indonesia mulai mengenal agama Hindu-Buddha


yang ditandai dengan muculnya Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda pada abad
ke-4 dan ke-7 M (Raffles, 1965). Pada saat agama Hindu-Buddha bertahta di Indonesia
tersebut yaitu pada abad ke-7 M, Islam sebenarnya telah masuk di Indonesia. Wheatley
dalam The Golden Kersonense: Studies in Historical Geography of The Malay Peninsula
Before (1961) mencatat, bahwa:
“Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dibawa oleh saudagar Arab saat membangun
jalur perhubungan dagang dengan Nusantara. Kehadiran saudagar Arab di Kerajaan Kalingga pada
abad ke-7 M tersebut bertepatan dengan kepemimpinan Ratu Simha. Beliau adalah sosok ratu yang
dikenal cukup keras dalam menerapkan hukum Islam termasuk pada anggota keluarganya yaitu putra
mahkotanya.”

Strategi Dakwah Syaikh Maulana Malik Ibrahim melalui Pemenuhan Kebutuhan


Masyarakat

Disebutkan dalam berbagai literatur bahwa, Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal
dengan nama Sunan Gresik, merupakan seorang wali yang mumpuni ilmu keislamannya.
Selain itu beliau juga menguasai ilmu pertanian, pengobatan, perdagangan, dan
pendidikan. Di bidang pertanian, Syaikh Maulana Malik Ibrahim mengajarkan masyarakat
Gresik cara bercocok tanam yang baik, sehingga hasil panen petani meningkat lebih baik.
Beliau juga mengajarkan masyarakat irigasi, cara mengaliri air dari pegunungan ke sawah-
sawah warga. Sehingga masyarakat tidak lagi mengalami kekeringan dalam bercocok
tanam (Rahimsyah, 2013). Adanya kisah ketika masyarakat Gresik yang saat itu mengalami
kekeringan pada saat musim kemarau. Sehingga sawah dan ladang mereka kering dan
tidak menghasilkan panen yang baik. Pada saat itu Syaikh Maulana Malik Ibrahim
mengajarkan sholat istisqo’ untuk meminta hujan turun (Sofwan dkk., 2004). Melalui
penguasaan di bidang pertanian tersebut, beliau meningatkan kesejahteraan hidup
masyarakat menjadi lebih baik serta mengenalkan bahwa Allah ada sebagai Tuhan yang
mengatur alam semesta dan segala isinya.
Tidak hanya mumpuni dibidang pertanian, beliau juga mengajarkan masyarakat ilmu
pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tanaman-tanaman lokal yang tumbuh di
sekitar wilayah Gresik. Tanaman-tanaman tersebut kemudian diolah menjadi obat-obatan
yang nantinya menjadi perantara kesembuhan warga yang sedang terkena penyakit
(Rahimsyah, 2013). Selain menguasai ilmu pertanian dan pengobatan, Syaikh Maulana
Malik Ibrahim juga menguasai ilmu perdagangan. Bahkan disebutkan agar tidak mencolok
membawa ajaran agama baru (Islam), ketika masyarakat Gresik masih memeluk agama
Hindu-Buddha. Maka Syaikh Maulana Malik Ibrahim mengajarkan kebaikan ajaran Islam
melalui peran beliau sebagai pedagang. Ketika berdagang tersebut, Syaikh Maulana Malik
Ibrahim justru menunjukkan kemahiran dan kebijaksanaan beliau dalam dunia
perdagangan. Beliau juga memiliki kemampuan memberi petunjuk dan nasihat tentang tata
cara berdagang di daerah setempat. Beliau juga mampu menaksir harga barang dagangan
yang yang dibawa para pedagang serta mampu menentukan besarnya bea cukai yang
harus dibayar (Widodo dkk., 2004).

Selain itu, Syaikh Maulana Malik Ibrahim juga dikenal sebagai pedagang yang memiliki
sikap arif; bijaksana; cakap; bersih dan wibawa. Beliau mengajarkan ajaran ikhsan
(memberi lebih daripada yang diminta) dan ajaran senang memberi (loman / senang
bersedekah) saat melakukan transaksi sebagai pedagang. Sehingga hubungan antara satu
pedagang dan pedagang lainnya menjadi harmonis, rukun, serta hati mereka diliputi
perasaan tenang karena berbuat baik dan jujur dalam berdagang. Terlebih hasil dagang
yang diperoleh menjadi lebih banyak daripada sebelumnya. Kecakapan dan sikap baik
beliau dalam berdagang itulah yang kemudian mengundang simpati masyarakat sekitar.
Manuskrip Babad Gresik I juga mencatat, Raja Mahajapahit pada akhirnya memberikan
kepercayaan pada Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan mengangkat beliau sebagai
Syahbandar (Subandar) atau dikenal sebagai kepala pelabuhan dagang Gresik. Selain itu,
Raja Majapahit juga memberi beliau sebidang tanah di desa Gapura. Beliau juga diizinkan
mendakwahkan ajaran Islam pada masyarakat sekitar Gresik. Hingga pada akhirnya, di
desa Gapura itulah Syaikh Maulana Malik Ibrahim membangun pondok pesantren pertama
di tanah Jawa dan mengajarkan Islam pada masyarakat sekitar Gresik. Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Syaikh Maulana Ibrahim diberi tanah di Gresik oleh Raja Majapahit dan diangkat
sebagai Subandar ing Gresik, serta diperbolehkan menyebarkan agama Islam kepada orang
yang mau (Soekarman, 1990).”
“Selanjutnya pada saat menetap di desa Sawo tersebut, Syaikh Maulana Malik Ibrahim datang ke
Kutaraja Majapahit menghadap pada Raja Majapahit dan berencana mendakwahkan agama Islam
pada masyarakat Kerajaan Majapahit. Namun, pada saat itu Raja Majapahit belum berkenan masuk
Agama Islam. Akan tetapi Raja Majapahit pada saat itu telah menerimanya dan memberikan sebidang
tanah di pinggiran kota Gresik, yang di kenal dengan nama Desa Gapura. Di Desa Gapura inilah
Syaikh Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren untuk mendidik kader-kader pemimpin Islam
yang diharapkan dapat melanjutkan misinya, menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat di
wilayah Majapahit yang sedang mengalami kemerosotan akibat perang saudara (Sunyoto, 2012).”

Berdasarkan dua kutipan literatur di atas, dapat diketahui bahwa Syaikh Maulana Malik
Ibrahim telah mendapat tempat di hati Raja Majapahit dengan diberikannya sebidang tanah
di desa Gapura yang kelak menjadi tempat beliau mendirikan pondok pesantren. Selain itu
beliau juga diangkat menjadi Syahbandar atau kepala pelabuhan dagang di wilayah Gresik.

Syaikh Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai ulama’ dan pemimpin yang mengayomi
rakyat kecil, terutama masyarakat kalangan sudra. Beliau memiliki sikap welas asih (belas
kasihan) pada masyarakat lemah. Beliau juga seorang dengan perangai santun, cerdas,
dan selalu memancarkan senyuman ketika sedang menjalankan perannya. Karena
kecakapan dan keluhuran akhlak beliau tersebut akhirnya taraf kesejahteraan masyarakat
di wilayah Gresik menjadi lebih baik dan masyarakat akhirnya tertarik dan berbondong-
bondong ingin mempelajari agama Islam. (Rahimsyah, 2013). Hal tersebut diadaptasi beliau
dari sabda Nabi yang menyebutkan bahwa, “kefakiran menjurus pada kekafiran.” Tidak bisa
hidup dan beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi.
Baca juga : Prof. Abdurrahman Mas’ud : Dakwah Walisongo, Canggih dan Brilian
Ajaran tersebut juga sejalan dengan ajaran Islam, bahwa ada lima hal yang bisa digunakan
untuk tegaknya agama dan kehidupan yaitu: ilmu, harta, kekuasaan / pengaruh, tenaga,
dan doa. Sebagaimana analog teko akan mengeluarkan apa yang menjadi isinya. Jika teko
tersebut berisi teh, maka ia akan mengeluarkan teh pada gelas yang diisinya. Demikian
juga dengan keberadaan manusia di muka bumi ini, jika memiki ilmu; harta; kekuasaan /
pengaruh; tenaga; dan doa maka akan bisa memberikan apa yang dimilikinya tersebut pada
orang lain.

Hal tersebut dapat diketahui bahwa, memiliki di sini bukan untuk menguasai dan
mengakumulasi untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan golongannya. Namun memiliki
di sini bermakna sebagai alat / perantara agar bisa memberi pada sesama. Memiliki agar
bisa menegakkan agama dan kehidupan melalui apa yang dititipkan Allah pada diri kita.
Baik ilmu, harta, kekuasaan / pengaruh, tenaga, dan doa. Memiliki untuk menegakkan
peran sebagai khalifatullah (wakil Tuhan di muka bumi) yang bertugas menyebarkan
kabaikan pada sesama di muka bumi ini. Teladan ini sebagaimana yang dilakukan Syaikh
Maulana Malik Ibrahim dalam berdakwah pada masyarakat Gresik.

Anda mungkin juga menyukai