Lingkungan Pengendapan Batubara
Lingkungan Pengendapan Batubara
23 September 2006
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan pengendapan
tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary.
Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan
struktur yang bervariasi.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan
kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan
pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan
namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat
sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi
diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai
di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.
Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara (Tabel
2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta
plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan
menghasilkan karakter batubara yang berbeda.
Tabel 2.1
Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara
(Diesel, 1992)
Environment Subenvironment Coal Characteristics
Gravelly braid plain Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
swamps, raised bogs low TPI, low GI, low sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
swamp, raised bogs, high TPI, low to medium GI,
low sulphur
Alluvial valley and channels, point bars, floodplains mainly bright coals, high TPI,
upper delta plain and basins, swamp, fens, raised medium to high GI, low
bogs sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays, mainly bright coals, low to
channel, swamps, fans and medium TPI, high to very high
marshes GI, high sulphur
Backbarrier strand Off-, near-, and backshore, tidal transgressive : mainly bright
plain inlets, lagoons, fens, swamp, and coals, medium TPI, high GI,
marshes high sulphur
Estuary channels, tidal flats, fens and mainly bright coal with high GI
marshes and medium TPI
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain dan
delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta dengan
mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di atas
permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain ialah endapan
channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat
diketahui dari litologi dan struktur sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded bedding,
paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah
berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara dan
plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur menjadi endapan flood
plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee) yang terbentuk
ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir
halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple lamination dan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase play.
Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus – sedang dengan struktur sedimen cross bedding,
ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum
ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya dan umumnya
memperlihatkan pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain. Endapan
flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari air limpahan
banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena lingkungan
pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi
gambut.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras dan akan
menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh
tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).
Lingkungan barrier
Lingkungan ini mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air laut
dan mendukung pembentukan gambut di bagian daratan. Kriteria utama mengenal
lingkungan barrier adalah pada hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen dan
pengenalan tekstur batupasir. Kearah laut batupasir butirannya menjadi semakin halus dan
selang-seling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai kehijauan.
Analisis cekungan batubara adalah alat untuk menentukan secara lebih sempurna konsep
batubara sebagai batuan sedimen, sebagai sistem geokimia, dan sebagai endapan organik
dengan asosiasi batuannya.
Data yang dihimpun adalah data stratigrafi, data lingkungan pengendapan, dan data
struktur geologi.
Lingkungan lower delta plain, rawa-rawa di dalam sungai yang di dominasi oleh endapan
lower delta plain berkembang di atas tanggul-tanggul sepanjang penyebaran channel. Split
terjadi pada lapisan batubara oleh sejumlah endapan creavase splay. Sebaran lapisan
batubara cenderung menerus sepanjang jurus pengendapan, tetapi juga dapat tidak sejajar
jurus pengendapan karena batubara digantikan tempatnya oleh material bay-fill secara
interdistribusi
Lingkungan transtional lower delta plain ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif.
Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan
jurus pengendapan. Split juga berkembang di daerah dekat channel kontemporer dan oleh
washout yang disebabkan aktivitas channel subsekuen.
Lingkungan upper delta plain-fluvial, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-
shaped pada bagian bawah dari dataran limpah banjir yang berbatasan dengan channel
sungai bermeander. Lapisan batubaranya cenderung sejajar dengan kemiringan
pengendapan, tetapi sedikit yang menerus atau lapisannya tebal tetapi dengan jarak sebaran
yang relatif pendek dengan sejumlah split yang berkembang dalam hubungannya dengan
endapan tanggul yang kontemporer.
6.3.3 Kondisi roof (lapisan atap)
Kondisi roof tergantung dari hubungan antar jenis batuan,
struktur yang terbentuk saat pengendapan, kompaksi pada
awal setelah pengendapan, dan terakhir tektronik. Jenis
batuan dapat memberikan cara yang berbeda di dalam proses
penambangannya.
6.3.4 Kandungan sulfur pada batubara
Sulfur di dalam lapisan batubara dibentuk oleh bakteri pereduksi sulfat di dalam peat yang
basah. Kadar sulfat di dalam air laut lebih banyak daripada di dalam air tawar (sungai),
sehingga kadar pirit atau sulfur akan naik apabila peat tergenang oleh air laut atau
penambahan sulfur akan lebih banyak terjadi pada batubara yang di atasnya berasosiasi
dengan kondisi marin. Oleh karena itu, kadar dan distribusi sulfur lebih dipengaruhi oleh
lingkungan setelah pembentukan batubara daripada lingkungan pada saat pembentukan.
Mineral pirit, khususnya yang berbentuk framboidal banyak melimpah pada lapisan
batubara yang ditutupi secara langsung oleh lapisan marin (William & Keith, 1963). Oleh
karena itu, lapisan batubara yang terakumulasi pada daerah-daerah yang dipengaruhi oleh
air laut (kondisi marin) atau air payau, maka akan mengandung pirit framboidal, seperti
back barrier dan lower delta plain. Dari hasil penelitian, sulfur pirit bentuk framboidal
dihasilkan oleh pengurangan sulfur oleh mikroba organisme yang dijumpai di lingkungan
marin hingga air payau.
Menurut Caruccio et al (1977), ada empat bentuk pirit pada batubara (Gb. 6.1):
1. Kandungan sulfur yang hadir sebagai markasit atau pirit terjadi dalam bentuk butiran
euhedral dan berbutir kasar (> 25 mikron).
2. Menggantikan material asli tumbuhan (replacement).
3. Berupa lembaran (platy) yang mengisi cleat.
4. Framboidal pirit.
Dari keempat macam di atas, maka bentuk framboidal yang paling cepat mengalami
dekomposisi, sehingga menimbulkan air asam tambang pada kegiatan penirisan tambang.
Terlebih bila tidak mengandung material karbonat. Bila menyebar di dalam batubara, maka
tidak dapat dipisahkan pada uji pencucian yang menggunakan larutan dengan berat jenis
1,5.
Oleh karena itu, apabila kandungan sulfur batubara tinggi, maka pengetahuan mengenai
sebaran sulfur melalui lapisan batubara dan bentuk sulfur akan sangat membantu di dalam
menilai aspek ekonomis (pemasaran) batubara.
Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang mengandung > 50% berat dan > 70%
volume material karbon, terbentuk dari proses penggambutan dan pembatubaraan material
organik pada berbagai lingkungan pengendapan. Batubara dapat terbentuk di berbagai
lingkungan pengendapan, salah satunya adalah delta. Batubara yang terbentuk pada
lingkungan delta memiliki karakteristik yang berbeda dengan batubara yang terbentuk pada
lingkungan yang lain.
Batubara yang terbentuk pada lingkungan delta umumnya dijumpai pada delta plain.
Lingkungan delta plain sendiri dibagi menjadi: lower delta plain, transitional lower delta plain
dan upper delta plain. Batubara yang terbentuk pada sub lingkungan delta plain tersebut
akan memiliki karakteristik/sifat fisik, sifat kimia, ketebalan dan penyebaran lapisan batubara
tertentu dan berlainan satu sama lainnya.
Batubara pada lower delta plain merupakan bright coal, memiliki kandungan
abu dan sulfur rendah, nilai kalori tinggi dan ketebalan yang relatif tipis dengan penyebaran
yang relatif luas. Batubara pada upper delta plain merupakan bright
coal, memiliki kandungan abu tinggi, kandungan sulfur rendah, nilai kalori tinggi dan
penyebarannya bersifat diskontinyu atau lentikuler dengan ketebalan mencapai 10 m.
Batubara yang terbentuk pada lingkungan transitional lower delta plain lebih tebal dari kedua
lingkungan yang lain dan mempunyai penyebaran yang luas, menerus dan memiliki
kandungan sulfur yang rendah.
Delta pada saat early highstand system tract, dicirikan dengan lobe switching yang
sering dengan tipe delta yang terbentuk adalah lobate delta. Selama muka air laut tetap atau
mulai turun, elongate delta akan terbentuk akibat progradasi ke arah laut yang lebih dalam
(mid atau lower shelf) dan terutama untuk sedimen yang berbutir halus. Kecepatan
sedimentasi yang sebanding dengan penurunan muka air laut akan mengurangi terjadinya
lobe switching, sehingga bentuk elongate akan terus berkembang. Delta yang terbentuk
pada saat lowstand system tract umumnya akan menoreh permukaan topografi akibat
turunnya muka air laut dan morfologinya dikontrol oleh topografi di bawahnya. Lowstand
delta umumnya akan berprogradasi ke arah deep water. Menghasilkan delta jenis
coarsedgrain
delta (fan-delta). Wave dan storm umumnya lebih terkonsentrasi pada shelf edge yang
menghasilkan wave-dominated delta. Selama transgressive system tract, umumnya
pengendapan delta akan berkurang, karena material sedimen terakumulasi secara agradasi
pada floodplain. Pada saat pengendapan delta aktif berlangsung, pengaruh fluvial akan
minimal dan wave- dan tide-dominated delta akan dominan. Luapan sungai pada saat
transgresi membentuk estuarines, dimana tidal range dapat mencapai lingkungan ini. Pada
estuarines ini akan terbentuk endapan pasir yang paralel terhadap arah estuarines.
Konsep stratigrafi sikuen ini sangat sesuai untuk diterapkan pada sistem delta,
karena delta sendiri merupakan lingkungan pengendapan di daerah transisi dimana sangat
sensitif terhadap perubahan muka air laut. Delta merupakan sebuah lingkungan
pengendapan yang pembentukannya dipengaruhi tiga parameter, yaitu : suplai sedimen,
energi gelombang dan pasang surut. Dalam pengendapannya delta membutuhkan suatu
ruang akomodasi yang dipengaruhi oleh Relative sea level (RSL), dimana kedua hal ini
dipengaruhi oleh tektonik dan eustacy. Oleh karena itu, studi stratigrafi sikuen pada sistem
delta merupakan suatu model yang ideal dalam memberikan pemahaman dan pembelajaran
bagaimana suatu rekaman stratigrafi dijelaskan dengan konsep stratigrafi ini, melalui
pembagian sikuen, parasikuen set, parasikuen dan system tract-nya
Konsep stratigrafi sikuen akan dapat menjelaskan bagaimana stacking pattern dari
suatu endapan delta. Setiap delta akan mengalami siklus akibat adanya perubahan muka air
laut, oleh tektonik dan atau eustacy. Siklus delta dapat dibagi menjadi allocyclic processes
dan autocyclic processes. Allocyclic disebabkan oleh faktor luar, misalnya eustacy, tektonik,
iklim dan sebagainya. Siklus ini merupakan siklus transgresi-regresi akibat perubahan RSL.
Autocyclic disebabkan oleh faktor yang berasal dari faktor dalam cekungan, meliputi lobe
switching dan river avulsion.
Delta pada saat early highstand system tract, dicirikan dengan lobe switching yang
sering dengan tipe delta yang terbentuk adalah lobate delta. Selama muka air laut tetap atau
mulai turun, elongate delta akan terbentuk akibat progradasi ke arah laut yang lebih dalam
(mid atau lower shelf) dan terutama untuk sedimen yang berbutir halus. Kecepatan
sedimentasi yang sebanding dengan penurunan muka air laut akan mengurangi terjadinya
lobe switching, sehingga bentuk elongate akan terus berkembang. Delta yang terbentuk
pada saat lowstand system tract umumnya akan menoreh permukaan topografi akibat
turunnya muka air laut dan morfologinya dikontrol oleh topografi di bawahnya. Lowstand
delta umumnya akan berprogradasi ke arah deep water. Menghasilkan delta jenis
coarsedgrain
delta (fan-delta). Wave dan storm umumnya lebih terkonsentrasi pada shelf edge yang
menghasilkan wave-dominated delta. Selama transgressive system tract, umumnya
pengendapan delta akan berkurang, karena material sedimen terakumulasi secara agradasi
pada floodplain. Pada saat pengendapan delta aktif berlangsung, pengaruh fluvial akan
minimal dan wave- dan tide-dominated delta akan dominan. Luapan sungai pada saat
transgresi membentuk estuarines, dimana tidal range dapat mencapai lingkungan ini. Pada
estuarines ini akan terbentuk endapan pasir yang paralel terhadap arah estuarines.
http://biketocampus-biketocampus.blogspot.co.id/2009/10/lingkungan-
pengendapan-delta-dan.html
GENESA BATUBARA
PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION)
PEMBATUBARAAN (COALIFICATION)
FASIES BATUBARA
KLASIFIKASI MASERAL
Texto-ulminite
Eu – ulminite
Telocolinite
Detrovitrinite Atrinite
Desinite
Desmocolinite
Gelovitrinite Corpogelinite
Porigelinite
Eugelinite
Liptinite Sporinite
Cutinite
Resinit
Suberinite
Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite
Alganite
Bituminite
Semifusinite
Scelorotinite
Detroinertinite Inertodetrinite
Micrinite
Geloinertinite macrinite
Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya
suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting
untuk dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Navale
(1981) menyatakan bahwa batubara yang diendapkan pada lingkungan
lagoon relatif kaya akan desmocolinit, batubara dari lingkungan upper
delta plain dan fluviatil (wet frorest Swamp) kaya akan vitrinit dan
material klastik seperti mineral lempung, sedangkan batubara dari
lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinit, resinit dan inertinit.
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam
GWI, aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk
dalam menginterpretasikan asal mula suatu lahan gambut (paleomire).
Secara teori lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan
pembentuk dengan menggunakan paramater kesamaan antar maseral.
Menurut Suits dan Arthur (2000) sulfat umumnya dari sedimen laut
dangkal, direduksi senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida,
kemudian dioksidasi oleh geohite (FeOOH) atau hidrogen sulfida dan
mereduksi ferric iron (Fe3+) menjadi senyawa ferrous iron (Fe2+). Oksigen
sering kali menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen
sulfida menjadi unsur sulfat (S0).
Gambar 3.4. Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits
& Arthur, 2000)
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan
unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur
sulfur (S0) kemungkinan mucul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang
terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi-kisi air, disamping itu
S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S 0)
dapat berekasi dengan asam humik yang terbentuk selama proses
penggambutan. (Mayers, 1982)
Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H 2S juga dapat
bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses
penggambutan. Jenis interaksi antaea H2S dengan asam humik inilah yang
mempunyai peranan paling penting dalam mementukan kandungan sulfur
organik dalam batubara (Mayers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur
organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa
gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974, Bein, 1990,
Zaback & Pratt dalam Suits & Arthur, 2000)
http://geologiaway.blogspot.co.id/2010/03/batubara.html987,
Raiswell, 1993 dalam Suits & Arthur, 2000)