Anda di halaman 1dari 10

Cattan Tutorial skenario 1

PATOFISIOLOGI berdasarkan kasus pada skenario :


Didapatkan kemungkinan Diagnosis adalah : (Otitis media supuratif kronik,
Rinosinusitis kronik, Rhinitis alergi)

1. Otitis media supiratif kronik (OMSK)


Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan
dengan tuba eutakhius, baik dari faktor lingkungan, faktor genetik
atau faktor anatomik.
- Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequelae
(sekuel) atau komplikasi otitis media akut yang disingkat (OMA)
yang mengalami perforasi. Dapat juga terjadi akibat komplikasi
pemasangan pipa timpanostomi atau (pipa grommet) pada kasus otitis
media efusi (OME). Dimana saat Perforasi membran timpani gagal
untuk menutup spontan, terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau
paparan alergi dari lingkungan, sehingga menyebabkan otore yang
persisten.
- Keadaan kronik ini lebih berdasarkan pada waktu dan stadium
daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman
gambaran patologi ini disebabkan oleh proses yang bersifat kambuhan
atau menetap, dan efek dari kerusakan jaringan, serta pembentukan
jaringan parut.

Kemudian :
2. Rhinosinusitis kronik
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor yaitu : Patensi
ostium, fungsi silia, kualitas sekret. Gangguan salah satu atau
kombinasi faktor-faktor tersebut akan mengubah fisiologi sinus.
Kegagalan transpor mukus dan menurunya ventilasi sinus merupakan
faktor utama dalam berkembangnya rinosinusitis kronik.
- Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem
hasil proses radang area kompleks osteomeatal. Blokade daerah
kompleks osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi
sinus-sinus anterior. Pada Sumbatan yang berlangsung terus-menerus
akan mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta
perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri
anaerob untuk berkembang biak. Bakteri tersebut akan memproduki
toksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya :
3. Rhinitis alergi
Rhinitis merupakan suatu proses/penyakit inflamasi yang terdiri dari tahap
sensitisasi dan reaksi alergi, atau jika ada benda asing tertentu. Reaksi alergi
pada penyakit ini diawali dengan reaksi alergi fase cepat yang disingkat (R,
A, EF, C) (RAFC) yang dimulai sejak terpapar dengan alergi sampai 1 jam
dan diikuti dengan reaksi alergi fase lambat yang disingkat (R, A, EF, C)
(RAFL) yang berlangsung selama 2-4 jam.

 Ketika ada paparan alergi (debu, dll misalnya), debu akan


ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC) → makrofagh.
 Misalnya allergen tadi akan ditangkap oleh makrofagh, ketika
makrofagh sudah berhasil menangkap allergen tersebut, maka
makrofagh tersebut akan mengubah allergen tersebut menjadi
partikel-partikel kecil oleh adanya enzim lisozim. Partikel-
partikel kecil tersebut, kemudian dipresentasikan melalui
molekul protein MHC Tipe II pada permukaan makrofagh.
MHC akan mempresentasikan Antigen → karena munculnya
MHC, maka akan dideteksi oleh sel Th → melalui reseptor Th
dia akan berpasangan dengan Makrofagh.
 Setelah berikatan, Sel Th akan mengeluarkan sitokin. Sitokin-
sitokin ini akan mengaktifkan sel B. ketika sitokin yang
dikeluarkan oleh sel Th diterima oleh sel B, Sel B akan menjadi
aktif → maka akan berubah menjadi sel plasma. Sel plasma
ciri-cirinya Retikulum Endoplasma Nya besar, karena akan
memproduksi antibodi.

RAFL terjadi :

Saat sel Sel mast selain mengeluarkan histamine, akan mengeluarkan Kemotaksin
à merangsang pergerakan sel-sel tertentu, yaitu sel eosinophil dan sel radang
lainnya. Pada saat terjadi agregasi sel-sel radang tersebut menuju ke tempat
inflamasi di hidung.
Diagnosis telinga :
OMSK. (biasa dlm tht ada dua organ yaitu kanan dan kiri. Tambahan OMSK (kena sisi mana
kanan/kiri). OMSK ada dua tipe : ipe aman benigna, tipe bahaya malugma.
Jika ada gangguan pendengaran, ditulis gagguan pendengarannya.
Kemudian diagnosis komplikasinya ( paling sring khusu maligna : intrakranila, intratenporal.
Dulu ada tida (ektra nkrnaila).

Diagnosis Hidung :
Renitiltis alergi/ bisa di tulis krna blm diagnosis pasti : renitis alergi, dd alergi fase motor. Dan
rihinosinusitis (komplikasinya).
- Terlihat kasum kiri kiri putih yg menutupi : curiganya (tumor kavum nasi, yang mana (yang
kiri). Ddnya bisa dd polip, bnyk variasi trgntung hasil biopsi).
Selain mastoditis : labirinitis (komplikasinya).
* kaksusu ini keluhannya ini (kluhan tlingga ada keluar cairaan, nyeri dan gangguan
pendengaran). Pokok.
Hidung : 4 besar, pilek, posnasal drip, nyeri daerah wajah. Pokok di hidung.
PATOFISIOLOGI
Otitis media supuratif kronik
 Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan dengan tuba
eutakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik atau faktor anatomik. Tuba eustakhius
memiliki tiga fungsi penting yang berhubungan dengan kavum timpani: Fungsi ventilasi,
proteksi dan drainase (clearance). Penyebab endogen misalnya gangguan silian pada tuba,
deformitas pada palatum, atau gangguan otot-otot pembuka tuba. Penyebab eksogen
misalnya infeksi atau alergi yang menyebabkan inflamasi pada muara tuba.
 Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequelae atau komplikasi otitis
media akut (OMA) yang mengalami perforasi. Dapat juga terjadi akibat komplikasi
pemasangan pipa timpanostomi (pipa grommet) pada kasus otitis media efusi (OME).
Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan, terjadi infeksi berulang dari
telinga luar atau paparan alergen dari lingkungan, sehingga menyebabkan otore yang
persisten.
 Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok dapat
menyebabkan gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea terus-menerus atau
hilang timbul. Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses kongesti
vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemik, selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang
berupa bercak kuning, yang bila disertai tekanan akibat penumpukan discaj dalam rongga
timpani dapat mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang
menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia luar,
sehingga kuman dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas
masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan infeksi mudah berulang atau bahkan
berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium
daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi ini
disebabkan oleh proses yang bersifat kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan
jaringan,serta pembentukan jaringan parut.
 Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik
dengan sel goblet yang mengeksresi sekret mukoid atau mukopurulen. Adanya infeksi
aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami
proses pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup
membran timpani, sehingga menghalangi drainase,menyebabkan penyakit menjadi
persisten.
 Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupan dapat terjadi
pertumbuhan epitel skuamus masuk ke telinga tengah, kemudian terjadi proses
deskuamasi yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid, selanjutnya
membentuk kolesteatoma akuisita sekunder, yang merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan kuman pathogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma ini mampu
menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaian tulang pendengaran oleh reaksi
erosi dari ensim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan oleh proses kolesteatom
dalam jaringan ikat subepitel. Pada proses penutupan membran timpani dapat juga terjadi
pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat, dimana membran
bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif.

Patofisiologi rinosinusitis kronik


Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor yaitu :
- Patensi ostium
- Fungsi silia
- Kualitas sekret
Gangguan salah satu atau kombinasi faktor-faktor tersebut akan mengubah fisiologi sinus.
Kegagalan transpor mukus dan menurunya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik. Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade
akibat udem hasil proses radang area kompleks osteomeatal. Blokade daerah kompleks
osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang
berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta
perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang
biak. Bakteri tersebut akan memproduki toksin yang akan merusak silia (Busquest, 2006).
Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
sekret serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis non-bakterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap. Sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya kuman dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen, keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakterial dan membutuhkan terapi antibiotik.. Jika terapi tidak berhasill,
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin
membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akirnya perubahan
mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembengkakan polip dan kista (Bruce et
al, 2010).

Patofisiologi Rhinitis Alergi

Rhinitis merupakan suatu proses/penyakit inflamasi yang terdiri dari tahap sensitisasi dan reaksi
alergi.), atau jika ada benda asing tertentu. Reaksi alergi pada penyakit ini diawali dengan reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang dimulai sejak terpapar dengan alergi sampai 1 jam dan diikuti
dengan reaksi fase lambat (RAFL) yang berlangsung selama 2-4 jam.

RAFC

Ketika ada paparan alergi (debu, dll misalnya), debu akan ditangkap oleh Antigen Presenting
Cell (APC) → makrofagh.

- Misalnya allergen tadi akan ditangkap oleh makrofagh, ketika makrofagh sudah berhasil
menangkap allergen tersebut, maka makrofagh tersebut akan mengubah allergen tersebut
menjadi partikel-partikel kecil oleh adanya enzim lisozim. Partikel-partikel kecil tersebut,
kemudian dipresentasikan melalui molekul protein MHC Tipe II pada permukaan makrofagh.
MHC akan mempresentasikan Antigen → karena munculnya MHC, maka akan dideteksi oleh sel
Th → melalui reseptor Th dia akan berpasangan dengan Makrofagh.

Setelah berikatan, Sel Th akan mengeluarkan sitokin. Sitokin-sitokin ini akan mengaktifkan sel
B. ketika sitokin yang dikeluarkan oleh sel Th diterima oleh sel B, Sel B akan menjadi aktif →
maka akan berubah menjadi sel plasma. Sel plasma ciri-cirinya Retikulum Endoplasma Nya
besar, karena akan memproduksi antibodi.

Antibodi IgE yang dikeluarkan oleh Sel Plasma tersebut, akan berikatan dengan sel residen yang
ada pada mukosa hidung, yaitu sel Mast dan sel Basofil. Ketika Sel mast dan sel Basofil
berikatan dengan IgE, Terutama Sel Mast, Sel Mast akan mengalami Degranulasi, yaitu
pecahnya membran sel dan akan membentuk histamine
→ efek histamine pada mukosa hidung, dia akan mengakibatkan hipersekresi sel goblet pada
mukosa hidung, sehingga manifestasi biasanya rinorea (terdapat secret yang cair), dan adanya
vasodilatasi pembuluh darah yang secara langsung berperan dalam pembentukan edema konka.

→ efek histamin pada N. Vidianus à Histamin akan merangsang reseptor histamine yang ada
pada N. Vidianus. Akibatnya akan menyebabkan Bersin-bersin dan ada sensasi gatal pada
hidungnya.

RAFL terjadi :

Saat sel Sel mast selain mengeluarkan histamine, akan mengeluarkan Kemotaksin à merangsang
pergerakan sel-sel tertentu, yaitu sel eosinophil dan sel radang lainnya. Pada saat terjadi agregasi
sel-sel radang tersebut menuju ke tempat inflamasi di hidung.
1. Menjelaskan patofisiologi penyakit berdasarkan skenario!
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas ll membentuk komplek peptida
MHC kelas ll (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel
T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (lL 1) yang
akan mengaktifkan ThO untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti lL 3, lL 4, lL 5 dan lL 13. lL 4 dan lL'13 dapat diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi lmunoglobulin E (lgE). lgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor lg E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke
dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai
lgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (113, lL4, lL5, lL6, GM-
CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Facto) dll. lnilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin - bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran lnter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM 1).Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 - 8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti lL3, lL4, lL5 dan Granulocyte Magrophag Colony Stimulating
Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic.
Adanya infeksi oleh allergen akan menimbulkan respon inflamasi dari mukosa telinga tengah
berupa udem. Adanya udem membuat fungsi tuba eustachius terganggu. Lama kelamaan
oksigen akan berkurang karena tidak adanya pertukaran udara. Hal ini mengakibatkan
tekanan negatif yang tinggi sehingga membrane timpani akan mengalami retraksi. Pada tahap
ini pasien akan mengeluhkan gangguan pendengaran seperti telinga bindeng. Lalu akan
terjadi hiperemis dan permeabilitas kapiler menipis sehingga cairan intravascular dapat
keluar dari mukosa, mukosa menjadi sembab. Udem tadi juga dapat membuat fungsi drainase
tuba terganggu, cairan tidak dapat keluar, udem semakin bengkak (bulging). Pada tahap ini
membrane timpani terlihat sangat merah, pasien akan mengeluh nyeri yang hebat, gelisah,
muntah, diare, demam hingga anoreksia. Udem yang semakin membesar ini akan
menyebabkan tekanan makin berat hingga membrane timpani mengalami iskemia, infark dan
perforasi. Pada tahap perforasi inilah akan muncul cairan yang keluar dari rongga telinga
(otore).
Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok dapat menyebabkan
gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea terus-menerus atau hilang timbul.
Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia
luar, sehingga kuman yang berasal dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara luar dapat
dengan bebas masuk ke dalam kavum timpani. Kuman yang bebas masuk ke dalam kavum
timpani menyebabkan infeksi yang mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus.
Infeksi kronis ataupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorokan dapat
menyebabkan gangguan fungsi tuba eustakhius sehingga kavum timpani mudah mengalami
gangguan fungsi hingga infeksi dengan otorea terus menerus atau hilang timbul. Adanya
infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami
proses pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup
membran timpani, sehingga menghalangi drainase. Keadaan seperti ini menyebabkan OMSK
menjadi penyakit persisten. Pada proses penutupannya dapat terjadi pertumbuhan epitel
skuamosa masuk ke telinga tengah (epitel pada telinga tengah adalah epitel kuboid),
kemudian terjadi proses deskuamasi yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid,
selanjutnya membentuk kolesteatoma akuistika sekunder.
Kolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Sampai
saat ini patofisiologi terbentuknya kolesteatoma masih belum jelas. Pada penelitian Babic
dan Milosavljevic ditemukan carcinoembryonic antigen (CEA) pada epitel berlapis gepeng
kolesteatoma serta sel endotel pembuluh darah dan lamina propria mukosa telinga tengah
penderita otitis media supuratif kronis. CEA adalah glikoprotein permukaan sel yang
merupakan bagian superfamily immunoglobulin, yang belakangan ini sering disebut juga
bagian dari intercellular adhesive molecules (ICAMs). Otitis media kronis dengan
kolesteatoma merupakan penyakit invasive yang menyebabkan destruksi struktur mukosa
dan tulang di dalam telinga tengah. Beberapa penelitian menunjukkan CEA terekspresi pada
inflamasi kronik dan dapat menginduksi terjadinya hiperproloferasi keratinosit. Jadi adanya
CEA dianggap menginduksi terjadinya hiperproliferasi keratinosit sehingga terbentuk
kolesteatoma. Kolesteatoma merupakan media yang cukup sesuai bagi pertumbuhan kuman
patogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma bersifat destruktif, sehingga mampu
menghancurkan tulang antrum, prosesus mastoid, serta struktur telinga tengah lain, seperti
tulang pendengaran, kanal nervus fasialis, tegmen timpani, dan dinding kanal semisirkularis
oleh reaksi erosi dari enzim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan oleh proses
kolesteatoma dalam jaringan ikat subepitel. Sebuah studi oleh Wang et al menyarankan
bahwa pada OMSK, imunitas seluler yang dimediasi sel-T berperan dalam pembentukan
jaringan granulasi. Siklus inflamasi, ulserasi, infeksi, dan pembentukan jaringan granulasi
dapat berlanjut, akhirnya merusak tepi tulang di sekitarnya dan akhirnya menyebabkan
berbagai komplikasi OMSK.

Anda mungkin juga menyukai