Anda di halaman 1dari 11

MANUSELA JURNAL GEOLOGI

TERSEDIA ONLINE: MEI 2023 | Vol 01 No 1

STUDI PETROLOGI DAN GEOKIMIA BATUAN METAMORF DAERAH


WUMBUBANGKA DAN RAU-RAU KABUPATEN BOMBANA PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

(Study of Petrology and Geochemistry of Metamorphic Rocks in Wumbubangka


and Rau-Rau Regions, Bombana District, Southeast Sulawesi Province)

Adhe Setiawan Saputra1*, Adi Maulana2, Haerany Sirajuddin2


1
Exploration geologist, PT. Sulawesi Cahaya Mineral, Watubangga, Baruga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara
2
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Jl. Malino No.8 F, Romang Lompoa, Kec.
Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia

* Email Korespondensi: adhesetiawansr@gmail.com

Abstrak: Secara administratif, daerah penelitian terletak pada daerah Wumbubangka dan Rau-rau,
Kecamatan Rarowatu Utara dan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara
astronomis daerah penelitian terletak pada koordinat 4o39’00” LS – 4o40’00” LS dan 121o49’00” BT –
121o54’00” BT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan himpunan mineral-mineral pada
batuan metamorf dari daerah penelitian, batuan asal/protolith, fasies metamorfisme, serta menentukan
suhu dan tekanan metamorfisme batuan metamorf pada daerah penelitian. Tahapan dalam penelitian
ini meliputi tahap pengambilan data lapangan dan tahap analisis laboratorium. Pengambilan data
lapangan dilakukan dengan pemetaan untuk memperoleh sampel litologi. Adapun metode yang
digunakan untuk analisis yang terdiri atas analisis petrografi menggunakan mikroskop polarisasi dan
analisis data geokimia dengan X-Ray Fluoresence. Data geokimia yang dianalisis termasuk unsur-unsur
utama penyusun batuan. Berdasarkan atas komposisi kimia unsur utama pada batuan metamorf yang
mengacu pada klasifikasi geokimia yang digunakan, maka protolith pada daerah penelitian termasuk
dalam kelompok gabro/basal dan granodiorit/dasit. Fasies metamorfisme pada daerah penelitian
berdasarkan atas dominasi kumpulan mineral-mineral pada batuan metamorf dan mengacu pada
klasifikasi fasies metamorfisme menunjukkan fasies sekis hijau. Berdasarkan pada identifikasi yang ada
pada batuan metamorf terbentuk pada zona epizone hingga mesozone dengan suhu berkisar 350oC –
500oC, yang dicirikan oleh kehadiran mineral-mineral, seperti klorit, muskovit, kuarsa, kalsit, biotit, dan
epidot.

Kata kunci: Batuan metamorf, Epizone, Fasies metamorfisme, Mesozone, Protolith


Abstract: Administratively, the research area belongs to Wumbubangka and Rau-rau region Rarowatu
Utara and Rarowatu District, Bombana Regency, Province of South East Sulawesi. Astronomically, it lies
at coordinate 04° 39’ 00” - 04° 40’ 00” South Latitude and 121° 49’ 00” - 121° 54’00” East Longitude. The
aim of this study was to determine the assemblage of minerals, protolith, and metamorphic facies, and
determine the temperature and pressure of metamorphism of metamorphic rocks in the study area. The
stages in this study include the field data collection and the laboratory analysis stage. Field data
collection was carried out by mapping to obtain lithology samples. The method used for the analysis
consisted of petrographic analysis using a polarizing microscope and geochemical data analysis using
X-Ray Fluorescence. The geochemical data analyzed includes the main elements of the rock. Based on
the chemical composition of the main elements in the metamorphic rock which refers to the
geochemical classification used, the protolith in the study area is included in the gabbro/basalt and
granodiorite/dacite groups. The metamorphic facies in the study area are based on the dominance of
mineral assemblages in metamorphic rocks and refers to the metamorphic facies classification showing

1|
MANUSELA JURNAL GEOLOGI
TERSEDIA ONLINE: MEI 2023 | Vol 01 No 1

greenschist facies. Based on the identification of metamorphic rocks formed in the epizone to mesozone
zones with temperatures ranging from 350oC – 500oC, which are characterized by the presence of
minerals, such as chlorite, muscovite, quartz, calcite, biotite, and epidote.

Keywords: Epizone, Mesozone, Metamorphic facies, Metamorphic Rock, Protolith

1. PENDAHULUAN
Di Indonesia, penyebaran batuan metamorf dijumpai tersebar dibeberapa daerah, diantaranya
yaitu daerah Ciletuh Jawa Barat, Karangsambung dan Bayat Jawa Tengah, Bantimala, Barru dan
Latimojong Sulawesi Selatan, Lengan tenggara dan tengah Sulawesi, P. Buton, P, Seram dan
Halmahera, dan P. Timor (Maulana, 2014).
Penemuan emas pada batuan metamorf di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara menarik
para ahli kebumian. Berdasarkan peta geologi Lembar Kolaka, Sulawesi Tenggara tidak
dijumpai adanya intrusi di sekitar kabupaten beribukota Rumbia (Kasipute). Emas di Kabupaten
Bombana bersumber dari Kompleks Pompangeo, dimana batuannya terdiri dari batuan
metamorf seperti sekis mika, sekis glukopan, sekis amfibolit, meta sedimen dan rijang berumur
Kapur Akhir - Paleosen (Simanjuntak dkk, 1993).
Kabupaten Bombana sendiri merupakan lajur malihan Sulawesi Tengah. Batuan penyusun lajur
malihan Sulawesi Tengah berupa batuan malihan bertekanan tinggi berderajat rendah, berupa
sekis, grafit filit, sabak, geneis, serpentinit, kuarsit, dan batugamping malihan. Salah satu
pegunungan tertinggi di Bombana adalah pegunungan Rumbia yang secara umum terdiri dari
batuan malihan atau metamorf yang memiliki umur Paleozoikum (Simanjuntak dkk, 1993).
Penelitian tentang batuan metamorf di Kabupaten Bombana, khususnya di areal pertambangan
pada daerah Wumbubangka dan Rau-rau secara regional sudah pernah dilakukan. Namun,
penelitian secara detail tentang petrologi dan geokimia untuk batuan metamorf di daerah
penelitian belum pernah dilakukan. Hal ini membuat penulis tertarik untuk melakukan
penelitian sehubungan dengan hal tersebut, dengan judul ”studi petrologi dan geokimia
batuan metamorf pada daerah Bombana dan sekitarnya, Kabupaten Bombana, Provinsi
Sulawesi Tenggara”.
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan studi petrologi dan geokimia batuan
metamorf pada daerah Wumbubangka dan Rau-rau, Kecamatan Rarowatu Utara dan Rarowatu,
Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara dengan menggunakan analisis petrografis
dan analisis geokimia XRF. Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu menentukan batuan asal
atau protolith dari daerah penelitian dan menentukan derajat dan tekanan metamorfisme
berdasarkan himpunan mineral pada batuan metamorf.
Daerah penelitian secara administratif terletak di Desa Wumbubangka Kecamatan Rarowatu
Utara dan Desa Rau-rau, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggra
(Gambar 1). Secara astronomis, daerah penelitian terletak pada koordinat 4 o39’00” LS –
4o40’00” LS dan 121o49’00” BT – 121o54’00” BT. Lokasi penelitian dapat ditempuh dengan
menggunakan pesawat terbang dari Makassar ke Kendari selama 45 menit, kemudian
dilanjutan perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan roda empat/dua dari Kendari
menuju ibukota Kabupaten Bombana yaitu Rumbia (Kasipute) sejauh 160 Km dengan waktu
tempuh selama 4 jam.

2|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

Gambar 1. Peta tunjuk lokasi penelitian


1.1 Geologi Daerah Penelitian
Kabupaten Bombana terletak di lengan Tenggara Sulawesi yang memanjang dari Barat Laut
hingga Tenggara yang dibentuk oleh batuan malihan dan batuan ofiolit. Daerah Bombana
termasuk dalam Peta Geologi Lebar Kolaka Sulawesi ((Simanjuntak dkk., 1993) (Gambar 2).
Morfologi di Kabupaten Bombana secara umum terdiri dari pegunungan, dan dataran, yaitu
pegunungan dan perbukitan Rumbia dan dataran rendah seperti dataran Langkowala.

3|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

Gambar 2. Peta geologi regional daerah Kabupaten Bombana (Simanjuntak dkk., 1993).

Pegunungan yang menempati bagian terluas kawasan ini yaitu Pegunungan Rumbia yang
mempunyai topografi yang sangat kasar dan kemiringan lereng yang sangat tinggi,
pegunungan dalam satuan ini memiliki pola yang hampir sejajar berarah Barat Laut - Tenggara.
Arah ini sejajar dengan struktur sesar regional di kawasan ini. Pola tersebut mengindikasikan
bahwa pembentukan morfologi pegunungan ini erat hubungannya dengan sesar regional.
Pegunungan ini dibentuk oleh batuan malihan dan memiliki bentuk morfologi yang khas yaitu,
punggung gunungnya terputus pendek-pendek dengan lerang yang bersudut tajam.
Sedangkan daerah Langkowala yang melampar luas di ujung Selatan lengan Tenggara,
merupakan dataran rendah.

Batuan penyusun terdiri atas batupasir kuarsa dan konglongmerat dari Formasi Langkowala. Di
dataran ini mengalir sungai sungai yang pada musim hujan berair melimpah sedangkan pada
musim kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan konglomerat sebagai dasar
sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah meresap masuk kedalam tanah. Sungai
tersebut diantaranya Sungai Langkowala dan Tinanggea. Batas Selatan antara Langkowala dan
Pegunungan Rumbia merupakan tebing terjal yang di bentuk sesar yang berarah hampir Barat
- Timur. Pada dataran Langkowala, terutama didekat batas tersebut, ditemukan endapan emas
sekunder (Kisman dkk., 2009).
Secara regional daerah penelitian terletak pada dua mandala geologi yaitu: Mandala Sulawesi
Timur yang ditandai oleh batuan ultra mafik, mafik, batuan malihan dan Mandala atau
Anjungan Tukangbesi - Buton yang ditandai oleh batuan sedimen pinggiran benua yang
beralaskan batuan malihan. Batuan tertua pada Mandala Geologi Sulawesi Timur adalah batuan
ultramafik yang merupakan batuan alas, terdiri dari harzburgit, serpentinit, dunit, wherlit,
gabro, diorit, basal, mafik malihan dan magnetit, diduga berumur Kapur. Batuan ini sebagai

4|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

tempat kedudukan mineralisasi nikel dan asosiasinya. Batuan malihan Kompleks Pompangeo
terdiri dari berbagai jenis sekis dan sedimen malihan serta serpentinit dan sekis glaukofan.
Batuan ini diperkirakan terbentuk dalam lajur penunjaman Benioff pada akhir Kapur Awal
hingga Paleogen (Simanjuntak dkk, 1993).

Batuan ultramafik dan batuan Kompleks Pompangeo tersebut berhubungan kontak secara
tektonik. Mandala atau Anjungan Tukangbesi - Buton berupa batuan alas malihan terdiri dari
sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit, sekis mika-ampibolit, sekis grafit dan genes berumur
Permo-Karbon. Di atasnya menindih tidak selaras Formasi Meluhu (Lembar Muna) yang terdiri
dari batugamping hablur dengan sisipan filit dan setempat sisipan kalsilutit rijangan. Kedua
formasi diperkirakan berumur Trias Akhir sampai Jura Awal. Di atas kedua Mandala yang saling
bersentuhan diendapkan secara tak selaras Formasi Langkowala yang terdiri dari batupasir dan
konglomerat yang saling menjemari, diperkirakan berumur Miosen Atas. Lingkungan
pengendapannya diduga pada laut dangkal hingga darat dengan ketebalan formasi mencapai
± 450 meter. Di atasnya menindih selaras Formasi Emoiko yang terdiri dari batugamping koral,
kalkarenit, batupasir gampingan, napal, dan formasi Boepinang yang terdiri dari batulempung
pasiran, napal pasiran dan batupasir. Kedua formasi tersebut berumur Miosen Akhir sampai
Pliosen. Di atas kedua formasi ini ditindih tak selaras oleh Formasi Alangga terdiri dari
konglomerat dan batupasir yang belum padat dan Formasi Buara terdiri dari terumbu koral,
setempat lensa konglomerat dan batupasir yang belum padat. Kedua formasi ini saling
menjemari berumur Pliosen. Satuan batuan termuda adalah endapan sungai, rawa dan
kolovium.
Aktifnya kembali Sesar Sorong yang berarah hampir Timur - Barat pada Kala Oligosen,
mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar dan kelurusan pada lengan Sulawesi Tenggara
(Simanjuntak dkk, 1993). Diantaranya Sesar Lasolo berarah Barat Laut - Tenggara merupakan
sesar geser mengiri, dan Sesar Muna berarah Barat Laut - Tenggara merupakan sesar geser
menganan.
Struktur geologi utama yang berkembang di daerah ppenelitian berupa sesar naik yang
memiliki arah umum Timur - Barat dengan bagian Selatan merupakan hanging wall yang
memisahkan satuan morfologi perbukitan di bukit Tangkeno sampai pegunungan terjal
Rumbia dengan daerah Wumbubangka yang merupakan morfologi perbukitan rendah dan
pedataran Langkowala disebelah Utara (Kisman, 2011).

2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini yaitu meliputi persiapan lapangan dan
pengolahan datadi laboratorium. Pengambilan data lapangan melalui pemetaan dengan
lintasan terbuka dan pengambilan sampel pada singkapan yang yang telah mengalami proses
alterasi dan mineralisasi yang dapat diidentifikasi dengan baik. Pengamatan di laboratorium
berupa analisis petrografi melalui sayatan tipis untuk mengetahui komposisi mineral batuan
dan analisis geokimia dengan metode XRF (X-Ray Fluorescence) untuk mengetahui komposisi
kimia dari setiap sampel yang digunakan dalam menginterpretasi batuan asal/protolith dari
batuan metamorf yang ada di daerah penelitian.

5|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

3. HASIL
Secara umum singkapan batuan daerah penelitian yang diamati terletak di daerah
Wumbubangka dan Rau-rau, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi
Tenggara merupakan batuan metamorf, yang terdiri dari 9 stasiun pengamatan lapangan
dan 6 stasiun pengamatan petrografis. Dari hasil sayatan petrografis batuan metamorf
pada daerah penelitian terdiri dari sekis epidot, sekis kuarsa, sekis muskovit, dan
metalimestone. Pengambilan sampel batuan pada daerah penelitian ini dilakukan dengan
memperhatikan ciri fisik batuan tersebut.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dengan nomor sampel ST.01/AD/RR, litologi yang
dijumpai merupakan batuan metamorf yang memiliki ciri fisik berupa warna segar abu-abu
biru sampai kehijauan, dan memperlihatkan warna coklat sampai kehitaman jika dalam
keadaan lapuk, dengan tekstur berupa lepidoblastik, struktur berfoliasi ( schistose) dengan
jurus foliasi N 65o E, 29o, dengan komposisi mineral berupa muskovit dan kuarsa, nama
batuan sekis epidot (Gambar 3).

Gambar 3. Kenampakan lapangan batuan sekis epidot.

Kenampakan petrografis dari nomor sayatan ST.01/AD/RR ini memiliki warna absorbsi putih
abu-abu, warna interferensi abu-abu kehitaman, ukuran mineral 0.08-1.6 mm, bentuk
mineral subhedral-anhedral, tekstur lepidoblastik, struktur foliasi ( schistose), komposisi
mineral terdiri dari muskovit (24%), kuarsa (25 %), klorit (17%), epidot (27%) dan mineral
opak (7%), dengan nama batuan sekis epidot (Travis, 1955) (Gambar 4).

6|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

Gambar 4.Kenampakan mikroskopis sekis epidot nomor sayatan ST.01/AD/RR

4. DISKUSI
Untuk menunjang identifikasi batuan dari hasil analisis petrografi, terutama penentuan batuan
asal atau protolith daerah penelitian sebelum mengalami proses metamorphism akibat suhu
dan tekanan, maka dilakukan analisis kimia terhadap sampel batuan. Untuk keperluan tersebut,
dilakukan analisis terhadap beberapa sampel batuan yang dianggap mewakili penyebaran
batuan di lapangan yaitu pada stasiun ST.01/AD/RR, ST.05/AD/RR, dan ST.09/AD/PLM. Batasan
untuk pembahasan kimia batuan metamorf ini adalah hanya dilakukan analisis terhadap unsur
utama (major element).

Berdasarkan hasil dari klasifikasi AFM menurut (Irvine dan Baragar, 1971), dimana pada
klasifikasi ini membedakan antara calc-alcaline and theolitic series, dimana yang terdiri atas 3
senyawa yaitu A = Na2O + K2O, F = FeO, dan M = MgO. Hasil ploting dari klasifikasi ini
menghasilkan data dan digram yang memperlihatkan bahwa daerah penelitian mempunyai
sifat magma yang bersifat calc-alcaline series (Gambar 5).

Penentuan nama batuan asal/protolith dari batuan metamorf ini, yaitu sekis epidot pada nomor
sampel ST.01/AD/RR dan sekis kuarsa pada nomor sampel ST.05/AD/RR pada daerah
penelitian, menggunakan klasifikasi diagram TAS menurut Cox et. al., 1979. Klasifikasi ini
didasarkan atas unsur SiO2 dan Na2O + K2O, dimana berdasarkan dari hasil data analisis
geokimia yang kemudian diploting, bahwa nomor sampel ST.01/AD/RR menunjukkan batuan
asalnya sebelum mengalami proses metamorfisme berupa batuan yang bersifat basaltik dan

7|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

nomor sampel ST.05/AD/RR menunjukkan batuan asalnya sebelum terjadi proses


metamorfisme berupa batuan yang bersifat dasitik (Gambar 6).

Gambar 5. Ploting data pada Klasifikasi AFM

Gambar 6 Diagram TAS yang menunjukan batuan bersifat basaltik dan dasitik

Fasies metamorfisme didasarkan atas dominasi mineral penyusunnya yang ditentukan pada
salah satu mineral penyusun yang tetap pada kondisi metamorfisme tertentu. Dengan kata lain
terbentuk pada kondisi tekanan dan temperatur metamorfisme tertentu yang bekerja selama
proses metamorfisme.
Fasies metamorfisme pada daerah penelitian ditentukan atas dasar dominasi kumpulan
mineral-mineral penyusunnya (Tabel 1) seperti mineral muskovit, klorit, epidot, kuarsa, aktinolit

8|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

dan biotit dari batuan metamorf hasil analisis petrografi yang dilakukan pada nomor sampel
ST.01/AD/RR, ST.03/AD/RR, ST.04/AD/RR, ST.05/AD/RR, ST.08/AD/PLM, dan ST.09/AD/PLM
yang dapat mengindikasikan temperatur dan tekanan pembentukannya. Berdasarkan hal
tersebut serta mengacu pada klasifikasi fasies metamorfisme yang digunakan, yaitu klasifikasi
yang dikemukakan oleh Bucher dan Frey (1994), maka fasies metamorfisme yang berkembang
pada daerah penelitian termasuk dalam fasies sekis hijau.
Tabel 1. Komposisi mineral penyusun sampel batuan dari daerah penelitian

Pada daerah penelitian, fasies metamorfisme ini ditandai dengan hadirnya mineral klorit dan
mineral epidot pada sampel sayatan petrografis. Pada daerah Rau-rau dengan nomor sampel
ST.01/AD/RR, ST.03/AD/RR, ST.04/AD/RR, dan ST.05/AD/RR, serta pada daerah Wumbubangka
dalam kawasan PT. Panca Logam Makmur dengan nomor sampel ST.08/AD/PLM, dan
ST.09/AD/PLM, mineral klorit dan epidot dijumpai pada pengamatan petrografis yang
memperlihatkan warna hijau yang kemudian menjadi ciri khas dari batuan metamorf yang
terbentuk pada fasies ini yaitu fasies sekis hijau.
Berdasarkan hasil pengamatan petrografis pada sayatan nomor sampel sampel ST.01/AD/RR,
ST.03/AD/RR, ST.04/AD/RR, ST.05/AD/RR, ST.08/AD/PLM, dan ST.09/AD/PLM, dapat
diinterpretasikan sampel batuan tersebut menujukkan fasies metamorfisme greenschist
(metabasic rock) yang yang dipengaruhi oleh temperatur sekitar 350oC - 500oC dan pada
tekanan sekitar 2 - 9 kbar berasarkan hasil plot pada klasifikasi Yardley (1989) (Gambar 7).

9|
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

Gambar 7. Hubungan antara temperatur dan tekanan pada pembentukan fasies metamorfisme menurut
Yardley (1989)

Berdasarkan kumpulan mineral-mineral yang menyusun batuan metamorf ini, maka dapat
diinterpretasikan bahwa batuan ini termasuk dalam metamorfisme regional yang dipengaruhi
oleh tekanan dan temperatur yang bekerja secara bersama-sama sehingga memungkinkan
terbentuknya penjajaran mineral (foliasi) yang jelas pada batuan. Berdasarkan pada identifikasi
mineral-mineral yang ada pada batuan metamorf ini, maka batuan ini terbentuk pada zona
epizone hingga mesozone dengan suhu pembentukan 350oC - 500oC dengan merujuk pada
klasifikasi (Bucher & Frey, 1994) (Tabel 2). Pembentukan batuan metamorf pada zona ini
dicirikan oleh kehadiran mineral-mineral seperti muskovit, klorit, epidot, aktinolit, kuarsa, biotit,
kyanit dan mineral kalsit.

Tabel 2 Pembagian zona pada metamorfisme regional berdasarkan tekanan dan


temperaturnya (Bucher & Frey, 1994).

10 |
Studi Petrologi dan Geokimia Batuan Metamorf Saputra dkk.

5. KESIMPULAN
Keterdapatan mineral-mineral yang menyusun batuan metamorf daerah penelitian terdiri dari
mineral muskovit, aktinolit, kuarsa, klorit, epidot, biotit, kyanit, kalsit dan mineral opak. Batuan
metamorf yang dijumpai berupa sekis muskovit, sekis epidot dan sekis kuarsa dengan tekstur
lepidoblastik, sedangkan untuk metalimestone bertekstur blasto porfiritik dan struktur foliasi
(schistose). Batuan asal atau protolith pada ST.01/AD/RR menunjukkan batuan yang bersifat
basaltik dan nomor sampel ST.05/AD/RR menunjukkan yang bersifat dasitik. Fasies
metamorfisme yang berkembang pada daerah penelitian termasuk dalam fasies sekis hijau.
Berdasarkan identifikasi mineral-mineral yang ada pada batuan metamorf pada daerah
penelitian, maka batuan tersebut terbentuk pada zona epizone hingga mesozone dengan suhu
pembentukan 350oC - 500oC dan dengan tekanan 2 - 9 kbar, yang dicirikan oleh kehadiran
mineral-mineral klorit, muskovit, epidot, aktinolit, kuarsa dan biotit.

REFERENSI
Bucher, K., and Frey, M., 1994. Petrogenesis of Metamorphic Rocks, Berlin, Germany.
Cox, K.G., 1979. The Interpretation Of Igneous Rocks. George Allen & Unwin.
Irvine, T.N., and Baragar W.R.A., 1971. A Guide To The Common Volcanic Rocks. Journal Of
Petrology 42, 2033-2048. Canadian.
Kisman., Ernowo., dan Suwargi, E., 2009, Prospeksi Endapan Emas di Daerah Bombana Sulawesi
Tenggara, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Kisman., 2011. Keterdapatan Mineralisasi Emas yang Berasosiasi Dengan Sinabar di Kecamatan
Rarowatu Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara, Pusat Sumber Daya Geologi,
Bandung. Buletin Sumber Daya Geologi Volume 6 Nomor 2 – 2011.
Maulana, A., 2014. Buku Ajar Petrologi, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia.
Unpublished
Mason, R., 1990. Petrology of the Metamorphic Rock, The Academic Division of Unwin Human
Ltd, London, UK.
Simanjuntak, T.O., Surono., dan Sukido., 1993. Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi, sekala 1
: 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Travis, R.B., 1955. Classification of Rock, Vol. 50, No. 1, Colorado School of Minens, Goldon
Colorado, USA, 1 – 12p.
Yardley., Bruce W.D., 1989. An Introduction to Metamorphic Petrology, John Wiley and Sons.,
New York.

11 |

Anda mungkin juga menyukai