Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikologi Konseling merupakan salah satu cabang ilmu Psikologi. Psikologi


berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu,
secara etimologi dapat diartikan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa,
namun karena jiwa tersebut tidak tampak secara fisik atau bersifat abstrak, maka yang
dapat dikaji dari psikologi adalah perilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan
manifestasi dari kehidupan jiwa itu sendiri, termasuk gejala, proses, dan latar
belakangnya.

Sedangkan konseling berasal dari bahasa Latin yaitu consilium yang artinya
adalah dengan atau bersama yang dirangkai bersama menerima atau memahami. Secara
umum Konseling merupakan suatu proses bekerja dengan orang banyak, dalam suatu
hubungan yang bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis,
bimbingan atau pemecahan masalah. Pada hakekatnya psikologi konseling menunjuk
pada studi ilmiah mengenai aspek- aspek psikis yang terlibat dalam proses konseling,
yaitu aspek psikis pada konselor, klien dan pada interaksi antara konselor dengan klien
(Mappiare, 2006) . Berkaitan dengan hal ini Nelson, 1982 (dalam Surya, 2003),
mengemukakan ada empat alasan bahwa konseling merupakan proses psikologis yaitu:

1. Dilihat dari tujuannya, rumusan tujuan konseling itu adalah berupa pernyataan yang
mengambarkan segi-segi psikologis (perilaku) dalam diri klien.

2. Dilihat dari prosesnya, seluruh proses konseling merupakan proses kegiatan yang
bersifat psikologis.

3. Dilihat dari teori atau konsep, konseling bertolah dari teori-teori atau konsep- konsep
psikologis.

4. Dilihat dari riset, hampir semua penelitian dalam bidang konseling mempunyai
singgungan dengan penelitian dalam bidang psikologi.
Banyak fakta dan data yang membuktikan bahwa konselor merupakan salah satu
profesi yang memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan dan medis. Konselor
dibutuhkan bagi setiap institusi pendidikan guna mengarahkan dan membina para
penuntut ilmu agar sehat secara mental serta mencegah terjadinya berbagai gejala
kejiwaan. Dalam hal ini psikologi konseling sebagai ilmu utama bagi konselor memiliki
andil penting terhadap pembangunan sikap dan profesionalitas konselor.

Profesionalitas konselor dibutuhkan agar ketika melakukan konseling dapat


berjalan lancar dan sesuai dengan akidah-akidah konseling. Dalam hal ini dibutuhkanlah
profesional konseling, agar dapat diketahui apa saja standar kompentensi seorang
konselor atau etika dan perilaku seorang konselor.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Standar kompetensi seorang konselor?
2. Bagaimanakah Perilaku dan pribadi konselor?
3. Bagaiamana Etika profesional konselor?
4. Bagaimanakah Agama dan Keyakinan Dalam Konseling?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun mengenai tujuan pembahasan dari makalah ini adalah agar bisa memberikan
penjelasan dan wawasan mengenai materi profesional konseling kepada masyarakat
umum dan mahasiswa, khususnya mahasiswa psikologi. Kemudian, diharapkan makalah
ini dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia melalui
bidang Psikologi. Lebih lanjut, makalah ini juga bisa menjadi rujukan bagi peneliti
ataupun bagi para penuntut ilmu, memperkaya literatur dunia, serta berguna bagi bangsa
dan negara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Standar Kompetensi Seorang Konselor


Perumusan Standar Kompetensi Konselor di Indonesia dimulai sebelum tahun 2004. Pada
tahun 2004/2005 ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), yang
bernanggotakan para guru bimbingan dan konseling, melakukan kajian intensif mengenai
Standar Kompetensi yang harus dimiliki seorang konselor. ABKIN melakukan kongres di
Semarang pada bulan April 2004 yang menghasilkan keputusan penetapan SKKI (Standar
Kompetensi Konselor Indonesia). Kemudian ABKIN menata ulang SKKI sebagai naskah
yang diusulkan kepada pemerintah, sehingga lahirlah Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor, yang diberlakukan sejak tanggal 11 Juni 2008.
Dimana menurut peraturan tersebut, konselor adalah lulusan S-1 Bimbingan dan
Konseling dan lulus PPK (Pendidikan Profesi Konselor) dari LTPK yang diberikan izin
untuk menyelenggarakan program ini oleh pemerintah (Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional).
Konselor wajib memiliki kompetensi akademik konselor, melalui proses pendidikan
formal jenjang S-1 di bidang Bimbingan Konseling, yang dibuktikan dengan
penganugerahan ijazah akademik Sarjana Pendidikan (S.Pd.) bidang Bimbingan dan
Konseling. Adapun kompetensi professional merupakan penguasaan kiat
penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan serta
diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah diperoleh dalam
konteks pendidikan profesi konselor yang berorientasi pada pengalaman dan kemampuan
praktik lapangan.
Keutuhan kompetensi profesional mencakup: (1) memahami secara mendalam konseli
yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
(3) menyelenggarakan pepelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan
(4) mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5) yang dilandasi
sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.

B. Perilaku dan Pribadi Konselor


Menjadi seorang konselor yang baik, yaitu konselor yang efektif perlu untuk mengenal
diri sendiri, mengenal konseli, memahami maksud dan tujuan konseling, serta menguasai
proses konseling. Idealnya pribadi konselor dapat mengaktualisasikan diri menjadi
pribadi yang bijak dan berorientasi humanistic, peduli terhadap tuntutan profesi.
Terdapat sejumlah perilaku yang perlu diperhatikan konselor saat melakukan konseling.
Misalnya, batas sentuhan dengan konseli yang memiliki jenis kelamin berbeda. Hal ini
berkaitan erat dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dimana sebagian klien
mungkin menemukan bahwa melakukan sentuhan jasmaniah dengan lawan jenis
merupakan sesuatu yang tidak tepat. Namun, sebagian lagi menganggap bahwa hal
tersebut merupakan suatu isyarat yang bersahabat.
Beberapa karakteristik kepribadian menurut Wilis:
a. Beriman dan bertakwa
b. Menyenangi manusia
c. Komunikator yang terampil
d. Pendengar yang baik
e. Memiliki ilmu yang luas
f. Menjadi narasumber yang kompeten
g. Fleksibel, tenang, dan sabar
h. Menguasai keterampilan atau teknik
i. Memiliki intuisi
j. Memahami etika profesi
k. Jujur, respek
l. Empati
m. Fasilitator dan motivator
n. Memiliki kestabilan emosi
o. Memiliki pikiran yang jernih
p. Objektif, logis
q. Konsisten dan tanggung jawab

Sementara itu, ABKIN merumuskan bahwa salah satu komponen standar kompetensi
yang harus dijiwai dan dimiliki oleh konselor adalah mengembangkan pribadi dan
profesionalitas secara berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi: 1) beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) menunjukkan integritas dan stabilitas
kepribadian yang kuat; 3) memiliki kesadaran diri dan komitmen terhadap etika
profesional; 4) mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat tugas dan secara
eksternal antarprofesi; dan 5) berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan
dan konseling.

C. Etika profesional konselor


Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang berarti karakter, watak kesusilaan
atau adat. Etika merupakan suatu konsep, aturan, tingkah laku dan tindakan dalam setiap
individu yang sesuai dengan standar di setiap masyarakat. Sedangkan profesional
merupakan orang yang memiliki profesi atau pekerjaan yang dilakukan dengan memiliki
kemampuan yang tinggi dan berpegang teguh kepada nilai moral yang mengarahkan serta
mendasari perbuatan, dan jelas konselor ialah sebutan bagi orang yang melakukan
konseling.
Dapat disimpulkan bahwa etika profesional konseling ialah perilaku, aturan, dan
standar bagi konselor agar berpegang teguh kepada nilai moral dan memiliki kemampuan
yang tinggi dalam profesinya, serta menjadi rujukan dalam memberikan layanan
konseling. Umtuk dasar kode etik konselor di Indonesia yaitu antara lain mencakup
pancasila dan tuntutan profesi yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien
sesuai dengan norma yang berlaku. Sedangkan untuk kegiatan profesional konselor yaitu
menggali informasi, melakukan testing dan riset, memberikan layanan kepada klien, serta
konsultasi dan melakukan hubungan dengan rekan sejawat.
Aktivitas bimbingan dan konseling, pada dasarnya, merupakan interaksi timbal-
balik, yang di dalamnya terjadi hubungan saling mempengaruhi antara konselor sebagai
pihak yang membantu dan klien sebagai pihak yang dibantu 1. Aspek kunci lain dalam
proses konseling yang efektif adalah hubungan konseling, yaitu kualitas hubungan
konselor dengan konseli. Carl Rogers (Sukartini, 2010: 21). Pentingnya kualitas
hubungan konselor dengan klien ditunjukkan melalui kemampuan konselor dalam
kongruensi (congruence), empati (empathy) perhatian secara positif tanpa syarat
(unconditional positive regard), dan menghargai (respect) kepada klien. Dalam hal ini
akan dibahas mengenai kongruensi.

1. Kongruensi
Kongruen adalah suatu tingkah laku yang sesuai dengan citra diri sendiri,
konselor yang memiliki kualitas kongruen, adalah konselor dalam sikap dan
perilakunya menunjukkan keaslian, baik secara pribadi maupun professional.
Konselor tidak berpura-pura menutupi kekurangan dirinya, sangat penting dalam
proses konseling, terkait dengan upaya menumbuhkan kepercayaan klien kepada
konselor.
Konselor yang menunjukan sikap kongruen diharapkan akan mendorong klien
untuk bersikap yang sama, sehingga penggalian masalah dapat dilakukan secara
efektif. Hal ini relevans dengan pendapat Dimick dan Huff (dalam Latipun, 2010),
bahwa kongruensi dapat diartikan sebagai “menunjukkan diri sendiri” sebagaimana
adanya dan yang sesungguhnya, berpenampilan secara terus terang, ada kesesuaian
antara apa yang dikomunikasikan secara verbal dengan yang non verbal.

2. Konfidensialitas
Menurut Caroll, kerahasiaan (konfidensialitas) berhubungan dengan pengendalian
informasi yang diterima dari sesorang. Informasi dikatakan konfidensialsial jika
dianggap tidak perlu diketahui pihak lain, sehingga tidak perlu disampaikan ke
publik. Konselor bertanggungjawab menjaga kerahasiaan ini untuk menjaga
kepercayaan klien terhadapnya serta menjaga perlindungan rasa aman klien. Konselor

1
Putri, Amalia.” Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling Untuk Membangun Hubungan Antar
Konselor Dan Konseli” Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia. Vol. 1, No. 1, Maret 2016. (Hal 2)
bertanggungjawab adalah menentukan batas- batas kerahasiaan yang mencakup
tingkat kerahasiaan yang dapat dijanjikan2.
Dalam hal ini konselor dituntut untuk merahasiakan segenap data dan keterangan
tentang klien yang menjadi sasaran layanan, data atau keterangan tidak boleh dan
tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini pula konfidensialitas bertujuan untuk
memastikan semua data dan keterangan itu kerahasiaannya benar-benar terjamin.
Adapun terdapat berbagai sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor, antara
lain:
1. Tingkah laku yang etis
2. Kemampuan intelektual
3. Keluwesan (terbuka dan tidak kaku)
4. Seikap penerimaan klien
5. Pemahaman terhadap masalah klien
6. Peka terhadap rahasia pribadi
7. Komunikasi yang baik

D. Agama dan Keyakinan Dalam Konseling

Keyakinan terhadap suatu agama memang sudah tertanam di dalam diri manusia
sejak lahir, sehingga agama dan keyakinan memiliki peranan yang sangat krusial
bagi setiap individu. Agama merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi keagamaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu, karena agama merupakan cerminan
ataupun pedoman perilaku manusia. Sangatlah penting untuk memahami landasan
agama secara baik karena konselor tak hanya mengarahkan klien menggunakan ilmu
pengetahuan semata, melainkan turut juga menggunakan aspek keagamaan agar klien
dapat bertingkah laku dan bersikap layaknya agama yang dianutnya.

Menurut Walsh, agama biasanya didefinisikan sebagai “suatu sistem


kepercayaan yang terorganisir dan terlembagakan yang memiliki seperangkat praktek
dan ritual keagamaan serta adanya masyarakat yang mengimani sistem kepercayan
2
Amora Lumongga Lubis, Memahami Dasar- Dasar Konseling dalam Terori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011),
hal 243
tersebut. Dalam sistem kepercayaan, meliputi pula “nilai-nilai moral bersama yang
terlembagakan, ritual peribadatan, keterlibatan dalam komunitas keagamaan dan
yang paling utama adalah adanya kepercayaan kepada Tuhan atau kekuatan
supranatural di luar kemampuan manusia. Melalui ajaran agama dan kitab sucinya,
agama memberikan standarisasi dan aturan guna mencapai kesalehan individu,
membangun hubungan baik dengan orang dan mahluk lainnya, dan membangun
keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah sesuai yang diajarkan oleh agama
(Walsh, 2009)3.

Iman dan keyakinan merupakan representasi dari pandangan klien tentang


makna dan nilai kehidupan, dengan demikian iman dan keyakinan ini dapat
digunakan oleh konselor dalam membantu menentukan tahap perkembangan klien.
Sebab itulah agama dan keyakinan memiliki peranan penting terhadap konselor.
Meskipun begitu konselor wajib memperhatikan batasan-batasan dari intervensi
agama dan keyakinan ini, ada beberapa situasi tertentu yang tidak cocok untuk
melibatkan pendekatan spiritual atau agama dalam proses konseling.

Potensi yang dimiliki agama dan spiritual dalam memberikan konsep kekuatan
klien melalui agama dan keyakinan. Pendekatan agama dan spiritual dipandang
relevan untuk praktik konseling oleh karena itu profesi konseling melibatkan peranan
spiritual dan agama dalam proses konseling. Kondisi ini menuntut agar konselor juga
memahami agama dan spiritual dan hal ini tentu saja akan memaksa konselor untuk
belajar lebih banyak lagi tentang agama dan spiritualitas klien mereka.

3
Rofiqo, Aris. “Relevansi agama dan spiritual dalam konseling” JCOSE Jurnal Bimbingan dan Konseling. Vol. 1, No.
2, April 2019.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menjadi seorang konselor yang baik, yaitu konselor yang efektif perlu untuk mengenal
diri sendiri, mengenal konseli, memahami maksud dan tujuan konseling, serta menguasai
proses konseling. Idealnya pribadi konselor dapat mengaktualisasikan diri menjadi
pribadi yang bijak dan berorientasi humanistik, peduli terhadap tuntutan profesi. Dimana
konselor harus memperhatikan perilaku dan pribadinya.
Standar kompetensi konselor profesional mencakup: (1) memahami secara mendalam
konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan
konseling, (3) menyelenggarakan pepelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan, dan (4) mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5)
yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
Seorang konselor harus selalu memperhatikan kode etik professional. Etika profesional
konseling ialah perilaku, aturan, dan standar bagi konselor agar berpegang teguh kepada
nilai moral dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam profesinya, serta menjadi
rujukan dalam memberikan layanan konseling.
Selain itu sangatlah penting untuk memahami landasan agama secara baik karena
konselor tak hanya mengarahkan klien menggunakan ilmu pengetahuan semata,
melainkan turut juga menggunakan aspek keagamaan agar klien dapat bertingkah laku
dan bersikap layaknya agama yang dianutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Charlani, Tyas. (2018). Identifikasi Karakteristik Konselor yang Diinginkan Peserta Didik

Sekolah

Menengah Atas Negeri Sekecamatan Gondokusuman Yogyakarta. Jurnal Riset

Mahasiswa

Bimbingan dan Konseling. 4(10)

Hartono dan Boy Soedarmadji. (2012). Psikologi Konseling Edisi Revisi. Jakarta: Kencana.

Latipun. (2001). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press

Nursyamsi. (2017). Kepribadian konselor efektif. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan

Konseling Islami. 3(2).

Putri, Amalia. (2016) Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling Untuk
Membangun

Hubungan Antar Konselor Dan Konseli. Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia. 1(1).

Rofiqo, Aris. (2019). Relevansi Agama dan Spiritual Dalam Konseling. JCOSE Jurnal
Bimbingan

dan Konseling. 1(2).

Anda mungkin juga menyukai