Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Sikap
Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, positif atau
negatif terhadap berbagai keadaan sosial baik institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan
sebagainya (Bunga, Aswari, & Djanggih, 2018). Menurut Febrian (2013), sikap profesional
seorang konselor adalah kecenderungan yang menunjukkan bahwa dia adalah konselor yang
memiliki sikap profesional, sikap yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional.
b. Secara terus-menerus berupaya untuk mengembangkan dan menguasai dirinya.
c. Harus mengerti dan memahami kekurangan dan prasangka-prasangka pada diri konselor.
d. Bertanggungjawab terhadap saran dan peringatan yang diberikan dari rekan seprofesi.
e. Mengupayakan mutu kerja setinggi mungkin.
f. Terampil dalam menggunakan teknik-teknik khusus yang dikembangkan atas dasar wawasan
yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.
g. Peduli terhadap identitas professional dan pengembangan profesi
h. Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan personal dan profesional.
i. Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli.
Seorang profesional tentu saja akan menerapkan keahlian yang dimilikinya kepada
masyarakat. Penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan keahlian ini tentu akan sangat
merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu etika profesi yang dalam hal ini
bertindak sebagai “self control”. Karena seorang professional mendapatkan keahliannya
melalui proses pendidikan berkualitas tinggi, maka pembentukan etika profesi juga harus
dilakukan oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Inilah yang menyebabkan timbulnya
organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal
ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi.
Menurut Farozin (2008), sikap profesional yang dimaksudkan disini adalah:
a. Sikap terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain: memahami,
mentaati, loyal dan melaksanakan
b. Sikap terhadap organisasi profesi bimbingan dan konseling yaitu Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) antara lain terdaftar sebagai anggota, menjaga nama baik, dan
berpartisipasi terhadap program kerja.
c. Sikap terhadap teman sejawat antara lain: saling menghormati, menjaga, bekerja sama dan
saling membantu.

1
d. Sikap terhadap konseli antara lain: unik, dinamis, memperlakukan secara manusiawi dan
memfasilitasi tercapainya kemandirian
e. Sikap terhadap tempat kerja antara lain: merasa senang, menciptakan hubungan kerja
harmonis dan sinergis, serta menjaga kenyamanan.
f. Sikap terhadap pimpinan tempat kerja antara lain: memahami arah kebijakan, loyal, mentaati,
dan menghormati.
g. Sikap terhadap pekerjaan antara lain: senang, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas
profesi seiring sejalan beribadah, menyesuaikan kemampuan dengan kebutuhan konseli,
meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas profesi.

B. Konsep Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (kata tunggal) yang berarti: tempat tinggal, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta, etha,
yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertianya dengan moral. Moral
berasal dari kata latin: Mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup (Nata, 2012).
Menurut (Bertenz, 2017) etika memiliki dua arti. Praktis dan reflektif. Pada kenyataannya,
etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipraktikkan atau tidak dipraktikkan
ketika seharusnya. Etika praktis berarti moralitas dan hal yang sama dengan moralitas: apa
yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus dilakukan dengan benar,
dan sebagainya. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.
Etika manusia dimanifestasikan dalam persepsi moral, termasuk keyakinan bahwa "itu
benar, bukan sesuatu." Perasaan baru bahwa salah melakukan apa yang dia yakini salah
menyimpang dari norma moral dan harga diri ketika dia pergi. Tindakan yang dia ambil harus
menjadi tanggung jawabnya sendiri. Demikian pula sikapnya terhadap orang lain ketika
karyanya bersifat merusak atau sebaliknya dipuji (Badroen, 2011).
Corey (dalam Mohd Ishak, Amat, & Abu Bakar, 2012) menjelaskan ada lima prinsip dasar
mengenai etika yang merupakan bagian dari sebuah pemberian bantuan yang berfungsi untuk
meningkatkan etika seorang konselor hingga menuju level profesional. Kelima prinsip dasar
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, otonomi. Prinsip ini menunjukkan kebebasan seorang untuk memilih seorang
konselornya dalam menghadapi masalahnya dan promosi seorang konselor dengan
menunjukkan keunikannya melalui metode konselingnya. Prinsip ini didasarkan kepada teori
humanistik yang dipelopori oleh Carl Rogers. Dalam melihat dampak dari otonomi ini,
konselor harus mempunyai keilmuan yang benar akan kliennya untuk memilih dan melakukan
pemberian bantuan sesuai harapannya, dan seorang konselor profesional harus menunjukkan
jalan yang terbaik dalam penyelesaian suatu masalah (Nuzliah & Siswanto, 2019).
Kedua, tidak melanggar kode etik sebagai seorang konselor dan klien. Seorang konselor
profesional harus berusaha untuk menghindari resiko dari proses konseling yang dilakukan,
baik masalah fisik, emosi, dan psikologis, atau tingkah laku yang berpotensi menyinggung diri

2
klien. Konselor harus berhati-hati dalam memberikan bantuan (treatment) kepada seorang
klien.
Ketiga, dengan penuh kasih sayang. Prinsip ini menjelaskan bahwa melalui proses konseling
mampu menghasilkan kondisi yang lebih baik bagi seorang klien. Secara alami, proses
konseling profesional menghasilkan perubahan pada klien menggunakan pendekatan
budayanya (Faiz, Dharmayanti, & Nofrita, 2018).
Keempat, menggunakan prinsip keadilan. Keadilan ini berarti bahwa setiap proses konseling
yang dilakukan kepada setiap klien harus sama, tanpa membedakan faktor apapun (Savitri &
Purwaningtyas, 2020). Setiap orang apapun jenis kelamin, umur, asal, atau difabel secara
umum harus diberikan akses yang sama dalam pelayanan konseling.
Kelima, dengan menggunakan kesetiaan. Kesetiaan berarti bahwa seorang konselor yang
profesional harus memberikan janji yang benar dan tidak memberikan janji palsu artinya harus
berkomitmen dalam pelayanannnya. Artinya dalam proses konseling yang dilakukan dengan
penuh keterbukaan antara konselor dan klien. Mengaplikasikan kelima prinsip ini untuk
mencapai keprofesionalan dari seorang konselor merupakan tugas yang tidak mudah,
khususnya kepada klien yang berbeda budaya. Dengan kesuksesan mengaplikasikan semua
prinsip ini maka akan dicapai level profesionalitas praktisi konselor.

C. Profesionalisme dalam BK
Menurut teori ini, profesionalisme dan etika profesi dapat mempengaruhi kinerja auditor
yang dapat diperkuat atau diperlemah oleh adanya struktur audit. Menurut Kalbers dan Fogaty,
1995:72 Profesi dan profesionalisme merupakan dua hal yang berbeda. Profesi merupakan
jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu
atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau
tidak. Vroom (1964) mengemukakan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh
profesionalisme dan motivasi kerja merupakan kemauan individu untuk menggunakan usaha
yang tinggi dalam upaya mencapai tujuan-tujuan perusahaan dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Apabila tuntutan kerja yang dibebankan pada individu tidak sesuai dengan
kemampuannya (ability) maka kinerja yang diharapkan akan sulit tercapai.
Adapun upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme sebagai guru Bimbingan dan
Konseling adalah sebagai berikut:
1. Memahami diri sebagai tenaga profesional Bimbingan dan Konseling.
Seseorang sebelum dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan diri sendiri sebagai
seorang konselor, seseorang hendaklah dengan kritis dan jujur menilai dirinya, terutama
tentang apakah memang kemauannya cukup kuat untuk secara bertanggung jawab membantu
orang lain.
Konselor yang membantu orang lain tetapi dengan maksud agar konselor itu dapat
menghindarkan diri dari masalah-masalahnya sendiri, akan kurang efektif. Bahkan, jika klien
tidak berhasil menghayati secara baik pribadi konselor (dan jika konselor tiedak membuka
dirinya seterbuka mungkin), maka klien tidak akan pernah memperkembangkan sikap

3
mempercayai secara penuh dan mantap terhadap konselor, padahal kepercayaan yang penuh
dan mantap ini amat diperlukan untuk suatu konseling yang efektif.
Demikian juga halnya, konselor yang mendorong kliennya untuk percaya saja kepada
konselor, karena hal itu menyenangkan konselor atau menjadikan konselor merasa mempunyai
kedudukan tertentu dan dapat melakukan pengawasan terhadap klien-nya, akan segera
menyadari bahwa konselor itu hanya akan memiliki satu jenis klien saja (yaitu klien yang
pribadinya mau ”dikuasai”) dan klien-klien yang lain akan menghindarinya dan menolak
tingkah lakunya yang bersifat mengawasi .
2. Melakukan Pengembangan diri sebagai tenaga profesional Bimbingandan Konseling.
Guru BK atau Konselor harus memiliki profesionalisme didalam menjalankan profesinya.
Profesionalisme menunjuk kepada komitmen Guru BK atau Konselor sebagai anggota profesi
untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-
strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
Wujud dari profesionalisme Guru BK atau Konselor yaitu melakukan profesionalisasi diri
untuk dapat melaksanakan kinerja yang bermutu sesuai dengan sifat, tugas dan kegiatannya.
Profesionalisasi merupakan tuntutan untuk memenuhi amanat UU Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen; dan PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal 1 butir 1, Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 6 menyebutkan bahwa pendidik
adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya,
serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Profesionalisasi menunjuk kepada proses peningkatan kualifikasi dan kompetensi Guru BK
atau Konselor sebagai anggota profesi dalam mencapai kriteria standar dan dalam kinerjanya
menjalankan tugas utama profesi. Profesionalisasi merupakan proses yang berlangsung:
sepanjang hayat, dan tanpa henti.
Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan
keprofesionalan berkelanjutan, baik dilakukan melalui: pendidikan/latihan prajabatan (pre-
service training); maupun pendidikan/latihan dalam jabatan (in-service training).
Profesionalisasi merupakan keharusan bagi setiap orang yang menjalankan profesi, agar
dapat memenuhi tuntutan standar profesi. Oleh karena itu Guru BK atau Konselor harus
mempunyai komitmen yang tinggi dalam upaya untuk meningkatkan kualifikasi dan
kemampuan profesionalnya untuk mencapai standar profesi yang ditetapkan.

D. Etika Dan Profesionalisme Konselor


Konselor memahami definisi dari etika dan profesionalisme konselor dan menganggap
bahwa etika profesi merupakan hal yang penting bagi seorang konselor agar menjadi konselor
yang profesional. Konselor yang profesional adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus
dalam pelayanan konseling dan merupakan seorang tenaga pendidik yang memiliki tugas

4
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling serta menjalankan profesinya dengan
berpedoman pada kode etik yang berlaku.
Sedangkan etika konselor diatur dalam kode etik konselor yang menjadi rujukan atau aturan
untuk profesi konselor dalam bertingkah laku dan bekerja. Kode etik juga merupakan hal yang
sangat penting untuk melindungi anggota profesi dan juga kepentingan publik (konseli dan
lingkungan). Etika yang harus dimiliki oleh seorang konselor profesional yaitu kepribadiannya
yang baik, menjaga asas kerahasiaan, memiliki asas kesukarelaan, konselor juga harus
memiliki rasa tanggung jawab terhadap klien dan dirinya sendiri.
Dalam proses konseling yang dilakukan, konselor selalu berupaya untuk berpegangan pada
pedoman dan norma-norma yang ada di dalam budaya konseling serta berupaya merawat diri
agar tidak melenceng dari asas-asas yang telah ditetapkan untuk konselor. Pada fakta
dilapangan, konseling yang mereka lakukan dilapangan terdapat kesulitan dalam proses
memahami nilai-nilai budaya konseli yang berbeda dengan mereka walaupun demikian, harus
tetap disikapi dengan baik. Konselor juga terlihat berupaya untuk upgrading keilmuannya
berkaitan dengan keilmuannya sebagai seorang konselor dengan mengikuti seminar.

E. Profesionalisme Guru BK dalam Tinjauan Epistemologi dan Etik


1. Profesionalisme Guru BK dalam Epistemologi
Epistemologis merupakan penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori
epistema. Epistema —bahasa Yunani Kunonya, epistémé, atau bahasa Inggerisnya,
epistemic— adalah teori pengetahuan tentang: (a) asal-usul, (b) anggapan, (c) karakter, (d)
rentang, dan (e) kecermatan, kebenaran atau keabsahan pengetahuan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode
deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Dengan kamajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, Gregory Bateson menilai kemajuan ini cenderung
memperbudak manusia akibat dari kesalahan epistemologi barat dan ini harus diluruskan.
Profesionalisme profesi bk dalam epistemologi dapat dilihat berdasarkan:
a. Mengetahui Asal Usul BK ( Bimbingan Konseling )
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya
Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah.
Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang
tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP
Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP
Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado.
Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola
Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya

5
Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan
Penyuluhan. Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan
Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari
tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan
Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989
dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru
dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut
ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
b. Mengetahui Anggapan Mengenai BK
Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater
Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat
incidental Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja. Bimbingan dan
Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.
c. Berkarakter professional
BK ( Bimbingan dan Konseling ) merupakan suatu wadah untuk menyelesaikan masalah
seseorang atau kelompok sampai masalah tersebut memang betul-betul dapat membantu
menyelesaikan masalah dan kerahasiaan, Hal tersebut dapat membuat :
• Klien atau konseli mempunyai batas gerak sesuai dengan tujuan konseling secara khusus
ditetapkan bersama oleh konselor dan klien pada waktu permulaan proses konseling itu.
• Konidisi yang memperlancar perubahan tingkah laku itu diselenggarakan melalui wawancara.
• Suasana mendengarkan terjadi dalam konseling, tetapi tidak semua proses konseling itu
terdiri dari mendengarkan itu saja
• Konselor memahami klien
• Konseling diselenggarakan dalam keadaan pribadi dan hasilnya dirahasiakan
• Klien mempunyai masalah-masalah psikologis dan konselor memiliki keterampilan atau
keahlian di dalam membantu memecahkan masalah-masalah.
d. Kecermatan BK ( Bimbingan Konseling ) Menyangkut Ketepatan Menguunakan Layanan
Ketepatan menggunakan Strategi dalam penyelesaian masalah, keberhasilan mencapai
suatu tujuan dalam konseling, dan yang paling penting kecermatan Konselor dalam bersikap,
bekerja, bertanggungjawab, dan saat menyelesaikan masalah konseli. Sebab pekerjaan
konselor sangatlah banyak dan di butuhkan kecermatan yang sangat tepat dalam menyelesaikan
semua masalah yang sedang dihadapi oleh konselor.
e. Kebenaran atau Keabsahan BK
Kebenaran atau Keabsahan BK sesuai dengan keberadaan konselor dalam system
pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan
kualifikasi guru, dosen pamong belajar, tutor widyaswara, fasilitator dan instruktur (UU No.

6
20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6). Kesejajaran posisi ini berarti bahwa tenaga pendidik itu
mmeiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis sama dengan guru.
Hal ini mengandung implikasi bahwa untuk masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk
konselor, perlu disusun standar kualifikasi akademik dan kompetensi. Dengan demikian
mempertimbangkan berbagai kenyataan serta pemikiran yang telah dikaji, biar ditegaskan
bahwa pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh konselor berada dalam
konteks tugas pelayanan yang bertujuan memandirikan individu.. Jadi dapat disimpulkan
bahwa BK (Bimbingan Konseling) telah diakaui Kebenarannya dan Keabsahannya oleh
Pemerintah untuk dapat menjadi suatu Profesi dalam dunia pendidikan maupun pekerjaan.
2. Profesionalisme Guru BK dalam Tinjauan Etik
Sebagai profesi yang menekankan pada profesionalisme memiliki elemen dasar untuk
memakai pertimbangan moral dalam memberikan layanan kepada orang lain (masyarakat).
Standar moral yang dijadikan pedoman bagi anggota profesi (konselor) diatur dan
diterjemahkan dalam kode etik konselor. Kode etik konselor mengatur anggota profesi
(konselor ). Secara profesionalisme profesi bk dalam etik yaitu menaati :
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6 keberadaan konselor atau guru BK
dalam Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur.
Dalam surat keputusan Bersama Mendikbud dan kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 25
Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru Pembimbing dan Angka
Kreditnya dijelaskan bahwa “guru pembimbing adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung
jawab dan wewenang. Kemudian dalam Pasal 39 Ayat 2 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan: “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Serta peraturan menteri pendidikan dan
kebudayaan repbli Indonesia nomor 111 tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai