Disusun Oleh
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
i
1. Kebijakan Ekspor
Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor adalah tindakan dan aturan yang dibuat oleh
pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan mempengaruhi struktur, komposisi,
dan arah transaksi serta kelancaran usaha untuk penigkatan devisi ekspor suatu negara. Kebijakan yang
dimaksud dapat berupa tarif, larangan impor, kuota, dumping, dan berbagai kebijakan lainnya. Adapun
pengertian kebijakan tersebut yaitu:
• Penetapan tarif
Tarif adalah sebuah pembebanan atas sebuah barang yang melintas daerah atau kawasan (costum area).
Sementara itu, barang-barang yang masuk ke wilayah negara dikenakan bea masuk.
• Kuota impor
Kuota adalah kebijakan pemerintah untuk membatasi barang yang masuk dari luar negeri. Yang
mengakibatkan jumlah barang dipasar turun, harga barang naik, produksi dalam negeri meningkat, dan
impor barang turun.
Kebijakan ini bertujuan untuk melarang masuknya produk asing ke dalam pasar domestik.
• Subsidi
Yaitu kebijakan pemerintah guna membantu mengurangi sebagian biaya produksi per unit barang
produksi dalam negeri, sehingga produsen dalam negeri dapat memasarkan barang lebih murah dan
bersaing dengan barang impor.
• Premi
Adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan memberikan tambahan dana pada produsen
dalam negeri yang berhasil mencapai targetnya.
• Dumping
Merupakan kebijakan pemerintah untuk mengadakan diskriminasi harga, yaitu dimana produsen
menjual barang diluar negeri dengan harga lebih murah dari dalam negeri atau dibawah biaya produksi.
1
A. Kebijakan ekspor di dalam negeri
1. Kebijakan perpajakan dalam bentuk pembebasan, keringanan, pengembalian pajak ataupun
pengenaan pajak ekspor/FET untuk barang-barang ekspor tertentu. Sebagai contoh yaitu: pajak
ekspor atas CPO.
2. Fasilitas kredit perbankan yang murah sebagai pendorong peningkatan ekspor barang-barang
tertentu.
3. Menetapkan prosedur/tata laksana ekspor yang relatif mudah.
4. Pemberian subsidi ekspor, seperti memberikan sertifikat ekspor.
5. Pembentukan asosiasi eksportir.
6. Membentuk kelembagaan seperti bounded warehouse (Kawasan Berikut Nusantara), bounded
island Batam, esport processing zone, dll.
7. Larangan/melakukan pembatasan ekspor, misalnya yaitu dengan larangan CPO (Crude Palm
Oil) oleh Menperindang.
2
2. Kebijakan Impor
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor diartikan sebagai berbagai tindakan dan
peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akan
mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk melindungi/mendorong pertumbuhan
industri dalam negeri dan penghematan devisa.
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dapat dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan
sebagai berikut.
• Pembebasan bea masuk/tarif rendah adalah antara 0% s.d. 5%: dikenakan untuk bahan kebutuhan
pokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat militer/pertahanan/ keamanan, dan lain-
lain.
• Tarif sedang antara > 5% s.d. 20%: dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain
yang belum cukup diproduksi di dalam negeri.
• Tarif tinggi di atas 20%: dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah
cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
Besarnya pungutan bea masuk atas barang impor ditentukan oleh tingkat prosentase tarif dikalikan harga
CIF dari barang tersebut (BM=% tarif x Harga CIF). Misalnya, harga CIF suatu barang X-$100 dan tarif
bea masuknya 10%, sedangkan kurs atau nilai tukar Rp5.000,00/USD. Maka pungutan bea = masuknya
10% x $100 x Rp5.000,00 Rp50.000,00. =
Pungutan bea masuk ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang impor. Di Indonesia sistem
tarif ini digunakan sebelum tahun 1991. Misalnya bea masuk untuk:
3
Firing : Rp5.000,00 per lusin
Pungutan bea masuk ini merupakan kombinasi antara sistem a, dan sistem b.
Tarif nominal adalah besarnya prosentase tarif suatu barang tertentu yang tercantum dalam Buku Tarif Bea
Masuk Indonesia (BTBMI). Buku Tarif Bea Masuk Indonesia yang digunakan saat ini adalah buku tarif
berdasarkan ketentuan harmonized system atau HS yang menggunakan penggolongan barang dengan
sistem 9 digit (*********).
Penggolongan barang dengan sistem digit ini akan memper- mudah dan memperlancar arus perdagangan
internasional karena adanya kesatuan kode barang untuk seluruh negara, terutama yang telah menjadi
anggota World Customs Organization (WCO) yang bermarkas di Brussel.
Tarif proteksi efektif ini disebut juga sebagai Effective Rate of Protection (ERP), yaitu kenaikan Value
Added Manufacturing (VAM) yang terjadi karena perbedaan antara prosentase tarif nominal untuk barang
jadi atau CBU (Completely Built-up) dengan tarif nominal untuk bahan baku/komponen input impornya
atau CKD (Completely Knock Down).
Kenaikan VAM dalam suatu proses industrialisasi sangat penting karena VAM diartikan sebagai balas jasa
dari faktor produksi yang digunakan dalam proses industrialisasi tersebut, yaitu:
4
untuk melindungi industri-industri dalam negeri yang baru lahir/tumbuh dengan "proteksi edukatif",
sehingga dapat bersaing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Teori Infant-Industry menyatakan bahwa jika negara berkembang memiliki industri yang relatif
baru, pada saat itu pula industri tersebut akan menghadapi kesulitan dalam berkompetisi dengan industri
global, oleh karena itu dibutuhkan Infant Industry argument untuk menghadapi kesulitan/dan melindungi
industri negara yang baru tumbuh tersebut.
Argumen industri bayi (infant industry argument) menjelaskan bahwa negara yang industrinya baru
tumbuh wajib diberi proteksi oleh Pemerintah. Perlindungan terhadap perusahaan domestik yang baru
tumbuh dan belum berpengalaman dalam persaingan kompetitif dengan perusahaan-perusahaan asing yang
telah lama berdiri harusnya diberikan sampai perusahaan itu mampu bersaing dengan perusahaan pesaing
mereka dari luar negeri, pendapat ini ditentang oleh Adam Smith (1776). Tentangan keras Adam Smith ini
dengan alasan monopoli yang diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan akan mengarah kepada in-
efisiensi perusahaan dan monopoli akan menghabiskan banyak sumberdaya Pemerintah (Steven Pressman,
32-33).
Secara grafis "infant industry argument" tersebut dapat di-gambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
a. Indonesia memulai pembangunan industrinya dengan pembangunan sektor industri tekstil, pada
awal Pelita I (1969/70),
b. Namun, karena industri tersebut baru lahir (infant industry) maka harga produk atau domestik price-
nya (Dp) relatif lebih tinggi dibandingkan harga produk di luar negeri atau world price (Wp)
sehingga perlu diproteksi, terutama dengan tarif bea masuk yang relatif tinggi.
5
c. Infant industry yang diproteksi ini dicerminkan oleh bidang A. Karena harga produk tekstil dalam
negeri masih lebih tinggi dari pada harga luar negeri (Dp> Wp), maka:
• Perlu diberikan proteksi tarif yang edukatif minimal sebesar jarak Wp-Dp.
d. Pada tahun 1979/1980 harga tekstil dalam negeri akan sama dengan luar negeri karena harga tekstil
dalam negeri akan semakin menurun dengan teori experience curve atau learning curve
e. Dengan proteksi edukatif yang semakin menurun dan sejalan dengan perkembangan serta
pertumbuhan infant industry yang semakin dewasa dan kuat seperti dicerminkan oleh bidang B,
selain harga produk tekstil dalam negeri sudah lebih murah daripada tekstil luar negeri (Dp < Wp)
maka:
• Konsumen dalam negeri akan mendapat "kompensasi" dari produsen tekstil karena
dapat membeli dengan harga yang relatif lebih murah.
Dalam variasi ekstension dari infant industry argument. Argumen ini bertujuan melindungi
perusahaan domestik karena alasan skala ekonomi, eksternalitas internal dan eksternal dan keuntungan
untuk meningkatkan pangsa perusahaan domestik dan pasar luar negeri yang tidak terproteksi. Perpindahan
keuntungan dari perusahaan asing ke perusahaan domestik akan meningkatkan kesejahteraan domestik
dengan pengorbanan perusahaan asing.
4) Proteksi Edukatif
Untuk mencapai tujuan infant industry argument ini, maka perlu dijalankan suatu kebijakan
"proteksi edukatif", yaitu kebijakan untuk melindungi infant industry secara mendidik dengan ciri-ciri atau
karakteristik sebagai berikut:
a. Transparan, (Proteksi harus bersifat "transparan", yaitu dengan sistim tariff barrier atau bea masuk).
Kewajiban suatu negara untuk mempublikasikan yang menyangkut ekspor dan impor dan semua
peraturan terkait dengan masalah ekspor dan impor harus transparan dan tidak memihak sehingga
menimbulkan proteksi terselubung (publication and administration of trade reulation - pasal X).
b. Selektif, (Proteksi harus bersifat selektif, maksudnya hanya diberikan kepada industri yang betul-
betul dapat memberikan nilai tambah atau value added manufacturing yang relatif tinggi). Berbagai
6
masalah hambatan perdagangan seperti bea masuk (tarif) dan larangan impor atau kuota, kuantitas
produknya dibatasi secara selektif.
c. Limitatif, (Proteksi hanya diberikan untuk jangka waktu tertentu/terbatas) tidak untuk jangka waktu
yang tak terbatas melainkan hanya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
d. Kuantitatif, (Tingkat atau besarnya proteksi harus dapat ditentukan/dihitung berdasarkan Effective
Rate of Protection (ERP) atau kenaikan Value Added Manufacturing (VAM) yang akan diperoleh.
Dengan kata lain proteksi tidak boleh ditetapkan berdasarkan pesan sponsor atau kepentingan
pihak-pihak tertentu saja).
e. Declining, (Proteksi yang diberikan harus semakin menurun sesuai dengan peningkatan daya saing
industri yang bersangkutan).
Pada Article Publication and Administration of Trade Regulation ditetapkan aturan untuk mengatur
mengenai kewajiban suatu negara untuk mempublikasikan semua peraturan- peraturan yang
menyangkut ekspor impor dan semua peraturan terkait dengan masalah ekspor impor harus transparan
dan tidak memihak sehingga menimbulkan proteksi terselubung.
Kemudian, terdapat ketentuan yang memberikan kesempatan kepada suatu negara untuk
mengambil suatu tindakan, baik bersifat tarif maupun non-tarif untuk tujuan menyehatkan
(memperbaiki) neraca pembayaran. Ketentuan ini bernama Rerestriction to Safeguards the Balance of
Payment. Sedangkan, pada Article XVIII mengenai Governmental Assintance to Economic
Development, proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (Infant
Industry Protection) dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dengan rangka memperbaiki neraca
pembayaran.
Kebijakan proteksionisme negara terhadap negara lain pada dasarnya melanggar konstitusi GATT
yang sekarang menjadi WTO. Kebijakan proteksionisme ini ditujukan untuk melindungi industri muda
yang ada dalam pasar domestik agar ke depan bisa bersaing dengan industri asing. Namun segi
pragmatis kebijakan tersebut justru dimanfaatkan oleh sejumlah aktor/perusahaan untuk menjadikan
kapitalisme semu negara. Artinya tidak ada konsistensi negara terhadap komitmen untuk menjadikan
pasar sebagai tujuan utama ekonomi politik. Oleh karena itu disadari bahwa proteksionisme memang
diperlukan namun yang harus di sadari adalah proteksionisme yang bersifat selektif. Maksudnya adalah
harus ada periodisasi tentang munculnya kebijakan tersebut. Sebab jika tidak, justru menjadi sebaliknya
yaitu industri dalam negara akan manja sebab selalu dilindungi oleh negara.
7
B. Kebijakan Nontarif Barrier
1) Instrumen Kebijakan Nontarif
Kebijakan Nontariff Barrier (NTB) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat
menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan interasional. Secara garis besar
NTB dapat dikelompokkan sebagai berikut (A.M. Rugman & R.M. Hodgetts, 1995; 165).
8
3. Countervailing duties.
4. Domestic assistance programs.
5. Trade-diverting.
d. Import charges
1. Import deposits
2. Supplementary duties
3. Variable levies
Menurut ketentuan GATT/WTO, sistem kuota ini hanya dapat digunakan dalam hal sebagai berikut:
a. Absolute/unilateral quota, yaitu sistem kuota yang diterapkan secara sepihak (tanpa negosisasi)
b. Negotiated/bilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan atas kesepakatan atau menurut
perjanjian
c. Tarif kuota, yaitu pembatasan impor yang dilakukan dengan meng-kombinasikan sistem tarif dan
sistem kuota
d. Mixing quota, yaitu pembatasan impor bahan baku tertentu untuk melindungi industri dalam negeri
Keterangan:
Quantity
9
1. Pada harga P, dan titik keseimbangan E, perekonomian berada dalam keadaan autarki
dengan kondisi sebagai berikut.
▪ Tidak adanya ekspor dan impor.
▪ Produksi DN = Konsumsi DN = OQ, 2:
2. Pada harga P, dan titik keseimbangan E,, perekonomian berada dalam keadaan free trade
dengan kondisi sebagai berikut.
▪ Produksi DN = OQ,
▪ Konsumsi DN = OQ₂
▪ Impor=Q,Q₂.
Karena produksi dalam negeri menurun dari OQ, menjadi OQ,, maka industri dalam
negeri akan rugi dan dapat menimbulkan pengangguran. Untuk melindungi industri
dalam negeri atau kepentingan nasional lainnya, pemerintah memberikan proteksi
dengan menetapkan kuota impor tertentu, misalnya sebesar Q,Q,
3. Dengan penetapan kuota impor sebesar Q,Q, maka akan menimbulkan efek-efek sebagai
berikut.
▪ Harga akan naik dari P, ke P
▪ Konsumsi DN akan turun dari Q, ke Q
▪ Produk si DN akan naik dari Q, ke Q,
▪ Pemegang/pemilik kuota akan memperoleh keuntungan sebesar ruang.
a b
c d
▪ Redistribusi income atau subsidi dari konsumen kepada produsen sebesar ruang.
P2 a
P1 f
f e d c
10
▪ Impor turun dari Q,Q, menjadi Q,Q,
Kelemahan sistem kuota impor jika digunakan sebagai instrumen proteksi adalah sebagai
berikut.
1.) Sifatnya yang tidak transparan.
2.) Jika kuota diberikan kepada perorangan atau perusahaan swasta, maka yang mendapat
keuntungan/manfaat hanyalah orang pribadi atau perusahaan yang mendapat kuota
tersebut.
3.) Dapat menimbulkan distorsi pasar berupa monopoli yang akan merugikan masyarakat
konsumen.
3) Subsidi
Subsidi merupakan bentuk kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan serta perlindungan kepada
industri dalam negeri seperti keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dan lain-
lain. Bentuk bantuan tersebut mempunyai tujuan sebagai berikut:
Impor = Q1Q2.
11
Q1 ke Q3 maka:
a. Secara teoritis produsen akan bersedia menaikkan/ menambah produksinya jika harga naik dari P 1
ke P2.
b. Supaya produksi dalam negeri naik, tetapi harga tidak naik maka pemerintah memberikan subsidi
harga sebesar P1P2, atau BC.
c. Dengan pemberian subsidi sebesar P 1P2 atau BC, maka:
Kebijakan proteksi terhadap industri dalam negeri dengan pemberian subsidi in dalam hal tertentu
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan cara proteksi lainnya karena:
Qx Keterangan:
G= x 100
Qm
Qx = Indeks kuantitas ekspor
Bila G lebih besar dari 100 atau terjadi kenaikan gross barter TOT, berarti perkembangan posisi
perdagangan luar negeri negara tersebut kurang baik atau kurang menguntungkan karena diperlukan ekspor
yang lebih besar untuk mendapatkan sejumlah impor tertentu.
12
Px Keterangan:
N= x 100
Pm
Px = Indeks harga ekspor
Bila N lebih besar dari 100 atau kenaikan net barter TOT berarti terjadi perkembangan perdagangan luar
neger yang positif / baik karena dengan nilai ekspor tertentu diperoleh nilai impor yang lebih besar.
Berarti untuk periode 1950 /90 harga atau nilai ekspor (Px) turun sebanyak 13,64 % dibandingkan nilai
impornya (Pm).
c. Income TOT
Px
I = N x Qx = x Qx
Pm
Konsep income TOT ini lebih penting bagi negara yang sedang berkembang (NSB), karena mencerminkan
kemampuan NSB untuk mengimpor barang-barang modal pembangunan dari hasil ekspornya.
Contoh:
Qx 1990 = 120
Px 1990 = 95
Pm 1990 = 110
Px 95
I = N x Qx = x Qx = x 120 = 103,63
Pm 110
13
Berarti untuk periode 1950/1990, kemampuan mengimpor didasarkan pada penerimaan ekspor naik sebesar
𝑃𝑥
3,63%, meskipun menurun. Perubahan income TOT in penting bagi NSB karena berkaitan dengan
𝑃𝑚
Keterangan:
1. Sumbu X menunjukkan ekspor food oleh USA atau impor food oleh UK.
2. Sumbu Y menunjukkan ekspor cloth oleh UK atau impor cloth oleh USA.
3. Pada keadaan awal, offer-curve USA (OC - USA) berpotongan dengan offer-curve UK (OC - UK)
pada titik E, sehingga terbentuk garis TOT1.
4. Bila UK melakukan kebijakan pembatasan impor pakaian dari USA, maka OC akan bergeser
menjadi OC' - USA dan memotong OC - UK pada titik H.
5. Pada pertukaran di titik H dengan TOT 2 terjadi:
a) penurunan ekspor food USA (X - USA) besarnya sama dengan penurunan impor food UK (M
- UK), yaitu dari OF0 menjadi OF1
b) penurunan ekspor cloth UK (X - UK) besarnya akan sama dengan penurunan impor cloth USA
(M - USA), yaitu dari OC0 menjadi OC1.
6. Pada titik H atau TOT2 karena penurunan ekspor food USA atau impor food UK lebih besar
daripada penurunan ekspor cloth UK atau impor cloth USA. F 0F1 > C0C1 ini berarti TOT- USA
menjadi memburuk, sedangkan TOT - UK membaik.
7. Jika USA melakukan pembalasan dengan mengadakan kebijakan pembatasan impor cloth dari UK
sehingga ekspor cloth dari UK menurun, maka pertukaran akan terjadi pada titik G dengan TOT 1,
tetapi dengan volume perdagangan yang lebih kecil.
8. Dengan tindakan pembalasan ini, TOT-USA akan membaik dan TOT-UK akan memburuk. Akan
tetapi, kebijakan proteksi yang dijalankan oleh USA dan UK ini bukan hanya berpengaruh terhadap
TOT masing-masing negara. Lebih penting lagi adalah dampak negatifnya terhadap per-
kembangan atau pertumbuhan perdagangan internasional yang semakin menurun.
14
DAFTAR PUSTAKA
Kinanti, F. M. (2015). World Trade Organization, Negara Berkembang dan Special and Diferrential
Treatment. Pandecta Research Law Journal, 10(1).
Adi, L. (2017). Pengaruh exchange rate dan GDP terhadap ekspor dan impor Indonesia. Develop, 1(1).
Ikhsan, M. (1997). Teori Perdagangan Baru dan Implikasinya terhadap Strategi Perdagangan Indonesia.
Economics and Finance in Indonesia, 45(2).
Tim Penyusun, Buku Guru Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas IX.Jakarta. Pusat Kurikulum dan perbukuan
Tim Penyusun, Buku Siswa Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas IX.Jakarta. Pusat Kurikulum dan perbukuan
15