Anda di halaman 1dari 35

UNIVERSITAS GUNADARMA

FAKULTAS PSIKOLOGI

HALAMAN COVER

PENULISAN ILMIAH

HUBUNGAN ONLINE SOCIAL SUPPORT DENGAN SUBJECTIVE


WELL BEING PADA REMAJA YANG MEMILIKI ORANGTUA

Disusun Oleh :

Nama : Aqila Shabirah


NPM : 11516002
Pembimbing : Indah Mulyani, SPsi., MSi

DEPOK
2019

i
LEMBAR ORIGINALITAS DAN PUBLIKASI

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Aqila Shabirah
NPM : 11516002
Judul PI : Hubungan Online Social Support dengan Subjective Well-being pada
Remaja yang Memiliki Orangtua Tunggal
Fakultas : Psikologi
Jurusan : Psikologi
Tanggal Sidang : 27 September 2019
Tanggal Lulus : 27 September 2019

Dengan ini menyatakan bahwa hasil Penulisan Ilmiah yang telah saya buat
merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipublikasikan sepenuhnya oleh
Universitas Gunadarma. Segala kutipan dalam bentuk apapun telah mengikuti
kaidah dan etika yang berlaku. Mengenai isi dan kutipan adalah tanggung jawab
penulis, bukan Universitas Gunadarma.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan keadaan sadar dan tanpa paksaan dari
pihak manapun.

Depok, 2 Oktober 2019

(Aqila Shabirah)

ii
LEMBAR PENGESAHAN
Usulan Penelitian yang Berjudul:
HUBUNGAN ONLINE SOCIAL SUPPORT DENGAN SUBJECTIVE
WELL BEING PADA REMAJA YANG MEMILIKI ORANGTUA
TUNGGAL
Diajukan Oleh:
Aqila Shabirah
11516002

Telah Disetujui Oleh:


Fakultas Psikologi Tanda Tangan dan Tanggal
Universitas Gunadarma Persetujuan

Dr. Ira Puspitawati, M.Si., Psi. ________________________


Ketua Jurusan Psikologi

Dr. Indah Mulyani ________________________


Dosen Pembimbing

Aji Sukarno, SE., MM. ________________________


Kasub PI Psikologi

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER........................................................................................................i
LEMBAR ORIGINALITAS DAN PUBLIKASI...........................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Tujuan Penelitian.................................................................................................5
C. Manfaat Penelitian...............................................................................................5
1. Manfaat Teoritis...............................................................................................6
2. Manfaat Praktis................................................................................................6
BAB II...............................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................7
A. Online Social Support...........................................................................................7
1. Definisi Online Social Support.........................................................................7
2. Aspek-Aspek Online Social Support................................................................8
B. Subjective Well-being............................................................................................8
1. Definisi Subjective Well-being..........................................................................8
2. Komponen-Komponen Subjective Well-being.................................................9
3. Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-being......................................12
C. Remaja yang Memiliki Orangtua Tunggal.......................................................14
1. Definisi Remaja..............................................................................................14
2. Definisi Orangtua Tunggal............................................................................15
3. Definisi Remaja yang Memiliki Orangtua Tunggal.....................................15
4. Batasan Usia Remaja.....................................................................................15
5. Tugas Perkembangan Remaja.......................................................................16
D. Hubungan Online Social Support dengan Subjective Well-being pada Remaja
yang Memiliki Orangtua Tunggal.............................................................................17
E. HIPOTESIS........................................................................................................19
BAB III...........................................................................................................................20
METODE PENELITIAN..............................................................................................20

iv
A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian..........................................................20
B. Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian..........................................20
C. Populasi dan Sampel..........................................................................................21
D. Teknik Pengumpulan Data................................................................................21
E. Validitas, Daya Diskriminasi Aitem, dan Realibitas........................................23
1. Validitas..........................................................................................................23
2. Daya Diskriminasi Aitem...............................................................................24
3. Realibitas.........................................................................................................24
F. Teknik Analisis Data..........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................26

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Keutuhan orangtua yang digambarkan dengan adanya
ayah dan ibu merupakan faktor utama perkembangan psikologis dan
pengembangan diri seorang anak. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang
utuh dan secara bergantian mendapatkan perhatian juga kasih sayang dari
kedua orangtua merasa lebih bahagia dengan hidupnya. Bila anak
mengalami hari yang buruk di sekolahnya, ibu akan memberikan nasihat
dan semangat sambil membuatkan makanan kesukaannya agar anak
kembali ceria. Begitupun dengan ayah, meskipun ayah jarang berada
dirumah dikarenakan bekerja, bila anak mengajak bermain atau meminta
bantuan mengerjakan tugas sekolah tentunya ayah akan mencoba
membantu mereka. Hal-hal tersebut adalah salah satu contoh kegiatan
yang dilakukan kedua orangtua yang dapat membuat anak merasa bahagia
memiliki keluarga.
Namun tidak semua anak dapat merasakan kebahagiaan memiliki
keluarga yang utuh, beberapa anak hanya mempunyai orangtua tunggal
yang disebabkan oleh beberapa peristiwa, seperti kematian salah satu
orangtua atau adanya perceraian orangtua. Peristiwa ini tentunya
memberikan dampak bagi anak. Anak-anak terutama yang sedang berada
di masa remaja tentunya rentan mengalami stress akibat kehilangan salah
satu orangtuanya dikarenakan beberapa peristiwa tersebut (Tarigan, 2018).
Fenomena yang dirasakan remaja yang memiliki orangtua tunggal
disebabkan kematian salah satu orangtuanya dan adanya perceraian
orangtua berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa remaja yang
memiliki orangtua tunggal adalah pada awalnya mereka sangat sedih
dengan keadaan keluarga mereka yang tidak lengkap lagi, seiring
berjalannya waktu mereka mulai menerima keadaan bahwa mereka harus
menjalani hidup meskipun hidup dengan satu orangtua saja. Mereka
mengaku bahwa mereka tetap mendapatkan cukup kasih sayang dari
orangtua tunggalnya. Mereka tetap merasakan kebahagiaan dengan
keluarga mereka saat ini meskipun tidak lengkap seperti dulu.
Istilah yang tepat untuk kebahagiaan yang dirasakan oleh remaja
tersebut, yang dapat didefinisikan secara operasional yaitu dengan istilah
subjective well-being (Kesejahteraan subjektif). Subjective well-being
merupakan evaluasi subyektif seseorang mengenai kehidupan termasuk
konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, fulfilment,
kepuasan terhadap area-area seperti pernikahan dan pekerjaan, tingkat
emosi tidak menyenangkan yang rendah (Diener, 2006). Subjective well-
being adalah suatu konstruksi psikologis yang berkaitan bukan dengan apa
yang orang miliki atau apa yang terjadi pada mereka tetapi dengan
bagaimana mereka memikirkan dan merasakan tentang apa yang mereka
miliki dan apa yang terjadi pada mereka (National Research Council,
2013). Subjective well-being mengacu pada bagaimana seseorang
merasakan apa yang mereka miliki, dengan terpenuhinya kepuasan
terhadap hidup, tingginya perasaan yang menyenangkan dan rendahnya
perasaan yang tidak menyenangkan.
Salah satu yang mempengaruhi subjective well-being adalah
adanya hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Hubungan yang baik
dengan orang lain tentunya dapat memenuhi kebutuhan psikologis mereka
seperti mendapatkan dukungan sosial dan merasakan kedekatan
emosional. Pendapat ini diperkuat oleh Seligman (2002), yang mengatakan
bahwa Masing-masing individu juga memiliki cara pandang tersendiri
dalam menilai kesejahteraan dalam hidupnya, sebagian akan merasa
sejahtera jika kebutuhan psikologis dan sosialnya terpenuhi seperti merasa
bahagia, dan menerima dukungan sosial. Menurut DePanfillis (1996),
dukungan sosial adalah suatu pemikiran terbaik sebagai suatu kontruk
multidimensional yang terdiri dari komponen fungsional dan struktural.
Dukungan sosial merujuk kepada tindakan yang orang lain lakukan ketika

2
mereka menyampaikan bantuan (dalam Tumanggor, Ridlo,& Nurochim,
2017). Dukungan sosial merupakan bantuan atau dukungan yang diterima
individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya dan lingkungan
sosial tertentu yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai
dan dicintai. Orang yang menerima dukungan sosial memahami makna
dukungan sosial yang diberikan oleh orang lain (Roberts & Greene,2009).
Adanya dukungan sosial dari keluarga, saudara, dan juga orang lain dapat
memperkuat anak dalam menghadapi kehidupan sehari-sehari misalnya
individu yang mengalami suatu permasalahan sangat membutuhkan orang-
orang yang dapat memberikan ia semangat, motivasi, nasehat-nasehat serta
masukan-masukan yang dapat membantu dia keluar dari masalah yang ia
hadapi. Ellis, Thomas dan Rollins (1976) mendefinisikan dukungan
orangtua sebagai interaksi yang dikembangkan oleh orangtua yang
dicirikan dengan perawatan, kehangatan, persetujuan dan berbagai
perasaan positif orangtua pada anak. Dukungan orangtua membuat anak
merasan nyaman terhadap kehadiran orangtua dan menegaskan dalam
benaknya bahwa dirinya diterima dan diakui sebagai individu (Tarigan,
2018).
Namun pada remaja yang memiliki orangtua tunggal meskipun
memiliki hubungan yang baik dengan orangtua, remaja tetap merasa tidak
bisa mengajak orangtuanya berbicara tentang suatu persoalan tertentu
(Morgan, 2014). Persoalan tertentu yang tidak dapat mereka bicarakan
yaitu seperti permasalahan fisik yang segan dibicarakan, permasalahan
pertemanan, hubungan asmara, permasalahan akademik di sekolah dan
lainnya. Oleh karena itu, remaja meningkatkan jalinan pertemanan di
media online untuk dapat mendiskusikan permasalahan-permasalahan
tersebut. Pernyataan ini diperkuat oleh Gillbrand, Lam, dan O’donnell
(2016) bahwa remaja mengembangkan jalinan persahabatan melalui media
online, media tersebut dapat berupa teks dan panggilan melalui telpon
seluler, email, pesan instan, ruang obrolan, blog dan yang paling popular
dikalangan anak-anak dan remaja yaitu media sosial (misalnya facebook

3
dan twitter). Remaja bisa mengeksplorasi masalah yang mungkin atau
tidak mungkin mereka diskusikan dalam kehidupan nyata memalui media
online.
Hasil penelitian dari Wang & Wang (2013) menyebutkan bahwa
dukungan sosial berhubungan positif dengan interaksi sosial offline
maupun online. Hasil penelitian tersebut dapat dipahami bahwa semakin
tinggi dukungan sosial offline atau secara langsung dapat meningkatkan
interaksi sosial secara offline pula. Namun, ketika dukungan sosial offline
rendah seseorang akan mencari dukungan sosial melalui internet atau
online yang akan meningkatkan interaksi sosial secara online pula.
Melihat fenomena yang dipaparkan sebelumnya, media online menjadi
sarana untuk remaja mendapatkan pemahaman mengenai permasalahannya
dan tentunya menerima dukungan sosial yang mungkin tidak didapatkan
saat mengalami permasalahan tersebut di kehidupan nyata. Dukungan
sosial yang disalurkan oleh teman-teman online membuat remaja tetap
merasakan kepuasaan hidup dan perasaan senang saat mengalami
permasalahan yang tidak bisa didiskusikan dengan orangtua mereka.
Artinya, dukungan sosial online mampu memberikan subjective well-
being remaja yang hanya memiliki orangtua tunggal.
Terdapat hasil penelitian sebelumnya yang relevan, penelitian yang
dilakukan oleh Heewon (2014) menunjukkan bahwa seberapa sering
pengguna media sosial berinteraksi dengan pengguna lainnya, ini dapat
mempermudah mereka menerima banyaknya dukungan sosial, namun
seberapa banyaknya jumlah teman di media sosial tidak dapat menjadi
suatu tolak ukur banyaknya dukungan sosial yang diterima. Sehingga
pengguna media sosial yang memiliki jaringan atau jumlah teman yang
sedikit tetap dapat merasakan kebahagiaan dari dukungan sosial yang
diterima dari sesama pengguna.
Untuk memperkuat dugaan bahwa dukungan sosial melalui online
berperan dalam subjective well-being pada remaja yang memiliki orangtua
tunggal, penelitian ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Myers

4
(dalam Kim & Lee, 2011), yang menunjukkan adanya hubungan antara
media sosial dengan subjective well–being. Hal tersebut dijelaskan dengan
adanya kemungkinan bahwa pengguna media sosial akan memperoleh
dukungan sosial dari temannya di media sosial. Media sosial memiliki
hubungan yang positif dengan subjective well-being penggunanya, ketika
mereka mendapatkan teman yang banyak dari media sosial tersebut. Maka
mereka akan merasa bahwa dirinya memperoleh dukungan sosial yang
banyak juga, sehingga membuat mereka merasa sangat bahagia.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Liu dan Yu (2013),
menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara dukungan sosial
online dengan kebahagiaan. Seseorang akan mengalami perasaan sangat
bahagia bila mampu menggabungkan dukungan sosial online dengan
dukungan sosial di dunia fisik. Dukungan sosial disini merupakan mediasi
antara dukungan sosial online dengan kebahagiaan. Pada penelitian ini,
media sosial membantu mahasiswa untuk mendapatkan dukungan sosial
online, dukungan sosial online tersebut merupakan penyambung dari
dukungan sosial yang didapat di kehidupan nyatanya sehingga media
sosial tidak dijadikan sebagai pengganti kebutuhan yang tidak terpenuhi
dalam hubungan interaksi kehidupan nyata melainkan sebagai
perpanjangan dari hubungan interaksi sebenarnya.
Oleh karena itu, untuk melengkapi penelitian sebelumnya peneliti
tertarik untuk meneliti kembali mengenai hubungan online social support
dengan subjective well-being dengan melihat apakah ada hubungan antara
online social support dengan subjective well-being pada remaja yang
memiliki orangtua tunggal?

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris
hubungan antara online social support dengan subjective well-being pada
remaja yang memiliki orangtua tunggal.

5
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat baik segi teoritis
maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman ilmu
pengetahuan dalam bidang psikologi sosial, psikologi klinis, dan
menambah wawasan baru.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memahami bagaimana hubungan
online social support dengan subjective well-being pada remaja
yang memiliki orangtua tunggal juga sebagai acuan dalam
melakukan penelitian selanjutnya.
b. Bagi significant others remaja yang memiliki orangtua tunggal
Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan bentuk dukungan
sosial secara online maupun offline kepada remaja yang memiliki
orangtua tunggal. Mengingat dukungan sosial dari orang lain dapat
meningkatkan subjective well-being remaja yang memiliki
orangtua tunggal.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Online Social Support


1. Definisi Online Social Support
Menurut Wong dan Ma (2016) dukungan sosial online adalah bentuk
baru dari dukungan sosial yang dihasilkan oleh pengembangan internet,
semakin banyak orang yang terlibat untuk mengekspresikan dan berdiskusi
dengan orang lain melalui komunitas online, semakin banyak komunitas
online semakin mirip dengan komunitas sosial dan memiliki hubungan
yang serupa antara dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif. Zhang,
He, & Sang (2013) menyatakan bahwa dukungan sosial online merupakan
pemberian dukungan emosional, instrumental, informasional dan penilaian
yang didapat dari interaksi sosial melalui situs jejaring sosial sebagai
perantara untuk berkomunikasi dan membuat penerima merasa
diperhatikan, dicintai dan dihargai.
House (1981) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah gabungan
banyak orang yang mau memberikan perhatian, bantuan, maupun
informasi, kemudian dukungan sosial tersebut disalurkan dan diterapkan
dalam lingkungan online maupun offline. (dalam Tang, Chen, Yang,
Chung, & Lee, 2016). Bambina (2007) mengatakan bahwa jumlah orang
yang mencari dukungan dalam media online tumbuh dengan pesat.
Jaringan sosial elektronik yang dibuat oleh kelompok dukungan secara
online berpotensi dapat memberikan manfaat juga, seperti halnya
dukungan sosial yang secara tradisional disampaikan secara langsung
tanpa batasan sumber daya material, kedekatan, dan temporalitas.
Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan
bahwa dukungan sosial online (online social support) adalah bentuk lain
dari dukungan sosial, dimana dukungan atau bantuan dari orang lain yang
diberikan melalui situs jejaring sosial seperti memberikan perhatian,
bantuan dan informasi yang mungkin dibutuhkan seseorang tersebut.
2. Aspek-Aspek Online Social Support
Nick (2016) menyebutkan empat aspek dukungan sosial yang
biasanya dijelaskan dalam konteks online:
a. Esteem/Emotional Support
Mencakup penghargaan dan penerimaan; ekspresi keintiman,
kepedulian, kesukaan, rasa hormat, validasi, empati, simpati; atau
membantu mengelola keadaan emosi seseorang.
b. Social Companionship Support
Meliputi menghabiskan waktu bersama orang lain, melakukan
suatu aktivitas bersama atau adanya rasa memiliki satu sama
lainnya.
c. Informational support
Mencakup memberikan bantuan dalam mendefinisikan,
memahami, dan mengatasi suatu masalah yang terjadi,
memberikan nasihat atau penghargaan, memberikan informasi,
pengetahuan, atau perspektif baru yang baru; atau referensi sumber
daya.
d. Instrumental support
Meliputi penyediaan bantuan dalam bentuk finansial, materiil dan
layanan yang dibutuhkan; membantu menyelesaikan tugas yang
diperlukan; menyediakan sesuatu untuk digunakan, melakukan
suatu tindakan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan aspek-aspek
online social support menurut Nick (2016) yaitu aspek
Esteem/Emotional Support, Social Companionship Support,
Informational support, dan Instrumental support sebagai dasar
pengukuran dalam penelitian ini.

B. Subjective Well-being
1. Definisi Subjective Well-being

8
Menurut Diener, Oishi, & Lucas (2003) menyatakan bahwa
subjective well being adalah kajian ilmiah tentang bagaimana individu
mengevaluasi kehidupan mereka baik saat sekarang maupun periode
yang lebih lama, seperti setahun yang lalu. Evaluasi ini melibatkan
reaksi emosi terhadap peristiwa, suasana hati, dan penilaian terhadap
kepuasaan hidup dan kepuasaan terhadap domain khusus seperti
pekerjaan dan pernikahan (Ramdhani, Wimbarti,& Susetyo, 2018).
Menurut Eddington dan Shuman (2008), subjective well-being dapat
diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang
meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian
afektif mengenai mood dan emosi seperti perasaan emosional positif
dan negatif.
Diener (dalam Veenhoven, 2008), mengatakan bahwa subjective
well-being merupakan suatu produk penilaian keseluruhan kehidupan
yang menyeimbangkan baik dan buruk. Tidak membatasi diri dengan
perasaan tertentu dan tidak mencampur pengalaman subjektif dengan
penyebab konseptualisasi. Subjective well-being dimaknai sebagai
evaluasi kehidupan (life evaluation) yang dirasakan seseorang terhadap
aspek kehidupan tertentu maupun kehidupannya secara keseluruhan
dengan juga mempertimbangkan perasaan yang mencakup pengalaman
emosional yang dialami, dan eudamonia yang mengacu pada fungsi
psikologi seseorang yang dapat berjalan dengan baik (OECD,2013).
Menurut Veenhoven (2008), subjective well-being adalah suatu
perbedaan antara penilaian kognitif dan afektif pada kehidupan.
Diener, Suh, Lucas, & Smith (1999) menyatakan jika subjective well-
being merupakan sebuah kategori yang luas dari fenomena yang
mencakup respon emosional masyarakat, kepuasan domain, dan
penilaian global kepuasan hidup.
Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan
bahwa subjective well-being adalah penilaian seseorang terhadap
keseluruhan kondisi kehidupan mereka baik saat ini ataupun periode

9
waktu lainnya dan mempertimbangkan perasaan emosional positif dan
negative yang dialami.
2. Komponen-Komponen Subjective Well-being
Diener (1984) menyatakan bahwa terdapat dua komponen umum
dalam subjective well-being, yaitu:
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif meliputi Kepuasaan hidup (life
sastisfaction). Diener menegaskan jika seseorang itu perlu melihat
kepada aspek kepuasaan hidupnya secara kognitif dan menyeluruh.
Pavot dan Diener (1993) menyatakan kepuasan hidup sebagai
penilaian secara keseluruhan terhadap perasaan dan sikap
seseorang berkaitan dengan kehidupannya pada suatu waktu.
Aspek kepuasan hidup dinilai dari aspek kognitif seseorang secara
keseluruhan terhadap kualitas hidupnya berdasarkan kriteria yang
dipilih oleh mereka sendiri.
Shin dan Johnson (1978) mendefinisikan kepuasan hidup
adalah sebuah asesmen global pada kuallitas kehidupan individu
menurut kriteria yang telah dipilihnya, meliputi: pekerjaan,
sekolah, kesehatan, kehidupan keluarga, tujuan hidup, prestasi,
keamanan, dan hubungan sosial. Kepuasan bisa meliputi penilaian
kepuasan akan keseluruhan hidup individu, namun juga bisa
meliputi kepuasan pada domain-domain tertentu dari hidup
individu (dalam Diener, 1984). Menurut Diener, Suh, Lucas, &
Smith (1999) beberapa kepuasaan hidup individu yang
mempengaruhi level subjective well-being, yaitu hasrat untuk
mengubah hidup (desire to change life), kepuasan pada kehidupan
saat ini (satisfaction with ccurent life), kepuasan pada kehidupan
masa lalu (satisfaction with fast), kepuasan pada kehidupan masa
depan, dan pendapat orang-orang terdekat mengenai hidupnya
(significant others views of onelife).
b. Komponen Afektif

10
Komponen ini mencakup afek positif yaitu emosi positif
yang menyenangkan dan afek negatif yaitu emosi dan mood yang
tidak menyenangkan (Diener, 2000). Komponen afektif
menekankan kepada pengalaman emosi menyenangkan baik yang
pada saat ini sering dialami oleh seseorang ataupun hanya
berdasarkan penilaiannya. Diener juga menegaskan bahwa
keseimbangan tingkat afek merujuk kepada banyaknya perasaan
positif yang dialami dibandingkan dengan perasaan negatif.
Menurut Diener, Lucas dan Oishi (2000) komponen afektif ini
merupakan hal yang sentral untuk subjective well-being. Peranan
komponen afektif subjective well-being adalah untuk mengevaluasi
well being itu sendiri karena komponen afek memberi kontribusi
perasaan menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan pada
dasar kontinual pengalaman personal. Kedua afek berkaitan dengan
evaluasi seseorang karena emosi muncul dari evaluasi yang dibuat
oleh orang tersebut.
Individu akan bereaksi dengan emosi menyenangkan ketika
mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka,
dan bereaksi dengan emosi tidak menyenangkan ketika
menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, karena mood
dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan
tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau
tidak (Diener, 2003). Menurut Diener, Suh, Lucas, & Smith (1999)
beberapa aspek positif individu yang mempengaruhi level
subjective well-being adalah hal-hal yang mencakup keringanan
(joy), rasa suka cita (elation), kepuasan (contentment), harga diri
(pride), mempunyai rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan
(happiness), dan kegembiraan yang sangat (ecstasy). Sedangkan
aspek negatif individu yang mempengaruhi level subjective well-
being yaitu: rasa bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan
(sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry),

11
kemarahan (anger), tekanan (stress), depresi (depression) dan
kedengkian (envy).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan komponen-
komponen subjective well-being menurut Diener (1984) yaitu
komponen kognitif meliputi kepuasaan hidup dan komponen afektif
meliputi perasaan menyenangkan (positif) dan perasaan tidak
menyenangkan (negatif) sebagai dasar pengukuran dalam penelitian
ini.
3. Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-being
a. Kepribadian
Kepribadian merupakan satu prediktor yang sangat kuat
dan paling konsisten pada kesejahteraan subjektif. Keadaan
subjective well-being pada individu adalah keadaan yang stabil dan
konsisten, sehingga secara empiris berpengaruh pada kepribadian
individu tersebut. Tatarkiewicz (Diener, 1984) menyatakan bahwa
kepribadian merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap
subjective well-being dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini
dikarenakan beberapa variabel kepribadian menunjukkan
kekonsistenan dengan subjective well-being, diantaranya self
esteem. Pada saat orang mengalami ketidakbahagiaan ternyata self
esteem ini juga dalam keadaan menurun (Laxer dalam Diener,
1984).
b. Tujuan
Carr (2004) menyatakan bahwa semakin terorganisir dan
konsisten tujuan dan aspirasi seseorang dengan lingkungannya,
makai a akan semakin bahagia, dan orang yang memiliki tujuan
yang jelas akan lebih bahagia. Emmons (dalam diener, 1999)
menyatakan bahwa berbagai bentuk tujuan seseorang, termasuk
adanya tujuan yang penting, kemajuan tujuan-tujuan yang dimiliki,
dan konflik dalam tujuan-tujuan yang dimiliki, dan konflik dalam

12
tujuan-tujuan yang berbeda memiliki implikasi pada emosional dan
cognitive well being.
c. Kualitas Hubungan Sosial
Diener dan Scollon (2003) menyatakan bahwa hubungan
yang dinilai baik tersebut harus mencakup dua dari tugas hubungan
sosial berikut ini, yaitu keluarga, teman, dan hubungan romantis,
dalam hubungannya dengan tingkat kebahagiaan seseorang
penelitian yang dilakukan oleh Seligman menunjukkan bahwa
semua orang yang paling bahagia memiliki kualitas hubungan
sosial yang dinilai baik (dalam Diener & Scollon, 2003). Arglye
dan Lu menyatakan bahwa kebahagiaan berhubungan dengan
jumlah teman yang dimiliki, frekuensi bertemu, dan menjadi
bagian kelompok (dalam Eddington & Shuman, 2008).
d. Usia dan Jenis Kelamin
Menurut Diener, Lyubomirsky, dan King (2005), umur dan
jenis kelamin memiliki hubungan dengan subjective well-being,
namun pengaruhnya kecil bergantung kepada dari segi sudut
komponen dari subjective well-being yang akan diukur.
Hubungannya dengan kebahagiaan individu, penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Wilson mengungkapkan jika usia muda pada
seseorang dianggap mencerminkan keadaan yang lebih Bahagia.
Namun setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan
dengan kebahagiaan.
Sebuah penelitian otoratif atas 60.000 orang dewasa dari
40 bangsa membagi kebahagiaan dalam tiga komponen, yaitu
kepuasaan hidup, afek positif, dan afek negatif. Kepuasan hidup
sedikit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, afektif positif
sedikit melemah dan afek negatif tidak berubah. Shuman
menyatakan penemuan menarik mengenau perbedaan jenis kelamin
dan subjective well-being. Wanita lebih banyak mengungkapkan
afek negative dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih

13
banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini,
namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global
yang sama (Eddington & Shuman, 2008).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
kepribadian, tujuan, kualitas hubungan sosial, usia dan jenis
kelamin merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
subjective well-being.

C. Remaja yang Memiliki Orangtua Tunggal


1. Definisi Remaja
Menurut Gunarsa (2006), masa remaja adalah suatu masa peralihan
dari dunia anak ke dunia dewasa, yang dimulai dengan terjadinya
kematangan dari kelenjar-kelenjar kelamin, yakni menarche (haid yang
pertama) pada wanita dan keluarnya air mani pertama kali pada laki-laki.
Perubahan-perubahan fisik yang secara hebat dialami oleh anak ketika
memasuki masa remaja menimbulkan permasalahan yang sangat majemuk
dan sering menimbulkan masalah bagi orang tua atau orang dewasa. Batas
usia remaja yaitu antara 13 - ± 21 tahun. Pada 1974, WHO (World Health
Organization) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat
konseptual. Pada definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu
biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi
tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa di mana:
1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda -
tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual.
2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman dalam
Sarwono, 2010).

14
Santrock (2003) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja
yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.
Berdasarkan definisi tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah dimana individu sedang mengalami perkembangan yang pesat, baik
dari fisik tetapi juga psikologisnya, sehingga pasa masa ini individu sering
mengalami beberapa permasalahan yang berkaitan dengan perubahan
internal dan external yang sedang dialaminya.
2. Definisi Orangtua Tunggal
Orantua tunggal diterjemahkan dalam bahasa Inggris, single
parent. Single parent dalam kamus Oxford (2010) yaitu “a person who
takes care of their child or children without husband, wife or partner”
(seseorang yang menjaga anak-anaknya tanpa suami, istri atau rekan).
Single parent families yaitu keluarga yang orang tuanya hanya terdiri dari
ibu atau ayah yang bertanggungjawab mengurus anak setelah perceraian,
mati atau kelahiran anak diluar nikah (Syamsu, 2009).
Berdasarkan definisi beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan
bahwa orangtua tunggal adalah seseorang bertanggung jawab mengurus
anak sendiri setelah perceraian, kematian, kelahiran anak di luar nikah dan
lainnya.
3. Definisi Remaja yang Memiliki Orangtua Tunggal
Berdasarkan definisi remaja dan orangtua tunggal dari beberapa
tokoh diatas, disimpulkan bahwa remaja yang memiliki orangtua tunggal
adalah individu yang sedang mengalami perubahan-perubahan pada
dirinya baik fisik maupun psikologis yang hidup atau diurus oleh orangtua
tunggal setelah terjadinya perceraian, kematian, kelahiran anak di luar
nikah dan penyebab lainnya.
4. Batasan Usia Remaja
Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada
pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia

15
remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Menteri
Kesehatan RI tahun 2010, batas usia remaja adalah antara 10 sampai 19
tahun dan belum kawin (Widyastuti dkk., 2009). Masa remaja dimulai
pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia dua
puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan
dalam semua ranah perkembangan (Papalia, dkk., 2008). Menurut
Mappiare masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan
21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.
Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13
tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18
tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir (Ali & Asrori,
2006).
Berdasarkan tahapan perkembangan individu dari masa bayi
hingga masa tua akhir menurut Erickson, masa remaja dibagi menjadi tiga
tahapan yakni masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa
remaja akhir. Adapun kriteria usia masa remaja awal pada perempuan
yaitu 13-15 tahun dan pada laki-laki yaitu 15-17 tahun. Kriteria usia masa
remaja pertengahan pada perempuan yaitu 15-18 tahun dan pada laki-laki
yaitu 17-19 tahun. Sedangkan kriteria masa remaja akhir pada perempuan
yaitu 18-21 tahun dan pada laki-laki 19-21 tahun (Thalib, 2010).
Berdasarkan uraiann diatas, dapat diketahui bahwa Batasan usia
remaja yaitu kisaran 12 – 20 tahun ke atas. Setidaknya sampai usia 24
tahun.
5. Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Havighurst yang dikuti oleh Sarwono (1997) tugas
perkembangan remaja yaitu:
a. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.
b. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebayanya dari
jenis kelamin manapun.
c. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau
perempuan).

16
d. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang
tua dan orang dewasa lainnya.
e. Mempersiapkan karir ekonomi.
f. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
g. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab.
h. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pendoman tingkah
lakunya.
Selanjutnya Havighurst (dikutip oleh Sarwono, 1997) mengemukakan
bahwa tercapai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan di atas di
tentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan dari masyarakat,
dan motivasi dari individu yang bersangkutan (dalam Marliyah, Dewi, &
Suyasa, 2004).
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa remaja memiliki
tugas perkembangan yang berbeda dari masa anak-anak, yaitu menerima
kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif, menerima
hubungan yang lebih matang dengan teman sebayanya dari jenis kelamin
manapun., menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau
perempuan) dan lainnya akan tetapi tugas tersebut ditentukan oleh
kematangan fisik, desakan masyarakat dan motivasi dari individu itu
sendiri.

D. Hubungan Online Social Support dengan Subjective Well-being pada


Remaja yang Memiliki Orangtua Tunggal
Remaja yang memiliki orangtua tunggal yang disebabkan kematian
orangtua lainnya atau adanya perceraian orangtua. Pada awalnya memang
mereka merasa sangat sedih dan rentan mengalami stress namun seiring
berjalannya waktu remaja mulai menerima keadaan keluarganya yang
tidak lengkap lagi. Beberapa remaja merasa tetap mendapatkan kasih
sayang dan dukungan sosial yang mana hal tersebut merupakan suatu
kebahagiaan (subjective well-being) yang mereka rasakan dari orangtua
tunggal mereka meskipun kasih sayang dan dukungan sosial tersebut

17
terkadang tidak utuh seperti yang didapatkan oleh remaja yang memiliki
orangtua utuh. Akan tetapi, remaja yang memiliki orangtua tunggal tetap
merasakan kebahagiaan (subjective well-being) tersebut. Salah satu yang
mempengaruhi subjective well-being adalah adanya hubungan sosial yang
baik dengan orang lain. Hubungan yang baik dengan orang lain dapat
memenuhi kebutuhan psikologis seperti mendapatkan dukungan sosial.
Meskipun remaja yang hidup dengan orangtua tunggal memiliki
hubungan yang baik, ada beberapa permasalahan yang tentunya tidak
dapat dibicarakan dengan mereka. Sehingga remaja mencari jawaban
permasalahannya dan mendapatkan dukungan sosial di media online
seperti mendiskusikan permasalahan teman di sekolah dengan saling
berkirim pesan instan (misl.aplikasi Whatsapp). Dukungan sosial yang
disalurkan oleh teman-teman online membuat remaja tetap merasakan
kepuasaan hidup dan merasakan perasaan senang saat menemukan
jawaban dari permasalahannya atau hanya menerima dukungan sosial dari
teman onliennya. Artinya, dukungan sosial online mampu memberikan
subjective well-being remaja yang hanya memiliki orangtua tunggal.
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa ada hubungan yang positif antara online social support dengan
subjective well-being (Myers dalam Kim & Lee, 2011; Liu & Yu, 2013) .
Terjalinnya hubungan sosial yang baik dengan orang lain
khususnya melalui media online akan mendapatkan dukungan sosial dan
kedekatan emosional, sehingga remaja yang memiliki orangtua tunggal
tetap merasakan subjective well-being dari dukungan sosial yang diberikan
oleh teman-teman online. Hal ini didukung oleh pernyataan Diener, Suh,
& Oishi (1997) mengatakan hubungan yang positif dengan orang lain
berkaitan dengan subjective well-being, karena dengan adanya hubungan
positif tersebut akan mendapat dukungan sosial dan kedekatan emosional.
Pada dasarnya kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain merupakan
suatu kebutuhan bawaan. Tanpa adanya dukungan sosial dan keintiman
emosional dengan orang lain, manusia akan merasakan keterasingan yang

18
berdampak pada kesepian dan depresi. Hubungan yang positif dengan
orang lain juga akan meningkatkan dampak variabel-variabel lain terhadap
subjective well-being.
Berdasarkan uraian diatas bahwa terdapat hubungan yang positif
antara online social support dengan subjective well-being yang
digambarkan seperti individu yang mendapatkan dukungan sosial melalui
online juga dapat merasakan kepuasaan pada kondisi hidupnya, sering
merasakan perasaan yang menyenangkan (positif) dan jarang merasakan
perasaan yang tidak menyenangkan (negatif) yang mana ketiga hal
tersebut merupakan komponen yang membentuk adanya subjective well-
being. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian pada subjek
remaja yang memiliki orangtua tunggal.
E. HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara online
social support dengan subjective well-being pada remaja yang memiliki
orangtua tunggal.

19
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian


Dalam penelitian ini beberapa variabel yang dikaji adalah:
1. Variabel Terikat ( Y): Subejective Well-Being
2. Variabel Bebas ( X): Online Social Support

B. Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian


Dalam penelitian ini, definisi operasional variabel yang akan diteliti adalah
sebagai berikut:
1. Subjective Well-being
Subjective well-being adalah penilaian seseorang terhadap
keseluruhan kondisi kehidupan mereka baik saat ini ataupun periode
waktu lainnya dan mempertimbangkan perasaan emosional positif dan
negatif yang dialami. Subjective well-being pada penelitian ini akan
diukur berdasarkan dua komponen menurut Diener (1984) yaitu,
komponen kognitif yang meliputi kepuasaan hidup yang akan diukur
menggunakan the satisfaction with life scale (SWLS) menurut Diener,
Emmons, Larsen, & Griffin (1985) dan komponen afektif yang meliputi
afek positif dan negatif yang akan diukur menggunakan scale of positive
and negative experience (SPANE) menurut Diener, Wirtz, Tov, Kim
Prieto, Choi, Oishi & Biswar Diener (2009). Kedua skala ini bersifat
unidimensional.
2. Online Social Support
Online social support adalah bentuk lain dari dukungan sosial,
dimana dukungan atau bantuan dari orang lain yang diberikan melalui
situs jejaring sosial seperti memberikan perhatian, bantuan dan informasi
yang mungkin dibutuhkan seseorang tersebut. Pada penelitian ini online
social support akan diukur berdasarkan empat aspek menurut Nick (2016)
yaitu, dukungan emosional/penghargaan, dukungan kelompok sosial,
dukungan informasi dan dukungan instrumen.
C. Populasi dan Sampel
Menurut Yusuf (2017) populasi merupakan keseluruhan nilai dari
karakteristik tertentu sekumpulan objek yang ingin dipelajari. Populasi dalam
penelitian ini adalah remaja yang memiliki orangtua tunggal. Pengambilan
sampel yang dilakukan peneliti menggunakan teknik non- probability
sampling, purposive sampling, yaitu teknik dengan pertimbangan khusus,
memiliki tujuan tertentu dalam sampel penelitiannya, baik dilihat dari segi
besarna ukuran sampel, prosedur penentuan dan kualitas responden (dalam
Yusuf, 2017). Teknik non- probability sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalag teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2013)
purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Pertimbangan pengambilan sampel pada penelitian ini
yaitu remaja berusia 12-24 tahun berdasarkan batasan usia remaja menurut
WHO yang memiliki orangtua tunggal.

D. Teknik Pengumpulan Data


Menurut Sugiyono (2013) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang
paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengetahui
hubungan antara antara online social support dengan subjective well-being pada
remaja yang memiliki orangtua tunggal menggunakan kuesioner. Kuesioner
merupakan alat pengumpul data yang berbentuk pertanyaan yang akan diisi atau
dijawab oleh responden (Djaali & Muldjono, 2017). Pada kuesioner terdapat
lembar identitas yang berisikan nama atau inisial, usia, jenis kelamin, dan sudah
berapa lama tinggal bersama orangtua tunggal.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian pada setiap variabel dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Skala Subjective well-being

21
Kuesioner subjective well-being akan disusun berdasarkan dua
skala subjective well-being yaitu, sebagai berikut:
a. The satisfaction with life scale (SWLS) yang dikembangkan
oleh Diener, Emmons, Larsen, & Griffin (1985) terdiri dari 5
item pernyataan menggunakan skala summated rating scale,
dengan penilaian untuk pertanyaan sangat setuju, setuju, agak
setuju, ragu-ragu, agak tidak setuju, tidak setuju, sangat tidak
setuju. Skala ini digunakan untuk mengukur aspek kepuasaan
hidup.
Menurut Tahir (2011), summated rating scale digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi dari individu
atau kelompok tentang fenomena sosial. Fenomena sosial ini
disebut variabel penelitian yang telah ditetapkan secara spesifik
oleh peneliti. Jawaban dari setiap instrumen yang
menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat
positif sampai sangat negatif yag dapat berupa kata-kata, antara
lain: sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak
setuju, selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah. Instrumen
penelitian yang menggunakan skala Likert dapat dibuat dalam
bentuk centang (checklist) ataupun pilihan ganda. Skala yang
peneliti gunakan mengadopsi alat ukur kesejahteraan subjektif
yang mengacu kepada the satisfaction with life (SWLS) karena
skala ini bersifat unidimensional. Skala SWLS ini memiliki
realibitas 0,79-0,89.
b. Scale of positive and negative experience (SPANE) yang
dikembangkan oleh Diener, Wirtz, Tov, Kim Prieto, Choi,
Oishi & Biswar Diener (2009) terdiri dari 12 item pernyataan
menggunakan skala Likert, dengan penilaian pernyataan tidak
pernah, jarang, kadang-kadang, sering, selalu. Likert (1932)
mengatakan skala likert menggunakan beberapa butir
pertanyaan untuk mengukur perilaku individu dengan

22
merespon 5 titik pilihan pada setiap butir pertanyaan, sangat
setuju, setuju, tidak memutuskan, tidak setuju, dan sangat tidak
setuju ( dalam Budiaji, 2013). Skala yang peneliti gunakan
mengadopsi alat ukur kesejahteraan sibjektif yang mengacu
kepada Scale of positive and negative experience (SPANE)
karena skala ini bersifat unidimensional. Skala SPANE ini
memiliki realibitas 0, 83 – 0, 86.
2. Skala Online Social Support
Kuesioner online social support akan disusun berdasarkan online
social support (OSSS) yang dikembangkan Nick (2016) terdiri dari 58
item pernyataan dengan menggunakan skala Likert, dengan penilaian
pernyataan tidak pernah, jarang, kadang-kadang, cukup sering, sering.
Menurut Sugiyono (2013) adalah skala Likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang
tentang fenomena sosial. Skala Likert menjabarkan variabel yang
akandiukur menjadi indikator variabel, kemudian indikator tersebut
dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang
dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.Guna mempermudah pengolahan
dan pengukuran data, jawaban dari responden diberi skor atau nilai. Skala
yang peneliti gunakan adalah Skala yang peneliti gunakan mengadopsi alat
ukur kesejahteraan sibjektif yang mengacu Online Social Support (OSSS)
Skala OSSS ini memiliki realibitas 0,94-0,97.

E. Validitas, Daya Diskriminasi Aitem, dan Realibitas


1. Validitas
Menurut Djaali & Muldjono (2017), validitas adalah sejauh mana
ketepatam dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi
ukurnya. Suatu tes atau instrument pengukuran dikatakan memiliki
validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya,
atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut. Artinya hasil ukur dari pengukuran tersebut

23
merupakan besaran yang mencerminkan secara tepat fakta atau
keadaan sesungguhnya dari apa yang diukur. Berdasarkan pada konsep
tersebut maka pengujian validitas aitem dalam penelitian adalah
menggunakan teknik validitas isi. Validitas isi menunjukkan seberapa
jauh suatu tes mengukur tingkat penguasaan terhadap isi suatu materi
tertentu yang seharusnya dikuasai sesuai dengan tujuan pengajaran.
Tes yang memiliki validitas baik adalah tes yang benar-benar
mengukur penguasaan materi yang seharusnya dikuasai sesuai dengan
konten pengajaran yang tercantum dalam garis-garis besar program
pengajaran (Djaali & Muldjono, 2017).
2. Daya Diskriminasi Aitem
Menurut Azwar (2010) Daya diskriminasi aitem adalah sejauh
mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok
individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Indeks
daya diskriminasi aitem merupakan indikator kerasan atau konsistensi
antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang
dikenal dengan istilah konsistensi aitem total. Biasanya pemilihan
aitem berdasarkan korelasi aitem total digunakan batasan rxy ≥ 0,3
atau 0,25. Dalam penelitian digunakan daya beda 0,3. Dengan
demikian semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,3,
maka daya bedanya dianggap memuaskan.
3. Realibitas
Menurut Djaali & Muldjono (2017) realibitas adalah sejauhmana
hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran hanya
dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran
terhadap kelompok subyek yang sama, diperoleh hasil pengukuran
yang relative sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek
memang belum berubah. Konsep realibitas dalam arti realibitas alat
ukur berkaitan erat dengan masalah eror pengukuran. Eror pengukuran
sendiri menunjukkan sejauh mana inkonsistensi hasil pengukuran
terjadi apabila dilakukan pengukuran ulang terhadap kelompok subyek

24
yang sama. Oleh karena itu, walaupun alat ukur yang sebelumnya telah
digunakan dalam sebuah penelitian, masih tetap perlu dilakukan
komputasi koefisien reabilitas. Sugiyono (2007) menyatakan suatu
instrument dinyatakan realibel bila koefisiesn realibitas minimal 0,70
(dalam Bahri & Zamzam, 2014). Oleh karena itu, maka dalam
penelitian ini, standar koefisien yang ditetapkan 0,70. Pada penelitian
ini, komputasi dibantu dengan perangkat lunak SPSS for Windows
version 22.0 dengan menggunakan formula Alpha Cronbach.

F. Teknik Analisis Data


Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis kolerasi product
moment pearson yaitu mengetahui hubungan antara online social support sebagai
variabel bebas (X) dan subjective well-being sebagai variabel terikat (Y). proses
analisis data akan dilakukan dengan bantuan program Statistical Product and
Service Solution (SPSS) versi 22.0 for Windows.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. & Asrori, M.(2006). Psikologi remaja, perkembangan peserta didik.


Jakarta: Bumi Aksara.

Amna, Z. (2016, Oktober 10). Dinamika kesehatan mental pada remaja. Diakses
dari: https://aceh.tribunnews.com/2016/10/10/dinamika-kesehatan-mental-
pada-remaja?page=2.

Azwar, S. (2010). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bahri, S., & Zamzam, F. (2014). Model penelitian kuantitatif berbasis SEM-
Amos. Yogyakarta: Deepublish.

Bambina, A. (2007). Online social support: The interplay of social networks and
computer - mediated communication. New York: Cambia Press.

Biswas-Diener, R., & Diener, E. (2006). The subjective well-being of the


homeless, and lessons for happiness. Social Indicators Research, 76 (2),
185- 205.

Budiaji, W. (2013). Skala pengukuran dan jumlah respon skala likert. Jurnal ilmu
pertanian dan perikanan, 2 (2), 127-133.

Carr, A. (2004). Positive Psychology : The Science of Happiness and Human


Strengths. Hove & NewYork : Brunner – Routledge Taylor & Francis
Group.

Dahono, Y. (2019, April 25). Saat remaja tak bisa kendalikan diri di media sosial.
Diakses dari https://www.beritasatu.com/fokus/kendalikan-diri-saat-
bermedsos.

Diener, E., & Pavot, W. (1993). Review of the satisfaction with life scale.
Psychological Assessment, 5 (2), 164-172.doi: 10.1037/1040-
3590.5.2.164.

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95 (3), 542-575.

Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent findings on subjective well-being.
Indian Journal of Clinical psychology, 24, 25-41.

Diener, E., & Lucas, R. E. (1999). Personality and subjective well-being. In D.


Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.), Well-being: The foundations of
hedonic psychology (pp. 213-229). New York, NY, US: Russell Sage
Foundation.
Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R.E., & Smith, H.L. (1999). Subjective well-being:
three decades of progress. Psychological Bulletin, 125 (2), 276-302.

Diener, E. (2000). Subjective well-being the science of happiness and a proposal


for a national index. American Psychologist, 55 (1), 34-43.
doi: 10.1037/0003-066X.55.1.34.

Diener, E. & Scollon, S. (2003). Subjective well-being is desireable, but not the
summum bonus. Diakses dari:
https://www.researchgate.net/publication/
228604713_Subjective_wellbeing_is_desirable_but_not_the_summum_bo
num.

Djaali & Muldjono, P.(2007). Pengukuran dalam bidang pendidikan. Jakarta:


Grasindo.

Eddington, N., & Shuman, R. (2008). Subjective well being (happiness).


California: Continuing Psychology Education Inc.

Gillbrand, R., Lam, V., & O’donnell, V.L. (2016). Developmental psychology:
second edition. Harlow: Pearson.

Gunarsa, S.D.(2006). Dasar dan teori perkembangan anak. Jakarta: PT BPK


Gunung Mulia.

Haryanto, A.T. (2018, Maret 12). 130 juta orang Indonesia tercatat aktif medsos.
Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-3912429/130-juta-orang-
indonesia-tercatat-aktif-di-medsos.

Heewon, Kim. (2014). Enacted social support on social media and subjective well
being. International Journal of Communication, 8, 2340-2342. Diakses
dari http://ijoc.org.

Junghyun, K., & Jong-Eun, R, L.(2011). The facebook paths to happiness: Effects
of the number of facebook friends and self- presentation on subjective
well-being. Cyberpsychology, Behavior& Social Networking, 6 (14), 359-
363.doi:10.1089/cyber.2010.0374.

Lyubomirsky, S., Diener, E., & King, L. (2005). The benefits of frequent positive
affect: does happiness lead to success?. Psychological Bulletin, 131 (6),
803-855. doi: 10.1037/0033-2909.131.6.803.

Marliyah, L., Dewi, F. I. R., & Suyasa, P. T. Y. S. (2004). Persepsi terhadap


dukungan orangtua dan pembuatan keputusan karir remaja. Jurnal
Provitae, 1 (1). pp. 59-82.

27
Morgan, N. (2014). Panduan mengatasi stress bagi remaja; diterjemahkan oleh
Dewi Wulansari. Tanggerang Selatan: Gemilang.

Nick, E.A., Cole, D.A., Smith, D.K., dkk. (2018). The online social support scale:
Measure development and validation. Psychol Assess, 30 (9), 1127-
1143.doi: 10.1037/pas0000558

NRC. (2013). Subjective well-being: measuring happiness, suffering, and other


dimensions of experience. Washington DC: The National Academies
Press.

OECD. (2013). OECD Guidelines on measuring subjective well-being. Paris:


OECD Publishing.

Papalia, D. E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2008). Human Development


(terjemahan A. K. Anwar). Jakarta: Prenada Media Group.

Pavot, W., & Diener, E. (1993). Review of the Satisfaction with Life Scale.
Psychological Assessment, 5, 164-172.

Ramdhani, N., Wimbarti, S.,& Susetyo, Y.F. (2018). Psikologi untuk Indonesia
tangguh dan bahagia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Roberts, A. R., & Greene, G. J. (2009). Buku pintar pekerja sosial: Social
workers’ desk reference jilid 2. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Santrock, J.W. (2003). Adolescence: perkembangan remaja. Edisi keenam.


Jakarta: Erlangga.

Sarafino, E.P.,& Smith, T.W. (2011). Health Psychology : Biopsychososial


interaction seventh edition. New York: John Wiley & Sons Inc.

Sarwono, S.W. (2010). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Seligman, M.E.P.(2002).Aunthentic happiness: Using the new positive


psychology to realize your potential for lasting fulfilment. New York: Free
Press.

Shin, D. C., & Johnson, D. M. (1978). Avowed happiness as an overall


assessment of the quality of life. Social Indicators Research, 5, 475- 492.
doi:10.1007/BF00352944.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

28
Syamsu Y. (2009). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung :
Remaja Rosdakarya.

Tahir, Muh. 2011. Pengantar Metodologi Penelitian Pendidikan. Makassar:


Universitas Muhammadiyah Makassar.

Tang, J. H., Chen, M. C., Yang, C. Y., Chung, T. Y., & Lee, Y. A. (2016).
Personality traits, interpersonal relationships, online social support, and
Facebook addiction. Telematics and Informatics, 33 (1), 102–108. doi:
10.1016/j.tele.2015.06.003.

Tarigan, M. (2018). Hubungan dukungan sosial dengan subjective well being


pada remaja yang memiliki orangtua tunggal. Jurnal Diversita, 4 (1), 1-8.
doi: http://dx.doi.org/10.31289/diversita.v4i1.1565.

Thalib, S.B. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif.


Jakarta: Kencana Media Group.

Tumanggor, R., Ridlo, K., & Nurochim.(2017). Ilmu sosial dan budaya dasar.
Jakarta: Kencana.

University of Oxford. (2010). The Dictionary.New York: Oxford University


Press.

Wang, E.S., & Wang, M.C. (2013). Social support and social interaction ties on
internet addiction : integrating online and offline context.
Cyberpsychology, Behavior& Social Networking, 16 (11), 843-849.

Widyastuti, Y., Rahmawati, A., Purwaningrum, Y.E. (2009). Kesehatan


Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya.

Wong, ETK; Ma, WWK. (2016). Exploring relationship between online social
support and individual online subjective well-being among young adults.
Conference Paper, Researchgate.net.

Liu, C. Y., & Yu, C. P. (2013). Can facebook use induce well-being?.
Cyberpsychology, Behavior and social networking, 16 (9), 674-678. doi:
10.1089/cyber.2012.0301.

Yusuf, M. (2017). Metode penelitian: kuantitatif, kualitatif, dan penelitian


gabungan. Jakarta: Kencana.

29
30

Anda mungkin juga menyukai