Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS FATWA DSN NO.

129 TENTANG BIAYA RILL SEBAGAI TA’WIDH


AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN DIPEGADAIAN PADANG
SIDEMPUAN
iFani Pratiwiv
ProgramoStudioHukumoEkonomioSyariah
UniversitasvIslamvNegribSumateraeUtara
Email : fanyyptw05@gmail.com
Abstrak:
Di era kontemporer, lembaga keuangan Islam berkembang pesat. Salah satunya adalah
pendirian Pegadaian Syariah yang terus berlanjut hingga saat ini. Pegadaian syariah tidak dapat
beroperasi tanpa adanya kemungkinan kerugian, salah satunya adalah nasabah yang terlambat
membayar cicilan bulanan. Dengan adanya kemungkinan kerugian tersebut maka diberlakukan
adanya ganti rugi (Ta’widh) yang juga di atur dalam Fatwa DSN-MUI No. 129/DSN-
MUI/VII/2019 tentang Biaya Rill Sebagai Ta’widh Akibat Wanprestasi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana praktek biaya rill sebagai ta’widh akibat wanprestasi pada
produk rahn di pegadaian syariah Padang Matinggi, serta bagaimana tinjauan Fatwa DSN-MUI
No. 129/DSN-MUI/VII/2019 tentang Biaya Rill Sebagai Ta’widh Akibat Wanprestasi dan
bagaimana analisis hukum Islam terdapat praktek ini. Penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian lapangan (field research). Metode yang digunakan adalah yuridis empiris. Metode
pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ini adalah dengan wawancara dan
dokumentasi. Sedangkan untuk menganalisis data menggunakan metode analisis deskriptif.
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ta'widh pada pegadaian syariah cabang
Padang Matinggi memenuhi semua peraturan perundang-undangan yang terkait, khususnya
Fatwa DSN-MUI. Tentang bagaimana menyikapi Fatwa DSN-MUI No. 129/DSN-MUI/VII/2019
Lembaga keuangan syariah bereaksi positif akibat penetapan kebijakan yang sesuai dengan
Fatwa DSN MUI yaitu menerapkan ta'widh dengan pengeluaran yang sebenarnya dan tidak
termasuk dalam kontrak dan formulir formula.

Kata Kunci: Ta’widh, Biaya Rill, Fatwa DSN-MUI

Abstract:
In the contemporary era, Islamic financial institutions are growing rapidly. One of them is the
establishment of Sharia Pegadaian which continues to this day. Islamic pawnshops cannot
operate without the possibility of loss, one of which is customers who are late paying monthly
installments. With the possibility of this loss, compensation (Ta'widh) is applied which is also
regulated in the DSN-MUI Fatwa No. 129/DSN-MUI/VII/2019 concerning Real Costs as Ta'widh
Due to Default. This study aims to find out how real costs are practiced as ta'widh as a result of
default on rahn products at Padang Matinggi sharia pawnshops, as well as how to review the
DSN-MUI Fatwa No. 129/DSN-MUI/VII/2019 concerning Real Costs as Ta'widh as a Result of
Default and how an analysis of Islamic law contains this practice. This research is included in
the type of field research (field research). The method used is empirical juridical. Data collection
methods used by this researcher are interviews and documentation. Meanwhile, to analyze the
data using descriptive analysis method. The results of this study indicate that the
implementation of ta'widh at the Padang Matinggi branch of Islamic pawnshops complies with
all relevant laws and regulations, especially the DSN-MUI Fatwa. Regarding how to respond to
the DSN-MUI Fatwa No. 129/DSN-MUI/VII/2019 Islamic financial institutions have reacted
positively as a result of establishing a policy that is in accordance with the DSN MUI Fatwa,
namely implementing ta'widh with actual expenditure and not included in contracts and
formula forms.

Keywords: Ta'widh, Real Cost, DSN-MUI Fatwa

A. PENDAHULUAN
Ta‟widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak penerima
jaminan akibat keterlambatan pihak tarjamin dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh
tempo. Pegadaian adalah organisasi kredit yang bekerja untuk mencapai tujuan dan sasaran
dan mencegah masyarakat umum membutuhkan pinjaman. Pasalnya, pinjaman dengan
agunan gadai banyak diminati oleh masyarakat, antara lain karena harganya yang terjangkau.
Fungsi utama pegadaian adalah untuk meyakinkan pemegang gadai bahwa pembayaran
hutang di masa depan akan dilakukan dari nilai jaminan. Ketika debitur atau nasabah
menyerahkan barang bergeraknya sebagai jaminan kepada PT. Pegadaian sebagai kreditur
dan permintaan kepentingan bisnis atau kepentingan pribadi lainnya sebagai akibat dari
kebutuhan itu, terjalin hubungan formal. Hak dan kewajiban kreditur dan konsumen
dituangkan dalam suatu perjanjian. Debitur memiliki kewajiban untuk memenuhi perikatan,
dan jika ia lalai untuk melakukannya sementara tidak dikenakan tindakan pemaksaan
sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang debitur, ia dianggap telah melanggar syarat-
syarat perikatan dan disebut wanprestasi.
Jika baik debitur maupun peminjam tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan
perjanjian gadai, salah satu pihak dapat disebut gagal dan perjanjian gadai dapat dianggap
wanprestasi. Karena lewatnya jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian gadai, debitur
dianggap melanggar ketentuan-ketentuan perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. KUH Perdata menyatakan bahwa debitur dapat dianggap wanprestasi jika syarat-
syarat tertentu terpenuhi, seperti ketika perjanjian menentukan tanggal tertentu sebagai
tanggal pelaksanaan hak dan kewajiban. (tanggal pengiriman barang dan tanggal
pembayaran). Akibat hukum dari debitur yang melanggar pengaturan gadai dapat mencakup
kompensasi kerugian debitur, pembatalan kontrak, pengalihan risiko, dan membayar biaya
pengadilan jika mereka dituntut secara hukum di pengadilan. Dalam kenyataannya, PT
Pegadaian memanfaatkan hak penangguhannya, yaitu melakukan eksekusi langsung atas
harta kekayaan yang seharusnya menjadi jaminan jika debitur wanprestasi.

Melihat fenomena perkembangan Industri keuangan syariah dan Lembaga Keuangan


Syariah yang dituntut untuk mempunyai upaya efektif dalam menangani pembiayaan
bermasalah yang dimilikinya maka tidak bisa dipisahkan dari pembahasan mengenai ganti
rugi atau ta‘widh. DSN-MUI pun sudah mengeluarkan fatwa-fatwa terkait pembiayaan
bermasalah sebagai pedoman dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh lembaga
keuangan syariah seperti Fatwa tentang Restrukturisasi, Sanksi atas Nasabah yang menunda
pembayaran, dan Ta‘widh. Dalam fatwa telah dijelaskan sedemikian rupa tentang ketentuan-
ketentuan mengenai pedoman untuk bertransaksi sesuai prinsip syariah, namun dalam
pengaplikasiannya masih terdapat kekeliruan dan ketidaksesuaian antara teori dan praktik.
Dalam kasus ini, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Fatwa ta‘widh yang baru saja
dirilis oleh DSN-MUI pada 2019 lalu, yaitu Fatwa No.129 tentang Biaya Riil Sebagai
Ta‘widh Akibat Wanprestasi. Sebelumnya telah ada fatwa tentang ta‘widh yaitu Fatwa DSN
No.43 tentang Ta‘widh, yang berisikan pedoman pengenaan ganti rugi atas pihak yang
dengan sengaja melakukan sesuatu yang melanggar perjanjian sehingga menimbulkan
kerugian bagi pihak lain dan 5 penegasan bahwasanya besaran ganti rugi yang dibayarkan
haruslah kerugian riil bukan kerugian yang diperkirakan pun tidak boleh dicantumkan dalam
akad. Kemudian selang 16 tahun lamanya dari perilisan fatwa No.43 tentang Ta‘widh barulah
dikeluarkan Fatwa DSN-MUI No.129 tersebut yang isinya kurang lebih sama dengan fatwa
No.43 hanya saja terdapat perincian penjelasan biaya riil dan menekankan bahwasanya biaya
riil tidak boleh dicantumkan dalam akad dan tidak boleh dicantumkan dalam bentuk rumus.

B. METODE PENELITIAN

Teknik penelitian adalah prosedur ilmiah yang dilakukan secara bertahap, dimulai dengan
pemilihan subjek, pengumpulan data, dan analisis data, untuk mengkaji lebih lanjut suatu
topik, fenomena, atau masalah tertentu. Dalam hal ini, penulis menggunakan metodologi
yuridis empiris untuk mengkaji Fatwa No.129 tentang Biaya Riil Sebagai Ta‘widh Akibat
Wanprestasi. Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ini adalah dengan
wawancara dan dokumentasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. PEGADAIAN SYARIAH (ar-Rahn)

Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-Rahn dalam
istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan rungguhan. Dalam Islam ar-
Rahn merupakan sarana saling tolong menolong (ta’awun) bagi umat Islam dengan tanpa
adanya imbalan jasa.1

Sedangkan secara terminologi, ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperolah jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.2 Jadi, ar-Rahn adalah semacam
jaminan utang atau lebih dikenal dengan istilah gadai.

Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan atas utang yang
dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan semua barang yang pantas
sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan. Barang jaminan itu baru boleh
dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dapat
dilunasi oleh pihak yang berutang. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan
barang jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya.3 Maka orang
yang pegang gadai didahulukan dari kreditor-kreditor lain.

Dasar Hukum Gadai Syariah (Ar-Rahn): Para ulama fiqh telah sepakat (ijma’) bahwa
gadai dibolehkan dalam Islam berdasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam surat
alBaqarah/2: 283 Allah berfirman:

ۗ ٌ‫ضة‬ َ ‫ع ٰلى‬
َ ‫سفَ ٍر َّولَ ْم ت َِجد ُْوا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقب ُْو‬ َ ‫َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم‬
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai), sedang kamu
tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipengag (oleh
orang yang berpiutang). (Q.S. al-Baqarah/2: 283)

Para ahli fikih sepakat bahwa perbuatan Nabi Muhammad ketika menggadaikan
senjatanya merupakan kasus ar-rahn pertama dalam Islam dan dilakukan oleh Nabi sendiri.
Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhari, al-Nasa'i, dan Ibn Majah semuanya meriwayatkan kisah yang
sama dari Anas Ibn Malik, tetapi dengan editorial yang sedikit berbeda. Berdasarkan ayat di

1
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1, hlm. 251
2
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), cet. ke-
1, hlm. 128
3
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, hlm. 252
atas, para ahli fikih sepakat bahwa perjanjian ar-rahn (pegadaian) adalah sah karena memiliki
banyak aspek positif, termasuk kemampuan untuk membantu orang lain.

Rahn memiliki empat unsur yaitu rahin (pihak yang menggadaikan), al-murtahin (pihak
yang menerima gadai), al-marhun (barang yang digadaikan), al-marhun bih (utang).4 Para
ahli Hanafiyah menyatakan bahwa, sebagaimana akad lainnya, rukun rahn adalah ijab dan
qabul, yang meliputi rahin dan murtahin. Tetapi jika tidak ada aplikasi sekunder, itu tidak
ideal. Menurut ulama lain rukun rah nada tiga selain ijab dan qabul. Rukun tersebut adalah
„aqid (rahin dan murtahin), marhun (barang yang digadaikan), marhun bih (utang).

2. GANTI RUGI (TA’WIDH)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ganti rugi adalah uang yang diberikan sebagai
pengganti kerugian; pampasan. Sedangkan dalam bahasa arab Ta‘zir atau ta‘widh yakni ganti
rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan akibat seorang nasabah terlambat membayar
kewajibannya setelah jatuh tempo. Dalam Fatwa DSN Ta‘widh adalah ganti rugi terhadap
biayabiaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam
membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.5

Kata al-Ta‘widh berasal dari kata ‘Iwadh (‫ضع‬


ٕ ( yang artinya ganti atau kompensasi.
Sedangkan al-ta‘wiidh sendiri secara bahasa berarti mengganti (rugi) atau membayar
konpensasi. Adapun menurut istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran
atau kekeliruan. Wahbah al-Zuhaili berpendapat mengenai ta‘widh adalah menutup kerugian
yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba‘li,
Mafahim Asasiyyah fi alBunuk al-Islamiyah, Ta‘widh adalah Ganti rugi karena penundaan
pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat
penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan
pembayaran tersebut.6

Ada dua penyebab timbulnya ganti rugi, yaitu:

1. Ganti rugi karena wanprestasi (Pasal 1240 KUH Perdata): ganti rugi yang dibebankan
kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan

4
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu 6, …, hlm. 111.
5
Fatwa DSN MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta‘widh)
6
Abd al-Hamid Mahmud al-Ba‘li, Mafahim Asasiyyah Fi Al-Bunuk al-Islamiyah (Kairo: Ma‘had al-‘Alami li
al-Fikr al-Islami, 1996), h.115
debitur. Pembebanan ganti rugi ini atas perintah pengadilan setelah melalui proses somasi
minimal tiga kali. “Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya , rugi, dan bunga sekedar disebabkan
terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang,
dan tidak mengurangi peraturan undang-undang khusus. Penggantian biaya, rugi, dan
bunga tersebut wajib dibayar, dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si
berpiutang.Penggantian biaya, rugi, dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai dari
ia diminta di muka pengadilan, kecuali dalam hal-hal dimana undang-undang menetapkan
bahwa ia berlaku demi hukum.”

2. Ganti rugi karena perbuatan melawan (Pasal 1365 KUH Perdata): ganti rugi yang
dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang
dirugikannya. Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya
perjanjian. “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”

Hanya pihak yang dengan sengaja atau lalai melanggar syarat-syarat akad dan
menimbulkan kerugian bagi pihak lain yang berhak mendapat ganti rugi (tawidh). Biaya riil
yang dapat dihitung dengan jelas adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan untuk menagih
hak yang seharusnya dibayar. Kerugian yang dapat dipertahankan adalah kerugian. Jumlah
tersebut berhubungan dengan kemalangan nyata yang berbeda yang dialami (fixed cost)
dalam pertukaran dan bukan musibah yang seharusnya terjadi (expected disaster) karena
rusaknya pintu yang terbuka (opportunity malapetaka atau al-furshah al-dha-i'ah). Transaksi
(akad) yang menimbulkan utang (dain), seperti salam, istishna', murabahah, dan ijarah, hanya
berhak mendapat ganti rugi (tawidh). Ganti rugi dalam akad Mudharabah dan Musyarakah
hanya dapat diminta oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah jika bagi
hasil jelas tetapi tidak dibayarkan.7

Dalam Fatwa DSN No.129 dijelaskan bahwa tidak hanya besaran ta‘widh yang tidak
boleh dicantumkan dalam akad, melainkan tidak boleh pula dicantumkan dalam bentuk
rumus. Dan apabila benar tedapat kerugian maka biaya riil dari ta‘widh tersebut harus dapat
dinilai secara nominal, selanjutnya dana ta‘widh yang diterima LKS dapat diakui sebagai

7
Peraturan Bank Indonesia NO.7/46/PBI/2005 Pasal 19
kompensasi dari kerugian yang sudah dikeluarkan LKS, namun LKS dilarang mengambil
biaya kelebihan dari dana tersebut.

3. WANPRESTASI

Menurut Riduan A. Syahrani, kegagalan terjadi ketika pailit gagal memenuhi kewajiban
yang digariskan dalam akad. Subekti mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan
perjanjian yang tidak dilakukan tepat waktu, tidak dilakukan seperti yang dinyatakan, atau
tidak dilakukan sama sekali.

wanprestasi baru terjadi apabila ditetapkan bahwa debitur lalai dalam menjalankan
kewajibannya; dengan kata lain, wanprestasi terjadi ketika debitur tidak dapat menunjukkan
bahwa kegagalannya terjadi secara kebetulan atau akibat dari keadaan yang memaksa.
Kreditur dapat diminta untuk memanggil kembali atau menegur debitur untuk memenuhi
tanggung jawabnya jika tenggang waktu untuk penyelesaian penyelesaian tidak ditetapkan.8

Ada 3 bentuk wanprestasi, yaitu : Tidak memenuhi prestasi sama sekali, Terlambat
memenuhi prestasi, Memenuhi prestasi secara tidak baik. Akibat hukum bagi debitur yang
wanprestasi adalah: Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (pasal 1243 BW). Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut
pemutusan/pembatalan melalui hakim (pasal 1266 BW). Dalam perikatan untuk memberikan
sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 BW).

4. Fatwa DSN MUI No.129/DSN-MUI/VII/2019 tentang Biaya Riil Sebagai Ta’widh


Akibat Wanprestasi

Tujuan fatwa ini adalah untuk memberikan pedoman kepada Lembaga Keuangan Syariah
dalam menentukan biaya ta'widh, mengontrol standar biaya aktual selama proses
reorganisasi, dan menentukan komponen biaya yang diperbolehkan sesuai dengan prinsip
syariah. Di Balai Buya Hamka, fatwa ini disahkan pada 6 Februari 2020 bersamaan dengan
draft Fatwa Sukuk yang terbit pada 3 Juli 2019. Fatwa ini menindaklanjuti pedoman dalam
Fatwa Nomor 48 tentang penjadwalan kembali tagihan Murabahah, yang menyatakan bahwa
setiap biaya yang mungkin dikenakan konsumen adalah biaya yang sebenarnya.

8
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Cet ke-3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), h.49.
Ta'widh (Ganti Rugi) adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang
yang dibebankan kepada seseorang atau badan karena melakukan wanprestasi. Biaya riil
adalah biaya-biaya langsung yang nyatanyata dikeluarkan akibat wanprestasi.

A. Ketentuan Biaya Riil

1. Biaya riil yang boleh dikenakan oleh LKS kepada nasabah harus memenuhi kriteria
berikut:

a. dapat ditelusuri (trace-ability) atas biaya penagihan dan kerugianriil yang nyata-nyata
terjadi sebagai kepatutan, kewajaran, dan kelaziman dalam proses bisnis (al-urf ash-shahih);

b. terkait langsung dengan biaya penagihan dan kerugian akibat pembatalan yang bersifat
variabel yang telah terjadi (incurred direct variable cost); dan

c. jumlah atau nilainya harus memenuhi prinsip kepatutan, kewajaran, dan kelaziman
(Arm's Length Principle/AlP).

2. Biaya riil dalam rangka penagihan akibat wanprestasi dapat berupa biaya riil atas jasa
penggunaan pihak ketiga untuk penagihan;

3. Biaya riil dalam rangka penagihan akibat wanprestasi dapat berupa biaya riil tanpa
jasa penggunaan pihak ketiga untuk penagihan, antara lain dapat meliputi:

a. Biaya komunikasi;

b. Biaya surat menyurat;

c. Biaya perjalanan;

d. Biaya jasa konsultasi hukum;

e. Biaya jasa notariat;

f. Biaya perpajakan; dan

g. Biaya lembur dan kerja ekstra.

B. Ketentuan Ta‘widh

1. Ta'widh hanya boleh dikenakan kepada nasabah atas biaya riil yang sudah dikeluarkan
akibat wanprestasi;
2. Jenis-jenis biaya riil pada ketentuan tentang biaya riil (ketentuan kedua angka

3) harus disepakati oleh para pihak dalam akad;

3. Besarnya biaya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad, dan tidak boleh
dicantumkan dalam bentuk rumus;

4. Dana ta'widh yang diterima LKS dapat diakui sebagai kompensasi atas biaya riil yang
sudah dikeluarkan (replacement cost); dan tidak boleh mengambil kelebihan dari ganti rugi
(ta'widh) yang dibebankan;

5. Biaya riil harus dapat dinilai secara nominal.

5. Analisis Praktek Biaya Rill Sebagai Ta’widh Akibat Wanprestasi Di Pegadaian


Padang Sidempuan Terhadap Fatwa DSN MUI No.129/DSN-MUI/VII/2019

Berdasarkan hasil wawancara kepada pihak nasabah pegadaian Padang Matinggi di kota
Padang Sidempuan dengan ibu Elvina Sari Pane, di pegadaian Padang Matinggi di kota
Padang Sidempuan menggunakan akad Rahn. Akad Rahn sendiri adalah menjadikan suatu
benda yang bernilai (menurut syara’) sebagai penguat hutang yang dapat dijadikan
pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya dengan menjual atau memiliki benda tersebut.

Produk rahn Pegadaian syariah adalah produk Pegadaian Syariah berbentuk pembiayaan
gadai emas, di mana emas seperti perhiasan maupun emas batangan bisa dijadikan
agunannya. Pinjaman (marhun bih) mulai dari Rp 50 ribu sampai dengan Rp 1 miliar ke atas
dengan jangka waktu pinjaman 4 bulan dan bisa diperpanjang. Untuk Rahn cara
pembayarannya sesuai dengan kemampuan nasabah (rahin), boleh melunasi sekaligus,
mencicil, atau melakukan perpanjangan rahn dengan membayar biaya pemeliharaan
(mu'nah)-nya saja. Tidak ada bunga pinjaman, namun nasabah dikenakan biaya mun'ah
sebesar Rp 2 ribu sampai Rp 120 ribu. Dimana syarat dan ketentuannya sebagai berikut:

1. Tarif Sewa Modal dihitung per 15 hari (1 s.d, 15 hari dihitung sama dengan 15 hari),
kecuali Gadai Fleksi.

2. Sewa modal dihitung sejak tanggal kredit sampai dengan tanggal pelunasan dan/atau
perpanjangan oleh NASABAH, hasilnya dibulatkan ke atas dengan kelipatan Rp. 100,-
(seratus rupiah).
3. Jangka waktu kredit maksimum .... Hari, kredit dapat dilunasi atau diperpanjang (ulang
gadai, mengangsur uang pinjaman, dan minta tambah uang pinjaman) sebelum dan/atau
sampai dengan tanggal jatuh tempo.

4. Bila transaksi pelunasan dan perpanjangan kredit dilakukan oleh NASABAH di


Cabang/Unit Pelayanan Cabang Online atau tempat lain yang ditunjuk oleh PT
PEGADAIAN (Persero), maka NASABAH menyetujui bukti transaksi (struk atau dokumen
elektronik) sebagai addendum perjanjian dari Surat Bukti Gadai ini.

5. Dalam hal terjadi perpanjangan Kredit untuk tanggal jatuh tempo, tanggal lelang,
besaran uang pinjaman, besaran sewa modal, dan Rincian barang jaminan tercantum dalam
bukti transaksi (struk atau dokumen elektronik).

6. Pengambilan barang jaminan harus menyerahkan Surat Bukti Gadai asli dan
menunjukkan kartu identitas (KTP/PASPOR).

7. Surat Bukti Gadai dan nota transaksi (struk) harap disimpan dengan baik, jika hilang
agar segera melapor ke Cabang/Unit Pelayanan Cabang PT PEGADAIAN (Persero) penerbit
Surat Bukti Gadai.

8. NASABAH wajib mentaati syarat dan ketentuan serta isi perjanjian yang tertera dalam
Surat Bukti Gadai beserta addendumnya.

9. Jika NASABAH melakukan perubahan data identitas setelah terbitnya Surat Bukti
Gadai ini agar segera menginformasikan ke Cabang/Unit Pelayanan Cabang penerbit.

Di pegadaian Padang Matinggi jika jika ada nasabah yang melakukan keterlambatan
(wanprestasi) maka pihak Pegadaian memberikan peringatan dengan surat teguran kepada
nasabah. Tetapi jika nasabah tetap tidak melunasi atau memperpanjang kredit sampai tanggal
jatuh tempoh, maka barang jaminan akan di lelang. Dengan biaya proses lelang maks. 5,5%,
biaya lelang penjual 1 % x pendapatan lelang dan biaya lelang pembeli 1% x pendapatan
lelang. Jika belum terjual lelang Dalam Proses Lelang (BJDPL) dapat diselesaikan oleh
Nasabah dengan dikenakan tambahan biaya administrasi penyelesaian BJDPL sebesar Min
0.5%, Barang Jaminan dan Maks 5,5% dari Uang Pinjaman.

Pegadaian Padang matinggi juga menetapkan ganti rugi (Ta’widh). Ganti rugi (Ta’widh)
sendiri adalah ganti rugi yang ditanggungkan kepada nasabah yang dengan sengaja atau lalai
dalam melalukan pembayaran angsuran dan ganti rugi tersebut sudah ditentukan dalam surat
perjanjian. Ganti rugi tersebut digunakan untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh pihak
Pegadaia ketika memberitahukan kepada nasabah yang melakukan keterlambatan angsuran
atau kredit..

Pelaksanaan ganti rugi (Ta’widh) pada proses restrukurisasi (perpanjangan jangka waktu
tagihan) ialah jika nasabah benar-benar dalam keadaan tidak bisa melunasi tapi masih
mempunyai itiqad baik untuk membayar kewajibannya, maka pihak Pegadaian Syariah
Kendal Permai berhak untuk melakukan restrukturisasi terhadap angsuran nasabah yang
menunggak yang telah menjadi kewajibannya. Proses restrukturusasi itu tentunya ada biaya-
biaya yang dikeluarkan oleh pihak Pegadaian atas proses penagihan kepada pihak nasabah,
dan itu harus benar-benar riil perhitungannya. Misalnya pihak Pegadaian Butuh
mengeluarkan biaya telpon untuk menghubungi nasabah, biaya transportasi untuk survey ke
rumah nasabah atau yang lainnya dan itu harus jelas pembuktiannya.

6. Analisis di Pegadaian Konvensional Padangsidimpuan

Berdasarkan wawancara salah satu pihak pegadaian mengenai sistem ganti rugi ataupun
ta’widh digadai tersebut tidak menerapkan sistem fatwa DSN MUI No.129/DSN-
MUI/VII/2019. Dan tidak ada sistem ganti rugi akibat wanprestasi dan tidak ada persenan
ganti rugi jika nasabah telat bayar maka barang jaminan di eksekusi tetapi sebelum
melakukan eksekusi nasabah diberi peringatan atau somasi sampai tiga kali melalui surat.
Dan biaya rill atas surat tersebut tidak diperhitungkan atau tidak dibebankan oleh nasabah.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pihak gadai konvensional dan gadai
syariah ada yang menerapkan sistem fatwa DSN MUI No.129/DSN-MUI/VII/2019. Seperti
pada gadai konvensional gadai tersebut tidak menerapkan sistem tersebut dan gadai syariah
menerapkan sistem fatwa DSN MUI No.129/DSN-MUI/VII/2019 yang dimana biaya rill
akibat wanprestasi biaya tersebut di bebankan oleh nasabah.
DAFTAR PUSTAKA

Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), cet. ke-1.

Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu 6, …,

Fatwa DSN MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta‘widh)

Abd al-Hamid Mahmud al-Ba‘li, Mafahim Asasiyyah Fi Al-Bunuk al-Islamiyah (Kairo:


Ma‘had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1996).

Peraturan Bank Indonesia NO.7/46/PBI/2005 Pasal 19

Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Cet ke-3 (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007).

Wawancara pihak pegadaian konvensioan Kak Anggun Novia pada tanggal 16 Juni 2023 dan
pihak nasabah gadai syariah Elvina Paneh pada tanggal 7 April 2023.

Anda mungkin juga menyukai