Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut di
persetujuan itu.48 Perjanjian menurut Subekti adalah “suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
perikatan. Yang dimaksud dengan perikatan dalam Buku III KUHPerdata, adalah
“suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau
dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut”.
Perikatan memiliki arti yang lebih luas dari perjanjian, sebab dalam Buku III
KUHPerdata tersebut juga diatur perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul
dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan
48
W.J.S. Poerdwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
hlm.402.
49
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Interasa, 1990), hlm.1.
26
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).50
bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas
untuk mengikatkan diri dan kemauan tersebut harus dinyatakan, baik secara tegas
dengan mengucapkan kata atau tertulis, maupun secara diam-diam dengan suatu
sikap atau dengan isyarat. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama suatu
perjanjian yang sah tersebut dianggap tidak ada dan karenanya kesepakatan itu tidak
sah mengikat apabila perjanjian tersebut terjadi oleh karena adanya unsur paksaan
Dalam dunia hukum, kecakapan atau cakap hukum untuk membuat perjanjian
terkait dengan subjek hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada
umumnya diukur dari suatu standar, yaitu untuk manusia (natuurlijke persoon) diukur
dari standar usia kedewasaan (meerderjarig), sedangkan untuk badan hukum (recht
persoon) diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid). Dalam ketentuan Pasal 1330
50
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hlm.122.
51
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hlm.17.
perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah
Nomor 3 Tahun 1963 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh
satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu
tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawahkekuasaan orang tua, berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian
ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini.”
jo. Pasal 330 KUHPerdata tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa syarat
cakap bertindak bagi orang perorangan adalah telah berusia 21 tahun atau telah lebih
dahulu menikah, serta tidak ditaruh di bawah pengampuan.52 Syarat cakap melakukan
perbuatan hukum bagi badan usaha yang berbadan hukum didasarkan pada
kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya, karena itu badan hukum
dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum ketika badan hukum tersebut
telah mendapat pengesahan dari menteri, sehingga badan hukum ini memiliki hak-
52
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm.184-185.
seperti manusia.53
Suatu hal tertentu terkait dengan objek perjanjian atau prestasi yang wajib
(hak dan kewajiban). Artinya sifat dan luasnya hak-hak dan kewajiban kedua belah
kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum)
yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan
Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditor dan
debitor wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Format
dan bentuk dari perjanjian itu pada umumnya diserahkan pada bank, namun isi dari
perjanjian itu harus jelas sehingga juga harus memperhatikan keabsahan dan
para pihak, besar kredit, bunga, denda, jangka waktu kredit dan persyaratan lain yang
53
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Banker Hand Book, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.35.
54
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1995), hlm.227.
format kredit biasanya dipersiapkan oleh bank maka bank harus memperhatikan
itu tidak menjadi batal. Seperti masalah kecakapan bertindak para pihak dalam
tersebut tidak boleh mempunyai unsur paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) atau
penipuan (bedrog).55
Menurut Subekti, dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan,
semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769
makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika dipakai, termasuk
didalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini pihak yang menerima
pinjaman menjadi pemilik uang yang dipinjam dan dikemudian hari akan
kredit adalah perjanjian pokok atau prinsip sedangkan perjanjian jaminan adalah
perjanjian ikutan atau accessoir, artinya ada dan berakhirnya perjanjian jaminan
55
Ibid., hlm.235-236.
56
Subekti, Hukum Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1989), hlm.3.
Subjek perjanjian kredit adalah pihak kreditor yang berhak atas prestasi dan
pihak debitor yang berkewajiban atas prestasi.57 Dalam suatu perjanjian terdapat dua
pihak atau lebih. Pihak-pihak dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi
Objek perjanjian kredit adalah prestasi, yaitu debitor berkewajiban atas suatu
prestasi dan kreditor berhak atas suatu prestasi.58 Menurut Pasal 1234 KUHPerdata,
prestasi dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat
sesuatu. Terkait objek perjanjian yang merupakan salah satu syarat sahnya perikatan,
3. Wanprestasi
perikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang lalai harus memberikan penggantian
57
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.10.
58
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.3.
59
Ibid., hlm.4.
60
J.C.T Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara
Baru, 1987), hlm.186.
tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.61 Wanprestasi
(kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat macam :62
c. Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUHPerdata).
d. Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah
debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak
kreditor.
e. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat membebaskan diri
61
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm.6.
62
Subekti, Op.cit., hlm.45.
63
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
hlm.81.
kewajibannya.
dalam bentuk klausul-klausul evens of default yang menentukan suatu peristiwa yang
apabila terjadi, memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri
perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding
untuk mengurus harta kekayaannya, barang jaminan, serta kelalaian debitor untuk
dalam bentuk pencairan dana kredit, sedang debitor mempunyai prestasi berupa
pembayaran angsuran utang pokok dan bunga menurut tata cara dan jangka waktu
merupakan bentuk dari wanprestasi dalam perjanjian kredit antara lain, debitor lalai
atau tidak melaksanakan kewajibannya dalam membayar lunas angsuran utang pokok
atau bunga selama dua bulan berturut-turut pada waktu dan dengan cara yang telah
ditetapkan dalam perjanjian kredit, jika debitor atau pemilik jaminan dan/atau para
penjamin kehilangan haknya untuk mengurus harta bendanya atau jika debitor
dibubarkan baik atas keputusan Rapat Umum Pemegang Saham maupun keputusan
pengadilan.
Kredit dapat diberikan dengan jaminan atau tanpa jaminan. Kredit tanpa
jaminan sangat membahayakan posisi bank mengingat jika debitor mengalami suatu
kemacetan maka akan sulit untuk menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan,
sebaliknya dengan jaminan kredit relatif lebih aman mengingat setiap kredit macet
pemberian kredit yang memadai agar kredit-kredit yang diberikan oleh bank tersebut
tidak mudah menjadi non-performing loan atau kredit macet. Apabila kredit-kredit
yang diberikan oleh suatu bank banyak mengalami kredit macet, maka sudah tentu
para nasabah penyimpan dana. Kemampuan bank untuk dapat membayar kembali
simpanan dari masyarakat itu tergantung dari kemampuan bank untuk memperoleh
pembayaran kembali kredit-kredit yang diberikan oleh bank kepada para nasabah
debitornya.
64
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.113.
bahwa untuk memperoleh jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas
dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh
bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
nasabah debitor, yang kemudian dikenal dengan sebutan The five C of credit analysis
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
bahwa yang dimaksud jaminan adalah “suatu keyakinan bank atas kesanggupan
debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Agunan menurut
Pasal 1 butir 23 adalah “jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada
bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit”.66 Ini berarti jaminan kredit yang
selama ini dikenal dengan sebutan collateral sebagai bagian dari 5 C’s, istilah
65
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm.246-248.
66
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.73.
agunan, maka arti dari jaminan (pemberian) kredit tersebut telah mengalami
pergeseran, sehingga tidak sesuai lagi dengan pengertian yang lazim dikenal selama
ini.67
nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk
pembayaran dari utang debitor berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat antara
kreditor dengan debitor”.68 Jaminan kredit menurut Djuhaendah Hasan sebagai suatu
sarana perlindungan bagi keamanan kreditor yaitu kepastian akan pelunasan utang
debitor atas pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor.69
bagi para kreditor melalui jaminan secara umum sebagaimana yang tercantum dalam
perlindungan keamanan kreditor, yaitu kepastian akan pelunasan utang debitor atas
pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor. 70 Sedangkan
diberikan oleh debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor karena pihak kreditor
67
Rachmadi Usman, Op.cit., hlm.282-283.
68
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm.142
69
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang
Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996), hlm.233.
70
Rachmadi Usman, Op.cit., hlm.61.
suatu perikatan.
bahwa suatu jaminan dalam perjanjian kredit, tidak lain adalah suatu upaya untuk
mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pencairan
guna memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit, jika investasi yang
dibiayai bank mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula,
maka pihak bank dapat menarik kembali dana yang disalurkan dengan memanfaatkan
berlaku. Sehingga apabila di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitor, bank
telah mempunyai alat bukti yang sempurna dan lengkap untuk menjalankan
tindakan hukum.
b. Marketable, artinya apabila jaminan kredit tersebut harus, perlu, dan dapat
dieksekusi, jaminan tersebut dapat dengan mudah dijual atau diuangkan untuk
71
H.R. Daeng Naja, Op.cit., hlm.209.
2. Jaminan Perorangan
kewajiban debitor kepada kreditor, apabila debitor yang bersangkutan cidera janji
(wanprestasi).72
mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk
3. Jaminan Kebendaan
maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta baik
dari si debitor, maupun dari pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-
kewajiban debitor kepada pihak kreditor, apabila debitor yang bersangkutan cidera
janji (wanprestasi).
72
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1998), hlm.164.
73
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1992), hlm.25.
suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakannya guna
debitor sendiri atau kekayaan pihak ketiga. Penyendirian atau penyediaan secara
khusus itu diperuntukkan bagi keuntungan seorang kreditor tertentu yang telah
memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan secara khusus itu,
bagian dari kekayaan tadi seperti halnya seluruh kekayaan debitor dijadikan jaminan
istimewa (privelege) terhadap para kreditor lain, dalam mengambil pelunasan atas
Hak jaminan kebendaan ini menurut sifatnya dibedakan dalam 2 (dua) macam
yaitu :76
tidak bergerak. Sedangkan benda/barang tidak berwujud yang lazim diterima oleh
bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih debitor terhadap pihak ketiga.
74
Ibid., hlm.27.
75
Ibid.
76
H.R. Daeng Naja, Op.cit., hlm.214.
Barang bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank dapat
berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang dagangan, dan sebagainya
yang dapat dinilai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan barang tidak
bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank dapat berupa tanah,
bangunan, kapal berukuran 20 m3 (dua puluh meter kubik) ke atas dan lain-lain
bergerak dan barang tidak bergerak tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 506 sampai
1999 tentang Jaminan Fidusia dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa:
”Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam
undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan hutang
tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima
fidusia terhadap kreditor lainnya”.
terdapat antara lain dalam Pasal 1 butir 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, benda-benda tersebut adalah
sebagai berikut:
e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.
f. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik.
g. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan ada
dikemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan
suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
h. Dapat atas satu satuan jenis benda.
i. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.
j. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.
k. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan
fidusia.
l. Benda persedian (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek
jaminan fidusia.77
mesin dan alat-alat berat, debitor (pemberi fidusia) berhak menguasai objek jaminan
barang dagangan (inventory), pemberi fidusia dalam kapasitas sebagai kuasa dari
kreditor (penerima fidusia) berhak dan diperkenankan menukar atau menjual atau
mengalihakan objek jaminan kepada pihak lain dan debitor (pemberi fidusia)
berkewajiban mengganti dari objek yang digunakan sesuai jumlah yang dijual atau
dialihkan dengan objek fidusia lainnya sesuai jumlah yang diperjanjikan yaitu dengan
77
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, cetakan kedua edisi revisi, (Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2003), hlm.48.
”Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari orang-orang
berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus dikeluarkan”.
Objek gadai adalah barang bergerak bertubuh dan tak bertubuh yaitu
diantaranya saham, deposito, emas dan benda berharga lainnya. Dalam gadai terjadi
penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan objek gadai dari pemberi gadai
kepada penerima gadai. Dana pembebanan jaminan gadai hapus bila objek gadai
Jaminan gadai memberikan hak preferent kepada penerima gadai (dalam hal
ini kreditor), dimana kreditor penerima gadai mempunyai hak yang didahulukan
(preferent) terhadap kreditor lainnya artinya bila debitor dinilai cedera janji atau lalai
maka kreditor penerima gadai mempunyai hak untuk menjual jaminan gadai tersebut
dan hasil penjualan digunakan terutama untuk melunasi hutang debitor. Apabila
terdapat kreditor lain yang juga memiliki tagihan kepada debitor tersebut, kreditor
yang ada setelah kreditor pertama tidak akan mendapat pelunasan sebelum kreditor
dibebankan dengan hipotik. Pembebanan kapal laut sebagai objek jaminan kredit
a. Atas kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit 20 m3 isi kotor dapat
didaftar dalam register kapal menurut ketentuan-ketentuan yang di tetapkan
dalam suatu ordonansi tersendiri.
b. Atas kapal-kapal yang didaftar dalam register kapal-kapal dalam pembangunan
dan kapal dalam andil-andil seperti itu dapat dibebani dengan hipotik.
Dari bunyi Pasal diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa bahwa
a. Kapal tersebut adalah kapal laut Indonesia dan tidak berlaku untuk kapal asing.
Kapal laut yang dimaksud dalam pasal ini dianggap sebagai benda tetap (tidak
bergerak) apabila kapal telah terdaftar. Apabila kapal tersebut belum terdaftar dalam
register pendaftaran kapal Indonesia maka kapal laut tersebut dapat dibebankan
dengan jaminan fidusia. Sedangkan dalam hal pesawat terbang sebagai jaminan dapat
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah dicabut, kecuali
berlakunya UUPA. Sesuai perintah Pasal 51 UUPA, pada tahun 1996 lahirlah
diundangkan pada tanggal 09 April 1996 dalam Lembar Negara RI Tahun 1996
Nomor 42 dan Tambahan Lembar Negara RI Nomor 3632, dan diberlakukan mulai
Dalam UUHT yang diatur adalah hak tanggungan yang objeknya menyangkut
masalah tanah saja, hal ini karena berhubungan dengan UUPA yang merupakan dasar
hukumnya. Menurut Pasal 51 UUPA yang dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB),
Hak Guna Usaha (HGU), tersebut diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 UUPA.
Kesemuanya yang disebutkan di atas adalah hak atas tanah, hal mana
menunjukkan, bahwa pada asasnya yang menjadi objek Hak Tanggungan (sesuai
dengan objek pengaturan UUPA berdasarkan Pasal 1 sub 2, Pasal 2 sub 1 dan Pasal 5
adalah tanah atau hak atas tanah. Selanjutnya sekalipun tidak dinyatakan secara tegas,
tetapi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud di atas adalah hanya hak-hak atas
tanah menurut UUPA. Untuk Hak Milik atas tanah adat sesuai dengan Pasal 10 ayat
(3) UUHT, sekalipun memakai nama yang sama (Hak Milik) sebelum hak itu
dikonversi menjadi hak atas tanah menurut UUPA tidak bisa dijadikan objek Hak
didaftarkan.79
oleh bank untuk dijadikan jaminan kredit. Bank mendasarkan pada kenyataan bahwa
78
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kreditnya Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta:
Djambatan, 1996), hlm.111.
79
J.Satrio, Op.cit., hlm.178.
hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) tersebut
a. Hak Milik;
d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut
orang perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang
Objek Hak Tanggungan selain yang tersebut diatas, UUHT juga membuka
tanaman yang ada di atasnya, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat
“Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan suatu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
Tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan di dalam satu Akta
Pemberian Hak Tanggungan, yang ditandatangani bersama oleh pemiliknya dan
pemegang hak atas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya sebagai pihak
pemberi Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan akta otentik dalam ayat ini
adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda-
benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk dibebani Hak
Tanggungan bersama-sama tanah yang bersangkutan.”
Menurut Habib Adjie, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan
a. Bangunan, tanaman, dan hasil karya itu merupakan satu kesatuan dengan tanahnya
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau dengan kata lain jika tidak
ditegaskan dalam APHT maka yang dijadikan jaminan atau yang dibebani Hak
1) Perseorangan atau
2) Badan Hukum
80
Habib Adjie, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, (Bandung: CV.
Mandar Maju, 1999), hlm.6.
Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas tanah Negara, maka sejalan dengan ketentuan Pasal 8 UUHT itu yang
dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan
hukum yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai atas tanah Negara. Dengan memperhatikan Pasal 8 ayat (2) UUHT,
kewenangan tersebut harus sudah ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan. Hal ini mengingat bahwa lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat
didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut dan untuk itu harus dibuktikan keabsahan
bersangkutan.81
1) Perseorangan atau,
2) Badan Hukum.
Tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan
untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, tanah
tetap berada pada penguasaan pemberi Hak Tanggungan kecuali dalam keadaan yang
disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT. Dengan demikian yang dapat menjadi
81
Sutan Remy Sjadeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hlm.56.
perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu baik itu orang perorangan Warga
Negara Indonesia maupun orang asing atau badan hukum Indonesia maupun badan
hukum asing.
perlu dibebani dengan menggunakan Hak Tanggungan. Jaminan atas tanah tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan tanah milik debitor sendiri atau menggunakan
tanah milik pihak ketiga. Penggunaan tanah milik pihak ketiga sebagai jaminan
diperbolehkan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, yakni Pasal 4 ayat (5) jo.
penjelasan Pasal 4 ayat (5) UUHT. Dalam praktek banyak digunakannya objek
jaminan berupa benda tetap didasari pertimbangan besaran kredit maksimal yang
dapat dicairkan oleh pihak kreditor, sebagaimana diungkapkan oleh pihak bank
“Penggunaan objek jaminan benda tetap tersebut lebih banyak digunakan debitor
sebagai jaminan utangnya dengan pertimbangan besaran maksimal kredit yang
bisa dicairkan oleh kreditor. Untuk jaminan benda tetap/tanah besaran maksimal
pembiayaan adalah sebesar 80 % dari taksiran harga jual objek jaminan benda
tetap/tanah tersebut, sedangkan untuk benda benda bergerak maksimal
pembiayaannya sebesar maksimal 75 % dari taksiran harga jual”.82
milik pihak ketiga, maka pihak ketiga diikut-sertakan dalam menandatangani akta
pengakuan utang atau perjanjian kredit dan Akta Pemasangan Hak Tanggungan
tersebut berbeda dengan kedudukan debitor. Di sini pihak ketiga tidak berutang akan
82
Hasil wawancara dengan Dian Oktria, Legal Officer PT. Bank Bukopin Cabang Medan,
tanggal 15 Juli 2013
tetapi ia hanya memberikan bendanya untuk menjamin utang dari debitor. Pemberian
tambahan benda jaminan untuk memberikan jaminan yang lebih kuat terhadap utang
yang diberikan kepada debitor, jika suatu saat debitor melakukan wanprestasi.
sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan dan atau pihak ketiga sebagai pihak yang
dapat dikuasakan. Selain itu bisa juga karena benda jaminan tersebut berada di luar
macet. Terjadinya kredit macet tersebut merupakan masalah yang sering dihadapi
oleh kreditor. Oleh sebab itu, aspek jaminan adalah demikian penting bilamana
terjadi kredit macet, maka barang jaminan yang telah diperjanjikan dapat dieksekusi
Secara teori eksekusi terhadap benda jaminan milik debitor ini harus
dilakukan lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya, dasarnya adalah
Pasal 1131 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan itu bahwa tanggung jawab pihak
ketiga merupakan cadangan dalam hal harta benda jaminan debitor tidak mencukupi
untuk melunasi utangnya, atau sama sekali debitor tidak mempunyai harta benda lagi
yang dapat disita. Apabila pendapatan lelang sita jaminan atas benda debitor tidak
mencukupi untuk melunasi utangnya barulah tiba gilirannya untuk menyita benda
Dalam praktek yang terjadi, eksekusi terhadap benda jaminan milik debitor
maupun milik pihak ketiga dilakukan bersama-sama, karena pihak ketiga dengan rela
memberikan bendanya untuk menjadi jaminan utang dari debitor tersebut, hal ini
pada dasarnya sangat membutuhkan terpenuhinya sumber dana atau sumber modal.
Padahal pemenuhan sumber modal dimaksud juga sangat dipengaruhi oleh ada atau
tidak adanya jaminan terhadap sumber dana itu sendiri. Hal ini dapat difahami,
karena modal tersebut bukan milik sendiri, dan harus dikembalikan tepat waktu
sesuai dengan perjanjian, oleh karena itu dibutuhkan adanya jaminan terhadap
modal/dana tersebut. Dengan demikian lembaga jaminan juga merupakan salah satu
Dalam menjalankan usaha bisnis untuk mencapai tujuan dari suatu perseroan
pinjaman yang semakin besar. Bahkan, dapat diketahui semakin lama semakin sedikit
perusahaan yang tidak mempergunakan modal dari pihak ketiga atau modal dari luar
perusahaan. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai
modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang
dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun dari segi waktu. Sedang di lain sisi,
salah satu motif utama pihak kreditor atau pemberi pinjaman bersedia memberi
pinjaman adalah keinginan untuk memperoleh balas jasa dengan adanya pemberian
Bahkan, besarnya resiko yang mungkin timbul menjadi pertimbangan utama dalam
penentuan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman. lazimnya, semakin besar resiko
kerugian yang mungkin terjadi semakin besar tingkat balas jasa atas suatu pinjaman.
Agar dapat mengkalkulasi resiko, biasanya pihak peminjam mengkaji kinerja dari
perusahaan pada saat sebelum sampai dengan sesudah dicairkannya pinjaman. Oleh
karena itu, para kreditor tidak menjadikan besarnya colateral sebagai satu-satunya
atas prospek suatu perusahaan semakin menonjol dan ini terbukti dengan semakin
banyaknya perusahaan yang beroperasi dewasa ini mempunyai modal pinjaman yang
83
Rudhi A. Lontoh,(ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm.203-204.
harus meminjam uang dari kreditor-kreditor, baik dari bank atau lembaga keuangan
maupun perseorangan.
masyarakat luas melalui bursa dalam rangka sebagai cara memupuk modal untuk
investasi usaha Perseroan. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (7) jo. ayat (8) Undang-
kriteria tertentu, dan perseroan yang melakukan penawaran umum sesuai dengan
berarti perseroan yang tidak memenuhi kriteria Pasal 1 ayat (7) jo. ayat (8) UUPT. PT
Tertutup ini didirikan dengan tiada maksud menjual sahamnya kepada masyarakat
luas, dengan kata lain PT tersebut didirikan tanpa sedikitpun bertujuan untuk
menghimpun modal (asosiasi modal). Dalam praktek bentuk PT Tertutup ini dikenal
84
Rudhi Prasetya, Op.cit., hlm.118.
sekedar mengambil manfaat atas karakteristik PT, seperti misalnya kedudukan yang
dalam hukum dipandang berdiri sendiri otonom terlepas dari orang perorangan yang
berada dalam PT tersebut. Segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerja sama
dalam PT itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu
sendiri. Pertanggung jawaban terbatas diartikan bahwa apabila terjadi utang atau
kerugian-kerugian maka utang itu akan semata-mata dibayar secukupnya dari harta
kekayaan yang tersedia dalam PT. Sebaliknya, mereka yang menanamkan modalnya
dalam PT secara pasti tidak akan memikul kerugian utang itu lebih dari bagian harta
Dari sifat dan karakteristik kemandirian serta tanggung jawab terbatas dari PT
itulah yang menyebabkan banyak pelaku usaha yang memilih bentuk usaha PT
Dalam praktek masih banyak dijumpai PT yang sahamnya dimiliki oleh satu orang,
baik karena pada saat pendiriannya pemegang saham terdiri dari beberapa orang
tangan satu orang, atau karena sejak awal pada waktu pendiriannya sudah
direncanakan dan merupakan tujuan bahwa sahamnya akan dimiliki hanya oleh satu
minimal oleh dua orang (Pasal 7 ayat (1) UUPT), maka keberadaan para pemegang
85
Ibid., hlm.12.
saham lainnya hanya sekedar untuk memenuhi syarat formal saja. PT yang demikian
ini sesungguhnya secara material merupakan usaha perorangan (one man business).86
pemegang saham yang dianggap sebagai asset dari PT, tanpa adanya upaya formal
untuk menegaskan status dari harta kekayaan yang dimasukkan sebagai asset PT
tersebut, misalnya apabila asset tersebut berupa hak atas tanah yaitu dengan cara
membalik namakannya ke atas nama PT, karena dianggap bahwa asset pemegang
saham juga adalah asset PT. Selain itu karena apabila asset tersebut berbentuk hak
atas tanah dengan Hak Milik kemudian akan dibalik nama ke atas nama PT akan
menimbulkan konsekuensi penurunan status hak atas tanah tersebut, karena badan
hukum berbentuk PT tidak dapat memiliki Hak Milik namun dapat memiliki hak atan
tanah dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha (Pasal 30 jo. Pasal 36
UUPA), dimana penurunan hak tersebut terkait dengan jangka waktu berlakunya,
seperti penurunan Hak Milik (tanpa jangka waktu) menjadi Hak Guna Bangunan
(jangka waktunya maksimal 30 tahun) atau Hak Guna Usaha (jangka waktunya
maksimal 35 tahun).87
Oleh sebab itu dalam praktek perbankan sudah lazim debitor yang berbentuk
badan hukum PT menggunakan objek jaminan milik organ perseroan atau milik pihak
ketiga lainnya sebagai jaminan utang. Masalah timbul ketika perseroan terbatas
86
Ibid., hlm.124.
87
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Op.cit., hlm.302.
maka pihak ketiga pemilik objek jaminan tidak dapat menolak harta kekayaannya
yang dijadikan objek jaminan utang perseroan terbatas untuk dimasukkan dalam
boedel pailit dan dijual lelang dalam upaya penyelesaian utang perseroan terbatas.
Karena itu dalam proses pemberesan harta pailit, kurator bukan hanya
memasukkan harta kekayaan milik perseroan terbatas, tetapi juga harta kekayaan
milik pihak ketiga ke dalam harta boedel pailit, dengan alasan adanya Surat
Pernyataan bahwa harta kekayaan tersebut adalah milik perseroan terbatas yang
belum dibalik nama ke atas nama perseroan terbatas. Dalam hal ini PT. Bukopin Tbk
merasa keberatan karena aset milik pihak ketiga tersebut menjadi jaminan di PT.
Bukopin Tbk Cabang Medan.88 Pemasukkan benda jaminan milik pihak ketiga ke
dalam harta boedel pailit bertentangan dengan teori dan ajaran badan hukum
perseroan terbatas yang secara tegas memisahkan harta yang dimiliki sendiri dan
Benda jaminan milik pihak ketiga dimasukkan ke dalam harta boedel pailit
oleh kurator didasarkan pada surat pernyataan sepihak dari para pengurus perseroan
terbatas dan laporan keuangan perseroan terbatas. Akibat hukum benda jaminan milik
pihak ketiga dimasukkan ke dalam harta boedel pailit yaitu kreditor separatis dan
terutama bagi kreditor separatis (PT. Bank Bukopin Tbk) kehilangan hak preferen
88
Hasil wawancara dengan Dian Oktria, Legal Officer PT. Bank Bukopin Cabang Medan,
tanggal 15 Juli 2013
atas benda jaminan pihak ketiga dengan adanya lembaga penangguhan/stay dalam
“Hak untuk mengeksekusi hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan
ditangguhkan pelaksanaannya selama 90 hari sejak putusan pernyataan pailit
diucapkan selanjutnya apabila masa penangguhan tersebut berakhir maka kreditor
hanya diberikan waktu selama 2 bulan untuk melaksanakan haknya yang dalam
praktek seringkali tidak dapat dilaksanakan, bagi debitor ada kelebihan sisa atas
hasil penjualan benda-benda jaminan milik pihak ketiga sehingga membantu
pelunasan utangnya kepada kreditor konkuren, bagi pihak ketiga kehilangan
haknya untuk menguasai dan mengalihkan benda jaminan miliknya kepada pihak
lain dan dengan kelebihan sisa hasil penjualan benda jaminan maka kembali
kepada perseroan terbatas.”89
digunakan dalam hubungan utang piutang antara bank dengan debitor yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas, dan pihak bank sama sekali tidak keberatan dengan
“Adanya pernyataan dari pihak perseroan terbatas bahwa jaminan pihak ketiga
tersebut sebenarnya adalah asset perseroan terbatas namun belum dibalik nama ke
atas nama perseroan. Selain itu ada bukti lain berupa pemasukan aset jaminan
pihak ketiga tersebut kedalam neraca perseroan terbatas, sehingga dengan
demikian asset tersebut termasuk dalam penyertaan modal perseroan.”90
penuh untuk membuat dan melaksanakan jaminan yang dimuat dalam akta
pengikatan jaminan dan jaminan ini merupakan kewajiban yang sah dan mengikat
diri penjamin dan bahwa tidak ada perkara atau perkara administrasi dihadapan
Pengadilan yang sekarang berjalan atau hal-hal yang menurut penjamin mengancam
89
Hasil wawancara dengan Dian Oktria, Legal Officer PT. Bank Bukopin Cabang Medan,
tanggal 15 Juli 2013
90
Hasil wawancara dengan Dian Oktria, Legal Officer PT. Bank Bukopin Cabang Medan,
tanggal 15 Juli 2013
selain itu penjamin mengikat dirinya sendiri dengan segenap harta bendanya untuk
bertanggung jawab sepenuhnya membayar seluruh utang pokok atau sisa utang pokok
yang dibebankan oleh kreditor kepada debitor tersebut, sebagai utang penjamin
sendiri.