Anda di halaman 1dari 16

TERBENTUKNYA HUKUM

Dewi Sinta, Dila Agustina, Ibrahim

dillaagustina914@gmail.com; sinta190123@gmail.com; ibrabaim356@gmail.com;

Dosen Pengampu : Laila Afni Rambe, SH. MH

PRODI S1 EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ROKAN(STAIR)

TA.2022/2023

Adm.stairokan@gmail.com

ABSTRAK
Materi terbentuknya hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang
tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan sebagai acuan dalam
mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politikk di masa depan. Norma
hukum pada dasarnya inheren dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat, tetapi daya
kekuatan keberlakuan hukum, tidak dapat melepaskan diri dari kelembagaan kekuasaan,
sehingga hukum, masyarakat dan kekuasaan merupakan unsur dari suatu tatanan masyarakat.
Oleh karena itu, Hukum tidak sekedar dipahami sebagai norma yang menjamin kepastian dan
keadilan tetapi juga harus dilihat dari perspektif kemanfaatan. Oleh karena itu, maka
pembentukan hukum dalam perspekti f pembaruan hukum harus difokuskan pada dua hal
yaitu, sistem hukum dan budaya hukum. Tulisan ini akan membahas bagaimana idealisasi
peraturan perundang-undangan; bagaimana fungsi peraturan perundang-undangan dalam
pembangunan hukum; dan bagaimana pendekatan metodologis terhadap pembentukan
hukum. Dari berbagai pembahasan tersebut disimpulkan bahwa pembentukan hukum dalam
perspekti f pembaharuan hukum, di samping harus memperhatikan aspek metodologis, juga
harus merujuk dan meletakkan norma hukum dalam kesatuan harmoni verti kal dengan aspek
teologis, ontologis, positivistik dan aspek fungsional dari suatu norma hukum.

Kata kunci: penerapan, terbentuknya hukum


1. PENDAHULUAN

Sejarah hukum di Indonesia mengenal proses pembentukan awal dengan terbentuknya


masyarakat yang diperkirakan dimulai pada abad ke-5 sampai ke-6. Pada tahap ini
aturanaturan atas kepentingan masyarakat dibatasi dengan wilayah teritori, ikatan keluarga,
ataupun ikatan politik sehingga jumlahnya cukup banyak. Seluruh aturan-aturan seperti ini
kemudian dikenal dalam istilah hukum sebagai adat yang jangkauanya hanya seluas batas
teritori desa atau lebih luas lagi pada klan yang menempati berbagai dusun. Sebelum
munculnya hukum yang didasarkan pada terpusatnya kekuasaan, maka adat inilah yang
menjadi aturan dalam kehidupan masyarakat selama beberapa abad sampai masuknya
pengaruh Hindu-Budha ke dalam sistem nilai dan hukum. Pada masa pengaruh Hindu-Budha,
legal pluralism atau beberapa aturan hukum yang mengatur masyarakat dikenal juga.
Kerajaan berbasis Hindu-Budha menerapkan aturan berdasarkan pada agama dan juga
sebagian tradisi yang telah berjalan sebelumnya.1 Pada abad 16 sampai 19 Masehi, hukum di
Indonesia merupakan kelanjutan dari tahap sebelumnya. Periode ini memunculkan sejumlah
hukum kedaerahan dengan melalui tahapantahapan yang berbeda-beda. Maka secara garis
besar kita bisa melihat hukum yang muncul setidaknya menempuh tiga tahapan; pertama, dari
adat yang dikumpulkan lalu dikukuhkan; kedua, diciptakan karena tuntutan keadaan; dan
ketiga merupakan perpaduan kedua di atas.

F. R. S. John Crawfurd, Sejarah Kepulauan Nusantara: Kajian Budaya, Agama, Politik, Hukum Dan Ekonomi. Terjemah Dari History of the
Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Arts, Language, Religions, Institutions and Commerce of Its Inhabitants.,
Terjemah o (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2017). Hal. 74
Terkait beberapa tahapan di atas, sejumlah hukum telah ditemukan di berbagai wilayah di
Indonesia. mengingat luasnya wilayah teritori pada masa itu, yang dianggap berkembang
pada aspek perdagangan dan beberapa institusi pemerintahan yang disebut kesultanan atau
kerajaan, dalam hal ini perlu kiranya memetakan kemunculan hukum berdasarkan tempat
dan sekuen waktu kemunculannya satu persatu, sebagaimana yang akan dijelaskan di
bawah ini. Yang pertama, Undang-Undang Malaka atau Risalah Hukum Kanun. Undang-
undang ini dianggap merupakan undang-undang tertua di Indonesia. Undang-undang ini
dikeluarkan kurang lebih pada abad ke-15 oleh Kesultanan Malaka yang saat itu merupakan
pelabuhan dagang terbesar di Nusantara. Di dalamnya diatur perekonomian dan kehidupan
masyarakat yang juga didasarkan pada hukum syariat Islam.

Kejahatan mayantara (cybercrime) tersebut dapat disebut sebagai “cost” atau harga mahal
dari suatu perubahan masyarakat global yang tingkat perkembangannya melebihi eksistensi
hukum. Kejahatan mayantara merupakan cermin dari suatu kondisi masyarakat yang selalu
berkejaran antara keinginan dengan tarikan pengaruh global yang tidak sedikit
memproduksi dan menawarkan “perubahan bercorak sampah” (merugikan). Kita merasa
dikejar oleh tuntutan menggunakan atau memanfaatkan teknologi canggih. Kejahatan
Mayantara telah menunjukkan tampilan riilnya dalam jagad produk teknologi canggih
internet dan komputer. Realitas ini menunjukkan bahwa tawanan kemajuan di era
globalisasi, selain mendatangkan keuntungan atau nilainilai positif, juga mengandung
muatan yang membahayakan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.

Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya
ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian
listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian, tetapi akhirnya dapat
diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini, yang berkaitan dengan kegiatan
cyber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori
suatu Negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun.

Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah Di Bawah Angin (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014).
Hal. 157-159 3 Richard Winstedt, ‘A History of Classical Malay Literature: Monographs on Malay Subjects’, Journal of the Malayan Branch
of the Royal Asiatic Society, 31.5, 150–56; Ahmad Jelani Halimi, ‘Undang-Undang Laut Melayu: Undang-Undang Perahu Dan Undang-

Undang Berlayar’ (Uniersiti Utara Malaysia, Sitok-Kedah).


RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah diperlukan guna menegaskan masalah–masalah yang hendak diteliti,


sehingga mencapai sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, dan terarah.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis membuat perumusan masalah dalam penelitian ini,
sebagai berikut:

1) Faktor–faktor apa yang mendorong laju perkembangan kejahatan mayantara?


2) Bagaimana kebijakan kriminalisasi kejahatan mayantara dalam hukum pidana di
Indonesia?
3) Bagaimana cara penanggulangan/antisipasi perkembangan kejahatan mayantara?
Perumusan masalah diperlukan guna menegaskan masalah–masalah yang
hendak diteliti, sehingga mencapai sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas,
tegas, dan terarah.

TUJUAN PENELITIAN

Demikian pula penulis dalam melakukan penelitian ini mempunyai tujuan tertentu yang ingin
dicapai. Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1) Untuk menambah dan memperluas pengetahuan serta pemahaman tentang aspek-


aspek hukum sebagai suatu teori dan prakteknya terutama di bidang hukum pidana.
2) Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mendorong laju perkembangan kejahatan
mayantara.
3) Untuk mengetahui bagaimana kebijakan kriminalisasi kejahatan mayantara dalam
hukum pidana di Indonesia.
2. PEMBAHASAN
A. Pembentukan Hukum dan Dinamika Masyarakat

Setelah beberapa konsep pergeseran pola perilaku masyarakat dalam dinamika sosial
yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya terlihat jelas bahwa banyak factor yang
dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan kebudayaan masyarakat. Maka dituntutlah
suatu pembentukan hukum yang dapat mengarahkan masyarakat kepada aturan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum yang berupa perundang-undangan atau
peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi-asumsi tertentu. Desain pengadilan
menjadi begini atau begitu, misalnya didasarkan pada perkiraan rata-rata jumlah perkara yang
masuk. Berangkat dari situ ditentukan jumlah hakim, panitera, ruang-ruang sidang fasilitas
fisik lainnya. Akan tetapi, keadaan tidak selalu sesuai dengan perkiraan, sehingga dapat
muncul keadaan luar biasa yang tidak diduga sama sekali. Situasi seperti ini pernah terjadi di
Amerika Serikat, menyusul produksi mobil yang menyebabkan banjir kendaraan di jalan-
jalan. Pada gilirannya terjadi banyak kecelakaan yang akhirnya berujung di pengadilan.
Desain pengadilan yang tidak siap menghadapi arus perkara yang masuk, akhirnya harus
menyiapkan ketentuan-ketentuan khusus atau menghadapi risiko ambruk (collapse). (D.P.
Johnson, 1994 :18)

Dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang tidak siap
dihadapi oleh perundang-undangan yang ada. Perkembangan mutakhir adalah maraknya
penggunaan computer dan internet yang kecuali memperkenalkan praksis baru di dunia
perdagangan, juga menyebabkan terjadi kejahatan di dunia maya (cybercrime). (D.P.
Johnson, 1994 :29) Hal dan kejadian yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa
sewaktuwaktu hukum memang dihadapkan kepada situasi luar biasa. Apapun juga yang
terjadi dan dihadapi, hokum tidak dapat berhenti dan menolak untuk bekerja, semata-mata
berdasarkan alas an, bahwa ia tidak dipersiapkan untuk itu. Dalam situasi seperti itu, mau
tidak mau kita akan memasuki ranah cara berhukum yang luar-biasa. Apabila cara-cara biasa
atau normal disebut “rule making”, maka cara luar biasa ini disebut “rule breaking” atau
mematahkan atau menerobos hukum yang ada. 109 Sekali lagi, kita melihat dan mengalami,
betapa perjalanan hukum itu tidak selalu lurus-lurus saja, melainkan berkelok-kelok dan di
sana-sini berupa patahan-patahan.

D.P. Johnson, 1994 :18


Para ahli mengatakan bahwa hokum itu tidak sungguh otonom dan sama sekali tidak
terpengaruh oleh keadaan di luar hokum, berpendapat bahwa apapun yang terjadi di luar yang
menentukan apa yang akan dilakukan oleh hukum adalah lawyers sendiri. Hukum itu adalah
“law of the lawyers”. Maka sekalipun terjadi perubahan-perubahan besar di dunia, sebelum
para lawyersmengatakan bahwa hokum harus diubah, perubahan pun tidak akan terjadi dan
bisnis hukum akan berjalan seperti biasa. (Satjipro Rahardjo, 2007:39) Di lain pihak, para
strukturalis seperti Nonet dan Setzenick, mengintergrasikan dunia di luar hokum dengan
hokum itu sendiri.

Perubahan – perubahan di luar secara generik akan berpengaruh kepada hukum. Ini
dilakukan oleh kedua orang tersebut dengan developmental modelnya. Selama ini hukum dan
lingkungan sosial terpisah secara tajam. Hukum bekerja menurut apa yang dianggapnya
betul, tanpa menengok keluar, kepada penyelesaian yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial.
Pengadilan dijalankan menurut logika hukum. Dengan demikian hukum menjadi mandul,
demikian Nonet dan Selznick. Karena itu, menyarankan agar hukum juga memanfaatkan apa
yang mereka namakan ‘Social science strategy”. Dewasa ini bangsa Indonesia sedang
menghadapi masalah-masalah besar seperti korupsi, perkembangan ekonomi yang lamban,
kerusakan dan kemerosotan lingkungan, bangkitnya rakyat dalam berdemokrasi dan sejumlah
masalah besar lainnya. Hanya mengandalkan hukum yang bekerja konvensional dan tetap
bekerjanya menurut cara dan irama biasa, melakukan “business as usual” ternyata tidak
menolong banyak.

Hukum yang kita gunakan sekarang ini adalah sebuah karya manusia yang dibuat dengan sengaja
(purposeful). Hukum itu berubah dari masa ke masa. Sejarah hukum modern sekarang ini dimulai
mundur untuk kurun waktu ribuan tahun yang lalu. Tidak hanya hukum modern yang muncul tetapi
juga sejumlah konsep, asas, konstruksi, doktrin yang menyertainya dan yang berfungsi untuk
memelihara dan menjalankan hukum modern tersebut. Kumpulan dari sekalian hal tersebut
membentuk citra “hukum yang normal”. (Satjipto Rahardjo, 2007 :56).
Satjipto Rahardjo, 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta : Kompas.
Hukum ingin dicitrakan sebagai produsen ketertiban dan oleh karena itu harus dijaga
dengan berbagai cara, termasuk ide kepastian hokum. Para Profesional hukum akan
mengatakan bahwa mereka tidak bisa mulai bekerja kalau tidak mematok kepastian hukum,
kepatuhan hukum dan lain-lain. Harusnya professional hukum tersebut harus bekerja karena
kepedulian mereka dalah kepada kebenaran dan bukan kepada profesi. Namun demikian
dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa yang besar sekarang ini, termasuk
pemberantasan korupsi dan masalah-masalah hukum lainnya diperlukan Hukum yang
merupakan karya manusia yang berupa norma-norma, berisikan petunjukpetunjuk tingkah
laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya
masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu hukum harus
mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat dimana dan
bagaimana hukum itu diciptakan.

Ide-ide ini adalah ide mengenai suatu keadilan yang hakiki. Hukum selalu
berhubungan dengan masyarakat dan perilaku-perilakunya dalam konsteks perilaku sosial,
oleh karena itu hukum selalu menjadi wacana yang sangat menarik. Mengapa hukum selalu
menjadi perhatian yang sangat menarik pada saat ini, karena perilaku-perilaku dari
masyarakat dalam interaksi sosial sangat bertalian dengan masalah keadilan. Kaitan yang erat
antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternayata bahwa hukum yang baik
tak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dengan
demikian setiap membicarakan hukum tidak terlepas dari konteks persoalan keadilan. Kita
tidak dapat membicarakan hukum dari wujud formalnya saja, tetapi harus juga dilihat
ekspresi cita-cita keadilan yang ada dalam masyarakat.
Satjipto Rahardjo, 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta : Kompas.
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Kasus Indonesia menunjukkan dominasi kepentingan ekonomi dalam pembentukan


hukum. Salah satunya adalah Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang dibuat. Tekanan dari Dana Moneter Internasional mendorong undang-undang ini.
Karena pemerintah Indonesia tidak ingin kehilangan pinjaman dari IMF untuk menangani
krisis ekonomi yang sedang berlangsung, persyaratan IMF tersebut diluluskan. Meskipun
tidak termasuk dalam daftar undang-undang yang akan dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pemerintah pada tahun 2007, proses pembentukannya bahkan dianggap cepat.

Lemahnya posisi tawar pemerintah memaksanya untuk membentuk undang-undang


tersebut, sementara fakta di lapangan pengaturan substansi tersebut jauh dari realitas
masyarakat selaku obyek hukum. Jika melihat realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang
sebagian besar berada di garis kemiskinan dan berpendapatan minim dan hanya sebagian
sebagian kecil saja yang mampu menduduki peringkat atas dari sisi pendapatan maka
keberadaan undang-undang tersebut relatif tanpa makna. Masyarakat khsusnyayang berada di
pedesaan tidak mengetahui apa itu pencucian uang. Disamping itu dibutuhkan penelitian yang
akurat apakah kegiatan pencucian uang memang ada atau potensial untuk dilakukan di
Indonesia ? lalu dimana fungsi hukum yang akan ditegakkan jika memang praktek pencucian
uang tidak dikenal di Indonesia ?.

Dengan kata lain landasan atau pertimbangan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang
seharusnya menjadi landasan pembentukan undang-undang47 sama sekali terabaikan.
Sehingga dapat dikatakan tingkat urgenitas dan kegunaan undang-undang perseroan terbatas
relative sangat rendah. Relevan dengan pendapat tersebut menurut Bagir Manan, unsur-unsur
filosofis, yuridis dan sosiologis merupakan dasar bagi berlakunya hukum yang baik.
Karenanya setiap pembuat undang-undang berharap agar kaidah yang tercantum dalam
perundang-undangan adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif atau dapat
diterima oleh masyarakat secara wajar dan berlaku untuk jangka waktu yang panjang.

Letter of intens yang ditanda tangani bersama antara Pemerintah Indonesia dengan IMF menyaratkan beberapa pembentukan undang-
undang oleh DPR, salah satunya UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
B. ASAS HUKUM ISLAM

Salah satu yang diketahui dalam hukum islam dalam aspek asas-asasnya. Dengan
mengetahui asas-asasnya, akan dapat dipahami maqashid alsyari’ah dari sebuah perintah
mapun larangan dalam hukum islam. Secara etimologi, kata asas berasal dari bahasa
arab,asasun yang berarti “dasar, dan pondasi”. Secara terminologis asas adalah dasar atau
sesuatu yang mendaji tumpuan berfikir atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama
dengan kata asas aslah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir,
bertindak dan sebagainya apabila dihubungkan dengan sistem berfikir yang dimaksud dengan
asas adalah landasan berfikit yang sangat mendasar.

Konstruksi yuridis adalah proses mendapatkan asas, di mana data nyata diperiksa
untuk mengidentifikasi karakteristiknya yang umum atau abstrak.Kebenaran yang digunakan
sebagai dasar untuk berpikir dan membuat keputusan, terutama dalam hal penegakan dan
pelaksanaan hukum, adalah apa yang dimaksud dengan "asas" ketika berbicara
tentang hukum. Asas berfungsi sebagai referensi untuk mengembalikan segala masalah
hukum. Melalui penciptaan peraturan baru, asas hukum akan terus berfungsi dan membentuk
peraturan selanjutnya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang
menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu. Makna leksikal asas telah didefinisikan oleh
Henry Campbell Black sebagai berikut:

A truth or proposition so clear that it cannot be proved or contradicted unless by a


proposition which is still clearer. That which constitutes the essence of a body or its
constituent part. That which pertains to the theoretical part of a science.” Asas-asas hukum–
rechtsbeginselen–legal principles–principles of law bukanlah peraturan hukum konkrit,
melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari “hukum
positif” yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan. Asas hukum yang dimaksud adalah yang kita kenal dengan
istilah Rechtsbeginselen dalam bahasa Belanda, yang berarti asas umum hukum yang diakui
oleh bangsa beradab dan dilakukan oleh badan pengadilan internasional sebagai kaidah
hukum.
Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam oleh Ahmad Wardi Muslih diterbitkan pada tahun 2004 oleh Sinar Grafika Offset di Jakarta pada
halaman 10.Black Law Dictionary, (1991), hal. 828. Paul Scholten, Verzamelde Geschriffen, definitif Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 33. Algera, dkk, Kamus Istilah Hukum Indonesia Belanda, (1983)
C. ASAS HUKUM DAN SISITEM HUKUM

Asas dan sistem hukum adalah istilah yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang
membentuk fondasi teoritis dan filosofis dari suatu sistem hukum. Namun, istilah
"sistem hukum" mengacu pada sistem, organisasi, dan prosedur yang
mengatur penerapan dan pelaksanaan hukum di suatu negara atau masyarakat.

Setiap perundang-undangan yang dibuat selalu didasari sejumlah asas atau prinsip
dasar. Kata asas ialah dasar atau alas (an), sedang kata prinsip merupakan sino-nimnya
(wojowasito,1972:17 dan 227). Asas hukum merupakan fondasi suatu perundang
undangan. Bila asas tersebut dikesampingkan maka bangunan undang-undang dan
segenap peraturan pelakssanaannya akan runtuh.

1. Asas Hukum: Asas hukum mencakup prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai dasar
untuk membuat dan menerapkan hukum. Beberapa contoh asas hukum adalah sebagai
berikut:

- Asas Legalitas: Ide bahwa hukum harus mudah dipahami, jelas, dan tersedia untuk
semua orang. Menurut asas ini, tidak ada tindakan hukum yang dapat dilakukan kecuali
ada dasar hukum yang jelas.

- Asas Kesetaraan: Ide bahwa hukum harus diterapkan secara adil dan setara kepada
semua orang tanpa diskriminasi. Atas dasar ini, setiap orang memiliki

Asas Keadilan: Prinsip bahwa hukum harus mengutamakan keadilan dalam perlakuan
terhadap individu dan menjamin perlindungan hak-hak mereka. Asas ini menekankan
pentingnya kesetaraan, keadilan, dan non-diskriminasi dalam sistem hukum.

Footnote: John Rawls, A Theory of Justice (Harvard University Press, 1971), hal. 35.

(Wojowasito, 1972:17 dan 227), Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Harvard University Press, 1977), hlm. 24. Jeremy Bentham,
An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford University Press, 1789), hal. 112.
2. Sistem Hukum:

Sistem hukum merujuk pada struktur hukum yang mengatur suatu negara atau
masyarakat. Sistem hukum mencakup sumber hukum, lembaga-lembaga hukum, prosedur
hukum, dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antara individu dan negara.
Beberapa contoh sistem hukum meliputi:

- Common Law: Sistem hukum yang berdasarkan keputusan pengadilan sebelumnya


(precedent) dan prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku. Sistem ini banyak diterapkan
di negara-negara dengan warisan hukum Inggris. (H.L.A. Hart, The Concept of Law
(Oxford University Press, 1961), hal. 78.)

- Civil Law: Sistem hukum yang didasarkan pada hukum tertulis dan kode-kode hukum
yang diatur oleh negara. Sistem ini banyak diterapkan di negara-negara dengan warisan
hukum Romawi atau Prancis.

- Hukum Islam (Syariah): Sistem hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam
yang diambil dari Al-Quran, Hadis, dan tradisi Islam. Sistem ini banyak diterapkan di
negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.

(Wojowasito, 1972:17 dan 227), Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Harvard University Press, 1977), hlm. 24. Jeremy Bentham,
An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford University Press, 1789), hal. 112.
PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum adalah Norma, dalam tindakan reason for action. Sanction not constitutif
law. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sanksi bukan unsur utama dari
hukum.Sanksi ada akibat tuntutan kepastian hukum dalam paradigma positivisme hukum,
yang memandang ilmu hukum sebagai ilmu empirik aturanaturan tingkahlaku yang
mengatur perbuatan manusia secara lahiriah belaka. Dimana hukum dituntut untuk
berkorespondensi dengan fakta. Dalam penerapan hukum agar hukum dapat diterapkan
hukum harus dipaksakan. Dengan demikian kedudukan sanksi dalam hukum adalah sanksi
ada pada penerapan hukum.

Perubahan-perubahan dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu dan


kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat. Gerakan sosial dalam sejarah
masyarakat dunia bisa muncul dalam bermacam bentuk kepentingan, seperi mengubah
struktur hubugan sosial, mengubah pandangan hidup, dan kepentingan merebut peran
politik (kekuasaan). Ilmu sosiologi, perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa
klasik sampai kontemporer.

SARAN

Kami selaku penulis dari jurnal ini meyadari adanya kesalahan dan banyaknya
kekurangan yang terdapat di dalam penulisan jurnal ini.oleh karena itu kritik dan saran yang
dapat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan jurnal ini.
DAFTAR PUSTAKA

Basrowi M.S, 2005. Pengantar Sosilogi, Bogor; Ghalia Indonesia Doyle Paul Johnson, 1994.

Teori sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia.

(Wojowasito, 1972:17 dan 227), Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Harvard
University Press, 1977), hlm. 24. Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of
Morals and Legislation (Oxford University Press, 1789), hal. 112.

Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam oleh Ahmad Wardi Muslih diterbitkan pada tahun
2004 oleh Sinar Grafika Offset di Jakarta pada halaman 10.Black Law Dictionary, (1991),
hal. 828. Paul Scholten, Verzamelde Geschriffen, definitif Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 33. Algera, dkk, Kamus Istilah Hukum Indonesia
Belanda, (1983)

Richard A. Posner, The Problem Of Jurisprudence, (CambirigeMassachusetts-London:


Harvard Univercity Press, 1995), Satjipo Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Hukum dan
Masyarakat, cet.1, (Bandung: Angkasa, 1980), . Sudjono Dirjosisworo, Sosiologi Hukum
Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, (Jakarta: Rajawali Press), T.Mulya lubis dan
Richard M.Buxbaum,ed.”Peranan Hukum dalam Perekonomian Di Negara Berkembang”
(Jakarta :yayasan LBHI.

Anda mungkin juga menyukai