Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi dan Pembangunan
Disusun Oleh:
REWI SUKANDRI
NPM 22010014 PM
DOSEN PEMBIMBING: DR. ABDUL RASYID SATIMAN, S.H, M.M
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
berkat dan rahmatNya Makalah Hukum Pemerintahan Daerah yang berjudul “Peranan
Hukum dalam Ekomnomi Pembangunan“ ini dapat terselesaikan tepat waktu, walaupun
terdapat banyak hambatan yang penulis hadapi namun pada akhirnya berjalan sesuai
dengan rencana-Nya.
Makalah Ilmiah Ini Diajukan Guna Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Hukum
Hukum Ekonomi dan Pembangunan, Progam Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Yayasan Perguruan Tinggi Bangka (Yapertiba) STIH Tahun 2022, ucapan terima kasih
kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Abdul Rasyid Satiman, S.H, M.M
serta pihak yang telah membantu terselasaikannya penyusunan makalah ini. Saya
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang mendukung guna penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya berharap makalah dapat membawa manfaat bagi semua. Terima
kasih.
Penulis
REWI SUKANDRI
NPM: 22010014 PM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Globalisasi ditandai dengan adanya keterbukaan dan kebebasan dalam
berbagai bidang kehidupan yang mengakibatkan perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan yang berlangsung sangat cepat. Melalui globalisasi serta keterbukaan
informasi maka kegiatan ekonomi menjadi bersifat terbuka sehingga
mengakibatkan transaksi bisnis dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Bentuk transaksi secara elektronik bukanlah merupakan suatu hal yang baru lagi,
dimana dengan transaksi erlektronik, maka kesepakatan akan terjadi secara
elektronik.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Dalam penelitian ini, penulis berharap hasilnya mampu memberikan sumbangan
bagi Ilmu Hukum khususnya Hukum Ekonomi dan Pembangunan di Program
Magister Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Bangka
2. Manfaat Praktis
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat
deskritif yaitu menjelaskan secara detail dan sistematis mengenai tinjauan yuridis
dan pendapat para ahli.
Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, selain berpijak pada
lima dasar (Pancasila), juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat
prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni: (1) melindungi semua unsur bangsa
(nation) demi keutuhan (integrasi); (2) mewujudkan keadilan sosial dalam bidang
ekonomi dan kemasyarakatan; (3) mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi)
dan negara hukum (nomokrasi); (4) menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan
dan berkeadaban dalam hidup beragama.
Empat prinsip cita hukum tersebut haruslah selalu menjadi asa umum yang
memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara, sebab cita hukum adalah
kerangka keyakinan (belief framework) yang bersifat normatif dan konstitutif.
Cita hukum itu bersifat normatif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat
ideal yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat konstitutif karena
mengarahkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai oleh Negara.
Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan
yang lain saling bergantung untuk mencapai tujuan tertentu. Banyak yang
memberi definisi tentang istilah sistem ini. Ada yang mengatakan bahwa sistem
adalah keseluruhan yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin
dalam hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara teratur.
Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum
suatu negara. Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai
tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.
sebab, di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD itulah terkandung tujuan, dasar,
dan cita hukum Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai khas budaya
bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup
bermasyarakat selama berabad-abad.
Indonesia juga mengalami seperti yang dialami oleh sebagian besar negara
berkembang lainnya, meskipun tidak secara tegas pemerintah menyatakan bahwa
Indonesia sebagai salah satu ”penganut” sistem ekonomi pasar, sesungguhnya
Indonesia sudah mulai menerapkan sitem ekonomi ini untuk memandu
perekonomiannya, sejak terlibat dalam organisasi-organisasi perdagangan dunia
baik secara regional maupun multilateral seperti GATT, AFTA, WTO, dan
lain-lain.
Dan kemudian yang terjadi pada sebagian besar negara berkembang ternyata
menimpa juga pada Indonesia, dimana sistem ekonomi pasar yang di adopsi
Indonesia tidak dapat berkerja secara maksimal seperti yang diharapkan
sebelumnya, hal itu dikarenakan banyaknya kendala internal yang ada pada
Indonesia sendiri, yang kemudian membuat perekonomian pasar tidak bisa
berjalan secara baik. Sistem ekonomi pasar yang diharapkan dapat menyehatkan
perekonomian Indonesia yang terjadi justru sebaliknya sistem ekonomi pasar
malahan menyuburkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di
dalam pasar, dan menyebabkan pasar menjadi semakin tidak efesien.
Kelembagaan hukum ekonomi yang kuat jika merujuk kepada pendapat dari
Prof. Erman Rajagukguk ialah kelembagaan hukum ekonomi yang lebih kurang
mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Selanjutnya dua
hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi.
Dan bila kita berbicara mengenai struktur institusi penegakkan hukum yang
ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan ekonomi pasarnya, masih
belum begitu bersahabat dengan pasar (market friendly) atau dapat diartikan
struktur institusi penegakkan hukumnya belum dapat mendukung berjalannya
aktfitas ekonomi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari proses hukum yang
berlarut-larut terhadap suatu kasus yang membuat hilangnya kepastian hukum
dalam proses penegakkan hukum yang ada, belum lagi hasil dari proses penegakkan
hukum yang ada belum bisa menjamin pihak yang benar yang akan menang. Dan
hal inilah yang kemudian membuat institusi penegakkan hukum tidak bisa
diharapkan terlalu banyak dapat menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi
diantara pelaku ekonomi di dalam pasar dengan baik. Sehingga tidak heran
kalangan pelaku ekonomi di Indonesia lebih memilih menyelesaikan sengketa
bisnis mereka dengan menggunakan lembaga arbitrase dibandingkan mereka harus
mempercayakan penyelesaian sengketa bisnisnya pada pengadilan di Indonesia.
Serta hukum kepailitan yang berlaku pada waktu itu yang masih merupakan
warisan masa kolonial juga berkontribusi bagi tidak terlindunginya pelaku ekonomi
dari perilaku pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi menjalankan
usahanya tetapi karena hukum kepailitan yang ada belum baik serta proses
peneggakannya yang masih memakan waktu yang lama membuat banyak pelaku
ekonomi menjadi korban akibat dari ulah sekelompok pelaku ekonomi yang
seharusnya tidak layak lagi untuk melanjutkan usahanya di dalam pasar. Lebih
lanjut mengenai budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Atau dengan kata lain
jika menurut pendapat Prof Achmad Ali, budaya hukum adalah suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu tidak
berdaya.
Dan sedikit mengutip kalimat dari Prof. Satjipto Rahardjo bahwa ekonomi
kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan dengan baik tanpa didukung
oleh tatanan normatif yang berlaku, yang tidak lain adalah hukum. atau dengan kata
lain tanpa adanya dukungan yang kuat dari kelembagaan hukum ekononomi yang
ada sudah barang tentu sistem ekonomi pasar yang dianut oleh Indonesia tidak akan
berjalan sebagaimana yang diharapkan.
2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi
sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan.
Salah satu tawaran yang menarik dari Sidharta adalah akuntabilitas, dan
transparansi penegakan hukum. Terbukti dengan tawarannya dalam penalaran hukum
untuk konteks keindonesiaan yakni hakim harus dikondisikan untuk siap
mempertanggungjawabkan setiap argumentasi yang diutamakannya. Hukum yang
senantiasa diciptakan dalam ruang-ruang institusi hukum dengan pengutamaan
keadilan, maka dituntut “asas trasparansi” (AAUPB) yang melibatkan publik dalam
setiap pembentukan dan penerapan hukum. Konsep negara hokum nomokrasi, telah
menjamin prinsip kesamaan hak (equity) di hadapan hukum (before the law), maka
konsep hukum pembangunan yang mengutamakan keterbukaan (transparansi)
sepadan dengan tawaran pembentukan hukum sebagai consensus yang melibatkan
ruang publik (public sphere) “komonikasi yang partisipatoris Habermas” atau
konsepsi negara hukum yang mengutamakan demokrasi deliberative.
Kelima fenomena yang telah saya uraikan di atas merupakan bahan kajian
untuk mengantisipasi kemungkinan wujud sistem hukum dan sistem penegakan
hukum di masa yang akan datang. Hal ini saya pandang sangat penting karena kita
sering mengalami inertiadalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat
baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Dalam awal uraian telah saya
kemukakan adanya perubahan sistem hukum yang mendasar. Perubahan dimaksud
merupakan konsekuensi logis dari perubahan kedua sistem terdahulu. Walau
demikian, tidaklah berarti bahwa perubahan sistem hukum tersebut merupakan
perubahan yang serta-merta, tetapi harus ada persiapan yaitu penataan yang bersifat
komprehensif dan tidak parsial terhadap sistem hukum yang kini dianut, seperti
halnya proses legislasi yang telah dilaksanakan pemerintah sejak era reformasi tahun
1980-an.
Keadaan ini menjadi lebih kompleks karena reformasi yang dibangun sejak
tahun 1998 terbukti sangat cepat tanpa melalui masa transisi yang cukup untuk
mengendapkan dan mendalami esensi reformasi tersebut baik di bidang politik,
ekonomi, sosial, maupun HAM. Banyak pihak termasuk kaum cendekiawan saat itu
sudah tidak sabar menunggu dan ingin cepat agar pemerintah melaksanakan
reformasi dalam keempat bidang tersebut tanpa memberikan kesempatan bernapas,
apalagi untuk mengendapkan dan mendalami secara hati-hati seluruh tuntutan
reformasi tersebut. Sementara kita ketahui, reformasi yang dituangkan ke dalam
Ketetapan MPR RI itu pun belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah.
Bahkan ada keraguan di antara para pemikir dan kaum birokrasi tentang validitas
bahan-bahan acuan dan data yang telah digunakan dalam penyusunan Ketetapan
MPR RI tersebut yang secara fundamental telah mengubah arah dan tujuan
pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khususnya.
Apalagi, jika dilihat dari segi waktu yang sangat singkat dengan jumlah anggota MPR
RI kurang lebih sebanyak 500 (lima ratus) orang yang berasal dari berbagai partai dan
golongan disertai kepentingan yang bervariasi.
Dalam konteks kondisi seperti itu, tidaklah dapat dihindari terjadinya anomali
mengenai cita reformasi khususnya di bidang hukum; ditambah lagi dengan
kenyataan, bahwa dalam hubungan internasional tuntutan reformasi hukum sesuai
dengan komitmen internasional tidak kunjung selesai atau terpenuhi. Keadaan ini
sering dirasakan ketika pemerintah harus berpacu dengan waktu, bahkan dalam
hitungan hari. Dalam keadaan yang terdesak tanpa ada pilihan untuk kembali (point
of no return) di tengah reformasi di bidang hukum, sekelompok masyarakat yang
menamakan kelompok proreformasi atau prodemokrasi belum memberikan
pemahaman kepada masyarakat luas tentang esensi dari reformasi itu sendiri, bahkan
cenderung memahami reformasi itu sebagai demokrasi an sich, tanpa
mempertimbangkan kultur dan karakteristik budaya bangsa ini. Lebih jauh
pemahaman tentang penegakan tatanan kehidupan yang demokratis seakan dipahami
sebagai menghalalkan pemaksaan kehendak sekalipun dengan cara kekerasan untuk
mencapai suatu tujuan di balik alasan klasik, untuk kepentingan rakyat.
1. Masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum
lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional di satu sisi
dan di sisi lain juga terhadap hukum yang bersifat netral yang berasal/bersumber
dari perjanjian internasional.
2. masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk
secara komprehensif sehingga melahirkan berbagai ekses antara lain egoisme
sektoral dan menurunnya kerja sama antaraparatur hukum secara signifikan. Hal
ini disebabkan oleh miskinnya visi dan misi aparatur hukum, antara lain tentang
pengertian due process of law, impartial trial, transparency,
accountability, dan the right to counsel.
3. masalah pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk meningkatkan akses
masyarakat ke dalam kinerja pemerintahan maupun peningkatan kesadaran
hukum masyarakat. Kedua hal tersebut dapat dimasukkan sebagai “budaya
hukum” dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lain karena
peningkatan akses masyarakat tanpa disertai peningkatan kesadaran hukum akan
menimbulkan ekses pemaksaan kehendak, bahkan memunculkan karakter
anarkisme.
4. masalah pemberdayaan birokrasi atau yang saya sebut, beureucratic
engineering (BE) dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan.
Pemberdayaan dilingkungan birokrasi ini sangat penting antara lain di dalam
menjalankan Tap MPR RI Nomor XI/MPR RI/1999 dan Tap MPR RI Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan KKN serta bagaimana melaksanakan secara konsisten UU RI Nomor
28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Aksentuasi tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai
inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,
yaitu :
● Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi
sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan.
Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur
pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan “fungsi
hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi
sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak
dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara”. Dalam hubungan dengan fungsi
hukum yang telah dikemukakannya, Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi
hukum dalam pengertian yang lebih luas, tidak saja merupakan
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses
(processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.
Dengan kata lain suatu pendekatan normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup
apabila hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum
progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas
pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para
pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan
yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan
peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi
para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan
pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali
terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka
dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam for a
kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat
proses logis–formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya,
argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk
membingkai secara yuridis–formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena
itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan
untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Berbeda dengan legalisme yang berpusat pada
aturan, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran &
ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi
menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia
(kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum.
Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.
Sejumlah praktisi, akademisi, dan pengamat hukum menilai hukum yang berlaku
di Indonesia hari ini dirasa sangat dipengaruhi oleh transaksi politik. Kepentingan
kelompok politik yang dominan lebih berpengaruh ketimbang kepentingan publik.
Banyaknya kegagalan penegakan hukum di Indonesia dibuktikan dengan fenomena
sulitnya membawa para koruptor ke pengadilan. Kegagalan tersebut antara lain
disebabkan oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti
prosedur, doktrin, dan asas. Sebagai akibatnya, hukum justru menjadi safe bagi koruptor.
Dampak lainya, banyak kalangan yang merasa belum mendapatkan keadilan dari hukum.
Karena itu, mereka mengajukan alternatif hukum progresif atau hukum responsif (Nonet,
Philippe & Philip Selznick, 1978.) untuk menjawab rasa keadilan tersebut.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum
progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas
pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para
pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang
kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan
(changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku
hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan,
karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu
peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku
hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu yang berada dalam
kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan hal di atas, maka keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan
lewat proses logis–formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya,
argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai
secara yuridis– formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep
hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan
yang berada di luar dirinya.
melalui pengaturannya, dan oleh karena itu harus paham tentang seluk-beluk masalah
yang akan diaturnya. Sedangkan dipihak lain, hukum juga harus menyadari bahwa
factor-faktor dan kekuatan diluar hukum juga akan memberikan pengaruhnya pula
terhadap hukum serta proses bekerjanya. Sehingga dalam menyusun kebijakan hukum
diperlukan adanya pertimbangan, antara lain mengenai faktor-faktor psikologis, faktor
sosiologis dan letak geografis.
Disinilah hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan
perlindungan hukum yang diberikan suatu negara bagi kegiatan penanaman modal.
Sebagaimana diungkapkan oleh Erman Rajagukguk, bahwa faktor yang utama bagi
hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum
mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama
adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi
stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat
meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya
penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki
hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek
keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku
Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang
berlebihan. Sehingga melalui sistem hukum dan peraturan hukum yang dapat
memberikan perlindungan, akan tercipta kepastian (predictability), keadilan (fairness)
dan efisiensi (efficiency) bagi para investor untuk menanamkan modalnya.
Namun angka ini masih di bawah target tahun 2007 yaitu Rp 248,5 triliun.
Pertanyaannya, apakah ini berarti berakhirnya musim paceklik investasi dan tanda
perbaikan iklim investasi di Indonesia? Musim paceklik investasi di Indonesia jelas
terlihat dari menurunnya arus investasi sejak tahun 1997. Data BKPM menunjukkan,
nilai PMDN pada tahun 1997 tercatat Rp 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit.
Data tahun 2003 terbukti tinggal Rp 50 triliun dengan 196 proyek. Rekor investasi asing
langsung yang masuk lewat PMA menunjukkan perbaikan: tahun 1997 nilainya sebesar
US$ 3,4 miliar dengan 331 unit proyek, pada tahun 2003 melonjak menjadi US$ 5,1
miliar dengan jumlah proyek yang juga meningkat menjadi 493 unit.
Ironisnya, ternyata arus investasi asing yang masuk ke Indonesia diikuti dengan
arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut sebagai net capital inflows
yang negatif. Data neraca pembayaran Indonesia, terutama pos investasi asing langsung,
mencatat angka negatif sejak 1998, yang dari tahun ke tahun semakin membesar. Baru
pada sejak tahun 2005 net capital inflows mulai mencatat angka positif, yang berarti
mulai turning point.
Sesuai dengan pendapat Burg’s di atas maka, J.D. Ny Hart juga mengemukakan
konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural
capabilyty, codification of goals, education, balance, defenition and clarity of status serta
accomodation. Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi
di atas ini, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
Tiga hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha: penyederhanaan sistem dan
perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya
perizinan. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat
arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu
dieliminasi. Prioritas perlu diberikan pada deregulasi dan koordinasi berbagai peraturan
daerah dan pusat.
Pengalaman China menarik modal asing perlu kita kaji apakah menarik untuk
dicoba. Di China, untuk perijinan cukup menghubungi Kantor Investasi Asing. Untuk
investasi minimal sebesar US$30 juta, aplikasi investasi harus mendapat ijin dari pusat.
Namun di bawah jumlah itu, cukup menghubungi Kantor Investasi Asing di daerah.
Waktu persetujuan investasi asing maksimal 3 hari. Bila lebih dari 3 hari tidak ada
pemberitahuan dari kantor ini, otomatis permohonan investasi dianggap diterima.
Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bagi bangsa Indonesia, bahwa salah satu
upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana
menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan hukum ekonomi
khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik
penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan
haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan negara-negara di ASEAN
khususnya, dalam menarik investasi asing.
Menurut Dhaniswara K. Harjono, dalam kaitannya dengan hal tersebut dan dalam
rangka memperbaiki serta menciptakan iklim investasi yang favorable dan sejalan
dengan arah dan kebijakan pembangunan nasional, langkah-langkah yang telah dilakukan
adalah :
1. menyederhanakan proses dan tata cara perizinan dan persetujuan dalam rangka
penanaman modal;
2. membuka secara luas bidang-bidang yang semula tertutup atau dibatasi terhadap
penanaman modal asing;
3. memberikan berbagai insentif, baik pajak maupun non pajak;
4. mengembangkan kawasan-kawasan untuk penanaman modal dengan berbagai
kemudahan yang ditawarkan;
5. menyempurnakan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang baru yang lebih menjamin iklim investasi yang sehat;
6. menyempurnakan proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang
efektif dan adil;
7. menyempurnakan tugas, fungsi, dan wewenang instansi terkait untuk dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik;
8. membuka kemungkinan pemilikan saham asing lebih besar.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
1. SIMPULAN
a. Era reformasi telah lama dimulai, namun sepertinya belumlah memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan. Reformasi hukum yang telah dilakukan,
khususnya penataan hukum investasi belumlah selesai dengan lahirnya UUPM.
Dalam tataran normatif (law making proces) masih diperlukan peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang
sekaligus mencabut peraturan-peraturan yang bertentangan dan bersifat
kontradiktif dengan tujuan pembentukan UUPM. Pengaturan mengenai
penguatan kelembagaan yang mendukung pelaksanaan hukum investasi juga
harus mendapat perhatian utama, yaitu segala kebijakan dan penguatan institusi
baik di Pusat dan Daerah yang sinergis dalam pemberian perizinan dibidang
investasi, seperti institusi pelayanan satu pintu yang diatur dalam UUPM.
2. SARAN
a. Dalam konteks ini perlunya reformasi di segala aspek (tidak hanya hukum) dan
meningkatkan peran masyarakat sipil dalam pengawasan pembangunan adalah
kunci perubahan paradigma pembangunan. Sehingga segala bentuk in-efisiensi
yang menjadi akar dari krisis ekonomi dapat menjadi minimal, dan upaya
reformasi struktural ini akan meningkatkan kredibilitas pemerintah di kalangan
masyarakat internasional khususnya. Sehingga investasi asing akan meningkat,
ekonomi mengalami pertumbuhan yang signifikan untuk mengurangi
pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law
in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone,
Jakarta, 2006.
8. Dorojatun Kuntjoro Jakti, “Investasi Minim Akibat Lima Hal,” Bisnis Indonesia,
13 Juni 2002.
19. J.D. Ny. Hart, “The Role of Law in Economic Development,” dalam Erman
Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta :
Universitas Indonesia, 1995),
23. Lili Rasyidi dan I.B Wiyasa Putera, 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem, PT.
Remaja Rosdakarya: Bandung.