Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi dan Pembangunan
Disusun Oleh:
REWI SUKANDRI
NPM 22010014 PM
DOSEN PEMBIMBING: DR. ABDUL RASYID SATIMAN, S.H, M.M

PROGAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM


YAYASAN PERGURUAN TINGGI BANGKA (YAPERTIBA) STIH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
berkat dan rahmatNya Makalah Hukum Pemerintahan Daerah yang berjudul “Peranan
Hukum dalam Ekomnomi Pembangunan“ ini dapat terselesaikan tepat waktu, walaupun
terdapat banyak hambatan yang penulis hadapi namun pada akhirnya berjalan sesuai
dengan rencana-Nya.

Makalah Ilmiah Ini Diajukan Guna Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Hukum
Hukum Ekonomi dan Pembangunan, Progam Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Yayasan Perguruan Tinggi Bangka (Yapertiba) STIH Tahun 2022, ucapan terima kasih
kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Abdul Rasyid Satiman, S.H, M.M

serta pihak yang telah membantu terselasaikannya penyusunan makalah ini. Saya
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang mendukung guna penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata saya berharap makalah dapat membawa manfaat bagi semua. Terima
kasih.

Penulis

REWI SUKANDRI
NPM: 22010014 PM
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Globalisasi ditandai dengan adanya keterbukaan dan kebebasan dalam
berbagai bidang kehidupan yang mengakibatkan perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan yang berlangsung sangat cepat. Melalui globalisasi serta keterbukaan
informasi maka kegiatan ekonomi menjadi bersifat terbuka sehingga
mengakibatkan transaksi bisnis dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Bentuk transaksi secara elektronik bukanlah merupakan suatu hal yang baru lagi,
dimana dengan transaksi erlektronik, maka kesepakatan akan terjadi secara
elektronik.

Globalisasi membawa pengaruh dalam perkembangan hukum korporasi


maupun hukum bisnis sebagai akibat berkembangnya pranata-pranata ekonomi
dalam kegiatan bisnis yang mau tidak mau juga melahirkan suatu pranata hukum
baru yang bersifat mengimpor hukum asing khususnya hukum yang berasal dari
tradisi hukum Anglo saxon dengan sistem hukum common law. Sejalan dengan
perkembangan tersebut, maka bentuk-bentuk kegiatan bisnis di era globalisasi ini
terus berkembang cepat mengikuti perkembangan bentuk-bentuk kegiatan usaha
didunia. Bahkan pranata ekonomi asing banyak masuk dan berkembang
diIndonesiayang kadangkala tidak cocok diterapkan diIndonesia. Seperti
bentuk-bentuk pranata hukum yang berkembang di tradisi hukum anglo saxon
dengan sistem hukumnya common law dimana perbedaan sistem hukum menjadi
kendala dalam penerapannya.

Dengan kemajuan teknologi maka telah berkembang bentuk-bentuk


transaksi eletronik yang merupakan bentuk perikatan atau hubungan hukum yang
ramai dibicarakan sebagai online contract, yaitu perikatan atau hubungan hukum
yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari
sistem informasi berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berbasis
jaringan dan jasa telekomunikasi. Sehingga dalam hal ini telah melahirkan
resolusi perdagangan dan transaksi bisnis secara elektronik yang meliputi cara
penjualan, pembelian produk, pelayanan maupun transaksi bisnis itu sendiri.
Melalui transaksi secara e-commerce ini maka telah beralih pelaksanaan transaksi
yang berpedoman kepada kertas disertai tandatangan yang berwenang sebagai
dokumen transaksi menjadi transaksi secara elektronik dengan
dokumen-dokumen eketronik tanpa tanda tangan yang menjadi bukti keabsahan
transaksi tersebut. Perubahan tersebut terjadi karena kebutuhan bisnis memang
menghendakinya sehingga mengakibatkan terjadi impor atau pengambilalihan
hukum asing yang umumnya dilakukan secara bulat-bulat, artinya diberlakukan
apa adanya tanpa perubahan atau penyesuaian yang berarti. Sehingga seringkali
dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan dan kendala. Sebagian besar
dari ketentuan hukum asing yang diambil alih tersebut justru berasal dari apa
yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon
seperti Inggris dan Amerika, padahal Indonesia sendiri menganut sistem hukum
Eropa Kontinental. Sehingga yang terjadi adalah bahwa dalam hukum korporasi
terjadi suatu transplantasi pranata-pranata hukum Anglo Saxon ke dalam batang
tubuh hukum Eropa Kontinental. Dalam hal ini badannya sudah berbentuk hukum
Anglo Saxon sementara kakinya masih berpijak pada atas hukum Eropa
Kontinental, dimana dalam banyak hal tranplantasi tersebut bersifat dipaksakan.
Akibat telah berkembang pranata hukum bisnis baru yang sebelumnya tidak
diatur dalam sistem hukumIndonesiatelah mengakibatkan dalam pelaksanaannya
seringkali menimbulkan konflik atau sengketa yang dalam hal ini lebih dikenal
dengan istilah sengketa bisnis. Hukum korporasi/bisnis merupakan pranata
hukum yang penting mengingat perkembangan bisnis yang cukup pesat dan juga
mengingat sengketa-sengketa yang terjadi yang memerlukan pranata hukum yang
pasti dan jelas untuk pengaturannya. Oleh karenanya hukum bisnis dan hukum
korporasi sangatlah dibutuhkan dalam praktik.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah negara dalam memberikan perlindungan untuk memberikan


kepastian hukum dan menjamin pertumbuhan makro dan mikro ekonomi
pembangunan dalam menghadapi tantangan dan resesi ekonomi global?

2. Permasalahan apa yang muncul dan bagaimana strateginya?

3. Bagaimana menurut pandangan ahli?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk Mengetahui dan Mendeskripsikan Peranan Hukum dalam Pembangunan


Ekonomi dalam Cita- cita Hukum Negara Republik Indonesia, Globalisasi
Hukum Mengiringi Globalisasi Ekonomi, Konsep Pembangunan Hukum, Arah
Dan Tuntutan Pembangunan Hukum Nasional, Gagasan Hukum Sebagai
Sarana Perubahan Sosial, Menuju Penegakan Hukum Progresif Dan Responsif,
Pengembangan Perangkat Hukum Ekonomi Dan Implikasinya Terhadap
Pertumbuhan Investasi

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan permasalahan dalam menghadapi


tantangan globalisme yang semakin tidak menentu serta bagaimana peranan
negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pembangunan
ekonomi.

D. MANFAAT TEORITIS DALAM PENELITIAN INI,

1. Manfaat Teoritis
Dalam penelitian ini, penulis berharap hasilnya mampu memberikan sumbangan
bagi Ilmu Hukum khususnya Hukum Ekonomi dan Pembangunan di Program
Magister Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Bangka

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran


yang berarti dan memberikan manfaat dalam upaya peningkatan ilmu
pengetahuan, bilamana dalam pengamatan di lapangan masih di jumpai
kelemahan-kelemahan maupun kekurangankekurangan yang masih perlu
diperbaiki atau ditingkatkan prosedur, administrasi, serta segi keamanan.

E. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat
deskritif yaitu menjelaskan secara detail dan sistematis mengenai tinjauan yuridis
dan pendapat para ahli.

2. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris


yakni suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum
dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan
masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini melibatkan orang, negara,
badan hukum dan Lembaga, dalam hubungan hidup di masyarakat maka
metode penelitian hukum yuridis empiris dapat dikatakan sebagai penelitian
hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil
dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan
pemerintah.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Cita Hukum Negara Republik Indonesia

Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, selain berpijak pada
lima dasar (Pancasila), juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat
prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni: (1) melindungi semua unsur bangsa
(nation) demi keutuhan (integrasi); (2) mewujudkan keadilan sosial dalam bidang
ekonomi dan kemasyarakatan; (3) mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi)
dan negara hukum (nomokrasi); (4) menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan
dan berkeadaban dalam hidup beragama.

Empat prinsip cita hukum tersebut haruslah selalu menjadi asa umum yang
memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara, sebab cita hukum adalah
kerangka keyakinan (belief framework) yang bersifat normatif dan konstitutif.
Cita hukum itu bersifat normatif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat
ideal yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat konstitutif karena
mengarahkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai oleh Negara.

Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang dikristalisasikan


di dalam tujuan negara, dasar negara, dan cita-cita hukum, maka diperlukan
sistem hukum nasional yang dapat dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka
kerja politik hukum nasional. Dalam hal ini, pengertian tentang sistem hukum
nasional Indonesia atau sistem hukum Indonesia perlu dikembangkan.

Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan
yang lain saling bergantung untuk mencapai tujuan tertentu. Banyak yang
memberi definisi tentang istilah sistem ini. Ada yang mengatakan bahwa sistem
adalah keseluruhan yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin
dalam hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara teratur.
Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum
suatu negara. Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai
tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.
sebab, di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD itulah terkandung tujuan, dasar,
dan cita hukum Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai khas budaya
bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup
bermasyarakat selama berabad-abad.

Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum


yang berlaku diseluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum (seperti isi,
struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-undangan, dan semua sub
unsurnya) yang antara satu dengan yang lain saling bergantungan dan yang
bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.Masalah-masalah yang
dipersoalkan dalam sistem hukum mencakup lima hal, yaitu:(1) Elemen atau
unsur-unsur sistem hukum; (2) Konsistensi sistem hukum; (4)
pengertian-pengrtian dasar sistem hukum; dan (5) kelengkapan sistem hukum.

Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan


bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila itu (dirumuskan kembali oleh Jimly
Asshidqy: 2003) mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii)
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan;
dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut
dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau
cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (ii)
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

B. Globalisasi Hukum Mengiringi Globalisasi Ekonomi

Indonesia juga mengalami seperti yang dialami oleh sebagian besar negara
berkembang lainnya, meskipun tidak secara tegas pemerintah menyatakan bahwa
Indonesia sebagai salah satu ”penganut” sistem ekonomi pasar, sesungguhnya
Indonesia sudah mulai menerapkan sitem ekonomi ini untuk memandu
perekonomiannya, sejak terlibat dalam organisasi-organisasi perdagangan dunia
baik secara regional maupun multilateral seperti GATT, AFTA, WTO, dan
lain-lain.

Reorientasi sistem ekonomi ke arah ekonomi pasar juga sebenarnya telah


dilakukan sejak diluncurkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi pada
tahun 1983. Dimana  kebijaksanaan deregulasi tersebut bertujuan untuk
memperkuat berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah
mulai mengarahkan pengalokasian segala sumber daya dan harga menurut
keinginan dan kehendak pasar. Bahkan lebih jauh menurut Normin S. Pakpahan,
selama tiga dasawarsa sejak Pelita I sesungguhnya Indonesia telah
menyelenggarakan ekonomi pasar.

Dan kemudian yang terjadi pada sebagian besar negara berkembang ternyata
menimpa juga pada Indonesia, dimana sistem ekonomi pasar yang di adopsi
Indonesia tidak dapat berkerja secara maksimal seperti yang diharapkan
sebelumnya,  hal itu dikarenakan banyaknya kendala internal yang ada pada
Indonesia sendiri, yang kemudian membuat perekonomian pasar tidak bisa
berjalan secara baik. Sistem ekonomi pasar yang diharapkan dapat menyehatkan
perekonomian Indonesia yang terjadi justru sebaliknya sistem ekonomi pasar
malahan menyuburkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat  di
dalam pasar, dan menyebabkan pasar menjadi semakin tidak efesien.

Merujuk pada pandangan aliran ekonomi neoklasik menganggap pasar


berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli
(consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling
berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya
faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan
proses jual beli dapat sangat asimetris.

Tidak berfungsinya sistem ekonomi pasar, juga disebabkan Indonesia


sebelumnya tidak tersedia aturan main atau kelembagaan terlebih dahulu di dalam
pasar, yang akan mengarahkan perilaku-perilaku pelaku ekonomi di dalam pasar,
agar mereka tidak berperilaku menyimpang di dalam pasar, dengan berusaha
menghindari terjadinya persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi, dengan
maksud agar mereka dapat mengeksploitasi surplus konsumen
sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Salah satu
kelembagaan non pasar yang diharapkan dapat melindungi pasar agar tidak
terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung adalah melalui adanya kelembagaan
hukum ekonomi yang kuat. Ketiadaan kelembagaan hukum ekonomi yang kuat
diduga sebagai penyebab ekonomi pasar tidak dapat bekerja sebagaimana yang
diharapkan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Kelembagaan hukum ekonomi yang kuat jika merujuk kepada pendapat dari
Prof. Erman Rajagukguk ialah kelembagaan hukum ekonomi yang lebih kurang
mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”.  Selanjutnya dua
hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi.

Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum


menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling
bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat
dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang
sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan
ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness),
seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah
perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.
Dan yang tidak kalah penting, jika sedikit mengutip pendapat Prof. Charles
Himawan bahwa adanya badan peradilan yang andal (reliable judiciary) juga
sangat menentukan bagi proses hukum terhadap sengketa-sengkata bisnis yang
dihadapi oleh pelaku ekonomi.

Sedangkan kelembagaan hukum ekonomi yang ada pada waktu ketika


Indonesia mulai menerapkan sistem ekonomi pasar, jika merujuk kepada pendapat
dari Prof. Hikmahanto Juwana, telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang
ada. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi yang
ada agar dapat mendukung berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dan
penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi ini dilakukan dengan cara salah
satunya melalui proses transplantasi hukum dari Amerika  Serikat dan Eropa ke
dalam kelembagaan hukum ekonomi Indonesia.

Dengan proses transplantasi hukum ini diharapkan dapat membuat


kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia dapat menjadi lebih modern,
dan dapat lebih mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masa kini yang terkait dengan
aktifitas ekonomi yang belum bisa dipenuhi oleh kelembagaan hukum ekonomi
yang ada di Indonesia. Kemudian jika merujuk kepada pendapat Lawrence
Friedman mengenai tiga unsur sistem hukum yaitu struktur, substansi dan budaya
hukum apabila dikaitkan dengan kelembagaan hukum ekonomi. Maka struktur
adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia
misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum, maka termasuk
didalamnya struktur institusi-institusi penegakkan hukum, seperti kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan.

Dan bila kita berbicara mengenai struktur institusi penegakkan hukum yang
ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan ekonomi pasarnya, masih
belum begitu bersahabat dengan pasar (market friendly) atau dapat diartikan
struktur institusi penegakkan hukumnya belum dapat mendukung berjalannya
aktfitas ekonomi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari proses hukum yang
berlarut-larut terhadap suatu kasus yang membuat hilangnya kepastian hukum
dalam proses penegakkan hukum yang ada, belum lagi hasil dari proses penegakkan
hukum yang ada belum bisa menjamin pihak yang benar yang akan menang. Dan
hal inilah yang kemudian membuat institusi penegakkan hukum tidak bisa
diharapkan terlalu banyak dapat menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi
diantara pelaku ekonomi di dalam pasar dengan baik. Sehingga tidak heran
kalangan pelaku ekonomi di Indonesia lebih memilih menyelesaikan sengketa
bisnis mereka dengan menggunakan lembaga arbitrase dibandingkan mereka harus
mempercayakan penyelesaian sengketa bisnisnya pada pengadilan di Indonesia.

Selanjutnya mengenai substansi hukum, masih merujuk kepada pendapat


Friedman,  adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di
dalam sistem. Dan substansi juga bisa berarti produk yang dihasilkan oleh orang
yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka
hasilkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living
law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab
undang-undang.

Dan pada waktu Indonesia menerapkan sistem ekonomi pasar, substansi


hukum ekonomi yang harus ada sebagai prasyarat yang dapat mendukung bisa
berjalan atau tidaknya ekonomi pasar belum tersedia pada waktu itu, yaitu antara
lain memiliki hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha adalah salah satu
aturan hukum yang harus dimiliki oleh setiap negara jika mereka menerapkan sitem
ekonomi pasar sebagai sistem ekonominya. Dan Hukum persaingan usaha
merupakan salah satu instrumen yang dipercaya mampu untuk memperbaiki
kegagalan pasar yang diakibatkan dari persaingan yang tidak sempurna di dalam
pasar.
Dan kemudian yang terjadi akibat Indonesia belum memiliki hukum
persaingan usaha adalah sistem ekonomi pasar yang ada malahan menghasikan
maraknya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar, dan
pasar yang diharapkan dapat menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang lebih
maksimal dan efesien yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian Indonesia
menjadi begitu tidak efesien dan kehilangan daya saingnya dengan negara lain.

Serta hukum kepailitan yang berlaku pada waktu itu yang masih merupakan
warisan masa kolonial juga berkontribusi bagi tidak terlindunginya pelaku ekonomi
dari perilaku pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi menjalankan
usahanya tetapi karena hukum kepailitan yang ada belum baik serta proses
peneggakannya yang masih memakan waktu yang lama membuat banyak pelaku
ekonomi menjadi korban akibat dari ulah sekelompok pelaku ekonomi yang
seharusnya tidak layak lagi untuk melanjutkan usahanya di dalam pasar. Lebih
lanjut mengenai budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Atau dengan kata lain
jika menurut pendapat Prof Achmad Ali, budaya hukum adalah suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu tidak
berdaya.

Rendahnya budaya hukum yang berlaku di Indonesia juga berkontribusi bagi


tidak berfungsinya ekonomi pasar secara baik. Kurang menghargai kontrak-kontrak
yang sudah dibuat di dalam bisnis merupakan salah satu bentuk manifestasi budaya
hukum yang tidak baik. Dan belum terbangunnya budaya hukum yang baik juga
cukup berkontribusi bagi tidak berfungsinya beberapa kelembagaan hukum yang
ditransplantasi dari negara-negara maju di Indonesia, karena budaya hukum yang
ada begitu berbeda dengan budaya hukum negara dimana kelembagaan hukum
ekonomi yang ditransplantasi itu berasal.

Dan sedikit mengutip kalimat dari Prof. Satjipto Rahardjo bahwa ekonomi
kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan dengan baik tanpa didukung
oleh tatanan normatif yang berlaku, yang tidak lain adalah hukum. atau dengan kata
lain tanpa adanya dukungan yang kuat dari kelembagaan hukum ekononomi yang
ada sudah barang tentu sistem ekonomi pasar yang dianut oleh Indonesia tidak akan
berjalan sebagaimana yang diharapkan.

C. Konsep Pembangunan Hukum

Konsep pembangunan hukum nasional, ide hukum pembangunan. Hukum 


bukan sebagai alat, melainkan sarana untuk pembaharuan hukum. Tepatnya
pembangunan hukum nasional sulit dilepaskan dari tulisan Kusumaatmadja.
Hampir semua Penulis yang mengkaji teori hukum pembangunan mengutip
pendapat Kusumaatmadja. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dikutip kembali
beberapa ulasan Kusumaatmadja dalam teori hukum pembangunannya.
Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool)
menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan masyarakat.
Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan
keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan,
bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat
mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan
pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum
yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.

Menurut Kusumaatmaadja bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas


dari hukum sebagai alat karena:

1.Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum


lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang
menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat
lebih penting.
2.Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada
zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan
masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
3.Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum
konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.

Lebih detail lagi, Kusumaatmadja mengemukakan bahwa: “Hukum


merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat
fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan
dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di
sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan
tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti
masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi
demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu.
Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan
ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum,
menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti
dalam proses pembaharuan.”

Komposisi masyarakat Indonesia terdiri atas suku, agama, dan identitas


kedaerahan yang sangat majemuk.  Sehingga oleh Nurcholis  Madjid, kondisi
bangsa Indonesia yang dianggap pluralis tersebut, maka pokok pangkal kebenaran
yang universal adalah Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhid (secara harfia berarti
me-Maha esakan Tuhan). Kondisi kemajemukan, dan masyarakat yang pluralis
(beraneka ragam) tersubtitusi dalam ideology kenegaraan, atau filsafat hukum
bangsa Indonesia yakni pancasila. Sementara teori hukummya berada pada
pembukaan UUD NRI Tahun 1945 terutama pada 5 program pokok pembangunan
nasionalnya. Teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Kusumaatmadja
adalah memperkenalkan tujuan hukum bukan hanya pada kepastian dan
keadilannya. Melainkan pada kedayagunaan dari hukum itu sebagai sarana pembaru
hukum (predictability) di tengah masyarakat yang majemuk.

Pembangunan hukum nasional diusahakan mengakomodasi segala


kepentingan dari masyarakat yang multi-etnik. Dengan  demikian dimensi filsafat
hukum  yang hendak dicapai dalam teori hukum pembangunan menunjukkan ada 2
(dua) dimensi sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh
Kusumaatmadja, yaitu :

1. Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan


merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya;

2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi
sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan.

Dimensi filsafat hukum yang dimaksud dari hukum pembangunan sebagai


yang dikemukakan di atas adalah dimensi ketertiban, keteraturan, dan kaidah hukum
yang dapat menciptakan pembangunan disegala aspek kehidupan. Disamping itu,
dimensi filsafat hukum yang ditarik dari hukum pembangunan oleh Kusumaatmadja
telah menambahkan defenisi hukum tidak hanya seperangkat kaidah, asas hukum atau
peraturan-peraturan saja, namun dibalik itu adalah bagaimana institusi hukum itu
bergerak atukah berjalan sebagai aturan yang memiliki daya mengikat dan daya
keberlakuan. Lengkapnya Kusumaatmadja memberikan pengertian hukum  adalah
“suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, mencakup pula lembaga (institution) dan proses (processes) yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.”

Pengertian hukum oleh Kusumaatmadja yang kemudan disinyalir sebagai


salah satu pengertian hukum berasal dari teori “mazhab hukum Unpar” adalah
mengakomodasi ketiga landasan hukum sebagaimana muatan, yang juga mutlak
dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yakni landasan yuridis, sosiologis
dan filsufis. Artinya, kalau begitu, hingga kapanpun teori hukum pembangunan tidak
akan pernah berhenti sebagai konsep hukum  (legal concept: Peter Mahmud Marzuki
yang akan menjadi asas ataukah prinsip hukum dalam setiap pembentukan
kaidah-kaidah hukum. Sementara dalam “pembangunan hukum nasional” (tidak
dikaitkan dengan filsafat hukum)  juga dapat ditemukan beberapa dimensi
diantararanya dimensi pemeliharaan, dimensi pembaharuan, dimensi penciptaan dan
dimensi pelaksanaan.

Dimensi pemeliharaan merupakan upaya untuk memelihara tatanan hukum


yang ada, walaupun sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dimensi ini
bertujuan untuk mencegah kekosongan hukum yang sesungguhnya sebagai
konsekuensi logis dari Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, namun
dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan situasi dan keadaan dengan tetap
berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dimensi
pembaharuan merupakan upaya untuk meningkatkan dan menyempurnakan hukum
nasional. Usaha tersebut dilakukan dengan mengadakan pembahasan kodifikasi dan
unifikasi hukum. Dimensi penciptaan yaitu suatu dinamika dan kreatifitas berupa
penciptaan suatu hukum yang sebelumnya tidak ada tetapi diperlukan untuk
kesejahteraan bangsa dan negara. Dimensi pelaksanaan yaitu upaya melaksanakan
undang-undang agar undang-undang tersebut berlaku di masyarakat baik secara
filsufis, juridis, sosiologis maupun politis.
Berdasarkan ulasan diatas, dimensi filsafat hukum dalam pembanguan hukum
nasional dan dimensi yang juga terdapat dalam pembangunan hukum nasional
sebagai salah satu bentuk kebijaksanaan bersifat nasional, maka hukum tetap memilki
kekuatan yang perskriptif, tanpa mengabaikan dimensi sosiologi dan filsufisnya. Hal
ini sejalan dengan kesimpulan akhir dari Sidharta dalam disertasi Krakteristik
Penalaran Hukum Dalam Kontek Indonesia bahwa “penalaran hukum yang ideal
dalam pembangunan hukum nasional adalah aspek ontologisnya tetap mengartikan
hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan; aspek 
epistemologisnya memfokuskan tidak saja pada penerapan norma-norma positif
terhadap kasus konkret, melainkan juga pada proses pembentukannya; aspek
aksiologisnya adalah mengarah kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dan
kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti dengan kepastian hukum.”

Salah satu tawaran yang menarik dari Sidharta adalah akuntabilitas, dan
transparansi penegakan hukum. Terbukti dengan tawarannya dalam penalaran hukum
untuk konteks keindonesiaan yakni hakim harus dikondisikan untuk siap
mempertanggungjawabkan setiap argumentasi yang diutamakannya. Hukum yang
senantiasa diciptakan dalam ruang-ruang institusi hukum dengan pengutamaan
keadilan, maka dituntut “asas trasparansi” (AAUPB) yang melibatkan publik dalam
setiap pembentukan dan penerapan hukum. Konsep negara hokum nomokrasi, telah
menjamin prinsip kesamaan hak (equity) di hadapan hukum (before the law), maka
konsep hukum pembangunan yang mengutamakan keterbukaan (transparansi)
sepadan dengan tawaran pembentukan hukum sebagai consensus yang melibatkan
ruang publik (public sphere) “komonikasi yang partisipatoris Habermas” atau
konsepsi negara hukum yang mengutamakan demokrasi deliberative.

D. Arah dan Tuntutan Pembangunan Hukum Nasional

Pembangunan hukum nasional secara implisit mencerminkan bahwa sampai


saat ini di Indonesia masih terjadi proses perubahan sosial menuju ke arah
modernisasi yang dikemas dalam proses legislasi yang teratur dan berkesinambungan
dengan memasukkan aspek sosiokultural yang mendukung arah perubahan tersebut.
Filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 30
(tiga puluh) tahun yaitu konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan
hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, belum mengalami perubahan, dan
bahkan belum pernah diuji kembali keberhasilannya. Hal ini merupakan salah satu
tugas utama yang mendesak (sense of urgency) yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah (Departemen Kehakiman), terlebih dengan cepatnya perubahan sistem
politik dan sistem ketatanegaraan yang telah terjadi sejak masa reformasi.

Telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan


di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem
sentralistik ke dalam sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu
berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan
kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan
penguasa daripada kepentingan rakyat dan produk hukum yang lebih mengedepankan
dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah.

Di samping perubahan paradigma tersebut juga selayaknya kita (cendekiawan


hukum dan praktisi hukum) ikut mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di
dalam percaturan politik dan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia karena terhadap
masalah ini kita sering “alergi” dan mengabaikannya, sedangkan kehidupan
perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan berdampak mendasar terhadap
perkembangan sistem hukum. Fenomena yang saya maksud, pertama, kecenderungan
sistem otonomi menjadi lebih diperluas sehingga dapat menjadi federalisme; dan
kedua, kecenderungan sistem multipartai yang berdampak terhadap sistem kabinet
presidensial yang selama ini dianut dalam UUD 1945. Kecenderungan ini sudah
terjadi dalam kabinet Gotong Royong di bawah Presiden Megawati yaitu dengan
sistem koalisi. Fenomena ketiga, kecenderungan pemisahan (bukan pembedaan)
secara tegas (separation bukan differentiation) antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Fenomena ketiga sangat berpengaruh terhadap law making process (LMP),
dan law enforcement process (LEP). Fenomena keempat, masuknya
pengaruh-pengaruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke dalam pengambilan
keputusan pemerintah dan proses legislasi. Fenomena kelima, adanya Tap MPR RI
yang memerintahkan kepada Presiden untuk melaksanakan pemberantasan KKN dan
menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa semakin menambah beban
pemerintah yang tidak kecil di masa kini dan masa mendatang.

Kelima fenomena yang telah saya uraikan di atas merupakan bahan kajian
untuk mengantisipasi kemungkinan wujud sistem hukum dan sistem penegakan
hukum di masa yang akan datang. Hal ini saya pandang sangat penting karena kita
sering mengalami inertiadalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat
baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Dalam awal uraian telah saya
kemukakan adanya perubahan sistem hukum yang mendasar. Perubahan dimaksud
merupakan konsekuensi logis dari perubahan kedua sistem terdahulu. Walau
demikian, tidaklah berarti bahwa perubahan sistem hukum tersebut merupakan
perubahan yang serta-merta, tetapi harus ada persiapan yaitu penataan yang bersifat
komprehensif dan tidak parsial terhadap sistem hukum yang kini dianut, seperti
halnya proses legislasi yang telah dilaksanakan pemerintah sejak era reformasi tahun
1980-an.

Pembangunan hukum nasional masa reformasi saat ini merupakan masa


transisi dari sistem pemerintahan sebelumnya kepada sistem demokrasi yang
mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan hak asasi manusia, serta membuka
akses publik kepada kinerja pemerintahan. Konsepsi hukum pembangunan yang
menitikberatkan kepada hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat pada masa
tahun 1970-an tanpa penjelasan lebih jauh mengenai bentuk atau wujud masyarakat
bagaimana yang dikehendaki ke depan, maka konsepsi hukum demikian akan sangat
rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dan yudikatif. Hal ini
sudah terjadi dengan munculnya peristiwa perampasan hak-hak rakyat baik di bidang
politik, ekonomi, dan sosial di masa lampau dengan alasan untuk pembangunan
nasional melalui berbagai peraturan perundang-undangan atau keputusan pemerintah.

Keadaan ini menjadi lebih kompleks karena reformasi yang dibangun sejak
tahun 1998 terbukti sangat cepat tanpa melalui masa transisi yang cukup untuk
mengendapkan dan mendalami esensi reformasi tersebut baik di bidang politik,
ekonomi, sosial, maupun HAM. Banyak pihak termasuk kaum cendekiawan saat itu
sudah tidak sabar menunggu dan ingin cepat agar pemerintah melaksanakan
reformasi dalam keempat bidang tersebut tanpa memberikan kesempatan bernapas,
apalagi untuk mengendapkan dan mendalami secara hati-hati seluruh tuntutan
reformasi tersebut. Sementara kita ketahui, reformasi yang dituangkan ke dalam
Ketetapan MPR RI itu pun belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah.
Bahkan ada keraguan di antara para pemikir dan kaum birokrasi tentang validitas
bahan-bahan acuan dan data yang telah digunakan dalam penyusunan Ketetapan
MPR RI tersebut yang secara fundamental telah mengubah arah dan tujuan
pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khususnya.
Apalagi, jika dilihat dari segi waktu yang sangat singkat dengan jumlah anggota MPR
RI kurang lebih sebanyak 500 (lima ratus) orang yang berasal dari berbagai partai dan
golongan disertai kepentingan yang bervariasi.

Dalam konteks kondisi seperti itu, tidaklah dapat dihindari terjadinya anomali
mengenai cita reformasi khususnya di bidang hukum; ditambah lagi dengan
kenyataan, bahwa dalam hubungan internasional tuntutan reformasi hukum sesuai
dengan komitmen internasional tidak kunjung selesai atau terpenuhi. Keadaan ini
sering dirasakan ketika pemerintah harus berpacu dengan waktu, bahkan dalam
hitungan hari. Dalam keadaan yang terdesak tanpa ada pilihan untuk kembali (point
of no return) di tengah reformasi di bidang hukum, sekelompok masyarakat yang
menamakan kelompok proreformasi atau prodemokrasi belum memberikan
pemahaman kepada masyarakat luas tentang esensi dari reformasi itu sendiri, bahkan
cenderung memahami reformasi itu sebagai demokrasi an sich, tanpa
mempertimbangkan kultur dan karakteristik budaya bangsa ini. Lebih jauh
pemahaman tentang penegakan tatanan kehidupan yang demokratis seakan dipahami
sebagai menghalalkan pemaksaan kehendak sekalipun dengan cara kekerasan untuk
mencapai suatu tujuan di balik alasan klasik, untuk kepentingan rakyat.

Dalam konteks kondisi demikian, masalah hukum dalam pembangunan


nasional dewasa ini berbeda secara mendasar dengan kondisi pada saat pertama
pembangunan hukum nasional dideklarasikan. Ada 4 (empat) masalah mendasar yang
mendesak dan segera harus diselesaikan, yaitu :

1. Masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum
lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional di satu sisi
dan di sisi lain juga terhadap hukum yang bersifat netral yang berasal/bersumber
dari perjanjian internasional.
2. masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk
secara komprehensif sehingga melahirkan berbagai ekses antara lain egoisme
sektoral dan menurunnya kerja sama antaraparatur hukum secara signifikan. Hal
ini disebabkan oleh miskinnya visi dan misi aparatur hukum, antara lain tentang
pengertian due process of law, impartial trial, transparency,
accountability, dan the right to counsel.
3. masalah pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk meningkatkan akses
masyarakat ke dalam kinerja pemerintahan maupun peningkatan kesadaran
hukum masyarakat. Kedua hal tersebut dapat dimasukkan sebagai “budaya
hukum” dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lain karena
peningkatan akses masyarakat tanpa disertai peningkatan kesadaran hukum akan
menimbulkan ekses pemaksaan kehendak, bahkan memunculkan karakter
anarkisme.
4. masalah pemberdayaan birokrasi atau yang saya sebut, beureucratic
engineering (BE) dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan.
Pemberdayaan dilingkungan birokrasi ini sangat penting antara lain di dalam
menjalankan Tap MPR RI Nomor XI/MPR RI/1999 dan Tap MPR RI Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan KKN serta bagaimana melaksanakan secara konsisten UU RI Nomor
28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Seharusnya dipahami bentuk esensinya. Sebab kedua Ketetapan MPR RI


tersebut memuat “perubahan sikap” (attitude) penyelenggara negara untuk tidak
melakukan KKN. Masalah keempat ini dalam konteks perkembangan politik dan
penegakan hukum di Indonesia sangat strategis dan menentukan keberhasilan
pembangunan nasional pada umumnya karena dengan cara demikian ia dapat mengisi
kelemahan konsep hukum pembangunan yang hanya menitikberatkan kepada
“hukum sebagai sarana perubahan sosial” dan tidak mempertimbangkan pendekatan
BE. Dengan pendekatan BE, konsep “panutan” atau “kepemimpinan” (leadership)
dapat diwujudkan secara bersamaan dan sekaligus dengan konsep perubahan dan
pemberdayaan masyarakat (social engineering) melalui hukum sebagai sarana
pembaharuan.

Dengan demikian, hukum sebagai sarana pembaharuan sekaligus diharapkan


dapat menciptakan harmonisasi antara dua pasangan yaitu birokrasi dan masyarakat
dalam satu wadah yang saya sebut “bureaucratic and social engineering”; birokrasi
memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan masyarakat mengikuti dan patuh kepada birokrasi. Sepanjang perjalanan lebih
dari 30 (tiga puluh) tahun sejak Orde Baru sampai sekarang, masalah yang sangat
krusial dan menghambat penegakan supremasi hukum adalah sulitnya diperoleh
“keteladanan” atau dalam arti luas, “kepemimpinan”. Hal ini pula yang menghambat
kepatuhan masyarakat dalam memelihara dan mengemban tugas sebagai satu bangsa
(one nation) yang menjunjung tinggi supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas,
dan menjunjung tinggi HAM.

E. Gagasan Hukum Sebagai Sarana Perubahan Sosial

Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka salah


satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat
adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmaja, S.H., LL.M. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori
Hukum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila
dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: Pertama, Teori
Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia
karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum
pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi
Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan
kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional
maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan
hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila
yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang
terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi
yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi)
sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman.[42] Ketiga, pada
dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai
“sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan hukum
sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang
sedang berkembang.

Dikaji dari perspektif sejarahnya maka sekitar tahun tujuh puluhan


lahir Teori Hukum Pembangunan dan elaborasinya bukanlah dimaksudkan
penggagasnya sebagai sebuah “teori” melainkan “konsep” pembinaan hukum yang
dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe Pound “Law as a tool of social
engineering” yang berkembang di Amerika Serikat. Apabila dijabarkan lebih lanjut
maka secara teoritis Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M. dipengaruhi cara berpikir dari Herold D.
Laswell dan Myres S. Mc Dougal (Policy Approach) ditambah dengan teori Hukum
dari Roscoe Pound (minus konsepsi mekanisnya). Mochtar mengolah semua
masukan tersebut dan menyesuaikannya pada kondisi Indonesia.Ada sisi menarik dari
teori yang disampaikan Laswell dan Mc Dougal dimana diperlihatkan betapa
pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis dan penstudi pada
umumnya (scholars) serta pengemban hukum praktis (specialists in decision) dalam
proses melahirkan suatu kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis,
namun di sisi lainnya juga bersifat mencerahkan. Oleh karena itu maka Teori Hukum
Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. memperagakan
pola kerja sama dengan melibatkan keseluruhan stakeholders yang ada dalam
komunitas sosial tersebut.

Dalam proses tersebut maka Mochtar Kusumaatmadja menambahkan


adanya tujuan pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan dari Roescoe
Pound dan Eugen Ehrlich dimana terlihat korelasi antara
pernyataan Laswell dan Mc Dougal bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan
pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum (theory about
law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis. Mochtar
Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai
alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa
ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang
diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan
dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan
dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan
hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum
sebagai sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena:

1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum


lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang
menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat
lebih penting.
2. Konsep hukkum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada
zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan
masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
3. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum
konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.

Lebih detail maka Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa:

“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.


Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum
bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian
diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun,
karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.
Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti
masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi
demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu.
Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan
ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum,
menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti
dalam proses pembaharuan.”

Dalam perkembangan berikutnya, konsep hukum pembangunan ini akhirnya


diberi nama oleh para murid-muridnya dengan “Teori Hukum Pembangunan” atau
lebih dikenal dengan Madzhab UNPAD. Ada 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi
kemunculan teori hukum ini, yaitu: Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat
berperan bahkan menghambat perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di
masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah
hukum modern. Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan
pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan
syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan
jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian
hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara
optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban. Fungsi hukum dalam
masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin
kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan
agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan
masyarakat”/”law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan”
dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat”


didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam
usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau
dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau
peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki
oleh pembangunan dan pembaharuan.

Aksentuasi tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai
inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,
yaitu :

● Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan


merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya;

● Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi
sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan.

Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur
pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan “fungsi
hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi
sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak
dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara”. Dalam hubungan dengan fungsi
hukum yang telah dikemukakannya, Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi
hukum dalam pengertian yang lebih luas, tidak saja merupakan
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses
(processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.
Dengan kata lain suatu pendekatan normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup
apabila hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh.

Pada bagian lain, Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan bahwa “hukum


yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat
kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi
harus pula mencakup lembaga (institution) dan proses (processes) yang diperlukan
untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan”. Pengertian hukum di atas
menunjukkan bahwa untuk memahami hukum secara holistik tidak hanya terdiri
dari asas dan kaidah, tetapi juga meliputi lembaga dan proses. Keempat komponen
hukum itu bekerja sama secara integral untuk mewujudkan kaidah dalam
kenyataannya dalam arti pembinaan hukum yang pertama dilakukan melalui hukum
tertulis berupa peraturan perundang-undangan. Sedangkan keempat komponen hukum
yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan, berarti pembinaan
hukum setelah melalui pembaharuan hukum tertulis dilanjutkan pada hukum yang
tidak tertulis, utamanya melalui mekanisme yurisprudensi.

F. Menuju Penegakan Hukum Progresif Dan Responsif

Teori “Hukum Progresif”  pertama-tama diperkenalkan di Indonesia oleh


Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip Bernard  L. Tanya, (2006). Teori ini lahir tidak
lepas dari gagasan Satjipto Rahardjo yang galau dengan keadaan cara  penyelengaraan
hukum di Indonesia, dimana hampir sama sekali tidak ada terobosan yang cerdas
menghadapi masa transisi  Orde Baru dan yang lebih  memprihatinkan lagi hukum 
tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka (business as usual), tetapi juga
dipermainkan seperti barang dagangan (business like). Satjipto Rahardjo, menyatakan
bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk
manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi
hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu,
hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu
hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.
Ini menyebabkan  hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan
dan Hukum yang Pro-rakyat.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum
progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas
pelaku hukum  mengaktualisasikan hukum dalam ruang  dan waktu yang tepat. Para
pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan
yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus  menunggu perubahan
peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi
para  pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan
pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali
terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum  dirasakan manfaatnya, maka
dibutuhkan jasa  pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam for a
kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.

Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa  secara langsung  ditemukan lewat 
proses  logis–formal. Keadilan  justru diperoleh lewat institusi, karenanya,
argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk
membingkai secara yuridis–formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena
itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan
untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Berbeda dengan legalisme yang berpusat pada
aturan, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran &
ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi
menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia
(kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum.
Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi


berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum
dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa
harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena pelaku hukum
progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada.
Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak
hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa
melakkan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan
kebahagiaan kepada pencari keadilan.

Sudah tentu, untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum


progresif itu, butuh sokongan kerangka keyakinan baru barupa sebuah model rujukan
yang dapat memandu perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan
model/exemplar seperti itu didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, karena hukum
progresif berusaha menolak keberadaan status quo–manakala keadaan tersebut
menimbulkan dekadensi, status korup, dan semangat merugikan kepentingan rakyat.
Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat “perlawanan” dan “pemberontakan”
untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku
hukum. Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/model, akan dapat menyatukan
kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi, karena exemplar selalu
menyediakan tiga “perangkat lunak” yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement): (1)
Landasan ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan. (2)
Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan, serta
(3) Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud.
Kejelasan mengenai tiga hal itu, per teori, akan merekatkan kekuatan-kekuatan potensil
hukum progresif dalam satu agenda dan garis perjuangan. Dengan begitu, harapan
bersatunya kekuatan hukum progresif seperti diserukan Satjipto Rahardjo lebih mudah
terwujud.

Sejumlah praktisi, akademisi, dan pengamat hukum menilai hukum yang berlaku
di Indonesia hari ini dirasa sangat dipengaruhi oleh transaksi politik. Kepentingan
kelompok politik yang dominan lebih berpengaruh ketimbang kepentingan publik.
Banyaknya kegagalan penegakan hukum di Indonesia dibuktikan dengan fenomena
sulitnya membawa para koruptor ke pengadilan. Kegagalan tersebut antara lain
disebabkan oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti
prosedur, doktrin, dan asas. Sebagai akibatnya, hukum justru menjadi safe bagi koruptor.
Dampak lainya, banyak kalangan yang merasa belum mendapatkan keadilan dari hukum.
Karena itu, mereka mengajukan alternatif hukum progresif atau hukum responsif (Nonet,
Philippe & Philip Selznick, 1978.) untuk menjawab rasa keadilan tersebut.

Sebenarnya gagasan Hukum Progresif ini  pertama-tama diperkenalkan di


Indonesia oleh Satjipto Rahardjo. Gagasan ini lahir tidak lepas dari gagasan Satjipto
Rahardjo yang galau dengan keadaan cara  penyelengaraan hukum di Indonesia, dimana
hampir sama sekali tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi masa transisi  Orde
Baru dan yang lebih  memprihatinkan lagi hukum  tidak saja dijalankan sebagai rutinitas 
belaka (business as usual), tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan (business
like). Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada
filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia
menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan
sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari
kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi
pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan  hukum progresif menganut “ideologi” :
Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum
progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas
pelaku hukum  mengaktualisasikan hukum dalam ruang  dan waktu yang tepat. Para
pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang
kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus  menunggu perubahan peraturan
(changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para  pelaku
hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan,
karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu
peraturan. Untuk itu agar hukum  dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan  jasa  pelaku
hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu yang berada dalam
kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan hal di atas, maka  keadilan tidak bisa  secara langsung  ditemukan
lewat  proses  logis–formal. Keadilan  justru diperoleh lewat institusi, karenanya,
argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai
secara yuridis– formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep
hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan
yang berada di luar dirinya.

Berbeda dengan legalisme yang berpusat pada aturan, hukum progresif


menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran & ketulusan menjadi mahkota
penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi
roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya)
menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung
tombak perubahan (Sastroatmodjo, 2008). Dala logika itulah revitalisasi hukum
dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku
hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun
bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law),
karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap
peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif
misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan
itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk
memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.

G. Pengembangan Perangkat Hukum Ekonomi Dan Implikasinya Terhadap


Pertumbuhan Investasi

Pola pembangunan ekonomi yang serba cepat sekarang ini, menyebabkan


terbentuknya pencapaian pemerataan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan yang
utama. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan adanya peranan hukum yang
membawa pengaruh untuk menyusun tata kehidupan baru tersebut. Dalam perkembangan
selanjutnya, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum, melainkan
lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial. Hukum lebih tampak bukan lagi
sebagai perekam kebiasaan-kebiasaan yang telah membentuk di dalam bidang-bidang
kehidupan masyarakat, melainkan diharapkan pula hukum dapat menjadi pengungkap
yang tepat dari kekuatan baru yang menghendaki terbentuknya kesejahteraan masyarakat.
Akibatnya hampir semua aspek kehidupan kita temui adanya peraturan hukum.

Disatu pihak, Hukum berkepentingan dengan hasil yang akan diperolehnya

melalui pengaturannya, dan oleh karena itu harus paham tentang seluk-beluk masalah
yang akan diaturnya. Sedangkan dipihak lain, hukum juga harus menyadari bahwa
factor-faktor dan kekuatan diluar hukum juga akan memberikan pengaruhnya pula
terhadap hukum serta proses bekerjanya. Sehingga dalam menyusun kebijakan hukum
diperlukan adanya pertimbangan, antara lain mengenai faktor-faktor psikologis, faktor
sosiologis dan letak geografis.

Investasi adalah merupakan salah satu penggerak proses penguatan perekonomian


negara, karena itu dalam rangka kebijakan ekonominya beberapa negara berusaha keras
untuk meningkatkan investasinya. Salah satu cara peningkatan investasi yang diharapkan
adalah melalui investasi asing. Para investor diundang masuk ke suatu negara diharapkan
dapat membawa langsung dana segar/fresh money dengan harapan agar modal yang
masuk tersebut dapat menggerakkan roda perusahaan/industri yang pada gilirannya dapat
menggerakkan perekonomian suatu negara.

Dalam era globalisasi, masuknya investasi dalam suatu negara berkembang


khususnya Indonesia merupakan salah satu peranan yang sangat siqnifikan dalam
memacu pembangunan ekonomi. Karena di negara-negara berkembang kebutuhan akan
modal pembangunan yang besar selalu menjadi masalah utama dalam pembangunan
ekonomi. Sehingga diantara negara-negara berkembang yang menjadi perhatian bagi
investor adalah tidak hanya sumber daya alam yang kaya, namun yang paling penting
adalah bagaimana hukum investasi di negara tersebut dapat memberikan kepastian
hukum dan kepastian berusaha.

Dengan menguatnya arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan


interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah
membawa dampak pengelolaan ekonomi Indonesia. Dampak ini lebih terasa lagi setelah
arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan
(trade liberalization) yang telah diupayakan secara bersama-sama oleh negara-negara di
dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional, seperti North American Free Trade
(NAFTA), Single European Market (SEM), European Free Trade Agreement (EFTA),
Australian-New Zealand Closer Economic Relation and Trade Agreement (ANCERTA),
ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Econimic Cooperation (APEC) dan
World Trade Organization (WTO).

Disinilah hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan
perlindungan hukum yang diberikan suatu negara bagi kegiatan penanaman modal.
Sebagaimana diungkapkan oleh Erman Rajagukguk, bahwa faktor yang utama bagi
hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum
mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama
adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi
stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat
meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya
penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki
hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek
keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku
Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang
berlebihan. Sehingga melalui sistem hukum dan peraturan hukum yang dapat
memberikan perlindungan, akan tercipta kepastian (predictability), keadilan (fairness)
dan efisiensi (efficiency) bagi para investor untuk menanamkan modalnya.

Iklim investasi di Indonesia relatif berkembang pesat sejak Undang-Undang PMA


Tahun 1967 dan Undang-Undang PMD Tahun 1968 diberlakukan. Hal ini karena adanya
pengaturan beberapa insentif, yang meliputi perlindungan dan jaminan investasi,
terbukanya lapangan kerja bagi tenaga kerja asing, dan adanya insentif dibidang
perpajakan. Dan situasi politik dan keamanan pada saat itu relatif lebih stabil yang
mendorong investasi sehingga mengalami peningkatan yang cukup siqnifikan. Bahkan
pada awal tahun 70-an sampai akhir 80-an, Jepang melakukan investasi besar-besaran di
Indonesia.
Pertumbuhan penanaman modal tersebut (investasi langsung) terus berlangsung
hingga tahun 1996 seiring dengan berbagai kebijakan liberalisme dibidang keuangan dan
perdagangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Namun pertumbuhan investasi tersebut
mengalami kemerosotan yang berujung dengan terjadinya krisis ekonomi pada akhir
tahun 1997 yang menjadi krisis multidensional yang berpengaruh terhadap stabilitas
politik. Menurut Bismar Nasution, bagi Indonesia yang perekonomiannya bersifat
terbuka akan terpengaruh dengan prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi
perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan
perekonomian negara lain/perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor;
investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta
pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan
kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi.

Menurut data yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal


(BKPM), realisasi total investasi mengalami kenaikan yang mencolok. Total persetujuan
investasi selama Januari-Maret 2007 sebesar Rp 204,3 triliun, meningkat 447,2%
dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sejak dasawarsa 1970-an, realisasi investasi
yang telah disetujui oleh BKPM berkisar antara 20-40%. Selama Januari-Maret 2007 pun
realisasinya ”hanya” Rp 40,59 triliun atau sekitar 20%, yang terdiri dari Penanaman
Modal Dalam Negeri (PDMN) sebesar Rp 23,17 triliun dan Penanaman Modal Asing
(PMA) senilai Rp 59,91 triliun.

Namun angka ini masih di bawah target tahun 2007 yaitu Rp 248,5 triliun.
Pertanyaannya, apakah ini berarti berakhirnya musim paceklik investasi dan tanda
perbaikan iklim investasi di Indonesia? Musim paceklik investasi di Indonesia jelas
terlihat dari menurunnya arus investasi sejak tahun 1997. Data BKPM menunjukkan,
nilai PMDN pada tahun 1997 tercatat Rp 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit.
Data tahun 2003 terbukti tinggal Rp 50 triliun dengan 196 proyek. Rekor investasi asing
langsung yang masuk lewat PMA menunjukkan perbaikan: tahun 1997 nilainya sebesar
US$ 3,4 miliar dengan 331 unit proyek, pada tahun 2003 melonjak menjadi US$ 5,1
miliar dengan jumlah proyek yang juga meningkat menjadi 493 unit.

Ironisnya, ternyata arus investasi asing yang masuk ke Indonesia diikuti dengan
arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut sebagai net capital inflows
yang negatif. Data neraca pembayaran Indonesia, terutama pos investasi asing langsung,
mencatat angka negatif sejak 1998, yang dari tahun ke tahun semakin membesar. Baru
pada sejak tahun 2005 net capital inflows mulai mencatat angka positif, yang berarti
mulai turning point.

Berbagai studi menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia lebih buruk


dibanding Cina, Thailand, Vietnam dan negara-negara ASEAN lainnya. Iklim investasi
dapat didefinisikan ‘sebagai semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang
sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa mendatang, yang bisa
memengaruhi tingkat pengembalian dan risiko suatu investasi’.

Keadaan perekonomian Indonesia menjadi sangat terpuruk pada saat Indonesia


dilanda krisis pada akhir tahun 1997 yang berakibat sangat luas. Krisis ekonomi tersebut
kemudian menjadi krisis kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap elite politik
dan elite ekonomi orde baru yang pada akhirnya menggerogoti perekonomian dan
administrasi bisnis, sehingga banyak investor yang lari ke negara-negara lain. Krisis
ekonomi tersebut paling tidak telah memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia dan
memaksa Indonesia untuk melakukan perubahan-perubahan ekonomi, politik, sosial, dan
hukum. Era reformasi diharapkan dapat menjadi tumpuan transformasi dan reformasi
hukum menuju sistem baru yang lebih lebih berkeadilan, andal, dan berkelanjutan,
khususnya penataan hukum investasi dalam menciptakan iklim usaha yang lebih
kondusif bagi penanaman modal.

Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan


terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi,
yaitu “stabilitas” (stability), “prediksi” (preditability), “keadilan” (fairness), “pendidikan”
(education), dan “pengembangan khusus dari sarjana hukum” (the special development
abilities of the lawyer).[69] Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan
kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini
“stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan
yang saling bersaing. Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa
memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara.

Sebagaimana pendapat Erman Radjagukguk, maka hukum investasi sebagai


bagian dari hukum ekonomi harus mempunyai fungsi stabilitas (stability), yaitu
bagaimana potensi hukum dapat menyeimbangkan dan mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat. Sehingga hukum
investasi dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal asing dan sekaligus
dapat pula melindungi pengusaha-pengusaha lokal atau usaha kecil. Dalam kaitannya
dengan hal ini, maka investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik. Investor mau
datang ke suatu negara sangat dipengaruhi faktor political stability. Terjadinya konflik
elit politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam
modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan
terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional.

Yang Kedua, kebutuhan fungsi hukum investasi untuk dapat meramalkan


(predictability), adalah mensyaratkan bahwa hukum tersebut mendatangkan kepastian.
Investor akan datang ke suatu negara bila ia yakin hukum akan melindungi investasi yang
dilakukan. Kepastian hukum akan memberikan jaminan kepada investor untuk
memperoleh economic opportunity sehingga investasi mampu memberikan keuntungan
secara ekonomis bagi investor. Adanya kepastian hukum juga merupakan salah satu
faktor utama untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor, karena dalam
melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga ketentuan lain
yang terkait dan tidak bisa dilepaskan sebagai pertimbangan bagi investor untuk
menanamkan modalnya. Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur investasi
dan yang terkait dengan investasi kadangkala menimbulkan kekaburan atau
ketidakpastian mana hukum yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan keberadaan hukum
dengan masyarakat, maka perlunya wibawa hukum agar dapat ditaati dan sebagai
pegangan dalam menjalankan relasi satu dengan yang lain terlebih lagi dalam lalu lintas
bisnis diperlukan adanya kepastian hukum yang berlaku. Hal ini dikemukakan pula oleh
Sentosa Sembiring, jika arti pentingnya hukum dikaitkan dengan investasi, investor
membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Artinya, bagi para
investor butuh ada satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan
investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan yang dibuat oleh yang mempunyai
otoritas untuk itu. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak.
Ketiga, aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama bagi semua orang
atau pihak di depan hukum, perlakuan yang sama kepada semua orang dan adanya
standar pola perilaku pemerintah, oleh banyak ahli ditekankan sebagai syarat untuk
berjalannya menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Dalam
kaitannya dengan aspek keadilan disini, maka faktor accountability dengan melakukan
reformasi secara konstitusional serta perbaikan sistem peradilan dan hukum merupakan
suatu syarat yang penting dalam rangka menarik investor. Apabila hal ini tidak dilakukan
pada akhirnya berakibat pada lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan
ketiadaan regulasi khususnya di bidang investai yang mampu memberikan rasa aman,
nyaman bagi investor serta kurang ramahnya perundang-undangan tersebut terhadap
investor khususnya investor asing. Dengan kata lain perangkat perundang-undangan yang
ada sekarang dirasakan kurang mengakomodasi kepentingan para investor dalam
berinvestasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Dorojatun Kuntjoro Jakti pada waktu
menjabat sebagai Menko Perekonomian menyatakan bahwa masih kecilnya investasi
yang masuk di Indonesia diakibatkan masih adanya kendala yang menyangkut sistem
perpajakan, kepabeanan, prosedural birokrasi, administrasi daerah, dan soal perburuhan.

Sesuai dengan pendapat Burg’s di atas maka, J.D. Ny Hart juga mengemukakan
konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu predictability, procedural
capabilyty, codification of goals, education, balance, defenition and clarity of status serta
accomodation. Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi
di atas ini, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

Pertama, hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah


hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam
memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi.
Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability) dalam
penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan trigunal (court or
administrative tribunal), penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute
resolution) dan penunjukan arbitrer konsiliasi (conciliation) dan lembaga-lembaga yang
berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian
hukum (codification of goals) oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan
negara. Keempat, hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai
kemampuan maka harus dibuat pendidikannya (education) dan selanjutnya
disosialisasikan. Kelima, hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan
(balance). karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Keenam,
hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas (definition and
clarity of status). Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status
yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus dapat
mengakomodasi (accomodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi
kepentingan inividu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Terakhir,
tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar
pembangunan adalah unsur stabilitas (stability) sebagaimana diuraikan di muka.

Tiga hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha: penyederhanaan sistem dan
perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya
perizinan. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat
arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat, perlu
dieliminasi. Prioritas perlu diberikan pada deregulasi dan koordinasi berbagai peraturan
daerah dan pusat.
Pengalaman China menarik modal asing perlu kita kaji apakah menarik untuk
dicoba. Di China, untuk perijinan cukup menghubungi Kantor Investasi Asing. Untuk
investasi minimal sebesar US$30 juta, aplikasi investasi harus mendapat ijin dari pusat.
Namun di bawah jumlah itu, cukup menghubungi Kantor Investasi Asing di daerah.
Waktu persetujuan investasi asing maksimal 3 hari. Bila lebih dari 3 hari tidak ada
pemberitahuan dari kantor ini, otomatis permohonan investasi dianggap diterima.

Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bagi bangsa Indonesia, bahwa salah satu
upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana
menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan hukum ekonomi
khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik
penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan
haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan negara-negara di ASEAN
khususnya, dalam menarik investasi asing.

Menurut Dhaniswara K. Harjono, dalam kaitannya dengan hal tersebut dan dalam
rangka memperbaiki serta menciptakan iklim investasi yang favorable dan sejalan
dengan arah dan kebijakan pembangunan nasional, langkah-langkah yang telah dilakukan
adalah :

1. menyederhanakan proses dan tata cara perizinan dan persetujuan dalam rangka
penanaman modal;
2. membuka secara luas bidang-bidang yang semula tertutup atau dibatasi terhadap
penanaman modal asing;
3. memberikan berbagai insentif, baik pajak maupun non pajak;
4. mengembangkan kawasan-kawasan untuk penanaman modal dengan berbagai
kemudahan yang ditawarkan;
5. menyempurnakan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang baru yang lebih menjamin iklim investasi yang sehat;
6. menyempurnakan proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang
efektif dan adil;
7. menyempurnakan tugas, fungsi, dan wewenang instansi terkait untuk dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik;
8. membuka kemungkinan pemilikan saham asing lebih besar.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal


(UUPM), adalah langkah awal pembaharuan hukum investasi karena UUPM ini
mencabut UUPMA dan UUPMD yang lama. Dengan UUPM ini diharapkan dapat
mengakomodasi berbagai kendala investasi yang selama ini terjadi demi tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik kedepan. Alasan filosofis dari UUPM paling tidak
terlihat dari konsideransnya, huruf c. bahwa ” untuk mempercepat pembangunan
ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan
peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan
ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun
dari luar negeri”; dan huruf d. ”dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional perlu diciptakan iklim
penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan
efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.”
Secara spesifik, tujuan utama pembentukan UUPM adalah sebagai berikut; ”
memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai kebijakan penanaman modal
dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat meningkatkan jumlah
dan kualitas investasi yang berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi,
peningkatan lapangan kerja, peningkatan ekspor dan penghasilan devisa, peningkatan
kemampuan teknologi, peningkatan kemampuan daya saing nasional, dan pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.” Namun
berlakunya UUPM tersebut belumlah genap satu tahun, sehingga upaya penataan hukum
investasi dan pranata hukum lainnya sangatlah berperan dalam mencapai tujuan
pembentukan UUPM sebagaimana yang diuraikan diatas. Mengenai hal ini, Ida Bagus
Rahmadi Supancana mengemukakan terdapat tantangan dan paradigma dibidang
investasi yang bersumber dari faktor-faktor yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor
internal yang berpengaruh, antara lain :

1. perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke arah desentralisasi


(otonomi daerah dan otonomi khusus);
2. demokratisasi dalam berbagai sendi kehidupan bangsa;
3. reformasi dalam tata kelola pemerintahan (ke arah good governance and clean
government), termasuk pemberantasan korupsi;
4. reformasi dalam tata kelola perusahaan ke arah good corporte governance;
5. perubahan struktur industri ke arah resource based industry;
6. meningkatkan pemahaman dan perlindungan lingkungan hidup;
7. meningkatnya perlindungan HAM; dan lain-lain.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhinya, antara lain :

1. globalisasi tatanan perdagangan, investasi, dan keuangan;


2. isu-isu global, seperti demokrasi, lingkungan hidup, dan HAM;
3. perlindungan HAKI;
4. program pengentasan kemiskinan global;
5. isu community development dan corporate social responsibility;
6. perlindungan hak-hak normatif tenaga kerja, tenaga kerja anak-anak, dan
perempuan; dan lain-lain.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

1. SIMPULAN

a. Era reformasi telah lama dimulai, namun sepertinya belumlah memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan. Reformasi hukum yang telah dilakukan,
khususnya penataan hukum investasi belumlah selesai dengan lahirnya UUPM.
Dalam tataran normatif (law making proces) masih diperlukan peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang
sekaligus mencabut peraturan-peraturan yang bertentangan dan bersifat
kontradiktif dengan tujuan pembentukan UUPM. Pengaturan mengenai
penguatan kelembagaan yang mendukung pelaksanaan hukum investasi juga
harus mendapat perhatian utama, yaitu segala kebijakan dan penguatan institusi
baik di Pusat dan Daerah yang sinergis dalam pemberian perizinan dibidang
investasi, seperti institusi pelayanan satu pintu yang diatur dalam UUPM.

b. Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a


tool of social engeneering) relative masih sesuai dengan pembangunan hukum
nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi
(beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau
kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat
menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu
wadah yang disebut “beureucratic and social engineering” (BSE)., 

2. SARAN

a. Dalam konteks ini perlunya reformasi di segala aspek (tidak hanya hukum) dan
meningkatkan peran masyarakat sipil dalam pengawasan pembangunan adalah
kunci perubahan paradigma pembangunan. Sehingga segala bentuk in-efisiensi
yang menjadi akar dari krisis ekonomi dapat menjadi minimal, dan upaya
reformasi struktural ini akan meningkatkan kredibilitas pemerintah di kalangan
masyarakat internasional khususnya. Sehingga investasi asing akan meningkat,
ekonomi mengalami pertumbuhan yang signifikan untuk mengurangi
pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

b. Penataan hukum investasi dalam upaya menciptakan iklim investasi tersebut,


telah dimulai dengan kehadiran UUPM yang secara normatif telah mengakomodir
berbagai kepentingan para penanam modal asing. Misalnya adanya
ketentuan-ketentuan dan perlakuan yang tidak diskriminatif, yang diberikan pada
para pengusaha lokal atau domestik dalam arena memperebutkan pangsa pasar,
adanya perlindungan dan jaminan investasi atas ancaman terjadinya resiko
nasionalisasi dan eksproriasi, dan adanya jaminan dalam hak untuk dapat
mentransfer laba maupun deviden, serta hak untuk melakukan penyelesaian
hukum melalui arbitrase internasional.

c. Sehingga yang diperlukan kedepan untuk mendorong lebih lanjut peningkatan


investasi penanaman modal di Indonesia, adalah bagaimana implementasi UUPM
selanjutnya dalam menciptakan iklim investasi dan usaha yang lebih menarik.
Singkat kata, iklim investasi yang positif yang perlu ditingkatkan dalam tataran
kebijakan implementatif kedepan adalah selaras dengan upaya-upaya
berkesinambungan yang dilakukan oleh para birokrat dan para pelaku ekonomi di
lokalitas-lokalitas tempat investasi dalam hal-hal sebagai berikut :

● Memberikan kepastian hukum atas peraturan-peraturan pada tingkat pusat dan


daerah serta menghasilkan produk hukum yang berkaitan dengan kegiatan
penanaman modal sehingga tidak memberatkan beban tambahan pada biaya
produksi usaha.

● Memelihara keamanan dari potensi gangguan kriminalitas oleh oknum


masyarakat terhadap aset-aset berharga perusahaan, terhadap jalur distribusi
barang dan gudang serta pada tempat-tempat penyimpanan barang jadi maupun
setengah jadi.

● Memberikan kemudahan yang paling mendasar atas pelayanan yang ditujukan


pada para investor, meliputi perijinan investasi, imigrasi, kepabeanan,
perpajakan dan pertahanan wilayah.

● Memberikan secara selektif rangkaian paket insentif investasi yang bersaing.

● Menjaga kondisi iklim ketenagakerjaan yang menunjang kegiatan usaha secara


berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law
in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone,
Jakarta, 2006.

2. Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,”


Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002.

3. Artidjo Alkostar, 2007. “Hakim Agung Progresif” (Online)


(http://www.mahkamahagung.com), diakses tanggal   5 Nopember 2008.

4. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Kanisisus, Yogyakarta, 2009

5. Bernard  L. Tanya, dkk.,  2006. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas


Ruang Dan Generasi,  CV. Kita, Surabaya

6. Charles Himawan,”Pemulihan Ekonomi Butuh “Reliable Judiciary”. Dalam


buku Hukum Sebagai Panglima. Cet.1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.

7. Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, PT. Rajagrafindo Persada,


Jakarta, 2007

8. Dorojatun Kuntjoro Jakti, “Investasi Minim Akibat Lima Hal,” Bisnis Indonesia,
13 Juni 2002.

9. Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan


Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan
Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan
Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli
2003.
10.  Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi
Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI, Jakarta:
4 Januari 1997.

11. Hukum Investasi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia,


Cet. I -Jakarta, 2007

12. Fernando M. Manullang, 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan (Tinjauan Hukum


Kodrat dan Antinomi Nilai), Cet. I: Kompas, Jakarta.

13. Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta:


Universitas Atma Jaya, 2002. Hal. 26

14. Gaffar, Firoz, ed. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: CYBERconsult, 1999.

15. Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum internasional. Jakarta: Lentera


Hati, 2002.

16. Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan


kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program
Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI.

17. Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi


Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006.

18. Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan


Pemerintah,  (Bandung : PT. Alumni, 2004)

19. J.D. Ny. Hart, “The Role of Law in Economic Development,” dalam Erman
Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta :
Universitas Indonesia, 1995),

20. Kartadjoemena, H.S. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme


Penyelesaian Sengketa. Jakarta: UI Press, 2000.

21. Lilik Mulyadi, Hukum dan Pembangunan, Liberty, Yogyakarta, 1999

22. Lawrence W. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of


the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton &
Company, New York, 1984

23. Lili Rasyidi dan I.B Wiyasa Putera, 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem, PT.
Remaja Rosdakarya: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai